Prospek Cerah Saham BBNI di Tahun 2025
Di ulasan sebelumnya kita sudah membahas tentang bagaimana ‘analisa fundamental sudah mati, value investing is dead’ di Bursa Efek Indonesia (BEI), di mana ada ratusan saham berfundamental bagus termasuk blue chip yang terus saja turun beberapa tahun terakhir ini, tapi sebaliknya ada saham-saham dari grup konglomerasi tertentu yang justru terbang tinggi, tak peduli meski fundamentalnya jelek dan/atau valuasinya amat sangat mahal. Nah, tapi bagaimana kalau penulis katakan bahwa situasi seperti ini justru merupakan golden opportunity untuk beli saham-saham bagus pada valuasi yang bahkan sudah lebih murah dibanding zaman Covid dulu?
Yep, salah satunya adalah saham PT Bank Negara Indonesia, Tbk atau Bank BNI (BBNI). Nah tapi sebelum kita membahas tentang BBNI-nya itu sendiri, maka kita bahas dulu soal istilah value investing is dead itu tadi. Perhatikan: Selama ini memang istilah saham berfundamental bagus itu agak misleading, di mana investor terutama pemula berpikir bahwa nama-nama besar yang rutin mengisi daftar top ten saham terbesar di BEI dari sisi market cap, seperti Bank BCA (BBCA), Unilever Indonesia (UNVR), Telkom (TLKM), maka mereka semuanya memiliki kinerja keuangan yang bagus. Padahal, meski betul bahwa BBCA sampai hari ini masih bagus, bisa dilihat dari kinerja laporan keuangan terbarunya untuk tahun penuh 2024 di mana labanya lanjut naik 12.7% menjadi Rp54.8 triliun, namun beda ceritanya dengan UNVR dan TLKM yang kinerja laba mereka turun di tahun 2024 ini, dan untuk UNVR penurunan kinerjanya bahkan sudah terjadi sejak tahun 2019 lalu.
***
Ebook
Market Planning edisi Februari 2025 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info
jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1
Februari. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab
saham/konsultasi portofolio untuk member, dan tersedia diskon selama IHSG masih
di bawah 7,500.
***
Sehingga, kalau ada yang bilang analisa fundamental itu sudah tidak berlaku lagi di BEI, buktinya UNVR dan TLKM turun terus, maka penulis bisa jawab, justru karena UNVR dan TLKM pada hari ini bukan lagi saham berfundamental bagus, makanya sahamnya turun terus. Dan demikian pula untuk saham-saham second liner di luar blue chip yang juga turun, maka boleh anda cek sendiri, rata-rata kinerja mereka memang sudah tidak bagus sejak beberapa tahun terakhir. Termasuk saham-saham batubara, yang meski sempat diuntungkan oleh booming batubara itu sendiri di tahun 2022, tapi karena setelah itu harga batubara berbalik turun maka ya sudah, kinerja PTBA dkk juga ikut turun, sampai hari ini. Jadi dalam hal ini analisa fundamental masih sepenuhnya berlaku.
Okay Pak Teguh, tapi kalau begitu lalu kenapa bluechip yang kinerjanya masih bagus/laba bersihnya masih naik seperti big four banking BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI ikut turun? Nah, justru disinilah opportunity-nya! Perhatikan: Karena penurunan kinerja para emiten di BEI ini bersifat umum di mana hampir semua sektor mengalami penurunan kinerja terutama setelah pemulihan ekonomi pasca pandemi dan juga booming komoditas di tahun 2022 lalu (you name it: Perusahaan batubara, perkebunan, properti, konstruksi, pembiayaan, consumer goods, ritel, teknologi, manufaktur, hampir semuanya mencetak pendapatan dan laba bersih yang turun di 2023 dan 2024, atau bahkan berbalik rugi), maka sebetulnya wajar jika pasar saham secara keseluruhan ikut turun. Dan setelah ditambah aksi jual investor asing yang mungkin karena mereka pindah ke negara lain yang kinerja perusahaannya lebih baik (China, atau Amerika Serikat), maka jadilah saham-saham dari sektor yang kinerjanya masih bagus dan bertumbuh, dalam hal ini perbankan, juga ikut turun.
Saham Perbankan: Tidak Naik, Tapi Juga Tidak Turun
Meski demikian jika kita lihat lebih jauh ke belakang, maka saham-saham perbankan ini sebenarnya tidak turun melainkan lebih ke flat. Contohnya ya BBNI, di mana meski hampir semua saham-saham lainnya di BEI turun signifikan dihitung sejak pertengahan 2022 lalu, tapi BBNI dalam periode waktu yang sama tidak banyak berubah di posisi 4,650. Jadi betul, jika kita lihatnya setahun ke belakang maka BBNI ini sudah turun lumayan dari 6,200 ke posisi sekarang 4,650. Tapi sekali lagi jika kita lihatnya sejak Mei 2022 lalu, maka akan lebih tepat jika kita katakan bahwa BBNI ini belum kemana-mana lagi selama hampir tiga tahun terakhir ini, dan itu selaras dengan situasi pasar saham di Indonesia yang masih cenderung turun karena buruknya kinerja mayoritas emiten, tapi saham BBNI ini tidak ikut turun karena sekali lagi, kinerja perusahaannya masih terhitung tumbuh sejak tahun 2022 tersebut.
