Laba Bank BRI Anjlok Lebih Dari 50%, Begini Penjelasan Mudahnya
Pada hari Kamis, 27 Februari, Bank BRI (BBRI) merilis laporan keuangan bulanan untuk bulan Januari 2025, dan disitu perusahaan mencatat laba bersih Rp2.0 triliun, anjlok lebih dari separuhnya dibanding bulan yang sama tahun 2024 sebesar Rp4.8 triliun. Alhasil investor jadi panik dan besoknya sahamnya langsung anjlok ke posisi 3,360, di mana meski setelah itu dia naik lagi, tapi sampai dengan ketika artikel ini ditulis BBRI masih belum balik lagi ke level psikologis Rp4,000 per saham. Pertanyaannya, kenapa kinerja BBRI bisa turun mendadak begitu, dan dengan penurunan yang sangat signifikan pula? Bukankah selama ini kinerja BBRI selalu bertumbuh dari tahun ke tahun? Lalu bagaimana kalau kita ada pegang sahamnya?
***
Ebook
Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham
pilihan edisi Q4 2024 sudah terbit! Dan sudah bisa dipesan
disini. Tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 7,500, serta gratis tanya
jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.
***
Dan disini kita memang akan menjawab semua pertanyaan tersebut, satu per satu. Oke, kita langsung saja.
Pertama, berbeda dengan emiten-emiten dari sektor lain di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang hanya diwajibkan merilis laporan keuangan (LK) tiap kuartal/tiga bulan sekali, maka emiten perbankan juga harus merilis laporan keuangan tiap bulan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dan itulah kenapa BBRI, dan juga bank-bank lainnya di Indonesia, rata-rata sudah merilis LK untuk bulan Januari 2025, yang kemudian bisa kita baca entah itu di website OJK, ataupun di website perusahaan yang bersangkutan.
Kedua, kalau dari sisi pendapatan maka BBRI pada Januari 2025 mencatat pendapatan bunga Rp13.0 triliun, atau hanya turun -6.2% dibanding Januari 2024 sebesar Rp13.9 triliun. Namun karena perusahaan mencatat beban cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) Rp5.6 triliun, melonjak 188% dibanding Januari 2024 sebesar Rp2.6 triliun, maka jadilah labanya jeblok dari Rp4.8 triliun menjadi Rp2.0 triliun. Jadi pertanyaannya, beban CKPN ini apa? Lalu kenapa angkanya tiba-tiba naik banyak begitu?
Dan jawabannya sebagai berikut. Sebagai perusahaan perbankan, maka BBRI memiliki aset berupa pinjaman/kredit yang disalurkan ke masyarakat, katakanlah senilai total Rp1,000. Lalu jika ada debitur yang dianggap berisiko untuk gagal membayar utangnya sebesar Rp50 (kredit macet), maka nilai aset kredit BBRI di masa yang akan datang juga akan dianggap turun sebesar Rp50 menjadi Rp950. Selisih antara proyeksi nilai aset BBRI di masa depan (sebesar Rp950) dengan nilai aset BBRI pada saat ini (sebesar Rp1,000), itulah yang dilaporkan di laporan keuangan sebagai cadangan kerugian nilai alias CKPN. Atau dengan kata lain pihak bank sudah mengakui kerugian CKPN sebesar Rp50 bahkan meski kerugian tersebut belum terjadi, dan aset kredit yang Rp50 tadi belum benar-benar macet.
Okay, lalu kenapa BBRI melakukan itu? Mengakui kerugian yang belum benar-benar terjadi? Nah, sebenarnya sebuah perusahaan perbankan memang diwajibkan oleh OJK untuk secara berkala mengevaluasi aset keuangannya (termasuk aset kredit), untuk kemudian menetapkan CKPN jika ada indikasi penurunan nilai aset di masa yang akan datang, dan alhasil bank manapun akan selalu mencatat beban CKPN di laporan laba ruginya. Ini karena sektor perbankan merupakan sektor yang teramat-sangat-krusial terhadap perekonomian nasional, di mana jika ada bank misalnya mendadak mencatatkan rugi besar hingga tidak mampu membayar nasabahnya yang hendak menarik tabungan, maka ujungnya Indonesia bisa jatuh krisis. Karena itulah, semua bank-bank diwajibkan untuk menyajikan laporan keuangannya secara se-konservatif mungkin, di mana tidak hanya mereka mencatat kerugian yang sudah terjadi, tapi mereka juga harus mencatat kemungkinan kerugian yang belum terjadi dalam bentuk CKPN tadi.
