Indonesia TIDAK Akan Resesi Tahun 2023, Ini Alasannya

Dalam beberapa waktu terakhir ada banyak berita, termasuk postingan di media sosial yang menyebutkan, dengan argumen mereka masing-masing, bahwa Indonesia akan resesi di tahun 2023 nanti. However hingga ketika artikel ini di-posting, penulis termasuk yang beranggapan bahwa kita tidak akan mengalami resesi. Dan berikut penjelasannya.

***

Ebook Market Planning yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Semuanya bermula ketika pada awal tahun 2020 lalu pecah pandemi Covid-19, yang memaksa Pemerintahan di negara-negara di seluruh dunia memberlakukan lockdown, yang pada intinya melarang orang keluar rumah untuk bekerja dll hingga aktivitas ekonomi sempat berhenti total sama sekali, dan imbasnya tentu saja terjadi krisis ekonomi. Merespon hal tersebut, pemerintahan di seluruh dunia kemudian meluncurkan berbagai paket stimulus untuk membantu rakyatnya, untuk membantu mempercepat pemulihan ekonomi. Misalnya di Indonesia dimana Pemerintah meluncurkan bantuan langsung tunai (BLT), yakni pemberian uang secara cuma-cuma dan langsung kepada masyarakat yang terdampak PSBB/PPKM. Termasuk Pemerintah Amerika Serikat (AS), yang sepanjang tahun 2020 – 2021 menggelontorkan tiga paket stimulus ekonomi senilai total $6.4 triliun, di mana uangnya berasal dari ‘aksi cetak Dollar’ oleh bank sentral mereka, yakni Federal Reserve alias The Fed.

Dan berkat paket-paket stimulus tersebut, maka memasuki tahun 2021, perekonomian dunia perlahan tapi pasti kembali pulih, termasuk AS yang kembali mencatat pertumbuhan ekonomi positif sejak kuartal I 2021. Ditambah sudah ditemukannya vaksin yang memungkinkan pemerintah untuk melonggarkan lockdown, maka aktivitas ekonomi juga pelan-pelan kembali normal. Hingga pada awal 2022 kemarin, yakni setelah kemunculan varian terakhir Covid yakni Omicron, maka bisa dibilang bahwa dunia sudah kembali normal dimana pandeminya sudah reda, mayoritas penduduk dunia juga sudah menerima vaksin, dan orang-orang sudah kembali bekerja seperti biasa. Penulis sendiri sudah sejak beberapa bulan terakhir ini kembali bebas travelling keliling Indonesia dan juga keluar negeri, dan juga sudah bisa mengantar jemput anak sekolah setiap hari.

Namun kemudian muncul masalah baru: Inflasi. Yup, masih ingat dengan aksi cetak Dollar yang tadi disebut di atas? Hal itu tentu saja menaikkan jumlah uang Dollar beredar di AS dan juga seluruh dunia, yang pada gilirannya menaikkan harga-harga barang dan jasa, termasuk juga menaikkan harga-harga saham, crypto, dan komoditas (karena uang Dollar baru itu kemudian juga digunakan untuk beli saham dll). Alhasil inflasi AS melejit hingga sempat mencetak rekor 9.1% secara year on year Juni 2022 kemarin, tertinggi sejak 40 tahun terakhir.  Dan ternyata tidak cuma The Fed, tapi bank-bank sentral lainnya di seluruh dunia juga sama mencetak mata uang dalam jumlah besar, sehingga negara-negara lain juga mengalami inflasi. Termasuk di Indonesia di mana inflasi terakhir mencapai 5.95%, naik signifikan dibanding tahun 2020 – 2021 lalu yang masih dibawah 2%. Anda juga mungkin bisa melihat sendiri bahwa harga-harga sejumlah kebutuhan pokok memang naik lumayan dalam beberapa waktu terakhir ini.

