Saham Teknologi Ini Masih Murah, Potensi Multibagger

Dalam banyak kesempatan penulis sering menyampaikan bahwa saya kurang suka dengan saham-saham teknologi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), karena biasanya perusahaannya masih baru/start-up sehingga kinerjanya tidak atau belum cukup bagus, dan valuasinya pun mahal (karena baru IPO). Namun demikian jika di kemudian hari perusahaan yang bersangkutan mampu mencetak kinerja laba bersih yang besar, sedangkan harga sahamnya juga turun ke level tertentu di mana valuasinya menjadi murah atau minimal reasonable, maka barulah saya akan meliriknya. Nah, dalam hal inilah saya tertarik dengan saham PT Solusi Sinergi Digital, Tbk (WIFI), dan berikut analisanya.

***

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 24 Agustus 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.

***

PT Solusi Sinergi Digital, Tbk. atau disebut juga PT Surge (WIFI), adalah perusahaan holding yang membawahi sejumlah anak usaha di tiga segmen: 1. Jasa periklanan, 2. Jasa IT melalui infrastruktur fiber optik, dan 3. Produk digital termasuk pengembangan aplikasi. Perusahaan secara resminya berdiri pada tahun 2012 sebagai produsen minuman kopi dengan merk Lucaffe, namun pada tahun 2019 banting setir ke usaha sekarang dengan cara akuisisi dan/atau mendirikan anak-anak usaha yang bergerak di tiga segmen usaha di atas. Untuk segmen periklanan, maka perusahaan menawarkan pemasangan iklan dalam bentuk screen, billboard dll di stasiun commuterline di Jabodetabek, stasiun kereta api (KA) antar kota di Pulau Jawa, pasar tradisional, minimarket, hingga hotel dan rumah sakit. Sedangkan untuk segmen jasa IT-nya, maka perusahaan bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) serta PT Jasa Marga (JSMR) untuk membangun dan mengoperasikan jaringan kabel fiber optik serta menara BTS (base transceiver system, aka menara pemancar sinyal internet) di sepanjang jalur rel kereta api dan juga jalur jalan tol di Pulau Jawa, yang memungkinkan perusahaan untuk menyediakan layanan internet fixed broadband bagi penduduk di sekitar rel KA dan juga jalan tol, termasuk bisa menyewakan jaringan tersebut untuk perusahaan telekomunikasi lainnya. Terakhir untuk segmen produk digital, maka PT Surge adalah pengembang aplikasi KAI Access untuk PT KAI, serta sejumlah aplikasi lainnya. Kemudian perusahaan juga memiliki aplikasinya sendiri dengan nama ‘Adakita’, yang menawarkan berbagai produk seperti free-wifi, point reward, dan hiburan. However untuk segmen produk digital ini maka sampai hari ini masih dalam tahap pengembangan sehingga kontribusinya masih belum signifikan, dalam hal ini kurang dari 5% total pendapatan perusahaan.

Lalu terkait sahamnya, maka PT Surge go public di bulan Desember 2020 dengan ticker WIFI pada harga perdana Rp530, kemudian sempat sahamnya naik banyak sampai tembus Rp1,200 di bulan Juni 2021. Namun demikian karena kinerja perusahaan sebenarnya tidak sebagus itu di mana earnings per share atau EPS-nya di tahun 2021 itu hanya Rp13 per saham, yang itu artinya price to earning ratio atau PER-nya mencapai lebih dari 90 kali pada harga saham 1,200 itu tadi, alias amat sangat mahal, maka jadilah saham WIFI setelah itu turun lagi. Memasuki tahun 2022 dan 2023, kinerja perusahaan sejatinya mampu bertumbuh dimana EPS-nya naik menjadi Rp26 per saham di tahun 2023, namun tetap sahamnya lanjut turun sampai mentok di 132 pada bulan April 2024 kemarin, kemungkinan karena beberapa faktor: 1. Situasi pasarnya yang cenderung turun di mana IHSG juga sempat drop sampai 6,700an di bulan Juni kemarin, 2. Investor tidak mengerti WIFI ini perusahaan apa (taunya ‘startup digital’ saja), dan 3. Nama perusahaannya tidak hanya kurang populer, tapi juga ‘terlalu template’ (PT Solusi Sinergi Digital), sehingga kesannya seperti perusahaan kecil abal-abal yang baru berdiri kemarin sore (dan memang WIFI baru beroperasi tahun 2019). Padahal dengan total aset Rp2.1 triliun per 30 Juni 2024, maka WIFI jelas merupakan perusahaan cukup besar. Sedangkan untuk detil jenis usahanya, maka juga sudah disampaikan cukup jelas di atas.

Anyway karena pada harga 132 tersebut valuasi saham WIFI sudah sangat murah dengan PBV hanya 0.4 kali, sedangkan perusahaannya juga gak ada masalah apa-apa, maka jadilah memasuki bulan Juni 2024 saham WIFI mulai naik lagi ke posisi 160 – 170, terutama setelah perusahaan merilis laporan keuangan (LK) Q1 2024 dan laba bersihnya mencapai Rp29 miliar, which is lompat tiga kali lipat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp8 miliar. Kemudian karena pada tanggal 30 Juli kemarin perusahaan merilis LK Q2 2024 dan hasilnya even better, di mana laba bersihnya kali ini mencapai Rp90 miliar sehingga mencerminkan ROE disetahunkan 21.6%, maka jadilah sahamnya lanjut naik hingga sekarang sudah di 258. Nah, tapi dengan PER 3.4 dan PBV 0.7 kali pada harga 238 tersebut, maka tentu saja valuasi WIFI ini tampak masih murah. Jadi apakah sahamnya masih boleh dikejar?

