Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun
Pada hari Rabu, 7 Februari 2024 kemarin, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., atau Bank BNI (BBNI) merilis laporan tahunan 2023, dimana disitu terdapat info menarik: Pada laporan komposisi 20 pemegang saham terbesar per tanggal 31 Desember 2023, maka pemegang saham terbesar ketiga di BBNI bukanlah fund asing ataupun perusahaan asset management, melainkan hanya seorang investor retail individual asal Sidoarjo, Jawa Timur, dengan kepemilikan 678 juta lembar saham. Nah, lalu kenapa ini menarik? Karena ini nih: Ketika artikel ini ditulis, harga saham BBNI tercatat Rp5,750 per saham. Sehingga jika harga tersebut dikali 678 juta lembar, maka investor individual tadi memegang saham BBNI senilai.. Rp3.9 triliun!
***
Ebook
Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham
pilihan edisi terbaru Q4 2023 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan
disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan
penulis.
***
Okay, lalu siapa nama lengkap dari investor tersebut? Dalam hal ini kita bisa lihat laporan tahunan BBNI untuk tahun sebelumnya (2022), dimana disitu disebut nama berikut: Winarno Tjajadi, yang ketika itu baru memegang 250 juta lembar saham BBNI, setara 500 juta lembar sesudah stocksplit (BBNI melakukan stocksplit dengan rasio 1:2 pada tanggal 6 Oktober 2023). Dan kalau kita cek laporan tahunan BBNI untuk tahun 2021 dan 2020, maka disitu juga disebut nama Winarno Tjajadi. Barulah pada laporan tahunan BBNI untuk tahun 2019, maka nama Bapak Winarno tidak atau belum disebut. Berikut selengkapnya, klik gambar untuk memperbesar.
Sehingga bisa disimpulkan sebagai berikut: Bapak Winarno mulai membeli saham BBNI di tahun 2020, kemungkinan pasca market crash di bulan Maretnya dimana saham BBNI ketika itu anjlok ke 2,000-an, dan setelah itu ia terus beli lagi dengan metode Dollar Cost Averaging (DCA) alias nyicil, hingga akhirnya pada akhir tahun 2023 kemarin beliau sudah pegang BBNI sebanyak 678 juta lembar. Sehingga, dengan asumsi beliau mulai beli BBNI sejak bulan Maret 2020 sampai dengan akhir tahun 2023 kemarin pada harga beli 2,000 – 5,000 per saham, maka harga rata-rata modalnya adalah kurang lebih di 3,000 – 3,500 per saham.
Kemudian, karena harga saham BBNI saat ini sudah mencapai 5,750, maka artinya profitnya mencapai total 90% dalam empat tahun, belum termasuk dividen. Not bad, eh? Terutama karena kita dalam hal ini bukan bicara modal jutaan, ratusan juta, atau bahkan miliaran Rupiah, melainkan.. Triliunan Rupiah.
Value Investing Works!
Nah, jadi terkait informasi di atas, penulis ingin menyampaikan sebagai berikut. Pertama tentang Bapak Winarno Tjajadi itu sendiri, di mana meskipun beliau memang seorang investor kawakan, sama seperti Bapak Lo Kheng Hong (LKH) yang terkenal itu, namun latar belakang Pak Winarno adalah juga seorang pengusaha sektor riil, dalam hal ini sebagai pemilik serta pengendali PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan kemungkinan beliau juga masih punya beberapa perusahaan lainnya lagi. Sehingga sekali lagi, beliau berbeda dengan Bapak LKH yang murni hanya menjadi investor pasif di saham-saham perusahaan Tbk saja, dan tidak menjadi pemegang saham mayoritas dan/atau mengendalikan perusahaan tertentu.
Kedua, karena Bapak Winarno punya kesibukan mengelola PT HMBP itu tadi, maka beliau kemungkinan tidak seperti Pak LKH yang punya cukup waktu untuk menganalisa saham perusahaan-perusahaan Tbk hingga sedetil-detilnya, sehingga Pak LKH kemudian menemukan (dan membeli) saham dari perusahaan ‘yang aneh-aneh’ seperti Global Mediacom (BMTR), ABM Investama (ABMM), Intiland Development (DILD), dan masih banyak lagi. Tujuannya jelas: Jika dibeli pada harga yang benar-benar murah, maka saham-saham dari perusahaan kecil ini bisa menghasilkan keuntungan yang jauh lebih besar dibanding saham bluechip, istilahnya multibagger, meski disisi lain risikonya pun cukup besar. Tapi dengan strategi diversifikasi dll, maka risiko itu bisa ditekan. Dan actually penulis sendiri sebagai sesama investor pasif seperti Pak LKH, maka kami di Avere Investama juga lebih suka saham kecil/menengah, ketimbang saham perusahaan besar/bluechip.