Kemudian problemnya, jika inflasi ini dibiarkan/harga-harga terus saja naik, maka kita akan sampai pada satu situasi dimana orang-orang mengurangi belanja kebutuhan pokok dll, karena memang harganya sudah tidak lagi terjangkau. Dan jika itu terjadi maka tingkat konsumsi akan turun, dan pertumbuhan ekonomi juga akan melambat atau bahkan kembali menjadi negatif seperti di tahun 2020 lalu, alias resesi. Karena itulah, di Amerika, The Fed sudah sejak bulan Maret 2022 lalu menaikkan suku bunga (Fed Rate) dari 0.25% menjadi 0.50%, dan terus naik sampai terakhir sudah mencapai 3.25%. Ketika suku bunga naik, maka bunga perbankan secara umum termasuk bunga deposito akan ikut naik sehingga masyarakat akan lebih banyak menyimpan uang mereka di bank, dan alhasil jumlah uang Dollar beredar akan berkurang, dan inflasi juga akan mereda. Dan memang setelah kenaikan Fed Rate yang terbilang agresif ini, maka inflasi AS pelan-pelan turun lagi hingga terakhir tinggal 8.2% (dari sebelumnya 9.1%), dan diperkirakan kedepannya masih akan lanjut turun lagi.

Namun disisi lain ketika jumlah Dollar beredar berkurang, maka perusahaan akan lebih sulit mengambil utang ke bank (karena bunganya naik), dan alhasil mereka mungkin akan menunda ekspansi membangun pabrik dll, sehingga imbasnya pertumbuhan ekonomi melambat. Dan ketika suplai uang Dollar di pasar saham, crypto, dan komoditas berkurang, maka harga-harga aset keuangan itu juga otomatis akan turun. Indeks Dow Jones contohnya, yang sempat menyentuh all time high 36,953 pada November 2021, sekarang tinggal 30,482. Demikian pula bitcoin yang sempat mencapai $68,790, sekarang tinggal $19,000-an. Dan harga minyak yang sempat mencapai $120, sekarang tinggal $80-an per barel. Di Amerika sendiri, yang memang industri keuangannya memiliki porsi signifikan terhadap PDB secara keseluruhan, maka ketika nilai transaksi saham dll drop karena memang pasarnya sedang lesu, termasuk ada banyak investor/trader yang merugi (saat ini sekitar 52% penduduk Amerika berinvestasi di saham/crypto entah itu secara langsung maupun melalui reksadana/dana pensiun), maka imbasnya pertumbuhan PDB/ekonomi Amerika ikut melambat menjadi hanya +1.8% secara year on year pada kuartal II 2022, dan mungkin bisa jadi minus alias resesi pada kuartal berikutnya nanti, yakni jika The Fed kembali menaikkan suku bunga (karena meski inflasi di AS sudah turun menjadi 8.2%, tapi angka segitu masih terbilang tinggi).

Sedangkan di Uni Eropa ceritanya beda lagi, dimana inflasi menggila tidak hanya karena meningkatnya jumlah uang Euro beredar, tapi juga karena terjadi krisis energi. Jadi ceritanya, tak lama setelah Rusia mulai menginvasi Ukraina pada Februari 2022 lalu, maka negara-negara anggota NATO segera menjatuhkan sanksi ekonomi di mana Uni Eropa berhenti membeli/mengimpor minyak, gas, dan batubara dari Rusia, dengan harapan agar perekonomian negaranya Vladimir Putin itu kolaps.

Tapi hingga berbulan-bulan kemudian, justru Uni Eropa-lah yang sekarang megap-megap kekurangan batubara dll, karena mereka tidak punya batubara sendiri (selama ini ya mereka impor batubara dari Rusia), sedangkan kalau mau impor dari Indonesia atau Australia maka jaraknya terlalu jauh. Alhasil harga BBM dan tarif listrik di Eropa terus saja naik. Dan dalam kondisi demikian, maka bank sentral setempat (European Central Bank/ECB, dan Bank of England/BoE) tidak bisa menaikkan suku bunga terlalu tinggi seperti yang dilakukan oleh The Fed. Karena jika jumlah uang beredar berkurang ketika suplai energi dan juga suplai barang-barang kebutuhan masyarakat masih sangat seret (kelangkaan energi menyebabkan tidak tersedia cukup BBM untuk distribusi/pengangkutan sembako dll, dan imbasnya menyebabkan kelangkaan sembako itu sendiri di sejumlah tempat), maka yang akan turun hanya pertumbuhan ekonominya saja, tapi harga-harga tetap tidak akan turun. Alhasil suku bunga ECB dan BoE hanya dinaikkan menjadi 1.25% dan 2.25% saja, atau masih dibawah Fed Rate yang sudah mencapai 3.25%. Tapi efek sampingnya? Yup, inflasi di Eropa masih terus naik sampai hari ini, dimana untuk Uni Eropa angkanya terakhir mencapai 10.0%, sedangkan di Inggris 10.1%. Sedangkan untuk mata uang Euro dan juga Pound Sterling itu sendiri, maka nilainya anjlok terhadap US Dollar.