Dan untuk menjawab itu maka kita harus fokus ke pertanyaan berikut: Apakah kinerja WIFI yang tampak bagus sejauh ini bisa berlanjut di kuartal-kuartal serta tahun-tahun berikutnya? Terkait itu maka kita kembali ke kinerja perusahaan di tahun 2023, di mana pendapatannya tercatat Rp439 miliar, turun dibanding tahun 2022 sebesar Rp461 miliar, dan itu adalah karena penurunan pendapatan dari segmen pengembangan aplikasi, dalam hal ini dari Rp235 miliar menjadi hanya Rp57 miliar. Yup, jadi sepertinya setelah meluncurkan aplikasi KAI Access dll untuk klien pihak ketiga, maka WIFI tidak memperoleh kontrak untuk mengembangkan aplikasi lainnya lagi. Hal ini pada akhirnya membuat manajemen memutuskan untuk meluncurkan aplikasi milik sendiri dengan nama ‘Adakita’ itu tadi, namun seperti disebut di atas, aplikasi ini masih dalam tahap pengembangan sehingga belum mampu berkontribusi maksimal terhadap pendapatan perusahaan.

Di sisi lain pendapatan dari segmen periklanan tetap tumbuh, dan demikian pula pendapatan dari segmen IT melonjak dari Rp38 miliar menjadi Rp122 miliar, yakni seiring selesainya pembangunan jaringan kabel fiber optik di jalur rel kereta api serta jalur jalan tol di Pulau Jawa, yang per tanggal 30 September 2023 sudah mencapai 5,724 kilometer, dan masih akan terus bertambah. Nah, jadi dari segmen IT inilah perusahaan menawarkan prospek pertumbuhan yang sangat pesat. Karena jika nanti pembangunan jaringan fiber optik ini selesai seluruhnya, maka manajemen memperkirakan bisa meraup pendapatan total hingga Rp5.5 triliun per tahun dari klien perusahaan data center, operator telekomunikasi, dan internet provider, aka jauh lebih besar dibanding rekor pendapatannya sebesar Rp461 miliar di tahun 2022 lalu. Dan memang untuk pada tahun 2024 ini, maka sampai Q2 barusan WIFI mencetak pendapatan Rp309 miliar, tumbuh signifikan dibanding periode yang sama tahun 2023 sebesar Rp221 miliar, yang mana pendapatan dari segmen IT menunjukkan kenaikan yang paling tinggi, yakni tumbuh dari Rp43 miliar menjadi Rp117 miliar.

Sehingga, meski penulis sendiri tidak melihat bahwa WIFI akan mencapai pendapatan Rp5.5 triliun tadi dalam waktu dekat (mungkin masih butuh waktu 3 – 4 tahun lagi), namun perusahaan sudah on track untuk mencapai angka pendapatan tersebut. Jadi kesimpulannya, yep, sahamnya masih boleh dikejar dengan target terdekat 500 (PER 6.6 dan PBV 1.4 kali), dan bisa lebih tinggi dari itu jika pada tahun 2025 nanti perusahaan mampu men-deliver pertumbuhan kinerja yang lebih baik lagi as expected.

Tinggal sekarang soal risikonya, dan kembali penulis harus mengingatkan bahwa WIFI ini adalah perusahaan baru dengan track record yang juga masih sangat singkat (baru berdiri tahun 2019), nama perusahaannya tidak populer, dan WIFI hanyalah satu dari sekian banyak perusahaan sejenis di tanah air, yang itu artinya pendapatannya bisa turun lagi sewaktu-waktu jika perusahaan kalah bersaing, atau karena faktor lainnya. Terakhir, perusahaan pada tanggal 17 Juli kemarin mengumumkan akan right issue untuk membayar utang dengan menerbitkan 4.7 miliar saham baru, yang mana itu mencapai dua kali lipat dari jumlah saham beredar saat ini. Dan penulis sendiri tidak suka jika ada perusahaan menggelar right issue apalagi dalam jumlah besar seperti itu, karena itu sama seperti WIFI ini meminta uang ke pemegang sahamnya untuk bayar utangnya itu tadi, dengan konsekuensi bahwa jika kita tidak ikut right issue-nya maka kepemilikan kita terhadap perusahaan akan terdilusi hingga tinggal sisa sepertiganya (karena saham WIFI yang kita pegang jumlahnya tetap, namun jumlah saham beredar WIFI itu sendiri naik tiga kali lipat).

Therefore, meskipun prospek WIFI ini sangat menarik namun di sisi lain risikonya juga cukup tinggi. Jadi jika anda tertarik maka gunakan dana secukupnya dulu, lalu baru masuk lebih banyak lagi jika kinerja perusahaan tetap bagus di kuartal berikutnya nanti, atau jika nanti perusahaan sudah selesai menggelar right issue-nya.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Q2 2024 sudah terbit dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

Anonim mengatakan…
Mohon tolong penjelasannya Pak Teguh terkait dengan kemampuan perusahann WIFI ini dalam membayar hutang Jangka pendeknya. Dimana kalau dilihat dari laporan keuangan Q2 ini penghasilan dari WIFI 180m (disetahunkan), sementara untuk hutang jangka pendeknya sendiri sebesar 386.954.789.963. Mohon penjelasannya Pak, terima kasih
Anonim mengatakan…
pak Teguh, boleh tahu jadwal right issue kapan ya? saya cari di berita tidak ada. Terima kasih.
Anonim mengatakan…
Hati2 tingkat kenaikan hutangnya cenderung lbh tinggi drpd tingkat kenaikan equitynya aliasDERnya cenderung naik terus.
Anonim mengatakan…
Faktor mau right isu yg gede ini bisa juga lk q2nya di solek.
Lagi byk yg murah , untuk apa yg high risk high gain ini.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Kuartal II 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 26 Oktober 2024

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI