Penjelasan Perang Tarif US – China, dan Dampaknya Terhadap Indonesia

Hari Rabu kemarin, 2 April 2025, Presiden Trump mengumumkan kebijakan reciprocal tariff terhadap hampir semua negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia sebesar 32%. Simpelnya, jika ada perusahaan asal Indonesia yang mengekspor produknya seharga Rp1,000 ke US, maka sekarang perusahaan tersebut harus bayar Rp320 ke Pemerintah US, yang otomatis menaikkan harga jualnya menjadi Rp1,320. Dari sudut pandang Pemerintah US, tarif ini salah satunya bertujuan mendorong perusahaan untuk memindahkan fasilitas produksi mereka ke US, sehingga menciptakan lapangan kerja. Namun dari sudut pandang negara yang dikenakan tarif, maka harga jual ekspor yang lebih mahal tentunya akan menurunkan volume ekspor itu sendiri, dan itu bisa menekan pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan.

***

Mulai tahun 2025 Avere Investama meluncurkan channel Telegram US Stocks Copytrade di mana anda bisa mengikuti saham-saham apa saja yang kami beli dan jual di pasar saham US, lengkap dengan analisa serta strateginya, dengan modal awal Rp1 miliar. Untuk bergabung klik disini, gratis konsultasi/tanya jawab saham US untuk member.

***

Nah, tapi apapun itu, kebijakan tarif ini hampir bisa dipastikan akan secara signifikan menurunkan volume perdagangan antar negara di seluruh dunia, yang pada gilirannya bisa menyebabkan resesi. Apalagi sejumlah negara yang dikenakan tarif, terutama China, balik membalas dengan juga mengenakan tarif terhadap impor dari US, sehingga kemudian terjadi situasi perang tarif. Karena itulah, tak lama setelah Presiden Trump mengumumkan kebijakan tarif di atas, S&P 500 Index (SPX) langsung jeblok dari 5,671 hingga mentok di 4,983 pada 8 April, sebelum kemudian rebound ke posisi sekarang di 5,283, namun secara keseluruhan dia masih turun -10.2% secara YTD (year to date). Sedangkan untuk IHSG, maka kita bisa dikatakan beruntung karena pada tanggal 2 April tersebut Bursa Efek Indonesia (BEI) masih libur, dan alhasil IHSG tidak berubah di 6,511. Dan meskipun ketika BEI kembali buka pada 8 April, IHSG langsung anjlok ke 5,996, namun karena setelah itu pasar saham dunia sudah mulai kembali rebound maka demikian pula IHSG ikut naik, dan sekarang berada di posisi 6,438. However seperti halnya SPX, maka IHSG secara keseluruhan juga masih turun -9.1% di sepanjang 2025 ini, dan mungkin belum akan naik lagi dalam waktu dekat karena seperti yang kita tahu, isu perang tarif ini masih berlangsung sampai sekarang.

Sehingga pertanyaannya sekarang, sebenarnya tarif ini apa sih? Tujuannya apa, dan dampaknya bagaimana? Apa benar itu akan menyebabkan resesi global, termasuk Indonesia juga bakal krisis? Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai investor? Apakah sebaiknya kita jual semua saham, atau justru ini merupakan kesempatan untuk serok barang bagus pada harga bawah? Nah, jawaban atas semua pertanyaan di atas sebenarnya bisa sangat panjang, tapi di tulisan kali ini kita akan mencoba meringkasnya. Oke, kita langsung saja.

Latar Belakang: Defisit Neraca Perdagangan US

Amerika Serikat, seperti yang kita ketahui, merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia dengan GDP (gross domestic product) $27.7 triliun pada tahun 2023, namun dalam 1 – 2 dekade terakhir posisinya mulai terancam oleh China yang tumbuh sangat pesat hingga GDP-nya tembus $17.8 triliun di tahun yang sama, thanks to tingkat pertumbuhan ekonominya yang mencapai 5 – 6%, jauh diatas US yang hanya 2 – 3% per tahun. Jadi jika situasinya begitu terus maka cuma soal waktu sebelum China akan menggeser US sebagai negara superpower. Salah satu pendorong pertumbuhan China yang sangat pesat itu adalah industri manufakturnya yang mampu memproduksi segala jenis barang dengan biaya rendah, yang kemudian diekspor ke seluruh dunia. Dan alhasil China pada hari ini sudah menjadi negara eksportir terbesar di dunia dengan nilai ekspor $3.5 triliun pada tahun 2023, mengalahkan ekspor US yang hanya $3.1 triliun. Di sisi lain meski China juga merupakan salah satu negara importir terbesar, namun nilainya hanya $2.6 triliun pada tahun 2023, lebih kecil dibanding impor US yang mencapai $3.2 triliun.

