Peluang Multibagger Dari Saham Perkebunan Kelapa Sawit
Selain batubara dan nikel, maka komoditas andalan Indonesia yang harganya juga mulai naik akhir-akhir ini adalah minyak sawit mentah, alias crude palm oil (CPO), dimana ketika artikel ini ditulis tercatat 4,244 Ringgit Malaysia per ton, naik dari titik terendahnya di bulan Mei 2023 lalu di RM3,200 per ton. Dan menariknya, jika kita lihat valuasi dari sejumlah saham-saham perkebunan kelapa sawit di Indonesia seperti Salim Ivomas Pratama (SIMP), Sinar Mas Agro (SMAR), PP London Sumatera (LSIP), Astra Agro Lestari (AALI), Sampoerna Agro (SGRO), Tunas Baru Lampung (TBLA), maka semuanya sudah sangat undervalue dengan PBV hanya 0.7 kali atau lebih rendah lagi, meski memang di sisi lain kinerja fundamental mereka juga kurang bagus. Tapi let say perusahaan membukukan kenaikan laba yang signifikan di tahun 2024 ini karena imbas kenaikan harga CPO, maka bukankah itu artinya sahamnya juga bakal naik banyak karena valuasinya sejak awal sangat murah itu tadi? Jadi pertanyaannya sekarang, seberapa besar peluang AALI dkk untuk membukukan kenaikan laba tersebut?
***
Ebook
Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham
pilihan edisi terbaru Q4 2023 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan
disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan
penulis.
***
Untuk menjawab itu, kita pelajari dulu tentang industri CPO itu sendiri.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia, dan makanya disini ada banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan ada banyak pula di antara perusahaan tersebut yang listing di BEI. Namun berbeda dengan katakanlah perusahaan tambang batubara yang hampir pasti bakal profit besar setiap kali harga batubara naik, maka perusahaan sawit belum tentu bakal profit meski harga CPO naik. Hal ini karena batubara sangat mudah diproduksi, tinggal gali lalu diangkut ke pelabuhan, lalu jual. Sedangkan pohon kelapa sawit butuh waktu setidaknya 4 tahun sejak ditanam hingga bisa dipanen, dan akan berhenti berbuah setelah berusia 25 tahun. Jadi bagaimana misalnya kalau harga CPO sedang tinggi tapi usia pohon sawit yang ada masih terlalu muda, atau sebaliknya terlalu tua? Sehingga, jika perusahaan batubara bisa menaikkan volume produksinya ketika harga batubara sedang tinggi, maka perusahaan sawit belum tentu bisa melakukan hal yang sama.
Kemudian, berbeda dengan volume produksi batubara dan juga nikel Indonesia yang terus bertumbuh dari tahun ke tahun, maka volume produksi CPO nasional cenderung stagnan, jika tidak mau dikatakan turun, di mana Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan bahwa Indonesia memproduksi 50.1 juta ton CPO di tahun 2023, yang meski naik 7.2% dibanding tahun 2022 sebanyak 46.7 juta ton, tapi masih turun dibanding tahun 2019 (tahun sebelum pandemi) sebanyak 51.8 juta ton. Sebagai perbandingan, menurut data Kementerian ESDM, Indonesia memproduksi 775 juta ton batubara di tahun 2023, meningkat signifikan dibanding 616 juta ton di tahun 2019.
Dan memang kalau kita lihat data dari SIMP, maka berikut data perkembangan luas lahan sawit produktif milik perusahaan (kebun inti saja, jadi kebun plasma/lahan milik petani rakyat yang bekerja sama dengan perusahaan tidak dihitung), volume produksi CPO, dan volume penjualan CPO dari tahun 2018 hingga 2023. Dan karena SIMP merupakan salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia dari sisi luas lahan tertanam, maka menurut penulis data dari SIMP ini cukup mewakili kinerja operasional emiten-emiten sawit di BEI secara umum (klik gambar untuk memperbesar):
Nah, perhatikan: Meskipun luas lahan produktif cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir, namun volume produksi CPO justru turun signifikan dari 921 ribu ton di tahun 2018, menjadi hanya 708 ribu ton di 2023, dan demikian pula volume penjualan ikut turun. Menurut manajemen sendiri, berkurangnya tingkat produktifitas lahan ini disebabkan oleh faktor anomali cuaca, di mana cuaca di Indonesia belakangan ini cenderung kurang mendukung aktivitas pertanian dan perkebunan (suhu lebih panas, kemarau panjang), makanya volume produksi beras juga turun sehingga imbasnya harganya naik. Dan ternyata situasi yang sama juga terjadi di usaha perkebunan kelapa sawit.
Namun demikian jika kita lihat lagi data di atas, maka akan tampak sebagai berikut: Luas lahan produktif milik SIMP mulai naik signifikan di tahun 2021, dan volume produksi CPO-nya juga mulai naik sejak tahun 2021 tersebut, thanks to aktivitas replanting (penanaman kembali) pohon sawit yang dikerjakan perusahaan selama beberapa tahun terakhir. Dan khususnya untuk volume penjualan, maka angkanya untuk tahun 2023 sudah naik dua tahun berturut-turut dibanding 2021 dan 2022. Kemudian karena pada tahun 2022 kemarin, harga CPO mencetak all time high di RM7,000 (meroket dari hanya RM2,000 per ton di tahun 2020), maka jadilah pada tahun 2022 tersebut SIMP mencetak rekor laba bersih Rp1.2 triliun. Dan meskipun di tahun 2023-nya harga CPO turun lagi sehingga laba perusahaan juga ikut turun menjadi Rp736 miliar, namun angka laba tersebut masih lebih tinggi dibanding labanya di tahun 2020 lalu sebesar Rp290 miliar, thanks to volume penjualan CPO-nya yang meski masih agak turun dibanding tahun 2020, tapi angkanya sudah tidak jauh berbeda (743 ribu ton, berbanding 748 ribu ton).
