Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?

Dalam beberapa hari terakhir saham PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk atau Bank BRI (BBRI), mendadak drop dari 5,550 hingga sempat mentok di persis 5,000, sebelum kemudian ditutup di posisi 5,100. Tidak ada peristiwa penting tertentu yang bisa menjelaskan penurunan tersebut, malah kalau dari laporan keuangan bulanan yang dirilis perusahaan, maka per Agustus 2024 labanya masih naik 4% dibanding periode yang sama tahun 2023. Kemudian sentimen di sektor perbankan juga lagi bagus setelah beberapa waktu lalu Bank Indonesia (BI) akhirnya menurunkan suku bunga BI rate. Nah, jadi sebenarnya kenapa BBRI turun? Apakah ini merupakan kesempatan, atau justru kita harus jual sahamnya?

***

Hingga akhir September 2024, Avere Investama mencatat kinerja profit +11.0% termasuk dividen berbanding kenaikan IHSG +3.5%, dihitung sejak awal tahun 2024. Untuk ikut tracking porto kami bisa baca infonya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Untuk menjawab itu maka mari kita lihat lagi poin-poin pentingnya, satu per satu.

Pertama, seperti yang sudah kita bahas di bulan April 2024 lalu, BBRI ini bagus, no problem, hanya saja valuasinya pada harga saham 6,400 (harga BBRI di bulan Maretnya) itu sudah mahal, jadi wajar jika dia kemudian turun lagi ke harganya ketika itu yakni 4,800. Malah kalau kita anggap best price untuk BBRI ini adalah setara PER 10 kali, maka dia bisa lanjut turun sampai 4,200, apalagi di bulan April tersebut sentimen perbankan masih negatif dengan kembali naiknya BI Rate dari 6.00% menjadi 6.25%, dan kurs Rupiah juga terus melemah hingga tembus level psikologis Rp16,000 per Dollar. And guess what? BBRI ternyata benar lanjut turun sampai mentok di 4,100, di bulan Juni.

Nah, tapi memasuki bulan Juli-nya, mulai banyak yang memprediksi bahwa Fed Rate dan BI Rate akan segera turun, dan imbasnya investor asing kembali masuk ke Indonesia sehingga Rupiah mulai menguat lagi, demikian pula BBRI naik lagi. Hingga ketika BI akhirnya benar-benar menurunkan suku bunga pada tanggal 18 September, maka BBRI ketika itu sudah di 5,300 lagi. However, karena pada harga segitu PER BBRI sudah mencapai 13.4 kali aka sudah tidak murah lagi, maka penulis sendiri setiap kali ada yang bertanya apakah BBRI boleh tambah posisi, saya jawab jangan. Betul, sentimen perbankan sekarang lagi bagus, dan harusnya akan terus bagus karena kedepannya kemungkinan BI Rate akan kembali turun. Namun karena balik lagi, secara valuasi BBRI sudah tanggung, plus belum tentu juga BI akan kembali menurunkan BI Rate di rapat berikutnya tanggal 16 Oktober nanti, maka akan lebih aman jika kita sekarang wait n see dulu. Karena meskipun BBRI harusnya gak bakal turun ke 4,100 lagi mengingat sekarang sentimen di sektor perbankan sudah berubah positif, tapi untuk turun ke 4,800 (PER 12 kali) maka itu masih mungkin.

Kedua, karena dalam seminggu terakhir investor asing jualan besar-besaran di BBRI ini hingga mencatat net sell Rp3.5 triliun di pasar reguler, maka ada yang mengatakan bahwa ini karena para asing tersebut pindah ke pasar saham China, di mana dalam waktu bersamaan memang indeks Shanghai, Shenzhen, dan HangSeng semuanya naik signifikan setelah Pemerintah China meluncurkan sejumlah stimulus ekonomi dan keuangan. Apalagi setelah beberapa waktu lalu ramai berita bahwa FTSE Russell, anak usaha London Stock Exchange Group (LSEG) di bidang pengelolaan stock market indices, mengeluarkan saham PT Barito Renewables, Tbk (BREN) dari indeks FTSE Global All Cap. Atau dengan kata lain FTSE tidak lagi merekomendasikan saham BREN untuk investor global, karena mereka menemukan bahwa 97% saham BREN dipegang oleh empat pemegang saham pengendalinya sehingga hanya 3% yang benar-benar dipegang oleh investor publik, yang mana itu tidak sesuai standar FTSE tentang kriteria perusahaan publik yang proper, serta melanggar aturan BEI itu sendiri yang mewajibkan minimal 7.5% saham perusahaan Tbk harus dimiliki oleh investor publik (aturan free float). Sebelumnya pada bulan Juni 2024, saham BREN memang masuk indeks FTSE simply karena alasan market capnya sangat besar, malah merupakan yang terbesar di BEI hingga mengalahkan Bank BCA (BBCA). Namun karena pihak FTSE di kemudian hari menemukan informasi di atas, maka BREN kemudian dikeluarkan lagi.

