Tertarik IPO Pertamina Geothermal (PGEO)? Ini Analisa Lengkapnya

IPO PT Pertamina Geothermal Energy, Tbk (PGEO) mungkin tampak menarik karena menyandang nama besar Pertamina, yang kita tahu merupakan perusahaan yang sangat besar dan strategis di bidang energi di Indonesia, dimana boleh dibilang tidak ada orang Indonesia yang bisa mengendarai kendaraan bermotor, yang tidak pernah mengisi bensin di pom bensin Pertamina. However, yang akan IPO kali ini bukanlah unit usaha Pertamina di bidang SPBU itu, melainkan unit usaha di bidang geothermal alias energi panas bumi. Nah, jadi bagaimana prospeknya? Dan apa itu energi geothermal? Bagaimana kegunaannya?

***

Ebook Investment Planning berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi terbaru Kuartal IV 2022 sudah terbit! Dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Sejarah perusahaan dimulai ketika pada tahun 1983, Pertamina (yang ketika itu belum berbentuk badan hukum PT, melainkan disebut ‘Pertamina’ saja) bersama dengan PLN (melalui anak usahanya PT Indonesia Power) menyelesaikan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan kapasitas 30 megawatt (MW) di Kamojang, Jawa Barat, dimana Pertamina bertugas menyuplai panas bumi dari Kawah Kamojang, dan PLN mengoperasikan pembangkit listriknya. Jadi sebagai negara dengan jumlah gunung berapi salah satu yang terbanyak di dunia, maka Indonesia sudah sejak dulu memiliki sumber energi alternatif berupa panas bumi yang terutama digunakan untuk pembangkit listrik, namun potensi energi tersebut baru mulai dimanfaatkan sejak tahun 1983 tersebut. Pada tahun 1996, Pertamina bersama PLN menyelesaikan pembangunan PLTP kedua mereka di Sibayak, Sumatera Utara, dilanjut dengan PLTP ketiga di Lahendong, Sulawesi Utara, pada tahun 2001. Pada tahun 2003, badan hukum PT Pertamina resmi berdiri, dan pada tahun 2006, PT Pertamina Geothermal Energy (PGEO) juga ikut didirikan sebagai anak usaha PT Pertamina yang fokus di bidang energi panas bumi. Di tahun-tahun selanjutnya PGEO terus menambah kapasitas produksi uap panas bumi, yang pada gilirannya meningkatkan kapasitas produksi listrik di tiga lokasi PLTP di atas, dan juga membangun sejumlah PLTP di banyak lokasi lain. Dan tidak semua PLTP itu dioperasikan oleh PLN dan/atau pihak ketiga lainnya, melainkan ada juga yang dioperasikan oleh PGEO sendiri, lalu baru PGEO menjual listrik yang dihasilkan ke PLN.

Hingga pada akhir tahun 2022, PGEO sudah memiliki wilayah kerja panas bumi (WKP) di setidaknya 13 lokasi dengan total kapasitas produksi listrik sebesar 1,877MW, di mana 672MW diantaranya dioperasikan sendiri, dan 1,205MW selebihnya dioperasikan oleh pihak ketiga (dalam hal pembangkit listriknya dioperasikan oleh pihak ketiga, maka PGEO memperoleh pendapatannya dari menjual uap panas bumi ke pihak ketiga tersebut). Ke-13 lokasi tersebut yakni Kamojang, Sibayak, Lahendong, Ulubelu (Lampung), Lumut Balai (Sumatera Selatan), Sungai Penuh (Jambi), Hululais (Bengkulu), Karaha, Salak, Pangalengan (semuanya Jawa Barat), Gunung Sibualbuali (Sumatera Utara), Bedugul (Bali), dan Seulawah (Aceh), albeit belum semua WKP tersebut sudah beroperasi, melainkan sebagian diantaranya masih dalam proses konstruksi, dan/atau perizinan. Dalam jangka panjangnya, PGEO akan terus membangun dan menyelesaikan pembangunan WKP baru, dan juga menambah kapasitas produksi panas bumi & listrik di WKP yang sudah ada. Termasuk dari perolehan dana hasil IPO-nya sebesar sekitar Rp9.8 triliun, maka 85% diantaranya akan digunakan untuk menambah kapasitas produksi listrik di WKP yang sudah ada, dan 15% sisanya untuk membayar utang. Penambahan kapasitas ini diperlukan karena sejalan dengan visi Pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan alias EBT (dan panas bumi merupakan salah satu EBT tersebut) sebanyak setidaknya 23% dari seluruh penggunaan energi di Indonesia, pada tahun 2025 nanti. Jika semuanya lancar, maka Indonesia akan mencapai net zero emission, alias 100% menggunakan EBT dan sepenuhnya meninggalkan energi fosil (minyak, gas, dan batubara) pada tahun 2060. PGEO sendiri menargetkan untuk menambah kapasitas produksi listriknya sebanyak 600MW menjadi total 2,477MW hingga tahun 2027 nanti.


