Work Life Balance Ala Investor Saham

Kembali ke tahun 2008, penulis baru lulus kuliah pada usia 22 tahun dan diterima bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta, dan saya ketika itu gak punya apa-apa kecuali cita-cita untuk menjadi sukses, yang kelak akan punya cukup aset dan tabungan tidak hanya untuk memiliki taraf hidup yang lebih baik, tapi juga bisa mengangkat derajat keluarga besar di kampung halaman.

***

Ebook Market Planning edisi November 2023 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit 1 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Kemudian seperti sudah pernah saya ceritakan di lain kesempatan, saya memilih berkarier di pasar saham hingga akhirnya merasa cukup mantap di bidang ini pada tahun 2016, di mana saya ketika itu sudah punya cukup pengalaman (7 tahun, mulainya sejak tahun 2009), pernah dihantam dua kali market crash dan sukses bertahan, sudah memenuhi kebutuhan dasar (rumah dan kendaraan) yang dibeli secara tunai, gak punya utang ataupun cicilan, dan sudah punya sejumlah aset investasi yang tidak lagi terlalu kecil (sudah miliaran Rupiah), yang siap untuk dikembangkan lebih lanjut. Jadi pada tahun inilah penulis bertanya ke diri saya sendiri: What’s next?

Dan itu karena, ketika anda sudah punya cukup aset, ketika anda sudah tahu apa yang harus dilakukan dan gak lagi bingung setiap kali saham naik atau turun, dan ketika anda bisa tetap tenang dan menjalani gaya hidup yang normal bahkan dalam situasi dimana anda menderita rugi besar, maka pola pikir anda akan berubah sama sekali: Anda bekerja mencari cuan dari saham tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, melainkan untuk terus meningkatkan kekayaan, dan juga untuk bekerja itu sendiri. Karena bahkan orang-orang terkaya di dunia sekalipun tidak bisa terus-terusan liburan melainkan harus diimbangi dengan tetap bekerja, atau mereka justru akan merasa jenuh dan akhirnya jatuh sakit. Apalagi ketika itu penulis masih berada di usia produktif (30 tahun), dan saya juga sama sekali belum menjadi investor besar dengan aset triliunan seperti misalnya Bapak Lo Kheng Hong.

Jadi akhirnya saya putuskan: Saya akan tetap terus bekerja sebagai investor, yakni dengan terus mengumpulkan aset hingga sebanyak-banyaknya termasuk juga terus belajar, salah satunya dengan cara menulis di blog ini, tapi disisi lain saya akan mulai meluangkan waktu untuk keluarga, dan juga untuk diri sendiri. Jadi pada tahun 2016 itulah, penulis mulai rutin misalnya mengantar jemput anak sekolah (anak pertama saya ketika itu sudah masuk playgroup), dan mulai jalan-jalan road trip sebagai bentuk ‘aktivitas untuk diri sendiri’, awalnya hanya di dalam negeri tapi kemudian lanjut keliling dunia. Pada tahun-tahun inilah saya juga mengenal istilah work life balance, yang pada intinya menyarankan kaum pekerja untuk tidak terlalu ‘ngoyo’ dalam bekerja, melainkan harus juga meluangkan waktu untuk diri sendiri, karena hidup itu jauh lebih luas daripada sekedar rutinitas bolak-balik rumah dan kantor. Dan sebenarnya istilah work life balance ini juga berlaku untuk investor, yang intinya jangan karena mentang-mentang gak kerja nine to five terus ya udah gak usah kerja sama sekali. Karena faktanya untuk menganalisa saham, menyusun rencana investasi dll, itu tetap butuh kerja juga. So that’s it: Penulis kemudian terus bekerja seperti biasa, mengumpulkan aset sedikit demi sedikit, dan disisi lain sambil tetap meluangkan waktu untuk keluarga dan juga menikmati hidup, sampai hari ini.