Nah, jadi kalau penulis sendiri jadi fund manager global maka praktis saya akan mikir begini: Kalau BREN yang notabene merupakan saham terbesar di Indonesia saja ternyata ada masalah seperti itu, maka gimana dengan saham-saham lain yang market cap-nya lebih kecil?? Makanya kalau anda perhatikan, tak lama setelah ramai cerita BREN tersebut maka asing langsung balik arah dari sebelumnya belanja menjadi jualan, di mana dalam seminggu terakhir mereka mencatat net sell Rp2.5 triliun di seluruh BEI, salah satunya ya di BBRI ini, dan alhasil sahamnya drop meskipun sekali lagi perusahaannya gak ada masalah apa-apa. However, penulis percaya bahwa aksi jual asing ini hanya sementara dan kedepannya mereka akan masuk lagi kesini terutama jika Fed Rate/BI Rate kembali turun, entah itu Oktober ini atau bulan-bulan selanjutnya.

Terakhir ketiga, di luar aksi jual asing terhadap sahamnya dalam seminggu terakhir, maka di sepanjang tahun 2024 ini asing secara keseluruhan memang mencatat net sell Rp17.8 triliun di BBRI, di mana penulis melihat itu simply karena posisi BBRI sebagai saham terbesar kedua di BEI (setelah BBCA) tergeser ke posisi lima oleh BREN, AMMN, dan TPIA (jadi asing belinya tiga saham itu, karena banyak di antara mereka yang lihatnya hanya faktor market cap saja, apalagi setelah saham BREN masuk indeks FTSE), dan itulah kenapa saham BBRI juga sedikit turun dari awal tahun lalu di 5,675 hingga sekarang 5,100. Nah, tapi blessing in disguise-nya valuasi BBRI sekarang menjadi atraktif lagi, sedangkan di sisi lain kinerjanya masih fine, plus prospeknya cerah seiring penurunan suku bunga. Sehingga, meski tadi disebutkan bahwa asing ramai-ramai keluar lagi dari BEI setelah muncul cerita BREN, tapi harusnya tidak akan butuh waktu lama sampai investor asing ini menyadari bahwa tidak semua saham big caps di BEI itu bermasalah, malah sejatinya ada lebih banyak saham yang bagus dan juga undervalue, salah satunya ya BBRI ini. Dan dengan sekarang BREN dkk sudah tidak lagi masuk radar investor asing, maka cepat atau lambat mereka akan masuk lagi ke BBRI dkk.

Kesimpulannya, well, kembali penulis ingatkan bahwa harga beli maksimal yang disarankan untuk BBRI ini adalah PER 11 – 12 kali, setara Rp4,700 - 5,100 per saham. Jadi kalau kemarin-kemarin anda mau masuk tapi ketinggalan kereta, maka sekarang boleh siap-siap. Dan meski di sisi lain BBRI juga bisa saja lanjut turun sampai ke PER 10 kali atau setara harga 4,000 – 4,200, tapi karena seperti disebut di atas sekarang ini sentimen perbankan sudah berbeda dengan bulan April – Mei lalu ketika suku bunga sedang tinggi-tingginya, plus sekarang kita sudah dekat dengan akhir tahun di mana saham-saham blue chip seperti BBRI ini biasanya akan naik karena window dressing dan sentimen dividen, maka saya tidak melihat bahwa BBRI akan turun kesitu melainkan skenario terendahnya adalah di 4,700 itu tadi, sebelum kemudian lanjut rally ke 6,000-an pada awal 2025 nanti. Benar atau tidak, kita lihat perkembangannya dalam waktu 3 – 6 bulan ke depan.

***

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024, pukul 10.00 – 12.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?