Prospek Saham Bank BTPN Syariah (BTPS): Waktunya Naik Lagi?

Ketika penulis merekomendasikan saham Bank BTPN Syariah (BTPS) pada bulan Februari 2023 lalu (ini link artikelnya), maka dasar analisanya adalah karena kinerja perusahaan sampai dengan tahun penuh 2022 terbilang sangat baik dengan ROE 21.2%, dan lebih baik dibanding sesama bank syariah seperti Bank BSI (BRIS), atau Bank Panin Dubai Syariah (PNBS). Sehingga meski valuasinya pada harga saham 2,400 tidak bisa disebut murah dengan PBV 2.2 dan PER 10.4 kali, tapi untuk saham sebagus BTPS ini kita memang tidak bisa membelinya pada harga yang benar-benar diskon, melainkan harga yang mencerminkan PER 10 kali juga sudah termasuk bargain.

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Q1 2024 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Sayangnya memasuki tahun 2023, laba perusahaan pada Q1 hanya naik tipis 3.3% saja, jauh lebih rendah dibanding biasanya (laba BTPS hampir selalu naik minimal sekian belas persen tiap tahun, kecuali di tahun 2020 di mana labanya turun karena efek resesi pandemi), dan berbalik turun di Q2. Sehingga penulis sendiri akhirnya cut loss sahamnya pada harga 2,100 – 2,200 di bulan Agustus 2023, tak lama setelah perusahaan rilis LK Q2-nya tersebut. Sebab pada saat itulah saya sendiri baru menyadari satu hal: Kita tahu bahwa ekonomi nasional secara umum sudah mulai pulih sejak tahun 2022, yakni setelah pandemi covid  berakhir pada awal 2022 tersebut, yakni ketika muncul varian omicron yang menjadi varian berbahaya terakhir dari virus Covid-19 itu sendiri, dan setelah itu pandeminya berubah menjadi endemi di mana Pemerintah tidak lagi memberlakukan PSBB atau PPKM atau semacamnya, sehingga aktivitas ekonomi masyarakat kembali normal 100%. Dan alhasil laba bersih BTPS yang memang sudah kembali naik sejak tahun 2021-nya lanjut tumbuh di tahun 2022 tersebut dengan kenaikan 21.5%. So naturally kita bisa asumsikan bahwa kinerja laba bersih perusahaan akan lanjut naik di tahun 2023, 2024, dan seterusnya, kecuali jika pandeminya kumat lagi (tapi toh sampai hari ini pandemi covid itu benar-benar tidak pernah terjadi lagi).

However, pada sekitar bulan Agustus – September 2023, terjadi satu peristiwa penting yang menyita perhatian masyarakat: Para pedagang toko pakaian di Pasar Tanah Abang, dan demikian juga di pasar-pasar besar lainnya di banyak kota besar seluruh Indonesia, mengeluh sepi pembeli, di mana ditengarai itu disebabkan oleh booming TikTok Shop yang memungkinkan konveksi pakaian menjual langsung ke pembeli secara live dan online, sehingga pembeli juga tidak perlu lagi repot-repot berangkat ke pasar melainkan mereka bisa transaksi langsung dari rumah, dan tentunya pada harga yang lebih murah karena tidak lagi melalui perantara pedagang. Nah, dari peristiwa inilah penulis menyadari satu hal: Betul, ekonomi nasional memang sudah kembali pulih pasca pandemi, namun pemulihannya tidak merata. Jadi kalau ada pekerja atau pengusaha kecil yang tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi, yang memang semakin pesat pasca pandemi itu sendiri, maka mereka tetap bakal susah. Contohnya ya para pedagang toko pakaian itu tadi, di mana keluhan mereka mengingatkan penulis dengan keluhan tukang ojek pangkalan, yang juga terpuruk karena para pelanggan mereka diambil alih oleh tukang ojek online alias ojol.

