IHSG All Time High, Waktunya Investor Profit Taking? Atau Beli Lagi?

Pak Teguh izin tanya, saat ini IHSG sudah di 7,500an dan saham-saham yang saya pegang juga sudah pada naik, tapi kebetulan saya masih ada pegang cash. Jadi apakah masih boleh beli lagi? Atau nunggu koreksi? Apakah ada kemungkinan koreksi dalam lagi misalnya ke 7,000 – 7,200? Mengingat Bulan September seandainya The Fed tidak jadi turunkan suku bunga? Apakah harus jual dulu saham yg sudah naik?

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Q2 2024 sudah terbit dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Jawab:

Betul semingguan ini indeks harga saham gabungan (IHSG) sukses tembus level 7,500an yang merupakan level tertingginya dalam sejarah, atau istilahnya all time high (ATH). Dan memang saham-saham juga banyak yang naik signifikan di bulan Agustus ini, termasuk yang pernah kita bahas seperti Astra International (ASII), Bank BRI (BBRI), Indika Energy (INDY), Japfa Comfeed (JPFA), dan seterusnya. Sehingga kalau anda ada pegang saham-saham tersebut maka harusnya sekarang ini posisinya sudah profit. Nah, tapi pertanyaannya sekarang, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita tetap hold saja semua saham, atau tambah posisi, atau justru jual dulu? Untuk menjawab itu maka mari kita lihat dulu faktor-faktor pentingnya, satu per satu.

Pertama, betul bahwa IHSG sudah kembali ATH, namun yang penting untuk dilihat sebenarnya bukan ATH-nya melainkan seberapa tinggi persentase kenaikan IHSG itu sendiri dalam beberapa waktu terakhir. Dan menariknya jika dihitung sejak awal 2024 lalu maka IHSG ternyata baru naik +3.7% saja (dari posisi 7,273). Demikian pula jika dihitung dalam lima tahun terakhir maka IHSG totalnya hanya naik +20.6% (dari posisi 6,256 di tanggal 23 Agustus 2019), atau rata-rata hanya naik 3.8% per tahun. Dan itu adalah rata-rata kenaikan yang jauh lebih rendah dibanding rata-rata kenaikan IHSG sepanjang sejarah. Yep, jika kita hitung rata-rata kenaikan IHSG per tahun sejak awal diluncurkannya pada tanggal 10 Agustus 1982 lalu dengan posisi awal 100, hingga Jumat 23 Agustus 2024 kemarin di posisi 7,544, maka compounding annual growth rate atau CAGR-nya selama 42 tahun ini adalah 10.8% per tahun, sudah termasuk periode krisis 1998 di mana IHSG anjlok dari 750-an sampai sisa 250-an, dan juga termasuk periode super-bullish antara tahun 2000 – 2010 di mana IHSG meroket dari 500-an hingga tembus 2,500an dalam waktu kurang dari sepuluh tahun (pada periode inilah value investor legendaris seperti Bapak Lo Kheng Hong juga sukses menjadi triliuner).

Sehingga, cukup jelas bahwa jika dibandingkan dengan rata-rata kenaikan IHSG itu sendiri dalam jangka puanjaaaaaang sejak tahun 1982, maka kenaikan IHSG di tahun 2024 sebenarnya terhitung kecil, dan demikian pula rata-rata kenaikannya dalam lima tahun terakhir terhitung kecil.

Kedua, meskipun IHSG sukses cetak ATH, tapi jika kita lihat pergerakan saham-saham di BEI maka banyak di antara mereka yang justru masih jauh dari ATH-nya masing-masing. Contohnya duo blue chip Astra International (ASII) dan Telkom (TLKM), yang di masa lalu merupakan dua saham dengan market cap terbesar di BEI, dan pada hari ini keduanya juga masih masuk daftar sepuluh saham terbesar di BEI. Saat ini ASII berada di posisi 5,100, sedangkan TLKM 2,950, dan keduanya memang naik lumayan di bulan Agustus 2024 ini seiring kenaikan IHSG. Nah, tapi tahukah anda berapa posisi ATH ASII dan juga TLKM? Jawabannya adalah ASII 9,150, sedangkan TLKM 4,800, yang sama-sama dicapai pada tahun 2017 lalu.

Sehingga, meskipun IHSG pada hari ini tetap terhitung naik signifikan dibanding tahun 2017 lalu, tapi jangankan ikut naik hingga juga cetak ATH, faktanya saham ASII dan TLKM justru turun banyak. Dan demikian pula ratusan saham-saham lainnya di BEI, boleh anda cek, rata-rata (meski tidak semuanya) juga sama turun banyak. Termasuk meskipun big four banking BBCA, BMRI, BBRI dan BBNI sempat naik tinggi pada awal 2024 lalu, tapi kesininya mereka (kecuali BBCA) turun lagi, dan imbasnya pada hari ini saham-saham bank besar tersebut juga masih jauh dari ATH mereka masing-masing.