Sehingga dari data di atas saja maka bisa dilihat bahwa China mencatat surplus neraca perdagangan (karena ekspornya lebih besar dibanding impor), sedangkan US sebaliknya mencatat defisit. Dan memang sudah sejak setidaknya sepuluh tahun terakhir, China selalu mencatat surplus dan US sebaliknya selalu mencatat defisit perdagangan, saban tahun, dan alhasil pertumbuhan ekonomi China selalu lebih tinggi dibanding US. Sebelumnya ingat kembali bahwa rumus pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi + investasi + belanja pemerintah + ekspor – impor. Jadi selama impor US lebih besar dibanding ekspornya, maka selama itu pula pertumbuhan ekonominya akan kalah dibanding China.

Maka dari sinilah, sudah sejak tahun 1980-an, Donald Trump, yang ketika itu masih aktif sebagai pengusaha real estate namun sudah mulai terjun ke politik dengan menjadi donatur untuk kampanye Presiden Ronald Reagan, menyatakan bahwa Pemerintah US harus menerapkan tarif impor untuk membalikkan defisit neraca perdagangan menjadi surplus, atau setidaknya menurunkan angka defisit tersebut. Dan ketika ia akhirnya menjadi Presiden pada tahun 2017, maka sudah sejak tahun 2018 lalu kebijakan tarif ini mulai diterapkan, ketika itu terbatas hanya untuk impor besi, baja, dan alumunium dari negara-negara tertentu. Namun ketika Trump kembali menjabat untuk periode kedua pada tahun 2025 ini, maka kebijakan tarif impor itu diperluas untuk hampir segala jenis barang, dan terhadap hampir semua negara dari seluruh dunia.

Okay, jadi kita sekarang ke pertanyaannya: Apakah benar kebijakan tarif ini bisa menyebabkan krisis dunia termasuk Indonesia? Dan jawabannya, tidak. Perhatikan: Nilai impor US yang mencapai $3.2 triliun pada tahun 2023, itu setara 13.3% dari total nilai international trade. Jadi jika kita asumsikan saja bahwa nilai impor tersebut akan drop setengahnya menjadi hanya $1.6 triliun karena tarif ini, maka nilai ekspor global juga akan turun sekitar 6.7% (13.3% dikurangi setengahnya). Kemudian karena berdasarkan data World Bank, nilai ekspor impor berkontribusi sekitar 59% terhadap GDP global pada tahun 2023, maka dengan asumsi komponen pertumbuhan ekonomi lainnya (konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah) tetap, pertumbuhan ekonomi global akan tertekan sekitar -3.9% (6.7% dikali 59%). Terakhir, karena di tahun 2023 pertumbuhan ekonomi global tercatat 2.8%, maka penurunan -3.9% dari angka tersebut akan membuat angkanya turun menjadi 2.7%.

Sehingga, yep, perang tarif ini bisa membuat pertumbuhan ekonomi global turun, tapi selisihnya tidak signifikan yakni hanya 0.1% menjadi 2.7%, meski memang itu dengan dua asumsi seperti yang sudah disebut di atas. Tapi bahkan kalaupun kita anggap bahwa nilai impor US akan turun lebih besar, dan komponen konsumsi dll juga kena imbas/angkanya ikut turun, maka penulis kira dampaknya tetap maksimal 0.2 – 0.3% saja. Sebagai perbandingan, pada resesi pandemi 2020 lalu, pertumbuhan ekonomi global tercatat negatif, tepatnya -2.9%. Sedangkan untuk tahun 2024 kemarin, angka pertumbuhan tersebut tercatat 3.2%, lebih tinggi dibanding tahun 2023 sebesar 2.8%. Jadi kalaupun penetapan tarif ini akan membuat angkanya turun lagi di tahun 2025 ini, maka pertumbuhan ekonomi global akan tercatat sekitar 2.9 – 3.1%, alias memang turun dibanding tahun 2024, tapi masih lebih tinggi dibanding tahun 2023. Mungkin perlu dicatat pula bahwa berbeda dengan tahun 2020 lalu di mana penerapan lockdown Covid-19 menyebabkan nilai konsumsi, investasi, dan ekspor impor turun secara serentak, dan alhasil Pemerintahan di seluruh dunia harus menaikkan nilai belanja tapi bahkan itu tidak mencegah resesi/pertumbuhan GDP negatif, maka penerapan tarif di tahun 2025 ini hanya sebatas menurunkan nilai ekspor dunia, tapi itupun tidak secara keseluruhan karena nilai ekspor terhadap US saja yang turun. Malah, kalau China dkk bisa mengalihkan ekspor mereka dari US ke negara lain termasuk Indonesia, maka bisa juga nilai ekspornya tetap tumbuh seperti biasanya, alias tidak ikut turun.

