Saham Semen Terbesar di Indonesia Ini Sudah Murah, Potensi IKN?
PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) melaporkan laba bersih Rp472 miliar di Q1 2024, turun 16.0% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, dan jika kita lihat lebih jauh ke belakang maka sudah sejak tahun 2019 lalu kinerja SMGR cenderung stagnan dengan laba bersih mentok di angka Rp2.0 – 2.5 triliun per tahun. Di sisi lain berbeda dengan tahun 2019 lalu dimana harga sahamnya masih di 13,000-an, maka hari ini SMGR sudah turun hingga tinggal 4,000 saja (tepatnya 4,090 ketika artikel ini ditulis), dan dengan PBV hanya 0.6 kali. Nah, jadi apakah sahamnya sekarang sudah boleh buy? Eh tapi bagaimana dengan prospek industri semen itu sendiri?
***
Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Q2 2024 akan terbit Kamis, 8 Agustus 2024, dan sudah bisa dipesan disini. Tersedia diskon bagi anda yang memesan sebelum tanggal 8 Agustus, serta gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.
***
Sejarah PT Semen Indonesia dimulai pada tahun 1957, ketika Presiden Soekarno meresmikan pabrik semen di Gresik, Jawa Timur, dengan kapasitas produksi 250 ribu ton semen per tahun, dan pada tahun itu pula PT Semen Gresik resmi berdiri sebagai salah satu dari sejumlah perusahaan milik Pemerintah (BUMN) di bidang produksi dan distribusi semen. Tahun 1991 perusahaan menggelar IPO dengan ticker SMGR, dilanjut pada tahun 1995 mengakuisisi dua BUMN semen lainnya yakni PT Semen Padang dan PT Semen Tonasa, sehingga perusahaan sekarang memiliki tiga pabrik semen di tiga lokasi strategis, yakni di Gresik untuk pasar Pulau Jawa dan Bali, di Padang Sumatera Barat untuk pasar Pulau Sumatera, dan di Pangkep Sulawesi Selatan untuk pasar Pulau Sulawesi.
Lanjut di tahun 2012, perusahaan mengerjakan sejumlah ekspansi penting yakni menyelesaikan pembangunan 2 pabrik semen baru di Gresik, akuisisi perusahaan semen asal Vietnam dengan nama Thang Long Company, dan nama perusahaan diubah menjadi PT Semen Indonesia. Perubahan nama ini mempertegas visi perusahaan untuk menyatukan dan mengintegrasikan BUMN-BUMN semen yang sudah ada, untuk kemudian menjadi perusahaan semen terbesar di Indonesia. Pada tahun 2012 ini kapasitas produksi SMGR sudah mencapai 28.5 juta ton per tahun, dan akan terus bertambah kedepannya seiring dengan pembangunan dan/atau akuisisi pabrik-pabrik semen, termasuk akuisisi dua perusahaan semen besar yakni PT Semen Baturaja (SMBR), dan PT Holcim Indonesia, yang sekarang berubah nama menjadi PT Solusi Bangun Indonesia (SMCB).
Hingga pada akhir tahun 2023, SMGR benar-benar sudah menjadi perusahaan semen terbesar di tanah air dengan kapasitas produksi 56.5 juta ton per tahun, dengan total sembilan lokasi pabrik di Quang Ninh (Vietnam), Lhoknga (Aceh Besar), Indarung (Padang, Sumatera Barat), Narogong (Bekasi, Jawa Barat), Rembang (Gresik, Jawa Timur), Cilacap Jawa Tengah, Tuban Jawa Timur, Pangkep Sulawesi Selatan, dan Baturaja Sumatera Selatan. Kemudian selain memproduksi semen berbagai jenis, SMGR juga memiliki unit dan anak usaha yang memproduksi kantong kemasan semen, tambang batu kapur dan tanah liat (bahan baku semen), produk turunan semen (readymix, mortar, dan precast), pengolahan limbah pabrik, kawasan industri, pelabuhan, dan logistik, sehingga bisa dikatakan bahwa perusahaan memiliki lini bisnis yang lengkap serta terintegrasi. Dan dengan pangsa pasar mencapai 50.5% per September 2023, maka SMGR adalah penguasa industri semen di Indonesia, jauh di atas pemain terbesar kedua yakni PT Indocement (INTP), yang hanya memegang pangsa pasar 26.9%. But still, sampai dengan tahun 2024 ini perusahaan masih terus berekspansi entah itu dengan memperluas jaringan distribusi, efisiensi biaya, serta menjajaki pasar ekspor.
Sehingga sampai sini semuanya tampak bagus, di mana SMGR yang pada hari ini sudah merupakan perusahaan terbesar di Indonesia masih akan terus bertumbuh kedepannya. Nah, jadi kenapa untuk kinerjanya sendiri justru cenderung stagnan selama lima tahun terakhir ini? Malah kalau dibandingkan dengan pencapaian laba bersih perusahaan di tahun 2014 lalu sebesar Rp5.6 triliun, maka di tahun 2023 kemarin laba tersebut tinggal Rp2.2 triliun saja, atau sudah anjlok lebih dari setengahnya. So what happened?
