Penyebab IHSG Turun, dan Prospek Saham Indonesia di 2025

Hingga Jumat, 27 Desember 2024, IHSG ditutup di posisi 7,037, turun -3.2% dihitung sejak awal tahun 2024 atau year to date (YTD). Sedangkan kalau kita lihat Indeks LQ45 yang lebih mencerminkan arah pasar, maka turunnya lebih dalam lagi yakni -15.0% secara YTD. Menariknya baru saja pada Juni - September lalu IHSG naik banyak hingga sukses mencetak all time high di level 7,905, sebelum kemudian balik arah dan turun terus sampai sekarang. Nah, jadi sebenarnya apa yang terjadi?

***

Ebook Market Planning edisi Januari 2025 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 2 Januari. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member, dan tersedia diskon selama IHSG masih di bawah 7,500.

***

Dan kalau anda baca penjelasan analis maka mereka akan menunjuk sejumlah sentimen negatif di dalam negeri, misalnya kenaikan PPN menjadi 12% mulai tahun 2025 nanti yang dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perekonomian. Namun demikian penulis memperhatikan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, IHSG tidak turun sendirian, melainkan indeks-indeks saham di negara Asia Tenggara, meski tidak semuanya, juga banyak yang turun, dan menariknya penurunannya juga dimulai pada bulan September atau Oktober. Misalnya FTSE Malaysia yang turun dari 1,684 hingga mentok di 1,589, sebelum kemudian naik ke posisi sekarang di 1,628. Atau Stock Exchange of Thailand (SET) Index yang turun dari 1,495 hingga mentok 1,365, sebelum kemudian rebound ke 1,401. Dan VN Index Vietnam turun dari 1,291 hingga 1,217, sebelum kemudian naik lagi ke 1,275. Sedangkan di luar Asia Tenggara, maka ada Bombay Stock Exchange Sensex yang turun dari 85,572 ke 78,700, HangSeng HongKong turun dari 23,100 ke 20,090, dan Kospi Korea Selatan turun dari 2,891 hingga sekarang 2,405.

Kedua, kalau turunnya berbarengan seperti itu maka biasanya terdapat peristiwa tertentu yang bersifat global yang kemudian berdampak terhadap penurunan pasar saham di Asia secara keseluruhan, tidak hanya Indonesia. Dan kalau di Indonesia sendiri maka peristiwanya cukup jelas, yakni aksi jual asing secara terus-menerus yang persisnya juga dimulai pada pertengahan September sampai hari ini, di mana hanya dalam tiga bulan terakhir saja (Oktober, November, dan Desember) asing sudah mencatat net sell Rp38.5 triliun di pasar reguler. Situasi di Bursa Malaysia juga sama, di mana data per bulan November 2024 menunjukkan bahwa institusi asing menjual saham senilai 24.5 miliar Ringgit Malaysia, lebih besar dibanding aksi belinya senilai RM21.5 miliar, sehingga net sell-nya RM3.0 miliar atau setara Rp11 triliun hanya dalam sebulan. Untuk bursa-bursa saham lainnya belum kami cek, tapi penulis perkirakan investor asing di sana juga sama jualan. Sebab jika kita lihat kurs mata uang di negara yang bersangkutan terhadap US Dollar, maka seperti halnya Rupiah yang sempat menguat sampai Rp15,125 di bulan September tapi setelah itu berbalik melemah hingga terakhir Rp16,230 per Dollar, maka Ringgit Malaysia, Thailand Baht dst juga hampir semuanya melemah terhadap Dollar sejak September, dan biasanya itu karena investor asing ramai-ramai jual saham dan/atau aset keuangan lainnya, lalu hasil penjualannya dikonversi menjadi Dollar.

Sehingga kita sekarang ke poin ketiga: Kenapa asing ramai-ramai keluar dari pasar saham Asia pada waktu yang hampir bersamaan? Well, penyebabnya tentu bisa apa saja, tapi kemungkinan salah satunya adalah untuk dibelikan surat berharga negara Amerika Serikat aka Treasury Bond, dalam hal ini jika treasury bond tersebut menawarkan yield (bunga) yang tinggi. Dan memang sejak September kemarin sampai sekarang, US 10 YearTreasury Bond Note Yield naik dari 3.6% hingga terakhir 4.6%. Sehingga, meski memang bunga 4.6% per tahun kelihatannya kecil, namun bunga tersebut dibayar dalam Dollar yang merupakan mata uang paling powerful di dunia, serta dijamin langsung oleh Pemerintah US sehingga 100% aman, jauh lebih aman dibanding investasi saham di negara emerging market seperti Indonesia yang, meski di satu sisi menawarkan potensi profit yang lebih besar dibanding sekedar 4.6%, namun di sisi lain risiko kerugiannya juga jauh lebih besar.