Jadi jawabannya, tidak, tarif ini tidak akan menyebabkan resesi dunia. Nah, tapi sekarang kita ke pertanyaan selanjutnya: Bagaimana khususnya dampak tarif ini terhadap Indonesia? Dan berikut jawabannya: Pada tahun 2023, nilai ekspor Indonesia ke US tercatat $23.3 miliar, setara 9.0% dari total nilai ekspor nasional. Let say, nilai ekspor ke US tersebut turun menjadi setengahnya karena dampak tarif, maka nilai ekspor nasional juga akan turun -4.5%. Karena ekspor Indonesia berkontribusi sebesar 22% terhadap GDP, maka dengan asumsi komponen lainnya tetap, GDP kita akan turun -4.5% dikali 22%, sama dengan -1.0%, alias lebih rendah dibanding perkiraan penurunan GDP global sebesar -3.9% di atas. Indonesia beruntung dalam hal ini karena, pertama, komponen utama pertumbuhan GDP kita adalah konsumsi dalam negeri yang kontribusinya mencapai 54%, disusul investasi 30%, lalu baru ekspor 22%. Dan kedua, ekspor kita ke US seperti disebut di atas hanya berkontribusi sebesar 9.0% terhadap nilai ekspor secara keseluruhan. Sebagai perbandingan, nilai ekspor Vietnam ke US mencapai hampir 30% dari total nilai ekspornya, sehingga penerapan tarif ini akan secara signifikan lebih berdampak terhadap Vietnam, ketimbang Indonesia.

Kesimpulan

Kesimpulannya, maka seperti halnya tarif ini harusnya tidak akan menyebabkan resesi dunia, maka di Indonesia resesi tersebut juga tidak akan terjadi. Namun demikian masih ada satu hal lagi: Ada kemungkinan China akan mengalihkan ekspor mereka dari US ke negara-negara lain termasuk Indonesia, di mana jika itu dibiarkan/tidak dibatasi maka nilai impor kita akan meledak, dan imbasnya akan terjadi defisit neraca perdagangan, dan tentunya penurunan pertumbuhan ekonomi. Karena sejak sebelum adanya tarif ini, nilai impor Indonesia asal China sudah mencapai $63 miliar atau setara 28% dibanding total nilai impor nasional, paling besar dibanding semua negara lain. Jadi selain menyusun sejumlah strategi untuk menghadapi tarif US, mestinya Pemerintah juga mengantisipasi kemungkinan praktik dumping oleh China, di mana tidak hanya itu akan menekan pertumbuhan ekonomi, tapi juga bisa meruntuhkan industri manufaktur serta proyek hilirisasi di dalam negeri yang baru mulai dirintis dalam beberapa tahun terakhir. Unfortunately, sejauh ini penulis belum melihat adanya upaya antisipasi tersebut (atau mungkin sudah ada, tapi belum dikomunikasikan ke publik).

Logo PT Sritex, perusahaan tekstil terbesar di Indonesia yang bangkrut, salah satunya karena tidak mampu bersaing dengan produk tekstil impor dari China.

Sehingga sekarang kita ke pertanyaan selanjutnya: Investor saham di BEI harus ngapain? Well, kecuali anda pegang saham dari perusahaan yang sebagian atau seluruh pendapatannya berasal dari ekspor ke US, biasanya di bidang kayu lapis, barang elektronik, hingga hasil laut, maka anda tidak perlu khawatir melainkan hold saja. Di sisi lain jika benar China mengalihkan sebagian ekspor mereka dari US ke Indonesia, maka yang akan terkena dampaknya adalah perusahaan manufaktur yang memproduksi mesin-mesin, peralatan elektronik, tekstil, besi dan baja, bahan kimia, hingga plastik, karena barang-barang itulah yang selama ini diimpor dalam jumlah besar dari China. Tapi sekali lagi, untuk perusahaan di bidang lainnya maka itu semua masih aman, dan sahamnya boleh anda hold.

Oke Pak Teguh, jadi kalau kita masih pegang cash maka boleh serok mumpung sekarang saham-saham lagi pada turun semua? Nah, kalau untuk ini maka jawabannya beda lagi, karena seperti yang sudah penulis sampaikan dalam banyak kesempatan, misalnya di artikel ini, maka pasar saham kita/IHSG sudah cenderung turun terus sejak jauh sebelum ramai cerita perang tarif ini, karena berbagai faktor dan sentimen negatif terutama dari dalam negeri, seperti peluncuran Danantara, penurunan harga batubara, statement FTSE Russell dan MSCI, terjadinya deflasi yang menunjukkan penurunan daya beli, dst. Jadi meskipun seperti disebut di atas, masalah tarif ini harusnya tidak akan menyebabkan resesi, tapi di sisi lain negara kita juga punya sejumlah masalahnya sendiri yang membuat IHSG sulit untuk naik, termasuk investor asing juga terus saja jualan di pasar reguler tidak hanya di tahun 2025 ini, tapi sudah sejak tahun 2023 dan 2024 lalu.

Sehingga, meskipun terkait perang tarif ini maka anda bisa tetap hold semua saham, yakni dengan asumsi perusahaannya tidak bergerak di bidang yang disebutkan di atas, namun di sisi lain kalau ada pegang cash maka jangan dulu belanja. Kita tunggu dulu perkembangan situasi di dalam negeri hingga beberapa waktu ke depan.

***

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 10 Mei 2025, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q1 2025 - Terbit 8 Mei 2025

Prospek Saham Adaro Minerals Indonesia (ADMR): Better Than ADRO?

Live Webinar Value Investing in US Stocks, Sabtu 24 Mei 2025

Video Terbaru How to Invest in US Stocks - 2025

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 10 Mei 2025

Prospek Saham BUMN Setelah Pembentukan Danantara

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI