Prospek IPO Barito Renewables Energy (BREN): Lebih Cuan dari PGEO?

Dalam banyak kesempatan penulis sudah sering menyampaikan bahwa kami tidak suka saham IPO, salah satunya karena alasan-alasan yang sudah dijelaskan disini, sehingga sebelum membaca ulasan kali ini maka harusnya anda sudah tahu bagaimana kesimpulan analisanya. Namun demikian karena IPO PT Barito Renewables Energy, Tbk (BREN) ini memang viral banget diberitakan dimana-mana, dan disisi lain saham-saham dari grup yang sama seperti Barito Pacific (BRPT), Chandra Asri Petrochemical (TPIA), dan Petrindo Jaya Kreasi (CUAN) belakangan ini naik banyak, belum lagi saham dari perusahaan sejenis Pertamina Geothermal (PGEO) juga ikut naik, maka alhasil investor jadi penasaran dan penulis menerima banyak permintaan untuk membahas prospek BREN ini. So, here we go!

***

Ebook Market Planning edisi Oktober 2023 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

PT Barito Renewables Energy, Tbk (BREN), seperti yang mungkin sudah anda ketahui, merupakan anak usaha Grup Barito melalui BRPT di bidang energi baru dan terbarukan (EBT), lebih tepatnya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geothermal. Sejarah perusahaan dimulai ketika BRPT mengoperasikan PLTP pertamanya, yakni Wayang Windu, pada tahun 2000, dimana usaha PLTP tersebut kemudian ditempatkan dibawah anak usaha dengan nama Star Energy Geothermal Pte. Ltd., yang tidak terdaftar/berdiri di Indonesia melainkan Singapura. Kemungkinan BRPT mendirikan Star Energy di Singapura (meskipun PLTP Wayang Windu itu sendiri berlokasi di Indonesia) agar lebih mudah memperoleh pendanaan dari investor asing. Karena pada masa itu bisnis geothermal tidak dilirik investor maupun perbankan lokal karena prospeknya yang suram, dimana PT PLN sebagai satu-satunya pelanggan dari listrik yang dihasilkan perusahaan lebih suka pembangkit listrik batubara karena lebih murah.

Dan memang upaya tersebut berhasil dimana Star Energy mendapatkan tambahan modal dari Mitsubishi Corp. (Jepang) pada tahun 2012, dan Electricity Generating Public Co. Ltd. (Thailand) pada tahun 2014, dan juga sukses menerbitkan obligasi di Singapore Exchange. Lanjut pada tahun 2017, Star Energy menambah portofolionya dengan mengakuisisi dua lokasi PLTP yakni Salak dan Darajat, dibiayai dengan pinjaman bank sebesar $1.95 miliar. Dan pada tahun 2018, barulah BRPT mendirikan anak usaha dengan nama PT Barito Cahaya Nusantara, yang dikemudian hari berubah nama menjadi PT Barito Renewables Energy (BREN), dan ditempatkan sebagai induk dari Star Energy. Pendirian BREN ini kemungkinan bertujuan untuk memperoleh pendanaan dari investor/perbankan domestik, karena pada tahun 2018 tersebut prospek usaha geothermal diprediksi akan lebih baik setelah Pemerintah sendiri banyak berinvestasi di usaha ini melalui BUMN Pertamina Geothermal Energy (PGEO) sejak beberapa tahun sebelumnya. Dan memang pada tahun 2023 ini, BREN akhirnya menggelar IPO di Bursa Efek Indonesia dengan target perolehan dana yang cukup besar, yakni Rp3.5 triliun.

Kembali ke perusahaan. Jadi pada hari ini, BREN melalui Star Energy memiliki tiga lokasi PLTP, yakni Wayang Windu (berlokasi di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat), Darajat (Kabupaten Garut, Jawa Barat), dan Salak (Kabupaten Sukabumi dan Bogor, Jawa Barat). Nah, penulis sempat membaca tulisan bahwa BREN ini merupakan kompetitor dari PGEO, padahal itu keliru. Yang benar adalah, PGEO memproduksi panas bumi, dan BREN kemudian mengolah sebagian panas bumi tersebut menjadi energi listrik (sebagian, karena ada juga panas bumi yang dihasilkan PGEO yang diubah menjadi energi listrik oleh PGEO sendiri), lalu baru dijual ke PLN. Jadi BREN ini merupakan kontraktornya PGEO, dan memang ketiga lokasi PLTP milik BREN semuanya berdiri di atas wilayah kerja panas bumi (WKP) milik PGEO.

Sehingga secara prospek, BREN ini kurang lebih sama seperti PGEO: Sejatinya kurang cerah karena PLTP itu mahal dan tidak ekonomis dibanding misalnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara, dan memang PLN sendiri sebagai satu-satunya pelanggan kedua perusahaan selama ini lebih banyak beli listrik dari PLTU ketimbang PLTP. Kemudian karena ketiga PLTP milik BREN semuanya berlokasi di Jawa Barat, yang ketersediaan pasokan listriknya sudah lebih dari cukup, maka terdapat risiko oversupply listrik dimana PLN bisa saja berhenti membeli listrik dari perusahaan jika itu dianggap sebagai pemborosan.