Sehingga untuk kinerja perusahaan di tahun 2024 ini penulis melihatnya sebagai berikut: Karena luas lahan produktif SIMP per akhir 2023 sudah tumbuh signifikan menjadi 220 ribu hektar, maka harusnya volume produksi dan penjualannya juga pada akhirnya akan ikut bertumbuh (setelah sebelumnya cenderung stagnan sejak tahun 2020). Kemudian jika di sisi lain harga CPO naik dan bertahan di RM4,000-an saja (jadi gak harus balik lagi ke RM7,000 seperti di tahun 2022 lalu), maka SIMP dkk akan kembali membukukan kenaikan pendapatan dan juga laba bersih, mulai laporan keuangan Q1 2024 nanti. Dan jika skenarionya benar demikian maka tentu sahamnya akan naik signifikan, karena sejak awal valuasinya masih sangat murah itu tadi.
Ilustrasi hasil olahan CPO (minyak goreng, dan margarine) |
Saham Sawit Apa Yang Bagus?
Tinggal pertanyaannya sekarang, saham sawit apa yang bagus? Well, basically asalkan harga CPO bertahan di levelnya saat ini (RM4,000 – 4,500), maka semua emiten sawit di atas akan membukukan kenaikan laba, terutama karena mereka rata-rata tidak punya utang besar (jadi asal pendapatannya naik maka labanya juga akan naik, karena tidak tergerus oleh beban bunga utang), kecuali jika luas lahan produktif mereka berkurang sendiri, sehingga dalam hal ini anda harus cek sendiri satu per satu. Namun biar penulis kasih satu clue lagi: Ketika harga CPO sempat booming di tahun 2022 lalu, maka terdapat tiga emiten sawit yang membukukan kenaikan laba paling signifikan, dan juga profitabilitas (ROE) paling tinggi, yakni Cisadane Sawit Raya (CSRA), Triputra Agro Persada (TAPG), dan Austindo Nusantara Jaya (ANJT), dimana ketiganya memiliki kesamaan: 1. Utang kecil dengan debt to equity ratio (DER) kurang dari 1 kali, 2. Perusahaannya relatif kecil jika dibanding SIMP dkk, sehingga lebih mudah bagi manajemen untuk meningkatkan luas lahan produktif yang dimiliki, dan juga menaikkan volume produksi CPO-nya, dan 3. Fokus hanya memproduksi CPO saja (ANJT punya kebun sagu dan edamame, tapi kontribusinya ke pendapatan perusahaan kurang dari 2%).
Sehingga, kembali
dengan asumsi harga CPO kedepannya setidaknya bertahan di level RM4,000 – 4,500 per ton,
maka anda bisa memperhatikan ketiga emiten di atas, dimana jika nanti di Q1 2024
laba mereka kembali naik (di tahun 2023 kemarin laba mereka turun semua
dibanding 2022), maka harusnya sahamnya akan naik lebih tinggi dibanding saham dari
emiten-emiten sawit yang lebih besar.
Tinggal sekarang soal risikonya: Meskipun harga CPO diproyeksi akan lanjut naik seiring berlanjutnya trend kenaikan harga-harga komoditas di awal tahun 2024 ini, namun jika kenaikan harga CPO tersebut turut menaikkan harga minyak goreng di dalam negeri, maka Pemerintah bisa saja meluncurkan kebijakan tertentu dengan tujuan agar harga migor kembali turun, di mana jika itu terjadi maka harga CPO juga akan turun lagi. Dan actually itulah yang terjadi di tahun 2022 lalu, di mana meski harga CPO sempat tembus RM7,000 di bulan April 2022, tapi di bulan Juli-nya langsung anjlok lagi ke RM3,500 per ton, yakni setelah Pemerintah meluncurkan migor murah seharga Rp14,000 saja per liter, atau jauh dibawah harga pasar ketika itu yang mencapai Rp24,000 per liter. Kemudian berbeda dengan perusahaan batubara yang mengekspor sebagian besar produksinya ke luar negeri sehingga profitnya maksimal ketika harga batubara di pasar internasional naik tinggi, maka rata-rata emiten sawit menjual produksi CPO-nya di pasar dalam negeri, dan pada harga yang mau tidak mau diregulasi oleh Pemerintah, apalagi jika CPO tersebut sudah diolah menjadi minyak goreng dan/atau margarine (jadi justru lebih profit jika perusahaan menjual CPO langsung). Termasuk, meski sekarang CPO juga dibutuhkan untuk bahan baku biodiesel pengganti BBM solar di dalam negeri, namun tetap harga jualnya diatur oleh Pemerintah.
Kesimpulannya, meski penulis tetap memandang prospek emiten CPO sangat cerah di tahun 2024 ini, dan untuk beberapa emiten maka sahamnya berpotensi multibagger karena valuasi mereka yang sejak awal masih sangat terdiskon (saham CSRA pernah naik dari 280 hingga 850, antara tahun 2021 dan 2022 lalu), namun untuk lebih amannya kita tunggu saja dulu sampai para emiten merilis LK Q1 2024-nya, bulan April nanti, lalu baru kita pilih emiten mana yang profitnya paling jumbo. Dan pada saat itulah, artikel ini akan di-update lagi.
***
Ebook
Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham
pilihan edisi terbaru Q4 2023 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan
disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan
penulis.
Komentar