Pengalaman Tak Terlupakan di Tanah Suci
Ketika saya berangkat ke Tanah Suci Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah umroh, Agustus 2023 kemarin, maka saya awalnya tidak menganggap bahwa itu akan menjadi perjalanan yang istimewa, meskipun ada banyak teman dan saudara yang bilang bahwa disana sangat bagus. Melainkan saya pikir perjalanan itu akan sama saja seperti ketika saya jalan-jalan mengunjungi tempat-tempat bagus di Eropa dll.
***
Live
Webinar Value Investing, Sabtu
30 September 2023, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.
***
Dan ketika saya akhirnya tiba di Madinah, maka saya agak kaget karena, mohon maaf, kotanya terkesan kumuh, gersang, dan tandus. Jauh banget dibanding suasana sejuk dan asri yang pernah saya temui di Lauterbrunnen, Swiss, atau Central Park New York, Amerika Serikat. Apalagi ketika itu sedang musim panas dengan suhu siang hari bisa mencapai 47 derajat celcius, dan saya belum pernah merasakan udara sepanas itu sebelumnya. Sempat agak menyesal kenapa saya gak kesitu pas bulan Desember atau Januari saja, yakni ketika suhu udaranya lebih dingin.
Tapi semua kesan negatif itu hilang ketika saya memasuki pelataran Masjid Nabawi untuk menunaikan ibadah salat dzuhur, dimana saya merasakan semacam aura yang terpancar dari dalam masjid yang tidak bisa saya jelaskan, yang membuat saya merasa nyaman dan betah meskipun udaranya tetap sangat panas ketika itu. Dan ketika saya akhirnya memasuki masjid, aura itu lebih terasa lagi. Kemudian insting menuntun saya untuk menunaikan salat tahiyatul masjid, lalu duduk menunggu adzan dzuhur. Nah, sebelumnya penulis sudah mengetahui bahwa Masjid Nabawi itu dibangun langsung oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, dan bahwa baginda nabi dimakamkan di bagian depan masjid, tepatnya di Raudhah yang dulunya merupakan rumah tinggal istri beliau Aisyah, dan ditandai dengan kubah hijau diatasnya.
Dan ketika penulis sedang duduk itulah, kembali insting seperti mengingatkan saya bahwa posisi duduk saya saat ini tidak jauh dari makam nabi, dan saya harus mengucap salam kepada Nabi Muhammad, karena sekarang saya ada di dalam ‘rumah’ baginda nabi. Maka saya kemudian mengucap..
Assalamualaika Ya Rasulullah.. Assalamualaika Ya Habiballah..
Kemudian saya mengucap sholawat, berkali-kali tanpa henti, sampai terdengar suara adzan. Namun setelah selesai salat maka saya kembali mengucap sholawat, sebelum akhirnya perut lapar karena belum makan siang memaksa saya untuk balik ke hotel. Nah, tapi ketika saya keluar dari gerbang Masjid Nabawi dan melihat bangunan masjid itu sendiri, entah kenapa saya merasa haru biru.. Karena bangunan masjidnya tampak begitu megah dan indah, sangat berbeda dibanding gedung-gedung hotel di sekitarnya. Kemudian seperti ada yang berbicara ke diri saya sendiri:
‘Masjid ini dibangun oleh Nabi Muhammad sendiri, bukan orang lain, dan kamu sekarang ada disini tidak jauh dari tempat Baginda berbaring. Lalu mengapa kamu tidak bersyukur??’
Alhasil selepas makan siang dan istirahat sejenak, penulis bergegas kembali ke masjid untuk siap-siap salat ashar. Dan kali ini penulis maju sejauh mungkin ke depan (masjidnya gede banget ternyata), sampai akhirnya saya mendapat tempat kosong tiga shaf di belakang Raudhah. Saya kemudian duduk disitu, dan disinilah moment itu terjadi.
Saya mengetahui bahwa posisi saya sekarang ini sangat dekat dengan makam Nabi Muhammad. Dan pada moment inilah saya merasa haru.. dan menangis (saya tidak pernah menangis sejak rugi besar karena market crash bulan September 2013).
Karena saya akhirnya menyadari bahwa aura yang saya rasakan beberapa jam sebelumnya adalah wibawa, karisma, serta kemuliaan dari Rasulullah sendiri, yang membuat saya merasa nyaman, merasa sangat terhormat bisa duduk di dekat Baginda Nabi.
Dan sebagai investor yang selalu mengedepankan logika, saya ketika itu tidak habis pikir bagaimana mungkin seseorang yang sudah meninggal dunia 1,400 tahun lalu masih bisa dirasakan kehadirannya, dan membuat kita merasa nyaman dan bahagia hanya karena berada di dekatnya?? Tapi pada akhirnya saya mengalah, dan memilih untuk menikmati perasaan bahagia tersebut dengan cara mengucap salam dan sholawat dengan mata berkaca-kaca, terus menerus. Hanya sedikit doa yang saya panjatkan ketika itu, dan saya lebih banyak mengucap sholawat dan salam saja. Selepas ashar saya tetap duduk-duduk dan rebahan disitu sampai masuk waktu salat maghrib, dan juga isya.
