Analisa Fundamental Sudah Mati? Investor Mending Beli Saham Bandar Saja?

Pak Teguh, ada yang bilang analisa fundamental di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu sudah mati, value investing is dead, bisa lihat sendiri saham-saham berkinerja bagus termasuk yang blue chip sekalipun cenderung turun, sedangkan saham-saham milik grup konglomerasi tertentu justru naik banyak sampai ratusan persen, tak peduli meski valuasinya amat sangat mahal. Jadi lebih baik kita sebagai investor ikut arus saja dengan beli saham-saham grup tersebut. Menurut bapak gimana?

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Q4 2024 akan terbit hari Senin, 10 Februari, dan sudah bisa dipesan disini. Tersedia diskon bagi yang memesan sebelum tanggal 10 Februari, serta gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Jawab:

Betul belakangan ini ramai lagi istilah value investing is dead, tapi sebetulnya ini bukan kali pertama istilah tersebut muncul. Dulu di tahun 2021 ketika terjadi euforia bank digital di mana saham-saham seperti Bank Jago (ARTO), Allo Bank Indonesia (BBHI), Bank Neo Commerce (BBYB), Bank MNC Internasional (BABP) naik sangat tinggi, demikian pula ada perusahaan bank digital baru IPO langsung terbang seperti Bank Aladin Syariah (BANK), maka banyak juga yang bilang value investing is dead. Ini karena saham-saham bank digital tersebut sama sekali tidak memiliki kinerja fundamental yang bagus, malah banyak juga yang justru rugi, prospeknya gak jelas, udah gitu secara valuasi juga sangat mahal, sehingga para investor aliran value investing termasuk kami di Avere Investama gak mungkin beli saham ARTO dkk. Nah, tapi ketika ARTO kemudian justru naik berlipat-lipat ketika mayoritas saham-saham lainnya di BEI gak kemana-mana di tahun 2021 tersebut, maka kemudian muncul istilah itu tadi: Analisa fundamental gak ada gunanya, mending kita beli saham bank digital saja.

Tapi sekarang anda bisa lihat sendiri, berapa harga saham ARTO dkk jika dibandingkan dengan puncaknya di tahun 2021 lalu??

Kemudian sebelum tahun 2021 itu pun, maka penulis masih ingat dulu di awal dekade 2010-an ramai orang bilang, daripada beli saham ini itu yang beneran berfundamental bagus, mending beli Bumi Resources (BUMI) saja! Atau juga saham-saham milik Grup Bakrie lainnya. Dan memang pada saat itu ketika saham seperti Astra International (ASII), Unilever (UNVR), hingga Bank BRI (BBRI) naiknya tampak pelan-pelan, maka BUMI ini naik paling kenceng sendiri, yakni dari 400 di tahun 2008 hingga sempat hampir tembus 4,000 di tahun 2011, aka dalam waktu tiga tahun lompat nyaris 10 kali lipat! Jadi ya ngapain beli ASII? TLKM?? Udah paling bener BUMI saja, atau saudara-saudaranya yang masih satu grup seperti Darma Henwa (DEWA), Energi Mega Persada (ENRG), Bakrie Sumatera Plantations (UNSP), dst. Alhasil BUMI kemudian mendapat julukan legendaris yang semua investor angkatan lawas pasti hafal: Saham sejuta umat.

Nah, tapi balik lagi, berapa harga saham BUMI hari ini?? Padahal saham ini pernah menjadi primadona investor, atau lebih tepatnya spekulan, pada masanya.

Sehingga, ketika sekarang ramai lagi ajakan untuk beli saham-saham dari perusahaan milik grup konglomerasi tertentu, plus pernyataan bahwa value investing is dead, maka penulis harus katakan: Jangan lupa dulu ketika ramai bank digital. Sedangkan bagi anda investor yang lebih berpengalaman, maka jangan lupa dengan bagaimana dulu Grup Bakrie juga pernah menguasai bursa. Dan actually tidak hanya Bakrie, tapi pernah ada juga grup-grup besar lainnya yang saham-saham mereka naik tinggi secara tidak wajar (istilahnya digoreng) tapi ujungnya jeblok, atau lebih buruk lagi: Perusahaannya bangkrut/sahamnya delisting. Contohnya, anda masih ingat Grup Benny Tjokro dengan saham Hanson International (MYRX), Rimo International (RIMO), Armidian Karyatama (ARMY), Sinergi Megah Internusa (NUSA), Bliss Properti (POSA)? Silahkan cek sendiri, apakah saham-saham tersebut hari ini masih diperdagangkan atau tidak.