Logo Wondr, aplikasi internet banking milik Bank BNI |
Di sisi lain karena kinerja perusahaannya tetap bertumbuh, maka valuasi saham BBNI pada hari ini menjadi lebih atraktif untuk harga saham yang sama. Perhatikan: Per tahun penuh 2022, BBNI mencatat nilai ekuitas Rp135.8 triliun, dan laba bersih Rp18.3 triliun, sehingga pada harga saham 4,650 valuasinya sbb: PBV 1.3, dan PER 9.5 kali. Lanjut dua tahun kemudian pada tahun penuh 2024, ekuitas BBNI sudah naik menjadi Rp162.5 triliun, dan laba bersihnya Rp21.5 triliun. Sehingga pada harga saham yang sama, PBV-nya menjadi 1.1 kali, dan PER 8.0 kali. Clearly undervalue! Dan situasi yang sama juga berlaku untuk mayoritas saham-saham perbankan lainnya di BEI, di mana pertumbuhan kinerjanya dalam waktu 2 – 3 tahun terakhir membuat valuasi sahamnya, yang belum kemana-mana lagi dalam 2 – 3 tahun tersebut, menjadi lebih terdiskon.
Kemudian pada titik ini mungkin ada pertanyaan: Sebenarnya apa yang membuat kinerja emiten non perbankan rata-rata turun sejak tahun 2022 lalu? Dan jawabannya karena kombinasi banyak faktor seperti penurunan harga komoditas dan kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) yang kemudian menurunkan daya beli, belum lagi isu spesifik tertentu seperti boikot dan kenaikan tarif cukai, yang kemudian menekan kinerja emiten consumer seperti UNVR dan HM Sampoerna (HMSP). Okay, lalu kenapa kinerja emiten perbankan bisa tetap naik sendiri? Karena terlepas dari penurunan kinerja perusahaan secara sektoral, namun ekonomi kita secara keseluruhan tetap tumbuh di mana GDP nasional naik dari $1,319 miliar di 2022, menjadi $1,410 di 2024, thanks to peningkatan konsumsi rumah tangga (termasuk peningkatan kinerja UMKM non formal), serta belanja pemerintah. Dan karena kinerja perbankan mencerminkan kinerja agregat dari seluruh industri serta sektor usaha yang ada di tanah air, maka jika GDP naik maka demikian pula kinerja perbankan akan naik.
Sehingga pada titik ini kita sampai ke pertanyaan terakhir: Okay, jadi BBNI dkk kinerjanya masih bagus, dan valuasi sahamnya juga sudah (lebih) murah. Tapi bagaimana dengan prospek kedepannya? Bukankah kalau daya beli masyarakat masih saja lesu seperti sekarang maka artinya kinerja emiten-emiten juga akan tetap sulit untuk bertumbuh dan demikian pula sahamnya akan sulit untuk naik, dan imbasnya saham BBNI juga ikut sulit untuk naik, tak peduli meski kinerja labanya kembali naik di tahun 2025 ini?? Nah kabar baiknya, dengan kemarin Bank Indonesia (BI) sudah mulai menurunkan BI Rate dari 6.25% menjadi 6.00% di bulan September 2024, dan turun lagi menjadi 5.75% di bulan Januari 2025, maka praktis itu akan membantu ekonomi makro untuk tumbuh kencang lagi, menaikkan daya beli, termasuk membantu perbankan untuk lebih banyak menyalurkan kredit (karena sekarang bunganya sudah lebih murah). Kemudian jika melihat inflasi yang aman terkendali di level 1.6%, serta defisit APBN yang mengecil menjadi 1.9% GDP di 2024 (berbanding 2.3% di 2022), maka untuk kedepannya penulis sendiri cukup yakin bahwa BI Rate akan lanjut turun, dan itu tentu kabar bagus.
Jadi kesimpulannya, tidak hanya kinerja para emiten dari berbagai sektor
di BEI secara umum berpotensi untuk membaik di 2025 ini, tapi khususnya kinerja
emiten perbankan seperti BBNI akan secara langsung diuntungkan dalam bentuk peningkatan
omzet penyaluran kredit, pendapatan, dan tentunya laba bersih. Dan jika
skenarionya benar demikian maka cuma soal waktu sebelum harga sahamnya akan
naik signifikan, minimal balik lagi dulu ke 6,000 deh. Benar atau tidak, kita
lihat lagi 3 – 6 bulan dari sekarang.
***
Ebook Market Planning edisi Februari 2025 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 Februari. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member, dan tersedia diskon selama IHSG masih di bawah 7,500.
Komentar