Saham Batubara Bakal Booming Lagi?
Kembali ke bulan April 2022, ketika harga minyak goreng (migor) di pasar dan supermarket di seluruh Indonesia mendadak lompat dari Rp12,000 hingga tembus Rp24,000 per liter, sebagai imbas dari kenaikan harga minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) yang merupakan bahan baku pembuatan migor itu sendiri, yang mencapai rekor all time high 7,000 Ringgit Malaysia per ton, dari sebelumnya RM2,000 per ton di tahun 2020. Merespon hal tersebut, Pemerintah kemudian merilis peraturan bahwa toko-toko harus menjual migor pada harga maksimal sekian ribu Rupiah per liter (yang lebih rendah dari Rp24,000 tadi), tapi setelah itu mendadak migor menghilang dimana-mana, kemungkinan karena para perusahaan perkebunan kelapa sawit lebih memilih untuk mengekspor produksi CPO-nya pada harga tinggi, ketimbang menjualnya di pasar dalam negeri. Barulah ketika beberapa waktu kemudian Pemerintah kembali membebaskan toko-toko untuk menjual migor pada harga berapapun, maka pasokan migor kembali membanjiri pasar tapi konsumen tetap harus membeli pada harga Rp24,000 per liter itu tadi, atau bahkan lebih tinggi lagi.
***
Live
Webinar Value Investing, Sabtu
16 Maret 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.
***
Dan pada titik inilah Indonesia untuk sesaat sempat menjadi bahan tertawaan seluruh dunia: ‘Negara penghasil CPO terbesar di dunia bisa-bisanya mengalami krisis migor’. Namun Pemerintah kembali bergerak cepat, dan kali ini melalui Kementerian Perdagangan meluncurkan migor dengan merk ‘Minyakita’, yang dijual pada harga eceran Rp14,000 per liter di seluruh Indonesia. Hasilnya harga migor merk swasta pelan-pelan ikut turun hingga akhirnya stabil di Rp14,000 – 16,000 per liter, di mana meski harga tersebut tetap lebih tinggi dibanding harga awal migor sebelum naik, yakni Rp12,000 per liter, namun masyarakat sudah tidak lagi protes. Maka jadilah sampai dengan ketika artikel ini ditulis, harga minyak goreng tetap berada di level normalnya yang baru, yakni Rp14,000 – 16,000 per liter. Untuk harga CPO sendiri juga sudah turun lagi tapi juga tidak sampai balik lagi ke RM2,000 per ton, melainkan stabilnya di RM3,500 – 4,000 per ton.
Okay, sekarang kita ke harga batubara.
Pada waktu yang hampir sama, tepatnya bulan Mei 2022, harga batubara Newcastle juga meroket dari hanya $50 per ton di bulan Agustus 2020, hingga tembus $400 per ton. Untungnya, berbeda dengan produksi CPO yang mayoritas dikonsumsi di dalam negeri (dalam bentuk minyak goreng), maka sebagian besar produksi batubara Indonesia diekspor ke luar negeri untuk bahan bakar pembangkit listrik, sedangkan untuk kebutuhan pembangkit di dalam negeri maka sudah ada aturan domestic market obligation atau DMO, dimana perusahaan batubara wajib menjual sebagian produksinya ke PLN pada harga yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah, yang lebih rendah dibanding harga pasar. Alhasil tarif listrik di dalam negeri tidak ikut naik, dan disisi lain para coal miner tetap sukses profit besar di sepanjang tahun 2022 tersebut, karena harga batubara Newcastle tetap bertahan di kisaran $400 – 450 per ton sampai akhir tahun.
