Prospek Saham Gudang Garam: Sudah Murah?
Hingga Kuartal III (Q3) 2023 barusan, PT Gudang Garam, Tbk (GGRM) melaporkan laba bersih Rp4.5 triliun, tumbuh tiga kali lipat dibanding periode yang sama tahun 2022 sebesar Rp1.5 triliun. Namun secara quarter on quarter, EPS atau earnings per share (laba per saham) GGRM di Q3 (Juli – September) tercatat Rp608, atau agak turun dibanding Rp688 pada Q2 (April – Juni), dan juga jika dibanding Rp1,020 per saham pada Q1 (Januari – Maret) 2023. Merespon hal ini, saham GGRM turun dari Rp29,000 di bulan Mei 2023 hingga sekarang sudah di 21,000an, meskipun posisi tersebut masih lebih tinggi dibanding awal tahun 2023 lalu di 16,000-an. Nah, lalu untuk kedepannya bagaimana? Apakah GGRM bisa naik lagi atau bakal lanjut turun?
***
Ebook
Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham
pilihan edisi terbaru Kuartal III 2023 sudah terbit, dan sudah
bisa dipesan
disini. Tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 7,000, dan gratis tanya
jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.
***
Untuk menjawab itu mari kita pelajari lagi perusahaan sejak awal.
Sejarah Gudang Garam dimulai pada tahun 1958, ketika founder Bapak Surya Wonowidjojo membuka pabrik rokok di Kediri, Jawa Timur, dan badan hukum ‘PT Perusahaan Rokok Tjap Gudang Garam’ didirikan pada tahun 1971. Tahun 1979, GGRM menjadi perusahaan rokok pertama di Indonesia yang memproduksi rokok menggunakan mesin pabrik (sebelumnya rokok hanya diproduksi menggunakan tangan pekerja), dan alhasil volume produksi rokok perusahaan meningkat signifikan, dan ini pula yang kemudian sukses membawa GGRM menjadi produsen rokok terbesar di Indonesia ketika itu. Tahun 1983, putra pertama dari Bpk. Surya, Rachman Halim, mengambil alih posisi direktur utama perusahaan, sedangkan kesemua adik-adiknya menempati sejumlah posisi penting seperti direktur dan komisaris. Bisa dibilang bahwa GGRM kemudian menjadi perusahaan keluarga. Tahun 1990, GGRM go public, dan barulah sejak saat itu perusahaan berekspansi lebih jauh dengan mendirikan pabrik kertas karton (untuk kemasan rokok), menambah kapasitas produksi, mendirikan PT Surya Madistrindo sebagai unit usaha distributor, dan masuk ke segmen low tar nicotine. Tahun 2008, Rachman Halim wafat, dan posisinya sebagai pimpinan tertinggi perusahaan digantikan oleh adiknya, Susilo Wonowidjojo, yang masih menjabat sampai hari ini.
Gudang Garam Surya, salah satu merk rokok paling populer di Indonesia |
Kemudian, selama ini kinerja GGRM sangat konsisten bertumbuh dari tahun ke tahun. Hingga pada tahun 2019 lalu, cukai rokok naik 23%, atau lebih tinggi dibanding biasanya yang hanya 10% per tahun, yang kemudian disusul oleh kenaikan-kenaikan berikutnya sebesar 8 – 12% per tahun. Alhasil antara tahun 2019 s/d 2023, secara keseluruhan tarif cukai naik lebih dari 55%, dan imbasnya harga jual rokok juga naik sangat signifikan dalam lima tahun terakhir. Nah, sebenarnya dalam kondisi ekonomi normal, maka kenaikan cukai ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja GGRM di mana volume penjualan, nilai pendapatan, dan nilai laba bersih perusahaan bisa tetap naik setiap tahun. Termasuk pada tahun 2019 lalu ketika tarif cukai naik 23%, maka volume penjualan GGRM tercatat 95.9 miliar batang, atau masih tumbuh dibanding tahun 2018-nya yang hanya 85.2 miliar batang.