Disisi lain, karena Pemerintah melalui Kementerian ESDM mengejar target 23% energi listrik di Indonesia dihasilkan oleh EBT termasuk geothermal pada tahun 2025, meningkat dari hanya 12% di tahun 2021, maka perusahaan-perusahaan di sektor ini baik BUMN maupun swasta dimanjakan dengan banyak insentif. Salah satunya, baru saja kemarin Bursa Efek Indonesia (BEI) meresmikan Carbon Exchange dimana perusahaan EBT seperti PGEO dan BREN akan otomatis memperoleh carbon credit (CC) yang kemudian bisa dijual ke perusahaan-perusahaan energi fosil terutama batubara, dimana perusahaan batubara ini bisa menggunakan CC tersebut untuk tetap memperoleh izin beroperasi dari pemerintah, meskipun mereka menghasilkan emisi gas karbondioksida yang mencemari udara. Dalam jangka panjangnya, kebijakan ini diharapkan memaksa perusahaan-perusahaan batubara untuk juga mengembangkan EBT, atau mereka akan terus menerus ‘dipalak’ dalam bentuk karcis CC itu tadi. Sedangkan dalam jangka pendeknya maka akan terjadi transfer keuntungan dari perusahaan batubara ke perusahaan EBT terutama PGEO dan BREN. Sehingga, bahkan kalaupun kedepannya PLN akan tetap lebih memilih batubara karena lebih murah, tapi PGEO dan BREN juga akan kebagian cuan, yang berasal dari setoran perusahaan-perusahaan batubara tersebut.

Valuasi Saham BREN Mahal??

Oke Pak Teguh, berarti prospek BREN ini menarik banget dong? Sahamnya boleh dibeli? Well, ceritanya belum selesai. Perhatikan: Di atas disebutkan bahwa Pemerintah banyak kasih insentif bagi perusahaan swasta agar mau ikut mengembangkan EBT di Indonesia, agar kita juga menyusul negara-negara maju yang sudah tidak lagi mengalami polusi udara di kota-kota besarnya. Disisi lain, pihak swasta tentu gak peduli soal polusi, yang penting cuan. Jadi jika mereka harus keluar dana amat besar untuk mengembangkan pembangkit listrik geothermal, maka cuannya juga harus besar. Dan memang seperti disebut diatas, ketika Star Energy mengakuisisi PLTP Salak dan Darajat maka mereka harus merogoh kocek $1.95 miliar atau setara Rp30 triliun, karena memang biaya pengembangan geothermal ini mahal sekali (berbeda dengan batubara yang tinggal gali tanahnya, ambil batubaranya, lalu jual, maka energi panas bumi hanya bisa diperoleh dengan cara mengebor jauh ke dalam perut bumi, lalu uap panasnya dialirkan melalu pipa-pipa stainless steel, dimurnikan, disimpan dalam tangki kondensat, dan seterusnya hingga akhirnya baru bisa dialirkan ke pembangkit listik), itupun dari pinjaman bank sehingga risikonya sangat besar/Grup Barito bisa bangkrut jika usaha PLTP-nya tidak jalan.

Sehingga selain insentif dalam bentuk peluncuran Carbon Exchange itu tadi, maka diberikan pula ‘insentif’ dalam bentuk kemudahan penggalangan dana dari investor publik di BEI. Perhatikan: Usaha PLTP milik BRPT ini awalnya ditempatkan di bawah Star Energy yang berdiri di Singapura, tapi barulah pada tahun 2018 BREN didirikan di Indonesia dimana Star Energy ini kemudian ditempatkan dibawah BREN, ketika itu bertepatan dengan dipermudahnya izin IPO di BEI dimana tercatat ada 57 IPO tahun 2018 tersebut, meningkat signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya 20 – 30 IPO per tahun. Jadi sejak awal pendirian BREN ini memang bertujuan untuk fund raising di tanah air, sama seperti Star Energy sebelumnya didirikan di Singapura untuk fund raising disana.

Kemudian sebelum BREN ini melantai di bursa, maka pertama-tama PGEO dulu yang IPO, dan ternyata sukses dimana sahamnya laris manis dibeli oleh investor, dan perusahaan memperoleh tambahan setoran modal lebih dari Rp10 triliun. Jadi sekarang giliran BREN. Nah, penulis awalnya heran kenapa target perolehan dananya ‘hanya’ Rp3.5 triliun. I mean, kalau dapetnya cuma segitu sih ngapain IPO? Toh seperti disebut diatas, perusahaan bahkan bisa dapet pinjaman Rp30 triliun dari bank, yang prosesnya gak seribet dibanding kalau mau IPO.