Dan jawabannya adalah karena sudah sejak lama terjadi situasi oversupply semen di Indonesia, seiring lesunya industri properti yang kemudian menurunkan volume permintaan semen di Indonesia. Perhatikan: Meskipun kapasitas produksi SMGR terus tumbuh dari 28.5 juta ton di 2012 menjadi 52.6 juta ton di 2019, dan terakhir menjadi 56.5 juta ton di 2023, namun volume produksinya justru turun dari 39.7 juta ton di 2019 menjadi hanya 34.4 juta ton di 2023, yakni seiring berkurangnya permintaan semen itu sendiri. Dan actually karena itu pula SMGR sudah 2 – 3 tahun terakhir ini tidak lagi berusaha menambah kapasitas produksi semennya, melainkan seperti disebut di atas ekspansinya lebih banyak ke memperluas jaringan distribusi dll. Dan upaya tersebut cukup berhasil di mana sudah sejak tahun 2019 lalu, angka laba bersih SMGR tidak banyak berubah meskipun pendapatannya cenderung turun.
Meski demikian agar kinerja perusahaan bisa kembali tumbuh pesat seperti di masa lalu, maka satu-satunya jalan adalah volume permintaan semen di Indonesia meningkat lagi. Namun sayangnya itu masih sulit untuk terealisasi, setidaknya untuk saat ini, karena lebih dari 70% permintaan semen berasal dari sektor properti (selebihnya baru dari pembangunan infrastruktur), sedangkan kita tahu bahwa perkembangan sektor properti sejak tahun 2013 lalu sampai dengan hari ini cenderung lesu, dan mungkin masih akan lesu karena tingginya suku bunga BI rate. Kemudian meski Pemerintah masih terus membangun infrastruktur jalan tol dll, termasuk membangun Ibukota Nusantara atau IKN, namun kebutuhan semennya sama sekali tidak besar di mana untuk tahun 2025 – 2029, IKN diperkirakan hanya akan menyerap pasokan semen sebanyak total 4.0 juta ton saja selama lima tahun, aka tidak signifikan dibanding permintaan semen nasional yang mencapai 63.0 juta ton per tahun (data tahun 2022).
Sehingga kembali seperti disebut di atas, manajemen SMGR sekarang lebih fokus ke memperluas jaringan distribusi termasuk membuka toko semen ritel, diversifikasi produk non semen (pembangunan kawasan industri dll), serta efisiensi produksi, salah satunya dengan mengganti sebagian kebutuhan energi dari batubara (yang biayanya meningkat seiring kenaikan harga jual batubara itu sendiri) ke panel surya dan sampah industri. Dan meski sampai dengan Q1 2024 kemarin upaya tersebut masih belum begitu berhasil, tampak dari pendapatan dan laba bersihnya yang kembali turun, namun tetap ada peluang kinerja perusahaan eventually akan tumbuh lagi, yakni ketika semua upaya tersebut membuahkan hasil, dan tentunya jika volume permintaan semen di Indonesia pada akhirnya kembali meningkat, di mana kalau berdasarkan analisa pertumbuhan jumlah penduduk (yang tentunya akan butuh rumah tinggal), anggaran infrastruktur, hingga alokasi dana desa, maka perusahaan memperkirakan bahwa volume permintaan tersebut masih akan tumbuh 3 – 4% per tahun hingga 2030 nanti.
Di sisi lain, balik lagi dengan PBV hanya 0.6 kali maka valuasi SMGR sekarang sudah sangat murah untuk perusahaan besar, mapan, dan gak ada masalah apa-apa, cuma memang kinerjanya sedang turun saja karena faktor eksternal di luar kendali perusahaan, yakni situasi oversupply semen itu tadi. Jadi asalkan kedepannya labanya berbalik naik sedikit saja, entah itu karena kesuksesan manajemen dalam efisiensi produksi atau memang volume permintaan semen kembali meningkat, maka sahamnya akan lompat dengan mudah, minimal ke 5,000. Therefore, meski penulis sendiri untuk saat ini belum rekomen sahamnya, tapi jika anda sudah pegang sejak awal maka hold saja. Dalam hal ini penulis jadi ingat dengan BUMN PT Perusahaan Gas Negara (PGAS), yang meski sahamnya juga sempat turun banyak karena memang kinerjanya terus turun sejak tahun 2013 lalu, tapi dalam lima tahun terakhir penurunannya mentok di 1,100 (di luar market crash tahun 2020 lalu), yang juga mencerminkan PBV 0.6 kali. Dan begitu laba PGAS naik lumayan di Q1 2024 kemarin, maka jadilah sahamnya naik lagi, dan sekarang sudah di 1,500-an.
Sehingga untuk SMGR, penulis melihatnya sebagai berikut: Kalaupun di kuartal-kuartal berikutnya nanti labanya masih lanjut turun, maka sahamnya hanya akan batal naik saja tapi juga tidak akan turun lebih rendah lagi, melainkan hanya akan bergerak mendatar di range 3,500 – 4,000. Sedangkan jika kinerjanya kembali tumbuh, entah di tahun ini atau tahun 2025 nanti, maka seperti disebut di atas sahamnya akan dengan mudah lompat ke 5,000, atau bahkan 6,000 jika kinerjanya tersebut sangat baik, misalnya dengan ROE mencapai 10% (saat ini masih 4.3%). Kita tunggu.
***
Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Q2 2024 akan terbit Kamis, 8 Agustus 2024, dan sudah bisa dipesan disini. Tersedia diskon bagi anda yang memesan sebelum tanggal 8 Agustus, serta gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.
Komentar