What Makes a Great Investor? Belajar dari CEO Facebook

Hingga beberapa waktu lalu, penulis menemukan tulisan menarik di internet tentang Mark Zuckerberg, CEO Meta Platforms aka Facebook, yang intinya menyebut Zuck sebagai ‘CEO on another level’. Dan disitulah penulis sendiri baru menyadari bahwa Zuck ini memang beneran ‘another level’ alias sangat sukses, jauh diatas tokoh-tokoh kelas dunia lainnya. I mean, dalam kacamata orang biasa seperti kita-kita ini, maka kesuksesan seseorang seringkali hanya diukur dari berapa net worth atau nilai kekayaannya. Jadi karena Elon Musk lebih kaya dibanding Zuck, misalnya (ketika artikel ini ditulis, Elon diperkirakan memiliki kekayaan $249 miliar, berbanding Zuck $108 miliar), maka artinya Elon lebih sukses. Tapi apakah benar demikian?

Dan jawabannya tentu saja tidak. Karena ternyata selain pekerjaan serta kekayaan yang harus terus diperjuangkan, maka dua hal penting lainnya dalam hidup yakni keluarga, dan juga diri sendiri, itu juga sama harus diperjuangkan. Dan Zuck terhitung berhasil dalam tiga aspek tersebut. Perhatikan!

Pertama, Zuck sudah sangat sukses dan mencapai status billionaire dengan aset lebih dari $1 miliar pada usia 23 tahun, sehingga kalau dia mau maka dia bisa saja jual Facebook (FB), lalu pensiun dan menghabiskan sisa hidupnya dengan leha-leha di pulau pribadi. But instead, Zuck terus fokus bekerja mengembangkan FB hingga juga sukses mengembangkan Instagram (IG), WhatSapp (WA), dan sekarang ia punya mainan baru lagi yakni Metaverse. Nah, penulis masih ingat bahwa dulu ketika Twitter dan Snapchat muncul, maka dua aplikasi media sosial itu sempat diprediksi akan ‘membunuh’ FB, sama seperti FB itu sendiri sukses mematikan sejumlah social media pendahulunya seperti Friendster, dan MySpace. Tapi nyatanya FB tetap eksis sampai sekarang, bahkan terus tumbuh lebih besar, dan itu adalah karena kerja keras dari Zuck itu sendiri. Jika saja Zuck menjual FB ke orang lain maka belum tentu FB akan sebesar sekarang.

Kemudian kenapa di atas penulis menyebut Metaverse sebagai ‘mainan baru’? Karena jika anda sudah berada di posisi Zuck yang punya kekayaan gak habis tujuh turunan, maka anda tidak lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, melainkan bisa dibilang untuk ‘bermain’ saja, untuk memaksimalkan potensi serta kemampuan yang anda miliki. Penulis yakin Zuck mendapatkan kepuasan yang ia inginkan (kepuasan, bukan uang) ketika IG dan WA juga berkembang pesat menyusul kesuksesan FB, dan sekarang ia mengejar kepuasan berikutnya yakni Metaverse.

Dan biar penulis katakan, tidak mudah untuk terus konsisten bekerja di bidang yang kita kuasai seperti yang dilakukan Zuck, apalagi jika posisi anda sudah sangat kaya raya. Kebanyakan tokoh besar lain biasanya langsung check out jika ia merasa sudah cukup sukses, misalnya Mark Cuban yang menjual Broadcast.com lalu pensiun pada usia 40, atau Jack Dorsey yang juga exit dari Twitter setelah menjualnya ke Elon, dan banyak lagi.

Kedua, Zuck sukses dalam berkeluarga dimana ia menikahi college sweetheart-nya, Priscilla Chan, memiliki tiga orang anak, dan sering menghabiskan waktu bersama mereka. Dan tidak hanya itu, Zuck bahkan sengaja belajar Bahasa Mandarin agar bisa berkomunikasi dengan keluarga besar Priscilla. Nah, kebalikannya dengan orang-orang yang berhenti bekerja karena sudah merasa sukses, maka ada juga orang yang gila kerja hingga keluarganya kurang harmonis. Contohnya ya Elon, yang diketahui menikah sampai tiga kali tapi semuanya berakhir dengan perceraian, dan bahkan Elon sendiri pernah mengeluh, ‘Tidak ada yang membuat saya lebih sedih ketimbang bangun tidur sendirian, dengan tidak ada seorangpun di sebelah saya’.

Dan biar penulis kasih tahu: Sebanyak apapun kekayaan yang kita miliki maka itu percuma saja jika kita tidak memiliki orang-orang tersayang untuk berbagi, dalam hal ini keluarga kita sendiri. Meski tentu, anda baru akan mengerti kalimat diatas jika nanti sudah berstatus miliarder. Saya doakan.

