Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Perusahaan batubara PT Indika Energy, Tbk (INDY) melaporkan laba bersih $21.0 juta untuk laporan keuangan (LK) periode Q2 2024, anjlok lebih dari 75% dibanding periode yang sama tahun 2023 sebesar $89.8 juta, dan memang tak lama setelah LK-nya rilis sahamnya langsung drop dari 1,390 hingga 1,310, meski kemudian naik lagi ke posisi sekarang 1,360. However penulis melihat bahwa INDY ini mungkin lebih menarik dibanding saham-saham batubara besar lainnya seperti Adaro Energy (ADRO), Indo Tambangraya Megah (ITMG), atau Bukit Asam (PTBA), di mana saham INDY bisa naik 80% atau lebih jika nanti batubara booming lagi. Dan berikut analisanya.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Q2 2024 akan terbit Kamis, 8 Agustus 2024, dan sudah bisa dipesan disini, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Sejarah INDY dimulai pada tahun 2000, ketika Grup Indika milik Alm. konglomerat Sudwikatmono melihat adanya peluang di sektor energi, sehingga beliau pada tahun ini mendirikan PT Indika Energy. Lanjut tahun 2004, Indika Energy mengakuisisi aset pertamanya yakni 41% saham PT Kideco Jaya Agung, yang merupakan perusahaan batubara terbesar ketiga di Indonesia (setelah PT Kaltim Prima Coal yang merupakan anak usaha dari PT Bumi Resources, Tbk (BUMI), dan Adaro Indonesia yang merupakan anak usaha dari PT Adaro Energy, Tbk (ADRO)), dan pada tahun 2006 kepemilikan tersebut ditambah menjadi 46%. Selain itu perusahaan juga mendirikan dan/atau akuisisi anak usaha di bidang engineering, procurement, and construction (EPC), pembangkit listrik, perdagangan batubara, transportasi batubara, hingga pelabuhan. Tahun 2008, Indika Energy go public dengan ticker INDY, dan setelah itu perusahaan kembali akuisisi ini itu, dan sebaliknya melepas anak usaha yang dianggap tidak produktif. Tahun 2017, INDY sekali lagi menambah kepemilikannya di Kideco hingga perusahaan sekarang memegang 91% saham Kideco, sehingga sejak tahun 2017 inilah INDY bisa disebut sebagai emiten batubara terbesar ketiga di BEI, setelah BUMI dan ADRO. However memasuki tahun 2018 sampai sekarang INDY lebih banyak berinvestasi di bidang non batubara, termasuk melepas salah satu anak usahanya di bidang logistik batubara yakni PT Mitrabahtera Segara Sejati, Tbk (MBSS), dan juga kontraktor batubara yakni PT Petrosea, Tbk (PTRO). Meski demikian untuk Kideco tetap dipertahankan, dan alhasil ketika batubara booming pada tahun 2022 lalu maka INDY juga sukses cetak rekor pendapatan $4.3 miliar, serta laba bersih $452.7 juta, meski kemudian laba bersih tersebut turun lagi seiring meredanya booming tersebut.

Hingga pada hari ini, INDY melalui Kideco masih menjadi perusahaan batubara terbesar ketiga di tanah air dengan volume produksi yang sempat mencapai 40.3 juta ton pada tahun 2014, meski kemudian turun menjadi 30.1 juta ton pada tahun 2023, dan di luar itu perusahaan juga masih memegang anak usahanya di bidang EPC, perdagangan batubara, pembangkit listrik tenaga uap, serta pelabuhan untuk pengangkutan batubara. Kemudian untuk segmen non batubara, maka INDY memiliki anak usaha di bidang tambang emas, tambang bauksit, tambang bijih nikel, jasa kesehatan, hingga jasa teknologi digital. Di luar itu INDY juga mulai gencar berinvestasi di sektor energi terbarukan dengan cara mendirikan anak usaha di bidang pembangkit listrik tenaga surya, produksi sepeda motor listrik, hingga stasiun pengisian kendaraan listrik (charging station). Namun demikian hingga Q2 2024, maka dari total pendapatan INDY sebesar $1.2 miliar (tepatnya $1,197 juta), hanya $25 juta diantaranya yang berasal dari bisnis non batubara. Dan memang manajemen INDY sendiri mentargetkan perusahaan baru akan mencapai ‘net zero carbon’ pada tahun 2050, alias masih lama sekali. Sedangkan sebelum itu maka sekali lagi, hampir seluruh pendapatan masih akan tetap berasal dari penjualan batubara serta jasa pendukungnya.