Dan demikian seterusnya, pasca pandemi ada banyak sekali jenis pekerjaan dan usaha yang mau tidak mau tersingkir karena disrupsi teknologi, dan masalahnya bagi para pekerja/pengusaha kecil ini maka tidak segampang itu pula untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi ini. Termasuk para pedagang toko pakaian itu tadi, yang meski sudah coba-coba live jualan di TikTok tapi sayangnya gak ada yang nonton, plus mereka kalah oleh para artis dengan follower besar yang ikutan jualan. Dan meski Pemerintah turun tangan dengan mengharuskan TikTok bekerjasama dengan Tokopedia jika ingin tetap beroperasi di Indonesia, tapi tetap saja itu tidak cukup membantu para pedagang/pengusaha kecil ini yang rata-rata memang ‘gaptek’. Alhasil seperti disebut diatas, para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) ini banyak yang tetap hidup susah seperti di jaman pandemi, atau bahkan lebih susah, tak peduli meski Ibu Menteri Keuangan mengklaim ekonomi Indonesia tumbuh sekian persen bla bla bla.

Nah, lalu apa hubungannya fenomena ini dengan kinerja BTPS? Well, kita tahu bahwa 100% nasabah BTPS adalah masyarakat pra-sejahtera, atau kasarnya orang-orang miskin, di mana BTPS memiliki peran mulia sebagai bank pemberdaya yang memberikan bantuan pinjaman mikro dan ultra mikro (dengan nilai pinjaman Rp1 – 2 juta saja, atau lebih kecil lagi) untuk modal usaha dengan sistem bagi hasil, bukan bunga, sehingga membantu masyarakat pra-sejahtera ini untuk keluar dari kemiskinan mereka. Dan sebelum era pandemi, upaya BTPS terbilang sukses di mana jumlah nasabah mereka terus bertambah, dengan rasio gross NPF-nya (non performing finance, semacam NPL/rasio kredit macet kalau di perbankan konvensional) tetap rendah di level 1.4 – 1.7%, dan kinerja perusahaan seperti disebut di atas terus bertumbuh.

Namun pada tahun 2020, laba BTPS untuk pertama kalinya anjlok dari Rp1.4 triliun di tahun 2029-nya, menjadi hanya Rp845 miliar saja, dengan gross NPF yang juga naik menjadi 1.9%. Memasuki tahun 2021 dan 2022, laba perusahaan kembali naik, tapi gross NPF-nya tetap naik menjadi 2.4% di 2021, dan 2.7% di 2022. Awalnya penulis sendiri tidak terlalu concern soal NPF ini, karena saya pikir yang terpenting adalah pendapatan dan laba bersih BTPS kembali naik, dan harusnya akan lanjut naik karena pandeminya sudah berakhir, sehingga NPF ini juga pada akhirnya akan turun lagi. Nah, tapi setelah fenomena sepinya Toko Tanah Abang di atas, saya akhirnya menyadari bahwa pemulihan ekonomi pasca pandemi terjadi secara tidak merata, di mana yang miskin tetap miskin (malah tambah miskin), dan masalahnya seluruh nasabah BTPS ini ya orang-orang miskin itu tadi, yang kalau usaha mereka tidak jalan maka otomatis bakal kesulitan bayar cicilan utangnya ke bank, dan itulah kenapa NPF BTPS naik terus. Hingga pada tahun penuh 2023 kemarin, gross NPF tersebut sudah mencapai 2.94%, dan imbasnya BTPS harus mencatat cadangan kerugian penurunan nilai aset pembiayaan sebesar Rp1.9 triliun. Dan alhasil meski pendapatan BTPS untuk tahun 2023 itu masih naik dibanding 2022, tapi laba bersihnya anjlok menjadi Rp1.1 triliun, dibanding sebelumnya Rp1.8 triliun. Sedangkan sahamnya? Ya gak usah ditanya lagi: Bablas turun sampai sekarang tinggal 1,100, karena sampai dengan Q1 2024 barusan, laba BTPS masih kembali turun, dan gross NPF-nya juga masih tinggi di 3.0%.

Prospek 2024 dan seterusnya

Di sisi lain, dengan sekarang harga sahamnya hanya 1,100, maka PBV BTPS tinggal persis 1.0 kali, dan PER-nya juga hanya 7.9 kali, di mana jika laba perusahaan bisa berbalik naik kedepannya maka PER ini otomatis akan turun menjadi 4 – 5 kali saja, atau lebih rendah lagi, dan tentu saja sahamnya akan berbalik naik. Sehingga meski betul bahwa kinerja fundamental BTPS pada hari ini tidak lagi sebagus dulu, tapi perusahaannya juga gak sampai rugi apalagi bangkrut, sedangkan di sisi lain harga sahamnya juga sudah turun hingga ke level yang mencerminkan penurunan kinerjanya tersebut. Sehingga kalau kedepannya kinerja perusahaan bisa tumbuh lagi, maka sahamnya juga akan lompat dengan mudah. Pertanyaannya, seberapa besar peluang perusahaan untuk kembali tumbuh tersebut?