Terakhir ketiga, Zuck punya waktu untuk dirinya sendiri, untuk menjalani hobi yang ia sukai, yang tidak ada hubungannya dengan keluarganya ataupun pekerjaannya sebagai CEO Meta. Nah, penulis sendiri sebagai investor maka hobi saya ya standar aja: Jalan-jalan, nonton sepakbola, dan main PlayStation di rumah. Tapi untuk tokoh sekelas Zuck maka hobinya beda lagi: Sejak beberapa tahun lalu ia menekuni martial arts aka seni bela diri, bahkan hingga sempat ikut kompetisi Jiu-Jitsu, dan penulis bisa lihat dari foto-fotonya bahwa ia sangat happy dengan kegiatan barunya tersebut. Dan bonusnya, Zuck menjadi satu dari sedikit sekali billionaire yang memiliki body six pack ala Juara MMA Connor McGregor.

Mark Zuckerberg bersama pelatihnya. Sumber: Instagram @zuck

Dan soal hobi ini, maka terus terang penulis sendiri merasa iri dengan Zuck. I mean, he’s much richer than me and that’s okay, but why must he’s sexier also?? Karena itulah penulis sendiri sejak beberapa bulan terakhir ini mulai mengatur pola makan, dan rutin workout di gym. Dan ternyata seperti halnya jalan-jalan menghirup udara segar di taman, aktivitas olahraga ini juga bisa membantu menenangkan pikiran, membuat tidur lebih nyenyak di malam hari (karena capek habis angkat beban), dan pada akhirnya membantu penulis fokus ke pekerjaan sebagai investor itu sendiri.

Kesimpulan

Okay, jadi mari kita simpulkan. Jika anda mulai dari posisi penulis dulu yang gak punya aset sepeserpun, maka memang fokus pertamanya adalah kerja keras, menabung, dan berhemat. Pada tahap-tahap awal ini anda mungkin akan lebih banyak ‘work’ ketimbang ‘life’, but that’s okay, memang masa muda seharusnya begitu.

Namun beberapa tahun setelah itu, yakni ketika anda sudah punya cukup aset serta pengalaman sebagai investor, atau bidang apapun yang anda tekuni, maka barulah kita juga harus fokus ke dua aspek lainnya yang tidak kalah penting: Keluarga, serta hobi untuk diri sendiri. Faktanya ketiga aspek tersebut saling mendukung satu sama lain, dimana jika anda sukses dalam berkeluarga maka anda juga harusnya akan sukses dalam karier, dan anda akan punya cukup waktu, biaya, dan energi untuk hobi keliling dunia, dan bersenang-senang menikmati hidup. Dan itulah yang menjelaskan kenapa FB, IG, dan WA bisa terus menjadi pemimpin industri social media di dunia sampai hari ini. Nah, jadi katakanlah anda punya pekerjaan yang anda sukai plus aset Rp1 miliar, happy family, dan anda punya waktu luang untuk Jiu-Jitsu atau hobi apapun yang anda sukai. Maka anda sudah bisa dianggap sukses dimana aset yang Rp1 miliar tadi bisa diharapkan akan bertumbuh dalam jangka panjang, dan anda terhitung lebih sukses dibanding orang lain yang punya aset Rp10 miliar tapi tidak cukup dekat dengan keluarganya, atau terobsesi dengan pekerjaannya sehingga tidak punya waktu untuk dirinya sendiri.

Sehingga untuk sukses sebagai investor, maka salah satu tips-nya adalah dengan tidak terobsesi dalam bekerja sebagai investor itu sendiri, melainkan santai saja lah. Untung rugi itu biasa, yang penting kita tidak sampai stress dan tetap berpikir jernih, dan agar bisa demikian maka kita harus luangkan waktu main sama pasangan, anak-anak, atau orang tua, dan luangkan waktu juga buat hobi serta bersenang-senang. Nah, jadi apa hobi kamu guys?

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal III 2023 akan terbit tanggal 8 November, dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

Patrick mengatakan…
Mantap,semoga segera bisa menyusul pak teguh mencapai financial freedom

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?