Strategi Untuk Saham BREN dkk

Hanya memang, berbeda dengan era 2010 - 2020 di mana kita investor fundamentalis masih memiliki banyak pilihan saham bagus yang tetap bisa naik sendiri, tak peduli saham-saham bandar merajalela, maka belakangan ini kita tahu ada banyak 'emiten fundamental' termasuk yang besar-besar seperti HM Sampoerna (HMSP), Telkom (TLKM), dan UNVR, yang kinerja labanya turun, dan alhasil sahamnya pun turun, dan penurunan mereka turut menyeret saham-saham blue chip lain yang sebenarnya kinerjanya masih bagus seperti ASII dan BBRI, sehingga menyeret IHSG secara keseluruhan untuk ikut turun. Jadi pada situasi inilah, keputusan untuk masuk ke saham-saham konglomerat yang sudah dua tahunan ini terbang tinggi seperti Barito Renewables (BREN), Amman Minerals (AMMN), dan Pantai Indah Kapuk (PANI), tampak masuk akal. Karena kalau kita bilang saham-saham itu tidak layak investasi, maka apakah itu artinya fundamental UNVR lebih bagus? Toh kinerja UNVR kalau untuk sekarang ini juga sama saja gak bagus bukan?? (gara-gara efek boikot yang gak berkesudahan).

Sehingga kalau ada investor yang akhirnya ikut arus dengan membeli BREN dkk, then I don’t blame them. Karena nyatanya kita bisa lihat sendiri mayoritas saham-saham lainnya di BEI gak kemana-mana, tak peduli meski kinerja fundamentalnya bagus, tidak hanya sejak tahun 2024 kemarin tapi lebih lama lagi.

Nah, tapi kalau anda termasuk yang ikut arus tersebut, maka penulis bisa kasih satu saran: Ingat bahwa seperti dulu ramai saham bank digital, Grup Bakrie, Benny Tjokro dst, maka meski kita tentunya tidak bisa menebak kapan, namun suatu hari nanti ‘saham-saham non fundamental’ yang anda beli tersebut juga akan anjlok, atau bahkan bisa delisting sama sekali seperti dulu MYRX dkk. Sehingga kalau suatu hari nanti saham yang anda pegang mulai turun signifikan maka segera jual, tak peduli posisinya profit atau cut loss! Jadi jangan pernah berpikir untuk menjadikan saham-saham tersebut sebagai investasi jangka panjang, pokoknya jangan! Atau anda akan bernasib sama seperti entah berapa ribu investor yang uangnya habis sama sekali (baca: rugi 100%) di banyak saham gorengan yang juga pernah berjaya di masa lalu.

Okey Pak Teguh, kalau bapak sendiri gimana? Apakah bapak juga ada beli BREN dkk tapi dengan strategi seperti yang bapak sebut di atas, yakni buat jangka pendek saja? Well, jawabannya tidak. Dulu di tahun 2016 penulis pernah satu kali bertindak melenceng dari ajaran guru besar kita semua, Warren Buffett, dengan membeli saham BUMI. Dan meski hasilnya tetap profit (meski gak banyak), tapi saya tidak akan lupa bagaimana selama berbulan-bulan itu saya tiap malam sulit untuk tidur nyenyak, karena saya sepenuhnya sadar bahwa BUMI ini very-very high risk. Padahal dana kelolaan kami ketika itu masih kecil, jauh lah kalau dibanding hari ini.

Sehingga sejak tahun 2024 kemarin, yang kami lakukan adalah diversifikasi ke pasar saham Amerika (US) di mana kaidah value investing disana masih berlaku, sembari menunggu pasar saham di dalam negeri kembali normal, meski kembali saya tegaskan bahwa ini bukan berarti kami pindah sama sekali, melainkan kami juga akan tetap berinvestasi di BEI seperti biasa, dan juga tetap pada saham-saham yang berfundamental bagus/valuasinya murah. Sedangkan bagi anda yang juga berkomitmen untuk tidak ‘ikut arus’ tapi di sisi lain tidak berminat dengan saham US, maka seperti yang penulis sampaikan kemarin, anda bisa diversifikasi ke instrumen yang lebih aman seperti 1. SBN (surat berharga negara), 2. Reksadana pendapatan tetap, dan 3. Reksadana pasar uang. Karena meski betul bahwa potensi profitnya hanya 4 – 5% per tahun, tapi itu tetap lebih baik dibanding IHSG yang hanya naik rata-rata 2.3% per tahun dalam lima tahun terakhir (2020 – 2024). Nanti saya bahas ini lebih lengkap deh.

Terakhir sebagai penutup, meski tadi di atas penulis katakan bahwa kita tidak bisa menebak kapan saham-saham konglomerat itu akan turun lagi, tapi biasanya salah satu tandanya adalah kalau sudah ada yang bilang value investing is dead itu tadi (tahun lalu istilah ini belum muncul, baru sekarang ramai lagi di medsos). Jadi mari kita lihat apakah di 2025 ini, saham-saham fundamental pada akhirnya akan mendapat gilirannya untuk naik. Mudah-mudahan.

Minggu depan kita akan bahas update prospek saham Bank BNI (BBNI), yang sudah rilis LK Q4 2024, dan hasilnya bagus.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Q4 2024 akan terbit hari Senin, 10 Februari, dan sudah bisa dipesan disini. Tersedia diskon bagi yang memesan sebelum tanggal 10 Februari, serta gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q4 2024 - Terbit 10 Februari

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Prospek Saham Adaro Minerals Indonesia (ADMR): Better Than ADRO?