Kemudian dalam kasus BBRI, maka berdasarkan penjelasan manajemen ke BEI pada tanggal 4 Maret kemarin, BBRI mengakui CKPN sebesar Rp5.6 triliun di bulan Januari 2025, melonjak dibanding hanya Rp2.0 triliun di bulan yang sama tahun 2024, untuk tujuan restrukturisasi aset kredit yang bermasalah karena imbas pandemi Covid-19. Bahasa sederhananya, BBRI tidak lagi menganggap bahwa sejumlah aset-aset kreditnya yang berstatus kurang lancar sejak era pandemi lalu masih dapat ditagih, melainkan langsung saja diakui sebagai macet aka gagal bayar, untuk tujuan penyajian kinerja laporan keuangan yang lebih konservatif itu tadi. Dan untuk kedepannya bukan berarti BBRI akan berhenti menagih kredit yang sekarang dianggap macet tersebut, melainkan mereka akan terus menagihnya. Dan jika suatu hari nanti sebagian atau seluruh aset kredit tersebut akhirnya dapat tertagih, maka BBRI akan mengakuinya sebagai pendapatan ‘pemulihan CKPN’, yang kemudian menaikkan laba bersihnya.
![]() |
Kutipan penjelasan dari manajemen BBRI. Klik gambar untuk memperbesar. |
Sehingga dari sini pencatatan beban CKPN yang besar itu justru bagus, karena coba pikir: Pasca era pandemi di tahun 2020 – 2021 lalu dimana semua bank-bank di Indonesia mengalami kesulitan menagih aset-aset kreditnya karena situasi resesi ekonomi ketika itu, maka baru BBRI saja yang pada tahun ini akhirnya mencadangan CKPN khusus terkait pandemi tersebut. Yang itu artinya, kecuali kedepannya terjadi resesi ekonomi lagi, maka kinerja laba bersih BBRI akan kembali tumbuh konsisten dalam jangka panjang, karena sekarang aset-aset keuangannya sudah lebih ‘bersih’. Tapi beda ceritanya dengan bank-bank lain yang mungkin belum mencadangkan CKPN pandemi ini, di mana mereka cepat atau lambat juga harus melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan BBRI barusan, dan tentu saja laba bersihnya juga akan tampak turun.
Kesimpulannya, jika anda pegang saham BBRI maka hold saja. Nah, sebenarnya dulu pada tahun 2015, Bank BNI (BBNI) juga pernah merilis LK Semester 1 di mana laba bersihnya tercatat Rp2.4 triliun, anjlok hingga 50% dibanding periode yang sama tahun 2014 sebesar Rp4.9 triliun, karena kenaikan CKPN dari Rp2.1 triliun menjadi Rp5.7 triliun, dan alhasil sahamnya juga ikut anjlok dari 3,500 di bulan Mei hingga mentok di 2,000 di bulan September, seiring koreksi pasar ketika itu di mana IHSG juga turun signifikan. Namun di LK-LK berikutnya maka kinerja BBNI kembali pulih, dan di tahun penuh 2015 tersebut perusahaan akhirnya mencatat laba bersih Rp9.1 triliun, alias masih turun dibanding Rp10.8 triliun di tahun sebelumnya, tapi turunnya gak sampai 50% juga. Kemudian memasuki 2016-nya, laba BBNI naik lagi, sampai sekarang. Sedangkan sahamnya? Ya juga sama naik lagi sampai sekarang. Dulu sudah pernah kita bahas disini.
Therefore, untuk BBRI juga penulis perkirakan skenarionya akan seperti itu: Kinerja laba bersih BBRI kemungkinan memang akan tetap turun sampai akhir tahun 2025 nanti, tapi penurunannya tidak akan sedalam di bulan Januari barusan, kemungkinan hanya 5 - 10% saja. Kemudian memasuki 2026 dan seterusnya, laba bersihnya akan kembali naik seperti biasanya. Di sisi lain penurunan sahamnya yang sangat signifikan harusnya juga sudah mencerminkan penurunan kinerjanya di bulan Januari 2025 barusan, atau istilahnya price in. Sehingga jika di LK bulan Februari yang akan dirilis nanti dan seterusnya kinerja BBRI kembali membaik, dan harusnya memang demikian, maka demikian pula sahamnya akan pelan-pelan naik lagi. Kita tunggu.
***
Live
Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 5 April 2025, pukul 08.00 – 10.00
WIB. Untuk mendaftar klik disini.
Komentar