Dan jawabannya, cukup besar. Perhatikan: Belakangan ini kalau anda perhatikan, pedagang toko pakaian yang mengeluh tidak laku mulai berkurang, dan itu bukan karena para pembeli balik lagi dari TikTok ke Tanah Abang, melainkan karena para pedagang ini sudah melakukan regenerasi dimana para orang tua menyerahkan tokonya ke anak-anak mereka, yang lebih melek teknologi. Yep, beberapa waktu lalu penulis perhatikan ada banyak anak-anak muda yang sukses jualan kecil-kecilan di internet (dan menceritakan hal itu di media sosial), sehingga mampu membantu usaha orang tua mereka yang sebelumnya terpuruk. Jadi maksud penulis adalah, betul bahwa para pedagang toko ini banyak yang gaptek dan gak bakal paham cara jualan di TikTok, tapi tidak demikian dengan anak-anak mereka, yang sekarang sudah beranjak dewasa dan sudah mampu mengambil alih usaha keluarga.

Kemudian seiring meningkatnya kesulitan ekonomi di kalangan masyarakat miskin, maka dalam 1 – 2 tahun terakhir ini ada banyak diantara orang-orang miskin ini yang terjerat judol dan pinjol yang membuat mereka semakin miskin lagi, tapi baru-baru ini Pemerintah akhirnya mulai turun tangan untuk memberantasnya, terutama judol. Terakhir, dari manajemen BTPS sendiri maka mereka sejak tahun 2023 kemarin meluncurkan aplikasi ‘Bestee’, yang membantu para nasabah untuk belajar usaha-usaha kecil, dan BTPN Syariah Ventura, yakni unit usaha yang fokus ke ekosistem syariah digital, selain tetap mengembangkan aplikasi internet banking dan aplikasi ‘Mitra Tepat’, yang memungkinkan nasabah naik kelas menjadi agen penyaluran pembiayaan bagi BTPS itu sendiri.  Intinya, manajemen BTPS menyadari bahwa para nasabahnya ini gaptek sehingga mereka kemudian fokus kesitu, dan penulis percaya bahwa upaya tersebut pada akhirnya akan berhasil, simply karena saat ini para pengusaha mikro sudah mulai digantikan oleh generasi penerus mereka. Dan pada saat itulah para debitur BTPS akan bisa membayar utang-utang mereka, NPF BTPS akan turun, cadangan kerugian penurunan nilainya akan turun, dan labanya kembali naik.

Nah, tapi balik lagi: Sampai dengan Q1 2024 kemarin, maka laba BTPS masih turun dan belum tentu akan naik lagi di Q2 atau Q3 nanti, sehingga penulis sendiri untuk saat ini masih wait and see. Tapi bagi anda yang sudah pegang sahamnya sejak awal maka hold saja, karena seperti disebut di atas saat ini valuasi saham BTPS sudah murah, perusahaannya gak ada masalah apa-apa, dan kinerjanya juga sebenarnya tidak seburuk itu di mana ROE-nya masih cukup tinggi di 13.2% (BTPS bisa turun sedalam ini karena penurunan IHSG juga). Sehingga kalaupun kinerjanya masih belum kembali pulih di tahun 2024 ini, maka penulis perkirakan sahamnya hanya akan batal naik saja, tapi juga tidak akan turun lebih lanjut, melainkan akan bergerak mendatar di 1,000 – 1,200. Sedangkan jika kinerjanya lebih baik pada Q2 atau Q3 nanti, maka BTPS akan mulai naik dengan target awal 1,700 (PBV 1.5 kali). We'll see.

***

Ebook Market Planning edisi Juli 2024 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

Anonim mengatakan…
Masih percaya sama ini orang? Bapak gagal yang cuma bisa cari sensasi?
Anonim mengatakan…
Hahahaha

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?