Namun ceritanya jadi beda setelah Indonesia dihantam pandemi pada tahun 2020, di mana kinerja seluruh perusahaan anjlok karena resesi. Dan sayangnya alih-alih memberikan insentif untuk industri rokok, Pemerintah malah kembali menaikkan tarif cukai. Alhasil pada tahun 2020 tersebut untuk pertama kalinya volume penjualan rokok GGRM turun menjadi 89.7 miliar batang, dan demikian pula laba bersihnya turun menjadi Rp7.6 triliun (berbanding Rp10.9 triliun di tahun 2019). Memasuki tahun 2021 dan juga 2022, Pemerintah tetap kembali menaikkan tarif cukai seperti biasanya, dan imbasnya volume penjualan rokok GGRM terus turun menjadi 82.4 miliar batang, dan demikian pula labanya menyusut menjadi hanya Rp2.8 triliun, di tahun 2022.
Hingga pada tahun 2023 ini, maka tarif cukai masih kembali naik, dan alhasil berdasarkan data yang dirilis oleh Philip Morris (induk dari HM Sampoerna/HMSP), volume penjualan rokok secara keseluruhan di Indonesia hingga 30 September kemarin tercatat 219.1 miliar batang, atau kembali turun 5.0% dibading periode yang sama tahun 2022. Sehingga sebagai salah satu dari tiga pemain rokok terbesar di Indonesia (dua lainnya adalah HMSP dan Djarum), penulis asumsikan bahwa volume penjualan rokok GGRM sampai September juga turun kurang lebih 5%. Dan memang sampai Q3 barusan, pendapatan GGRM turun 13.0% secara year on year. Beruntung karena manajemen banyak menyetok pita cukai pada tahun 2022 lalu, maka beban pokok penjualannya juga ikut turun, dan alhasil labanya tetap naik signifikan menjadi Rp4.5 triliun.
Nah, tapi kata kuncinya disini adalah, kinerja GGRM sampai dengan Q3 2023 ini ternyata masih melanjutkan trend penurunannya, dalam hal ini jika dilihat dari nilai pendapatan dan juga volume penjualan rokoknya, dan ini sedikit berbeda dengan kompetitornya HMSP, di mana meski volume penjualannya sampai dengan Q3 2023 juga sama turun, tapi nilai pendapatannya sudah kembali naik 4.7% didorong kenaikan harga jual. Dan setelah penulis cek lagi, hal ini karena manajemen HMSP mampu memaksimalkan penjualan rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT), di mana pada tahun 2022 lalu rokok SKT ini berkontribusi 24.5% terhadap pendapatan HMSP secara keseluruhan, atau naik dibanding 23.1% pada tahun 2021, dan kemungkinan naik lagi di tahun 2023 ini. Yang perlu dicatat disini adalah, harga jual rokok SKT secara signifikan lebih murah dibanding rokok sigaret kretek mesin (SKM), karena memang tarif cukainya juga lebih rendah. Alhasil volume penjualan rokok SKT ini tetap bisa tetap bertumbuh.
Sedangkan GGRM, maka sebenarnya porsi kontribusi rokok SKT-nya juga sama naik dari 9.7% terhadap penjualan perusahaan secara keseluruhan pada first half 2021, menjadi 10.2% pada first half 2022. Namun kontribusi 10.2% tersebut jelas lebih kecil dibanding kontribusi rokok SKT terhadap pendapatan HMSP, yang seperti disebut di atas mencapai 24.5%. Atau dengan kata lain, HMSP menjual rokok murah dalam porsi yang lebih besar dibanding GGRM, dan itulah kenapa pada tahun 2023 ini kinerja HMSP sudah berbalik tumbuh lagi, sedangkan kinerja GGRM dari sisi pendapatan masih turun. Sayangnya karena pada tahun 2024 nanti bisa dipastikan bahwa tarif cukai rokok akan kembali naik, maka kecuali manajemen GGRM bisa menaikkan porsi penjualan rokok SKT-nya menjadi katakanlah 15 – 20% terhadap volume penjualan secara keseluruhan, maka ada kemungkinan pendapatannya akan kembali turun.