Okay, lalu kenapa IHSG bisa naik sendiri kalau faktanya sebagian besar saham-saham di BEI justru turun? Jawabannya adalah karena pergerakan IHSG dipengaruhi oleh saham-saham di BEI berdasarkan bobot market cap-nya, dan yang perlu dicatat disini adalah, sepuluh saham dengan market cap terbesar di BEI (top ten) sudah mewakili 54% total market cap seluruh saham di BEI, yang jumlahnya lebih dari 900 saham. Yang itu artinya jika sepuluh saham ini naik banyak maka IHSG akan tetap naik, tak peduli meski ratusan saham lainnya turun. Dan memang itulah yang terjadi akhir-akhir ini, di mana ada sejumlah saham dengan market cap besar yang harganya naik sangat tinggi hingga saham tersebut masuk ke daftar top ten, dan alhasil turut mengerek IHSG untuk naik. Unfortunately, saham-saham pendatang baru di tabel top ten ini rata-rata tidak cukup populer di mata investor (baca: Hanya ada sedikit investor publik yang turut memegang sahamnya), sehingga kenaikan mereka yang sangat tinggi itu tidak benar-benar menghasilkan profit bagi para investor itu sendiri.

Daftar top ten saham di BEI per tanggal 23 Agustus 2024. Perhatikan bahwa tidak kurang separuh dari sepuluh saham tersebut merupakan nama-nama asing yang jarang dimiliki investor publik seperti BREN, TPIA, AMMN, BYAN, dan DSSA.

Nah, tapi intinya dari sini kita bisa lihat bahwa kenaikan IHSG tidak benar-benar mencerminkan kenaikan saham-saham di BEI karena yang naik hanya saham-saham tertentu saja, sedangkan ratusan saham lainnya justru turun atau stagnan. Jadi jika ingin lihat situasi pasar yang sesungguhnya apakah benar naik atau justru turun, maka anda bisa cek pergerakan Indeks LQ45, yang merupakan pergerakan dari 45 saham yang sudah dipilih berdasarkan kriteria tertentu, terutama likuiditasnya. Dan inilah menariknya: Dalam lima tahun terakhir indeks LQ45 justru turun sedikit dari posisi 975 pada tanggal 23 Agustus 2019, hingga sekarang 943. Dan kalau melihat pergerakan ASII, TLKM dkk yang turun sejak tahun 2019, sedangkan di sisi lain BBRI, BBCA dkk naik, maka penulis kira pergerakan indeks LQ45 inilah yang lebih mencerminkan arah pasar. Sehingga kesimpulannya, disadari atau tidak, pasar saham Indonesia cenderung gak kemana-mana dalam lima tahun terakhir.

Oke lanjut. Ketiga, karena harga-harga saham turun ketika angka ekuitas, pendapatan, laba bersih, dan dividen mereka dalam lima tahun terakhir masih tumbuh signifikan, maka jadilah valuasi sahamnya juga menjadi sangat terdiskon dibanding tahun 2019 lalu. Contohnya ya balik lagi ke saham ASII, yang berdasarkan harga saham 5,100 dan kinerja laporan keuangannya di Q2 2024, maka PER-nya hanya 6.5, dan PBV 1.0 kali. Sebagai perbandingan, pada tahun 2017 lalu penulis masih ingat PER ASII ini mencapai 14 kali, dengan PBV 3 koma sekian kali pada harga 7,000-an. Yang lebih ekstrim contohnya INDY, yang PBV-nya hanya 0.4 kali pada harga saham 1,535, atau dengan kata lain anda hanya perlu membayar 400 perak untuk memperoleh aset senilai Rp1,000, dan aset tersebut juga masih menghasilkan ‘bunga’ (baca: Laba bersih) setiap tahunnya. Demikian pula saham-saham lainnya, boleh anda cek sendiri, ada banyak yang dihargai pada PBV 1 kali atau lebih rendah lagi.

Sehingga dalam kaitannya dengan IHSG yang sedang ATH, maka penulis bisa katakan bahwa situasinya sekarang ini sangat berbeda dengan ATH-ATH sebelumnya di mana harga-harga saham memang naik banyak dan alhasil valuasinya juga menjadi mahal. Tapi untuk saat ini maka mayoritas saham-saham di BEI sama sekali belum naik signifikan dan demikian pula valuasi mereka masih sangat murah, malah sama murahnya dengan zaman pandemi kemarin.

Lanjut keempat, situasi di mana harga-harga saham/indeks LQ45 cenderung turun dalam lima tahun terakhir sebenarnya selaras dengan kinerja para emiten itu sendiri yang memang kurang bagus. You see, betul bahwa kalau kita ambil contoh ASII, TLKM, BBCA, BBRI, dan BMRI, maka terlepas dari apakah sahamnya naik atau turun, namun kelimanya masih membukukan kinerja fundamental yang bertumbuh dihitung sejak tahun 2019 lalu. Tapi kalau ambil contoh lainnya seperti emiten consumer (UNVR), emiten rokok (HMSP, GGRM), emiten properti, konstruksi, semen dan seterusnya, maka banyak diantara mereka yang membukukan kinerja kurang bagus/laba bersihnya cenderung turun atau bahkan rugi dalam beberapa tahun terakhir, sehingga ya wajar saja jika sahamnya juga turun. Sayangnya karena emiten yang berfundamental kurang bagus ini jumlahnya cukup banyak, ditambah lagi ada banyak emiten anyar di BEI yang kinerja fundamental mereka juga sama jeleknya/rugi melulu (misalnya GOTO dan BUKA, yang masing-masing IPO pada tahun 2021 dan 2022), maka jadilah mayoritas saham-saham di BEI turun semua, dan alhasil indeks LQ45 turun (Catatan: kita dalam hal ini pakai indeks LQ45 yang lebih mencerminkan arah pasar, bukan IHSG).