Sehingga kalau kita bicara jangka panjaaaang sampai 5 – 10 tahun kedepan, maka prospek PGEO ini menarik karena rencana kerjanya jelas, track record operasionalnya sudah ada dan cukup bagus dimana jumlah WKP dan kapasitas produksi listriknya selama ini tumbuh terus, serta adanya dukungan penuh dari Pemerintah. Nah, namun demikian ada beberapa hal lagi yang harus diperhatikan.

Pertama, di seluruh dunia, energi geothermal/panas bumi umumnya digunakan untuk pembangkit listrik dan pemanas ruangan ketika musim dingin. Namun karena Indonesia merupakan negara tropis yang tidak mengenal musim dingin, maka penggunaan geothermal disini terbatas hanya untuk pembangkit listrik. Dan entah itu PGEO menjual uap panas bumi atau listrik, maka pembeli akhirnya hanya satu yakni PLN (kalaupun PGEO misalnya menjual uap panas bumi ke pembangkit listrik swasta, maka pembangkit tersebut pada akhirnya akan menjual listriknya ke PLN). Problemnya, PLN selama ini memberlakukan merit order, di mana PLN akan lebih memilih sumber energi yang lebih murah seperti misalnya batubara, ketimbang geothermal atau EBT lainnya (memproduksi uap panas bumi lebih sulit dan karenanya lebih mahal, dibanding memproduksi batubara yang tinggal gali doang). Jadi itulah alasan kenapa sampai hari ini sekitar 84% pembangkit listik PLN masih menggunakan bahan bakar batubara atau minyak, dan selebihnya baru menggunakan EBT. Memang, sesuai amanat Pemerintah, dalam jangka panjang porsi penggunaan EBT termasuk geothermal akan ditingkatkan. Namun jika misalnya penggunaan EBT ini menyebabkan biaya operasional PLN meningkat hingga ke satu titik di mana PLN harus menaikkan tarif listrik, dan imbasnya meningkatkan beban hidup masyarakat, maka PLN akan lebih memilih untuk balik lagi ke batubara ketimbang menaikkan tarif listrik tersebut. Penulis kira inilah alasan kenapa pada tahun 2020 pendapatan PGEO anjlok sangat signifikan dari $667 juta di tahun 2019-nya menjadi hanya $354 juta. Karena dalam situasi resesi – pandemi ketika itu, maka untuk menghemat pengeluaran, PLN kembali memprioritaskan penggunaan batubara ketimbang geothermal. Dari sini kita bisa lihat bahwa kinerja PGEO sangat rentan terhadap perlambatan, resesi, atau krisis ekonomi, karena geothermal dianggap sebagai sumber energi yang ‘mewah dan mahal’, yang hanya bisa dibeli ketika Pemerintah/PLN sedang banyak duit.

Kedua, anda mungkin sudah mendengar bahwa Indonesia, khususnya Pulau Jawa, saat ini mengalami kondisi kelebihan pasokan listrik seiring gencarnya pembangunan pembangkit listrik baru oleh Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Problemnya sebagian besar WKP milik PGEO yang sudah beroperasi penuh lokasinya ya di Pulau Jawa, karena memang sumber panas bumi paling banyak tersedia disini, dan uap panas bumi berbeda dengan batubara yang mudah diangkut pakai truk dan kapal. Sehingga berbeda dengan pembangkit listrik batubara yang bisa dibangun dimana saja, PLTP hanya bisa dibangun di lokasi sumber panas bumi itu sendiri. Kondisi ini, sekali lagi, akan kurang menguntungkan bagi PGEO. Dan ketiga, karena baik itu PGEO dan PLN sama-sama berstatus BUMN, maka bisnisnya pake sistem ‘harga teman’, dimana harga jual uap panas bumi/listrik dari PGEO ke PLN diatur agar tidak terlalu menguntungkan atau sebaliknya merugikan salah satu pihak. Masalahnya, seperti disebut diatas, pelanggan PGEO ya hanya PLN ini saja, jadi beda dengan misalnya BUMN batubara seperti Bukit Asam (PTBA), yang selain jualan ke PLN juga bisa jualan ke luar negeri pada harga yang bukan ‘harga teman’, dan alhasil profitnya lebih maksimal.