Sedangkan Pak Winarno, karena seperti disebut diatas beliau punya kesibukan sebagai pengusaha, maka beliau tidak mau ambil risiko seperti itu. Jadi ya gak apa-apa lah profitnya gak maksimal, asal sahamnya aman dan bisa terus di-hold dalam jangka panjang. Nah, jadi posisi Pak Winarno sebenarnya sama seperti kebanyakan investor ritel lainnya yang tidak full time, alias masih punya pekerjaan/usaha di luar saham itu sendiri, dalam hal ini jika modalnya sudah miliaran Rupiah atau lebih besar lagi: Lebih suka main aman untuk jangka panjang. And guess what? Penulis tidak mengenal Bapak Winarno. Namun kepada teman-teman investor berlatar belakang pengusaha yang juga memegang modal jumbo, dimana mereka juga sama tidak mau pusing menganalisa dan karena itulah pilihan sahamnya terbatas pada saham bluechip, maka sudah dari dulu penulis selalu merekomendasikan saham BBNI untuk jangka panjang. Anda bisa baca lagi ulasannya disini (tahun 2021), dan disini (ditulis tahun 2015). Alasan sederhananya adalah karena secara valuasi, BBNI adalah yang paling murah dibanding tiga saham bank besar lainnya (BBCA, BBRI, BMRI), dan secara umum juga lebih murah dibanding saham bluechip lainnya.
Sehingga, meski pilihan sahamnya berbeda dimana Pak LKH beli saham perusahaan kecil, sedangkan Pak Winarno beli saham perusahaan besar, tapi pendekatannya sama-sama value investing. Secara lebih spesifik, Pak LKH menggunakan metodenya Warren Buffett di tahun 1960-an, yakni ‘Belilah saham pada harga serendah-rendahnya, sehingga bahkan jika nanti kita menjualnya pada harga sewajarnya, maka hasilnya masih profit’. Sedangkan Pak Winarno, beliau menggunakan metodenya Opa Warren di tahun 1980-an sampai sekarang, dalam hal ini ketika sudah bertemu dengan Alm. Charlie Munger, yakni ‘Lebih baik beli saham wonderful pada harga wajar, daripada beli saham dari perusahaan yang biasa-biasa saja pada harga wonderful’. Mungkin perlu juga dicatat bahwa metodenya Pak LKH (termasuk kami juga pakai metode ini) bisa menyebabkan kinerja portofolio tampak buruk alias rugi pada waktu-waktu tertentu, tapi sebaliknya tampak sangat bagus pada waktu-waktu yang lain. Sedangkan metode Pak Winarno tampak lebih membosankan karena profitnya ‘lempeng’ aja, dan hampir gak ada fluktuasi. Contohnya, dalam setahun terakhir memang saham BBNI naik lumayan. Tapi pernah antara April 2022 s/d Juli 2023, maka selama setahun lebih BBNI bukannya naik tapi malah turun sedikit dari 4,700 ke 4,500. Dan demikian pula di masa lalu sering terjadi saham BBNI, dan juga saham-saham wonderful lainnya gak kemana-mana atau bahkan turun dalam waktu yang cukup lama.
Namun pada akhirnya dalam jangka panjang, maka baik itu Pak Winarno dan
Pak LKH (dan penulis juga 😁) sama-sama profit dari investasi mereka di
saham. Sehingga seperti disebut diatas, value investing works. Memang tidak
mudah, bahkan jika anda sudah cukup berpengalaman, but it works. Nah,
tertarik untuk bergabung? Kalau kata Pak LKH sendiri, jangan mengaku investor kalau nama kita belum muncul di laporan tahunan perusahaan Tbk (seperti nama Pak Winarno di atas). Jadi mudah-mudahan kita semua juga segera menyusul dua tokoh besar ini, dimana nama kita muncul di laporan tahunan emiten! Aamiin!
***
Live
Webinar Value Investing, Sabtu
9 Maret 2024, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.
Komentar
dipegang terus ga ada pajak ,
dapet dividen ketentuan sekarang kalau direinvest sama beliau ga ada pajak juga