Hingga memasuki 2023, dipicu oleh kenaikan suku bunga The Fed, harga-harga komoditas di seluruh dunia serentak turun, tak terkecuali harga batubara yang dengan cepat drop ke level $170 di bulan Maret 2023, dan lanjut turun sampai mentok $115 per ton pada bulan Februari 2024 kemarin. Nah, tapi dalam banyak kesempatan, misalnya di artikel bulan Desember 2023 lalu, maka penulis sudah mengatakan bahwa meski saya tidak melihat bahwa harga Newcastle akan naik lagi ke $400 seperti ketika booming tahun 2022 lalu, tapi mestinya juga tidak akan turun sampai tembus di bawah $100 per ton. Ini adalah karena faktor inflasi tinggi yang terjadi di seluruh dunia di masa pandemi 2020 – 2021 lalu, yang kemudian menyebabkan kenaikan harga-harga secara permanen. Contohnya ya harga migor di atas, yang meski turun lagi tapi tidak sampai balik lagi ke harga awal sebelum dia naik. Dan meski betul bahwa inflasi sekarang sudah rendah lagi (inflasi di Indonesia sempat mencapai 6% pada tahun 2022 lalu, tapi sekarang tinggal 2.75%), tapi selama tidak sampai terjadi deflasi, maka harga-harga kebutuhan pokok dan juga komoditas tetap tidak akan sampai balik lagi ke level terendahnya seperti di tahun 2020 lalu.
Ilustrasi aktivitas bongkar muat batubara di Pelabuhan |
Sehingga, sekali lagi saya sampaikan bahwa harga batubara Newcastle tidak akan turun sampai di bawah $100 per ton, dan ada kemungkinan harga terendah yang dicapai kemarin di $115 sudah bottom. Ketika artikel ini ditulis, harga batubara sudah naik lagi ke $137 per ton, dan ada kemungkinan ke depannya dia akan stabil disitu sebagai level normalnya yang baru, malah bisa saja kedepannya harga batubara naik lagi jika Fed Rate misalnya turun. Bisa jadi ini pula alasan kenapa Grup Salim masuk dan menjadi pemegang saham pengendali yang baru di Bumi Resources (BUMI), yang merupakan perusahaan batubara terbesar di tanah air, dimana mereka menyadari bahwa meski harga batubara bisa fluktuatif dalam jangka pendeknya tapi tetap akan naik dalam jangka panjang. Karena walaupun ada dorongan untuk menggunakan energi terbarukan, namun ‘Diprediksi bahwa sebagian besar negara-negara di Asia masih akan terus mengandalkan batubara untuk pembangkit listrik sampai setidaknya tahun 2030, karena faktor ketersediaan dan harganya yang terjangkau’ (Sumber: Analisis PT Adaro Energy).
Prospek Kinerja Emiten Batubara di Tahun 2024
Kemudian inilah menariknya: Jika melihat harga Newcastle yang masih berada dalam trend turun hingga akhir tahun 2023 kemarin, maka penulis sendiri sempat berpikir bahwa kinerja emiten batubara masih akan tertekan sampai akhir 2023 tersebut. Namun dari laporan keuangan (LK) major coal miners untuk periode Q4 2023 yang sudah rilis, seperti United Tractors (UNTR), Adaro Energy (ADRO), hingga Bukit Asam (PTBA), maka semuanya menunjukkan perbaikan kinerja dibanding Q sebelumnya, dan hanya Indo Tambangraya (ITMG) saja yang labanya secara kuartalan masih lanjut turun.
Dan kinerja emiten batubara yang better than expected tersebut kemungkinan disebabkan oleh setidaknya tiga faktor. Pertama, meski benar harga Newcastle masih lanjut turun sampai akhir 2023, tapi untuk harga batubara acuan (HBA) bulanan yang dirilis Kementerian ESDM (datanya bisa dilihat disini), maka untuk HBA2 dan HBA3, ternyata angkanya cenderung naik lagi sejak bulan Oktober 2023. Sebelumnya perlu dicatat bahwa HBA itu dibedakan berdasarkan 4 level kualitas batubara, yakni HBA, HBA1, HBA2, dan HBA3, dimana HBA merupakan harga untuk batubara kualitas tertinggi, sedangkan HBA3 merupakan harga untuk batubara kualitas terendah. Dan sebagian besar produsen batubara di Indonesia memproduksi jenis batubara HBA2 dan HBA3, yang mana harganya sudah naik lagi sejak Oktober, kemungkinan karena sejak awal angkanya tidak terlalu tinggi yakni hanya $50-an, dibandingkan angka HBA itu sendiri yang setara harga batubara Newcastle, yakni mencapai $125 per ton.