Kembali ke kinerja perusahaan. Seperti disebut di atas, setelah mencapai puncaknya di tahun 2022 maka seiring dengan kembali turunnya harga jual batubara, maka kinerja INDY juga ikut turun dan sampai Q2 2024 ini masih belum mampu naik lagi, karena di sisi lain volume produksi batubaranya cenderung stagnan di 14.9 juta ton di sepanjang semester 1 2024, alias tidak berubah dibanding periode yang sama tahun 2023, yang juga 14.9 juta ton. Kemudian karena INDY sudah tidak lagi memegang MBSS dan PTRO, serta juga sudah melepas anak usaha tambang batubaranya yakni PT Multi Tambangjaya Utama (dijual ke PT Petrindo Jaya Kreasi, Tbk (CUAN)), plus di sisi lain investasinya di energi terbarukan masih belum menghasilkan pendapatan signifikan, maka jadilah labanya drop hingga tinggal seperempatnya dibanding tahun 2023, padahal laba INDY di tahun 2023 tersebut juga turun dibanding tahun 2022. Alhasil sahamnya juga terus turun dari puncaknya 3,300 di bulan Juni 2022 hingga sekarang tinggal 1,360, malah baru saja bulan Juni 2024 kemarin dia drop sampai 1,160, sebelum kemudian naik lagi ke posisi sekarang seiring kenaikan saham-saham batubara secara umum dalam sebulanan terakhir.

Nah, tapi sekarang kita ke kabar baiknya. You see, ketika INDY hingga tahun 2017 lalu terus saja ekspansi akuisisi ini itu, maka perusahaan membiayai ekspansinya tersebut dari utang baik itu utang bank maupun obligasi, dan alhasil pada satu titik debt to equity ratio (DER) perusahaan bisa mencapai 3 atau bahkan 4 kali. Kemudian besarnya utang ini menyebabkan beban bunga utang perusahaan juga jadi besar, dan alhasil laba bersih INDY tidak pernah sebesar katakanlah PTBA atau ITMG, tak peduli meski volume produksinya lebih besar. Dan lagi setiap kali harga batubara drop dan pendapatannya ikut drop, maka laba bersih INDY tidak hanya sekedar turun melainkan langsung berbalik menjadi rugi bersih, karena beban bunganya tetap. Penulis kira inilah kenapa valuasi saham INDY selama ini selalu lebih rendah dibanding ADRO, PTBA, dan ITMG, yakni karena kinerja laba bersihnya memang tidak sebagus tiga raksasa batubara tersebut, tak peduli sektor batubara itu sendiri sedang booming atau tidak. Termasuk pada harga sahamnya sekarang di 1,360, maka PBV INDY cuma 0.4 kali, which is jauh lebih rendah dibanding PTBA yang mencapai 1.6 kali.

Namun demikian memasuki tahun 2018 sampai sekarang maka INDY pelan-pelan mulai mengurangi utangnya, salah satunya dengan cara menjual anak-anak usahanya itu tadi lalu uangnya dipakai buat bayar utang. Dan alhasil hingga Q2 2024 total liabilitas INDY tercatat tinggal $1.8 miliar, turun dibanding $2.8 miliar di tahun 2021, dan mencerminkan DER 1.5 kali. Lalu demikian pula beban bunga utangnya turun, dan imbasnya meskipun labanya sejauh ini masih turun dibanding 2023, tapi perusahaan setidaknya tidak sampai mencatat rugi meskipun pendapatannya drop signifikan.