Selepas isya baru saya balik ke hotel untuk tidur. Besok paginya Pak Ustadz pembimbing bilang bahwa kami dapet jadwal ke Raudhah setelah salat ashar, dan ketika saya mendapat kabar tersebut rasanya senang sekali, karena artinya saya bisa bertemu lebih dekat lagi dengan Rasulullah. Saya kemudian mandi besar, bercukur, memakai wangi-wangian, dan mengenakan pakaian gamis terbaik yang sudah disiapkan sebelumnya. Tidak pernah saya se-excited itu sebelumnya, karena sebentar lagi saya akan bertemu dengan orang yang amat sangat penting, orang paling mulia yang pernah ada di muka bumi ini, yang tidak ada yang lebih mulia sebelum dia, dan juga tidak ada yang lebih mulia sesudah dia.
And btw kalau anda pernah ketemu langsung dengan penulis, maka anda akan bisa melihat bahwa saya sangat cuek dan kurang memperhatikan penampilan, dengan outfit kaos dan sendal jepit ala nasabah prioritas Bank BCA gitu deh. Tapi bisa dibilang bahwa jika saya pada saat itu harus membeli dan mengenakan setelan jas terbaik yang harganya sangat mahal, maka saya akan membelinya. Karena yang akan saya temui kali ini bukan orang biasa, melainkan Habiballah, kekasih Allah SWT itu sendiri.
Kemudian ketika antri dengan ratusan jamaah lainnya untuk memasuki Raudhah, penulis berdoa semoga saya diberi kesempatan untuk duduk atau berdiri sedekat mungkin dengan makam nabi. Dan Alhamdulillah doa saya terkabul: Ketika saya berjalan beriringan dengan jamaah lainnya melewati makam nabi, posisi saya paling depan, hanya berjarak 1 meter dari makam..
Dan pada saat itulah tangis saya pecah..
Saya menangis sejadi-jadinya, sesegukan, sambil bibir terus mengucap sholawat dan salam. Moment yang sangat berharga itu berlangsung kurang dari 1 menit, dan tiba-tiba saja saya sudah diluar lagi. Pada saat itulah saya ganti mengucap Alhamdulillah berkali-kali, karena doa saya sebelumnya terkabul. Saya kemudian berdiri menyender di sebuah pagar tak jauh dari Raudhah, untuk terus menikmati perasaan berada di dekat nabi. Beberapa waktu kemudian barulah akhirnya saya mengeluarkan ponsel untuk foto-foto, sebelum kemudian balik ke hotel.
Penulis di depan Masjid Nabawi, tidak jauh dari Raudhah (kubah hijau) |
Setelah itu penulis selalu berusaha untuk salat fardhu sedekat mungkin dengan Raudhah. Dan ketika akhirnya kami harus meninggalkan Madinah untuk menuju Mekkah, maka dari dalam bus penulis sempat melihat pelataran Masjid Nabawi dari kejauhan. Pada saat itulah saya berucap lagi dalam hati.
‘Assalamualaikum Ya Rasulullah.. Saya pamit pulang, semoga nanti kita bertemu lagi.’
Okay Pak Teguh, berarti tulisan ini gak ada hubungannya sama saham ya? Yep, memang gak ada, disini saya cuma mau sharing saja. Karena pengalaman di Madinah kemarin itu benar-benar magical, dan saya sekarang selalu merasa haru serta mengucap sholawat setiap kali mendengar nama Nabi Muhammad SAW disebut. Ada rasa cinta dan kerinduan yang tidak bisa saya jelaskan, istilahnya baper kalau anak sekarang bilang, dan saya sangat menikmati perasaan tersebut. Sebenarnya setiap kali penulis berkunjung ke kota atau negara tertentu, maka kalau sudah melihat kotanya ya sudah, dan saya gak mau kalau harus kesitu lagi. Tapi setelah umroh kemarin maka saya ingin pergi kesana lagi, untuk kembali berada sedekat mungkin dengan Baginda Nabi, tak peduli meski Kota Madinah itu sendiri sebenarnya gak ada bagus-bagusnya.
Dan ketika di Mekkah pun penulis banyak
mengalami moment yang tak terlupakan. Tapi mungkin nanti saja saya ceritakan di
lain kesempatan.
***
Live
Webinar Value Investing, Sabtu
30 September 2023, pukul 08.00 – 10.00 WIB. Untuk mendaftar klik disini.
Komentar
Namun kecintaan kepada Rasulullah SAW seharusnya dibarengi dengan ketaatan pada perintah dan larangannya. Diantaranya dengan menghindari saham yang jelas diharamkan syariat, misalnya emiten minuman keras, emiten rokok, emiten bank riba dan lain sebagainya. Di dalam usaha atau bisnis, yang kita kejar bukan besarnya cuan, namun besarnya keberkahan atas cuan tersebut