Dan ternyata BREN hanya melepas 3.35% sahamnya pada IPO-nya, sehingga jika 3.35% saham tersebut bernilai Rp3.5 triliun, maka nilai perdana perusahaan secara keseluruhan mencapai Rp104.5 triliun. Nah, sekarang bayangkan anda adalah owner Grup Barito: Seneng gak kalau salah satu anak usaha anda mendadak punya market cap sebesar itu, padahal ekuitas BREN sendiri (sebelum IPO) cuma $474 juta atau setara Rp7 triliun?? Disisi lain dengan hanya melepas 3.35% saham maka sebenarnya itu melanggar peraturan free float BEI, yang menyebut bahwa minimal 7.5% saham beredar sebuah perusahaan Tbk harus dimiliki oleh publik. Tapi yah, namanya juga ‘insentif’, maka BREN dalam hal ini bisa tetap lolos IPO.

Jadi inilah yang penulis pikirkan: Berbeda dengan IPO PGEO dulu, maka seluruh saham yang diterbitkan BREN dalam IPO-nya kali ini diambil oleh grupnya sendiri (investor ritel gak akan dapet jatah kecuali sedikit), lalu nanti di pasar harganya dikerek naik ke level tertentu, lalu barulah mereka jualan sehingga dana yang diperoleh akan jauh lebih besar dari sekedar Rp3.5 triliun, dan disisi lain free float-nya juga jadi 7.5% (sehingga tidak jadi melanggar peraturan BEI tadi). Sehingga, mau BREN ini profit atau tidak kedepannya, tapi dalam hal ini Grup Barito sebagai pemilik perusahaan sudah cuan maksimal dari jualan saham BREN itu sendiri. Dan memang jika anda hitung lagi valuasi saham BREN ini, maka pada harga perdana Rp780 dia jauh, jauh lebih mahal dibanding PGEO. Padahal pemain utama di bisnis geothermal di Indonesia ya PGEO, sedangkan BREN cuma salah satu kontraktornya.

Kesimpulannya, jika pada ulasan PGEO kemarin penulis katakan bahwa sahamnya cukup menarik karena valuasinya terhitung murah untuk ukuran saham IPO (PBV hanya 1.3 kali pada harga Rp945 per saham), dan demikian pula penulis sempat rekomendasikan saham EBT lainnya yakni PT Kencana Energi Lestari, Tbk (KEEN), maka untuk Barito Renewables Energy (BREN) ini penulis tidak bisa memberikan rekomendasi yang sama, dimana jika anda membeli sahamnya maka itu lebih dekat ke spekulasi berisiko tinggi ketimbang investasi, karena anda membayar pada harga yang super duper premium. Anyway, the choice is yours.

***

Ebook Market Planning edisi Oktober 2023 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email. Masukkan alamat email anda di kotak dibawah ini, lalu klik subscribe

Komentar

MFTKIA mengatakan…
Terima kasih informasinya pak
Anonim mengatakan…
Saya setuju dengan bapak bahwa modal pembangkit listrik panas bumi sangat besar. Saya teringat ketika bekerja di kontraktor elektrikal proyek panas bumi di Sumatera Utara (sorik marapi geothermal) yang hendak di akuisisi PGEO sekarang.
Siang itu matahari serasa diatas ubun kepala, debu, uap belerang dan suara mesin yg bising sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Tiba-tiba lelaki paruh baya berpakaian safety yang lusuh menghampiri saya menawarkan segelas kopi sambil bercerita bahwa besok akan datang investor dari Belgia.

Saya kaget, lelaki itu melanjutkan ceritanya sambil berasumsi bahwa salah satu titik pengeboran sudah tembus. Tetapi, uap panasnya tidak sekencang ditempat kami bekerja saat itu. Dia tidak melanjutkannya, tiba-tiba lelaki itu mengatakan bahwa semua mesin turbin milik perusahaan geothermal dibeli dari Cina untuk kambing percontohan jika suatu waktu turbin berhasil dan sesuai ekspektasi pembeli turbin akan booming dipasaran energy panas bumi global.

Saya menyimpulkan bahwa setiap proyek geothermal di bumi langit merah putih memakai turbin cina tersebut. Karena tempat saya bekerja yg lalu sudah menjadi PLTU terbesar saat ini. Bagaimana mungkin beli turbin dari perusahaan yg tidak diketahui track record-nya selama ini melantai bebas diperdagangkan di bumi pertiwi?

Protes masyarakat lokal juga sering terjadi karena seringnya kebocoran pipa gas yg mengandung racun bahkan sudah menelan korban.
Intinya, energi panas bumi itu akan tetap mahal sepanjang masa. Menurut saya, setiap perusahaan geothermal akan tetap merogoh kocek yg besar setiap tahun untuk pemeliharaan pipa dan turbin cina tadi.
Saya tidak tertarik untuk invest di bisnis ini.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?