Nah, jadi sampai sini anda bisa baca jalan pikiran penulis bukan? Perhatikan: Secara valuasi, saham INDY pada saat ini masih sama murahnya seperti di masa lalu (PBV hanya 0.4 kali), yakni ketika perusahaan menderita rugi karena kombinasi antara tingginya beban bunga utang serta turunnya harga batubara. Padahal hari ini posisi neraca INDY sudah jauh lebih sehat dan memang perusahaan juga tidak sampai menderita rugi, yang itu artinya jika besok-besok harga batubara kembali naik maka laba bersihnya akan lompat dengan mudah. Sedangkan seperti yang Maret kemarin kita bahas disini, maka memang ada peluang bahwa penurunan harga batubara Newcastle yang pada awal tahun lalu mentok di $120 – 130 per ton, selanjutnya bisa saja naik lagi. Dan memang sejauh ini harga batubara masih bertahan di $130 – 140 per ton, dan sepertinya tinggal tunggu suku bunga Fed Rate turun saja, lalu baru komoditas termasuk batubara akan rally lagi sehingga laba bersih INDY juga akan ikut naik, namun kali ini dengan margin laba yang lebih besar, yakni karena beban bunganya sudah berkurang. Penulis perkirakan jika nanti batubara kembali booming, maka kali ini nilai laba bersih INDY akan mendekati laba bersih dari PTBA dan juga ITMG, albeit tidak akan sampai menyamai karena ingat bahwa PTBA dan ITMG hampir tidak punya utang bank/obligasi sama sekali (sedangkan INDY masih punya utang meski berkurang).

Kemudian karena di sisi lain valuasi saham INDY dari sisi PBV jauh lebih rendah dibanding PTBA dan ITMG, maka itu artinya? Yup, kenaikan sahamnya juga akan lebih tinggi, minimal sampai 2,500 (PBV 0.7 kali) aka naik 83% dari posisi harganya saat ini, dan maksimalnya bisa sampai berapa saja. Harga batubara Newcastle itu sendiri penulis perkirakan tidak akan sampai balik lagi ke level $460 seperti di tahun 2022 lalu, bahkan $300 pun tidak, melainkan mungkin cuma sampai $170 – 200 saja per ton, karena biar bagaimanapun trend penggunaan energi dunia sekarang ini sudah bergeser ke energi terbarukan. Tapi jika nanti benar harga batubara naik kesitu maka INDY berpeluang untuk mencetak laba bersih yang mendekati atau bahkan sama besarnya dengan rekor laba bersihnya di tahun 2022 lalu, simply karena beban bunganya turun dibanding tahun 2022 tersebut. Dan pada saat itu maka tentu saja harga sahamnya tidak akan lagi stuck di kisaran 1,200 – 1,400 seperti sekarang.

Anyway, faktanya harga batubara Newcastle sampai sekarang masih mentok di $140-an (bisa dicek disini), dan demikian pula laba INDY sampai Q2 2024 masih minimalis dengan ROE disetahunkan hanya 3.4%. Jadi penulis sendiri juga tidak akan buru-buru beli sahamnya. Namun demikian bagi anda yang sudah pegang INDY sejak awal maka tetap hold, dan boleh siap-siap untuk tambah lagi jika nanti harga batubara akhirnya tembus, let say, $150 per ton.

***

Hingga akhir Juli 2024, Avere Investama mencatat kinerja profit +9.0% berbanding IHSG -0.2%, dihitung sejak awal tahun. Untuk melihat daftar saham yang kami pegang serta alokasi dananya, klik disini.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

Anonim mengatakan…
Sudah bisa beli lagi Pak Coal sudah 150-152 usd

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Kuartal II 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 26 Oktober 2024

Indo Tambangraya Megah: Masih Royal Dividen?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?