Bond Yield Naik: Anomali

Lanjut keempat, apa penyebab treasury bond yield naik? Nah kalau menurut tulisan sejumlah analis, itu karena adanya kekhawatiran bahwa suku bunga Fed Rate, yang sejak September lalu turun dari 5.50% hingga sekarang 4.50%, kedepannya tidak akan turun lebih rendah lagi mengingat tingkat inflasi US yang masih belum kembali turun, melainkan mentok di 2.5%. Sebelumnya perlu dicatat bahwa treasury bond yield normalnya bergerak selaras dengan fed rate, dimana jika fed rate naik maka yield ikut naik, dan sebaliknya jika fed rate turun maka yield ikut turun. Namun sejak September kemarin terjadi situasi anomali di mana meski fed rate turun dari 5.50% ke 4.50%, tapi yield justru naik dari 3.6% menjadi 4.6%. Sehingga kemudian muncul teori di atas: Treasury bond yield naik meskipun fed rate turun karena adanya kekhawatiran bahwa fed rate kedepannya tidak akan turun lebih rendah lagi.

Pergerakan fed rate (grafik hijau) dibandingkan dengan treasury bond yield (grafik biru) dalam sepuluh tahun terakhir. Perhatikan bahwa kedua grafik hampir selalu naik dan turun secara bersamaan, kecuali sejak September 2024 lalu (kotak hitam) di mana fed rate turun dari 5.50% ke 4.50%, tapi yield sebaliknya naik dari 3.6% ke 4.6%.

Meski demikian penulis punya teori lain, sebagai berikut: Sebenarnya, naik turunnya treasury bond yield tidak berhubungan langsung dengan fed rate melainkan dipengaruhi oleh tingkat permintaan terhadap bond itu sendiri, di mana jika permintaannya meningkat maka harganya naik dan alhasil yield-nya turun, dan sebaliknya jika permintaannya berkurang maka harganya turun dan alhasil yield-nya naik. Sebagai ilustrasi, anda beli bond dengan harga dasar $100 dan bunga 3%, pada harga diskon $97 karena permintaannya sedang turun. Maka total yield-nya akan naik menjadi $3 + $3, sama dengan $6 atau sekitar 6%. Di waktu yang lain anda beli bond yang sama tapi pada harga premium $101 karena permintaannya sedang naik. Maka total yield-nya akan turun menjadi -$1 + $3, sama dengan $2 atau sekitar 2%. 

Sehingga, ketika treasury bond yield sedang naik seperti sekarang maka itu menunjukkan bahwa permintaan investor terhadap bond itu sendiri sedang turun, and why is that? Jawabannya adalah karena saham-saham US yang sejak tahun 2023 lalu sudah naik tinggi, sejak September 2024 kemarin naik lebih tinggi lagi di mana Indeks S&P 500 lompat dari 5,408 hingga sempat tembus 6,000, kemungkinan karena hasil poll ketika itu yang menunjukkan bahwa Donald Trump akan memenangkan pilpres (dan benar Trump menang di bulan November). Dan tidak hanya itu: Pasar crypto juga meroket di mana bitcoin (BTC) untuk pertama kalinya tembus level historis $100,000, dan bahkan harga emas dunia juga sama terbang tinggi.