Lalu Bagaimana dengan Indonesia?

Nah, jadi mari kita simpulkan lagi: Meski pertumbuhan ekonominya sejatinya masih positif, tapi di Eropa sekarang ini memang sedang terjadi resesi dari sisi inflasi/kenaikan harga-harga di sana yang terbilang out of control, terutama karena disisi lain Perang Rusia – Ukraina belum diketahui kapan bakal selesai. Sedangkan di Amerika tidak terjadi resesi, tapi memang ada kekhawatiran bahwa resesi itu akan terjadi dalam waktu dekat, yakni jika Fed Rate kembali dinaikkan. However, jika Fed Rate kedepannya tetap di level 3.25% alias tidak naik lagi, maka normalnya resesi itu juga tidak akan terjadi, dan memang sejumlah analis/ekonom juga sudah memperkirakan bahwa Fed Rate tidak akan naik lagi, atau kalaupun naik maka tidak akan sampai di atas 5%, karena untuk saat inipun sebenarnya inflasi di sana sudah mulai terkendali. Kemudian Amerika juga tidak akan mengalami krisis energi atau semacamnya seperti yang dialami oleh Eropa, karena mereka punya produksi minyak, gas, dan batubaranya sendiri, dan juga banyak lagi komoditas lainnya.

Namun demikian karena seperti disebut diatas, ada banyak sekali investor/trader saham, crypto, komoditas, NFT di Amerika yang merugi karena bear market di Wallstreet dalam beberapa bulan terakhir ini (termasuk kekayaan Mark Zuc juga turun lebih dari $70 miliar seiring penurunan harga saham Facebook), maka secara psikologis, Amerika juga bisa dikatakan sudah mengalami resesi. Hal-hal inilah yang kemudian memunculkan prediksi bahwa nanti tahun depan, giliran Indonesia yang mengalami resesi. Karena sebagai dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, maka ketika Amerika dan Uni Eropa mengalami resesi, maka biasanya cuma soal waktu sebelum resesi tersebut akan merembet ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Nah, tapi penulis bisa katakan bahwa Indonesia di tahun 2023 nanti tidak akan resesi, karena poin-poin analisa sebagai berikut.

Pertama, penyebab dari situasi resesi di Amerika dan Eropa sekarang ini adalah inflasi, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi karena imbas dari kenaikan suku bunga untuk meredakan inflasi itu sendiri. Jadi dari sisi penyebab, maka resesi Amerika/Eropa di tahun 2022 ini berbeda dengan krisis tahun 2020 lalu karena berhentinya aktivitas ekonomi karena lockdown, dan juga berbeda dengan krisis tahun 2008 lalu karena bubble di sektor properti, yang kemudian memicu kebangkrutan sejumlah lembaga keuangan ketika itu, salah satunya Lehman Brothers yang kalau disini setara Bank Mandiri atau Bank BNI.

Sedangkan di Amerika sekarang ini tidak ada lembaga keuangan tertentu yang terancam bangkrut, bubble yang terjadi di pasar saham dan crypto pelan-pelan sudah kempes dengan sendirinya sejak setahun terakhir, dan inflasinya juga sudah mulai mereda. Jadi seperti disebut di atas, asalkan The Fed tidak kembali menaikkan suku bunga, maka ekonomi negeri Paman Sam akan baik-baik saja, dan jika demikian maka tidak akan terjadi resesi besar yang kemudian merembet ke Indonesia. Tapi memang di Eropa kondisinya berbeda karena terjadi krisis energi, pelemahan mata uang Euro dan Pound Sterling, dan beberapa lembaga keuangan besar seperti Credit Suisse disebut-sebut berisiko untuk kolaps karena mereka rugi besar dari investasi saham dll senilai miliaran Dollar. However kalaupun situasi di Eropa memburuk, misalnya karena Perang Rusia – Ukraina tidak kunjung selesai, maka dampaknya justru akan positif terhadap Indonesia, karena itu akan membuat harga energi terutama batubara bertahan di level tertingginya ($300 – 400 per ton) seperti sekarang. Sedangkan Indonesia, seperti yang kita ketahui, merupakan eksportir batubara terbesar di dunia dari sisi volume. Ini pula yang menjelaskan kenapa nilai ekspor Indonesia naik terus dalam 1 – 2 tahun terakhir, di mana itu turut berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi, yang terbilang lebih cepat dibanding negara-negara lain yang tidak memiliki sumber daya alam (SDA) sejenis. Dan jangan lupa bahwa sekarang ini situasi pandemi di Indonesia sudah cukup terkendali, jadi kita tidak perlu lagi khawatir bakal diberlakukan lagi PSBB/PPKM seperti tahun-tahun lalu.