Jadi karena itulah, kinerja PGEO selama ini tidak istimewa dimana sejak tahun 2019 sampai hari ini, return on equity atau ROE-nya hanya berkisar di 7 – 10% saja. Dan untuk kedepannya penulis tidak melihat bahwa kinerja laba PGEO akan meningkat signifikan, karena hal-hal yang sudah dijelaskan diatas. Penulis lebih melihat bahwa kinerja PGEO ini dalam jangka panjangnya akan seperti PLN, yang meski secara omzet pendapatannya akan naik terus seiring bertambahnya jumlah dan kapasitas WKP yang dimiliki, tapi laba bersihnya ya bakal segitu-gitu aja. Karena fokus Pemerintah sebagai pemilik perusahaan bukanlah untuk mengejar laba, melainkan menyediakan sumber energi yang bersih, ramah lingkungan, dan terjangkau bagi rakyat.

Valuasi Saham PGEO: Relatif Murah Untuk Ukuran Saham IPO

Anyway, sampai sini maka penulis kira cukup jelas bahwa prospek PGEO ini kurang menarik. Tapi sekarang mari kita ke valuasi sahamnya. Dalam IPO-nya, PGEO direncanakan akan melepas 10.3 miliar lembar saham, atau setara 25% jumlah saham beredar (sehingga pasca IPO, jumlah saham beredar PGEO mencapai 41.4 miliar lembar), pada harga Rp945 per saham. Sehingga perusahaan akan memperoleh dana Rp9.78 triliun. Ekuitas PGEO per Q3 2022 tercatat $1.3 miliar, setara Rp19.5 triliun (asumsi kurs Rp14,882 per Dollar). Maka setelah IPO-nya ekuitas PGEO akan menjadi 19.5 + 9.78, sama dengan Rp29.3 triliun.

Lalu berapa market cap/nilai perusahaan PGEO pada harga saham Rp945? Jawabannya adalah Rp945 x 41.4 miliar, sama dengan Rp39.1 triliun. Karena ekuitas PGEO tadi diatas Rp29.3 triliun, maka PBV-nya 1.33 kali, terhitung murah untuk ukuran saham IPO yang biasanya dijual pada valuasi selangit. Tapi bagaimana dengan profitabilitas perusahaan? Well, hingga Q3 2022, PGEO mencatat laba $111 juta, disetahunkan jadi $149 juta, setara Rp2.2 triliun. Dengan ekuitas pasca IPO Rp29.3 triliun, maka ROE-nya menjadi 7.5%.

Sehingga bahasa mudahnya, untuk PGEO ini anda beli aset senilai Rp1,000 yang menghasilkan keuntungan Rp75 per tahun, sehingga tahun depan nilai aset tersebut akan naik menjadi Rp1,075, tapi pada harga Rp1,330. Worth it? Menurut penulis sih worth it. Karena dengan asumsi perusahaan kedepannya bisa mempertahankan atau bahkan meningkatkan perolehan labanya, maka investor akan balik modal hanya dalam waktu 2 – 3 tahun saja. Jadi tidak hanya dibandingkan dengan saham-saham IPO lainnya, jika dibandingkan dengan valuasi dari saham-saham yang sudah ada di BEI sekarang ini, maka valuasi PGEO tetap terhitung murah, atau minimal tidak bisa disebut mahal.

Kesimpulannya, PGEO secara prospek kinerja keuangan kurang menarik, tapi disisi lain valuasi sahamnya jauh lebih murah dibanding IPO-IPO BUMN sebelumnya, albeit tidak bisa disebut ‘murah banget’ juga (bagi anda yang sudah ikut blog ini sejak lama, tentu hafal kalau saya lebih suka saham dengan PBV nol koma sekian). Jadi kalau penulis sendiri, saya lebih suka beli sahamnya nanti di pasar, dalam hal ini jika dikasih harga yang lebih murah lagi, ketimbang ikut IPO-nya. Nevertheless, the choice is yours.

***

Jadwal Avere Annual Meeting 2023 dimana kita akan membahas evaluasi hasil investasi di sepanjang tahun 2022 lalu (dimana kami profit 68.8% termasuk dividen), market outlook, serta saham-saham pilihan untuk tahun 2023: Jakarta, Sabtu 18 Maret 2023. Untuk mendaftar klik disini.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email

Komentar

Mr Su mengatakan…
Pgeo dan pgas atau elsa bagus mana pak

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?