Karena itulah, berbeda dengan periode-periode bullish di masa lalu, di periode bullish kali ini investor memiliki banyak pilihan instrumen selain saham dan semuanya naik banyak, dan alhasil US treasury bond dengan yield hanya 3 – 4% per tahun tentu saja menjadi sepi peminat, but still, yield segitu tetap lebih menarik dibanding investasi saham di emerging market termasuk Indonesia karena dianggap berisiko tinggi, dan itulah kenapa asing disini terus jualan. Mungkin perlu juga dicatat bahwa ketika investor asing jualan dari pasar saham Indonesia, Malaysia dst, maka tentu tidak semua dananya kemudian dialihkan ke US treasury, tapi bahkan kalaupun semuanya dialihkan kesitu maka tetap tidak akan membuat permintaannya meningkat/yield-nya turun, karena sejak awal para fund manager besar ini hanya berinvestasi dalam jumlah kecil saja di pasar saham Indonesia dkk (di Indonesia asing hanya belanja atau sebaliknya jualan senilai belasan hingga puluhan triliun Rupiah atau setara $2 – 3 miliar per tahun, aka jauuuuuh lebih kecil dibanding perputaran uang di pasar saham US, yang totalnya mencapai lebih dari $40 triliun per tahun). Jadi kalau bagi para investor asing ini, semuanya win-win solution: Uang Dollar hasil jualan saham Indonesia dkk bisa ditempatkan di saham US, crypto, dan emas, atau bisa juga dibelikan US treasury bond untuk memperoleh yield lumayan di level 4.6% per tahun. However aksi jual mereka seketika membuat IHSG kita, dan juga indeks-indeks saham lainnya di banyak negara Asia, untuk turun signifikan sejak September lalu.

Pasar Saham US Akan Turun

Anyway, ketika selama ini naik turunnya yield selaras dengan naik turunnya fed rate, maka itu juga ada penjelasannya sebagai berikut: Fed rate biasanya diturunkan dalam situasi ekonomi resesi atau krisis, misalnya seperti pada pandemi Covid di awal tahun 2020 lalu di mana fed rate turun dari 2.50% ke 0.25%, yang bertujuan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Kemudian dalam situasi krisis atau resesi yang mana tentunya terjadi kepanikan, maka instrumen investasi apa yang paling diminati investor? Ya tentu saja US treasury bond, karena cuma itu instrumen yang risikonya nol. Jadi itulah kenapa treasury bond yield biasanya ikut turun ketika fed rate turun, yakni karena dalam situasi resesi maka investor akan ramai-ramai membeli bond itu sendiri, dan alhasil yield-nya turun.

Nah, tapi dalam situasi saham US, crypto, hingga emas semuanya naik seperti sekarang, maka tentu saja tidak ada sentimen bahwa Amerika sedang krisis, sama sekali, dan itulah kenapa terjadi situasi anomali di mana treasury bond sepi peminat/yield-nya naik, padahal fed rate sudah mulai turun. Meski demikian dalam beberapa kesempatan penulis sudah menyebut bahwa saham US pada akhirnya nanti akan turun, dan biasanya pada saat itulah bakal ramai lagi cerita Amerika krisis bla bla bla, dan imbasnya treasury bond yield juga akan turun, dan asing akan tidak punya pilihan lain selain kembali masuk ke emerging market termasuk Indonesia, terutama jika mereka akhirnya menyadari bahwa valuasi saham-saham disini sudah sangat undervalue, apalagi jika dibandingkan valuasi saham Nvidia (NVDA) dkk. Intinya, yep, situasi pasar keuangan global saat ini memang sedang anomali. Tapi seperti halnya anomali-anomali lainnya yang pernah terjadi dalam sejarah, maka situasi anomali kali inipun tidak akan bertahan lama.

Problemnya, kita tentu tidak bisa menebak kapan persisnya pasar saham US akan turun, di mana Warren Buffett sendiri sudah sejak awal 2024 lalu mengumpulkan cash, tapi nyatanya Indeks S&P 500 (SPX) justru naik terus. But still, penulis tidak melihat bahwa SPX akan kembali naik banyak di tahun 2025 ini setelah hanya dalam dua tahun terakhir naik total lebih dari 50%, melainkan kemungkinan besar dia akan turun 15 – 20%, sama seperti tahun 2022 lalu (catatan: Bagi anda yang sudah mulai invest di saham US maka tidak usah khawatir karena kita bisa tetap profit bahkan jika SPX turun, dan penjelasannya bisa dibaca disini). Atau gak usah jauh-jauh deh, baru saja Juni - September kemarin IHSG naik terus kan? Ketika itu juga sama karena asing belanja banyak. Therefore, seperti halnya tahun 2022 lalu di mana mayoritas investor saham Indonesia profit besar terutama dari saham-saham komoditas, maka penulis percaya di tahun 2025 nanti harga-harga saham akan kembali pulih. Benar atau tidak, kita lihat mulai Januari nanti.

***

Ebook Market Planning edisi Januari 2025 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 2 Januari. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member, dan tersedia diskon selama IHSG masih di bawah 7,500.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Prospek Saham Adaro Minerals Indonesia (ADMR): Better Than ADRO?