Kedua, volume penjualan yang lebih tinggi dimana untuk tahun penuh 2023, ADRO melaporkan kenaikan 7% volume penjualan dan kenaikan 22% volume overburden (lapisan tanah yang harus digali agar batubara yang terletak dibawahnya bisa diambil) dibanding 2022. Sedangkan untuk UNTR, volume penjualan batubara dan overburden-nya untuk tahun 2023 juga naik masing-masing 19% dan 21% dibanding 2022, dan penulis kira untuk emiten batubara lainnya juga sama volumenya naik semua. Dan ketiga, harga minyak yang relatif rendah di level $75 – 80 per barel, yang menyebabkan biaya bahan bakar solar untuk alat-alat berat untuk menggali dan mengangkut batubara turun. Nah, untuk tahun 2024 ini maka trend peningkatan volume produksi dan penjualan harusnya masih akan berlanjut, dimana kalau kita pakai contoh ADRO maka perusahaan mentargetkan volume penjualan 67 juta ton untuk 2024, berbanding 65.7 juta ton di 2023. Sedangkan untuk harga minyak itu sendiri, penulis perkirakan kedepannya memang akan sulit untuk naik lagi sampai katakanlah $100 per barel, karena biasanya harga minyak hanya akan naik setinggi itu dalam situasi krisis ekonomi (tapi sekarang sudah gak ada krisis, pandemi juga sudah lama lewat), sedangkan industri otomotif di seluruh dunia yang merupakan salah satu konsumen terbesar minyak bumi perlahan tapi pasti sudah beralih dari bahan bakar bensin, ke listrik (dan listriknya masih pakai batubara).
Jadi sekarang tinggal soal proyeksi harga batubara ke depan, dan di atas penulis sudah menyebutkan bahwa harga batubara bisa naik lagi jika Fed Rate misalnya turun, karena sejak awal kenaikan Fed Rate juga yang menyebabkan booming komoditas berakhir, tapi masalahnya kita tidak tahu kapan Fed Rate akan turun lagi. Namun sekali lagi jika kita lihat data HBA2 dan HBA3 di atas, maka setelah mencapai titik terendahnya pada bulan Oktober 2023 yakni $50.4 dan $25.5, kesininya keduanya mulai naik lagi hingga terakhir untuk bulan Februari 2024 sudah menjadi $57.9 dan $37.5 per ton. Sehingga dengan asumsi harga HBA kedepannya minimal bertahan saja di kisarannya saat ini (jadi gak harus naik lagi, asal juga gak turun), sedangkan volume produksi dan penjualan batubara tiap-tiap perusahaan terus bertambah, plus harga minyak juga bertahan di levelnya saat ini, maka ADRO dkk berpeluang untuk kembali membukukan kenaikan laba di tahun 2024 ini.
Kemudian terakhir, seiring penurunan harga sahamnya dalam setahun ke belakang, maka valuasi dari saham-saham batubara di BEI sudah murah lagi, dengan PER hanya 5 kali atau lebih rendah lagi. Jadi ya, let see jika harga batubara baik itu yang Newcastle maupun HBA dalam beberapa waktu ke depan mampu untuk setidaknya bertahan di levelnya saat ini, dimana jika itu yang terjadi maka kita kita bisa langsung beli sahamnya sejak sebelum perusahaan merilis LK Q1 2024-nya nanti pada akhir April 2024. Karena jika kita baru masuk ketika LKnya sudah rilis dan ternyata benar labanya naik lagi, maka biasanya itu akan sudah terlambat.
***
Live Webinar Value Investing, Sabtu 16 Maret 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.
Komentar