Peluang Dividen GGRM
Okay Pak Teguh, berarti memang GGRM ini masih belum prospek ya? Sahamnya jual saja? Well, ceritanya belum selesai. Perhatikan: Betul, pendapatan perusahaan tahun ini turun dibanding 2022, namun labanya tetap naik signifikan di mana dengan asumsi laba GGRM pada Q4 nanti kurang lebih sama dengan Q3, maka EPS-nya untuk tahun penuh 2023 adalah Rp3,000 – 3,200 per saham. Kemudian dalam tiga tahun terakhir, manajemen GGRM membayar dividen sebesar 65, 77, dan 83% dari laba bersihnya. Misalnya untuk tahun buku 2022 lalu, maka GGRM membayar dividen Rp1,200 per saham, yang mencerminkan 83% EPS-nya sebesar Rp1,445 per saham, pada bulan Juli 2023.
Jadi dengan demikian, dengan asumsi untuk tahun 2023 ini perusahaan membayar dividen sebesar 75% labanya, dan kita ambil perkiraan EPS Rp3,000, maka berarti dividennya mencapai Rp2,250, sehingga mencerminkan yield lebih dari 10% berdasarkan harga sahamnya saat ini, aka sangat besar untuk ukuran emiten bluechip. Dalam hal ini penulis jadi ingat dengan saham Bukit Asam (PTBA), yang juga turun dengan cepat dari 4,150 hingga mentok di 2,940 pada bulan Mei 2023, yakni setelah perusahaan merilis LK Q1 2023 di mana labanya turun signifikan, ditambah investor melihat bahwa laba yang sudah turun tersebut kemungkinan kedepannya masih akan lanjut turun lagi karena penurunan harga batubara ketika itu. Nah, tapi setelah perusahaan kemudian mengumumkan dividen Rp1,094 per saham pada bulan Juni 2023-nya, maka PTBA dengan cepat naik lagi hingga mentok di 3,850, sebelum baru kemudian turun lagi setelah tanggal cum dividennya.
Sehingga untuk GGRM, penulis melihatnya sebagai berikut: Penurunan sahamnya yang cukup signifikan sejak bulan Mei 2023 lalu (turun total 27%, atau hampir sama dengan penurunan PTBA di bulan April - Mei 2023 sebesar 29%) sebenarnya tidak hanya di-drive oleh kinerja labanya di Q2 dan Q3 yang agak turun dibanding Q1 2023, karena sebenarnya penurunannya hanya sedikit saja, malah laba GGRM di tahun 2023 ini secara keseluruhan masih tumbuh dibanding 2022. Melainkan, juga karena investor sudah memprediksi bahwa laba GGRM akan turun di tahun 2024 nanti, yakni karena tarif cukai akan kembali naik untuk tahun 2024 tersebut. Dengan kata lain, posisi harga saham GGRM pada saat ini terhitung sudah selaras (istilahnya price in) dengan kinerja laporan keuangannya di tahun 2024 nanti. Sehingga jika kinerja GGRM pada Q1 2024 nanti ternyata tidak seburuk yang dikhawatirkan di mana labanya justru naik, dan actually tetap ada peluang bahwa laba GGRM akan naik (karena ingat bahwa Pemilu dan Pilpres akan digelar persis di Q1 2024, tepatnya bulan Februari 2024, yang pastinya akan menstimulus konsumsi publik), maka sahamnya akan naik lagi, karena secara valuasi saham GGRM pada harganya saat ini di 21,000-an sudah sangat murah dengan PER 7.0, dan PBV 0.7 kali.
Nah, tapi mari kita ambil kemungkinan terburuknya saja, yakni bahwa laba
GGRM akan turun di 2024. Maka tetap ada peluang saham GGRM naik kurang lebih sebesar
perkiraan nilai dividennya di atas yakni Rp2,250 (itu berarti ke 23,500 – 24,000),
dan setelah cum dividennya di bulan Juli 2024 nanti maka baru harga sahamnya
akan turun lagi, dalam hal ini jika benar labanya turun di tahun 2024 tersebut.
Sehingga untuk sekarang jika anda pegang sahamnya maka hold saja, lalu tunggu hingga
perusahaan merilis LK tahun penuh 2023-nya nanti, di mana barulah pada saat itu
kita akan punya gambaran yang lebih jelas soal perkiraan nilai dividennya, hopefully
bisa lebih besar dari prediksi Rp2,250 di atas.
***
Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal III 2023 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini. Tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 7,000, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.
Komentar