Dan sayangnya sampai dengan Q2 2024 ini mayoritas emiten masih membukukan kinerja yang kurang bagus, di mana laba bersih ASII dan TLKM juga masih turun dibandingkan periode yang sama tahun 2023 lalu. Nah, tapi balik lagi: Sebenarnya apa yang bikin kinerja emiten kurang bagus? Ya karena situasi ekonomi makro itu sendiri memang kurang bagus, bisa dilihat dari melemahnya nilai tukar Rupiah (pada bulan Agustus 2019 Rupiah masih di Rp13,700 per Dollar, sekarang Rp15,600), yang merupakan imbas dari rentetan peristiwa berikut: 1. Resesi akibat pandemi di tahun 2020 – 2021 lalu, 2. Pemerintah cetak uang Rupiah lalu dibagikan ke masyarakat untuk stimulus ekonomi, 3. Yang kemudian menimbulkan inflasi, 4. Yang kemudian memaksa Bank Sentral menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi, 5. Tapi imbasnya itu menekan pertumbuhan ekonomi dan juga kinerja para emiten, meskipun pandeminya itu sendiri sudah selesai. Dan untuk No.5, situasinya masih terjadi sampai hari ini.

Terakhir poin kelima, karena angka inflasi terbaru di Indonesia sudah bagus di 2.13%, dan demikian pula inflasi di Amerika Serikat sudah turun ke 2.90%, maka anda sendiri mungkin sudah baca kalau The Fed (bank sentral AS) kemungkinan akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat, disusul kemudian oleh Bank Indonesia (BI), dan actually sentimen bahwa suku bunga akan turun inilah yang membuat indeks LQ45/IHSG naik signifikan di bulan Agustus ini. Namun dalam jangka panjangnya, maka jika benar bahwa suku bunga akhirnya turun maka itu akan berdampak positif terhadap ekonomi dan juga kinerja emiten, dan itu akan membuat harga saham dari emiten yang bersangkutan naik lebih tinggi lagi.

Kesimpulan

Okay, jadi mari kita simpulkan. Meskipun IHSG tampak naik banyak hingga ATH, tapi sebenarnya dia baru naik sedikit saja di sepanjang tahun 2024 ini, dan juga baru naik sedikit dalam waktu lima tahun terakhir, itupun sebenarnya tidak diikuti oleh kenaikan saham-saham di BEI itu sendiri yang mayoritas justru turun signifikan, bisa dilihat dari indeks LQ45 yang turun dihitung sejak tahun 2019 lalu. Di sisi lain penurunan harga-harga saham di BEI menyebabkan valuasi mereka menjadi sangat murah, meski itu bukan berarti harganya akan langsung naik lagi karena rata-rata kinerja fundamental perusahaannya memang kurang bagus, imbas dari kenaikan suku bunga selama dua tahun terakhir ini (sejak 2022). Tapi karena sebentar lagi suku bunga akan berbalik turun maka kinerja para emiten bisa diharapkan akan tumbuh kencang lagi, dan demikian pula sahamnya akan naik banyak dalam jangka menengah – panjang (6 bulan s/d 2 tahun kedepan) karena kembali lagi, valuasi mereka saat ini masih sangat murah.

Nah, jadi sekarang kita harus ngapain? Well, kalau penulis sendiri tetap hold semua saham dan anda juga bisa melakukan hal yang sama, tentunya dengan asumsi saham yang anda pegang semuanya berfundamental bagus (catatan: Meski tadi disebutkan bahwa sampai dengan laporan keuangan Q2 2024 ini kinerja mayoritas emiten masih kurang bagus, namun saham-saham yang kinerjanya bagus sendiri juga tidak sedikit). Sedangkan kalau anda masih ada pegang cash maka juga boleh tambah posisi, albeit sebaiknya tunggu dulu sampai IHSG turun sejenak, misalnya kalau di bulan September ini The Fed ternyata gak batal menurunkan suku bunga (suku bunga pada akhirnya akan turun, tapi soal kapannya maka itu kita tidak tahu), karena biar bagaimanapun gak mungkin IHSG naik terus tiap hari. Semoga beruntung.

***

Ebook Market Planning edisi September 2024 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

Anonim mengatakan…
Betul hold saja dulu. Kalau pun nanti IHSG turun dlm wkt dkt, kemungkinan hanya koreksi.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?