Lalu kedua, selain krisis energi, maka sekarang ini juga sedang terjadi krisis pangan di sejumlah negara akibat kenaikan harga komoditas pangan itu sendiri (gandum, jagung, gula, kacang kedelai, minyak sawit/CPO, dst) sejak tahun 2020 – 2021 lalu, karena inflasi akibat aksi cetak Dollar yang dibahas di atas, dan juga karena kenaikan harga bahan bakar minyak yang menaikkan biaya pengangkutan/distribusi bahan makanan itu tadi. Ditambah situasi Perang Rusia – Ukraina yang menyebabkan kedua negara tidak bisa mengekspor gandum, jagung, dan minyak biji bunga matahari seperti biasanya (Rusia bersama dengan Ukraina berkontribusi sekitar 27% dari volume ekspor gandum di seluruh dunia), maka imbasnya terjadi kelangkaan gandum di seluruh dunia. Dan di beberapa negara, situasinya memang cukup buruk hingga menimbulkan kekacauan. Di Iran misalnya, saat ini sedang berlangsung protes dan unjuk rasa di seluruh penjuru negeri akibat meroketnya harga bahan makanan pokok terutama roti dan pasta, karena ketidakmampuan pemerintah setempat dalam mengatasi masalah kelangkaan gandum (yang merupakan bahan baku roti dan pasta itu tadi).

Tapi bagaimana dengan Indonesia? Well, kondisi disini juga sempat kacau ketika beberapa waktu lalu harga minyak goreng naik tidak terkendali hingga tembus Rp24,000 per liter, tapi Pemerintah gerak cepat dan sekarang harganya sudah turun lagi menjadi Rp14,000 per liter. Kemudian anda boleh cek sendiri harga-harga sembako seperti beras, tepung terigu, gula pasir, daging ayam/sapi, telur, bawang dan cabai, hingga susu: Seperti halnya minyak goreng yang mengalami kenaikan tapi kemudian turun lagi, maka harga telur dkk juga sempat naik, tapi belakangan ini turun dan stabil kembali. Bahkan harga mi instan Indomie yang sempat diisukan naik 3 kali lipat, terakhir saya cek juga masih dibawah Rp3,000 per bungkus. Satu-satunya yang masih tinggi adalah harga BBM dan juga elpiji, tapi kenaikannya masih dalam batas-batas yang wajar dan masih terjangkau masyarakat, dan yang paling penting tidak sampai terjadi kelangkaan BBM seperti yang terjadi di negara-negara lain (bahkan juga di Eropa).

Ilustrasi gambar minyak goreng dan margarine

Dan menurut penulis sendiri, Indonesia sampai sejauh ini tidak mengalami krisis pangan karena kita mampu memproduksi bahan pangan itu sendiri seperti beras, jagung, singkong (bahan baku tepung tapioka), daging ayam/telur, dan minyak sawit (bahan baku minyak goreng), ditambah rantai distribusinya juga lancar seiring dengan membaiknya kualitas infrastruktur di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Jadi yah, terkait krisis pangan ini, penulis juga tidak melihat skenario bahwa Indonesia akan ‘gelap gulita’ pada tahun 2023 nanti. Itu cuma bahasa clickbait-nya media, tentu saja.

Jadi kesimpulannya sekali lagi, tidak, Indonesia tidak akan resesi tahun 2023 nanti. Memang seperti halnya di Amerika, disini juga terjadi perlambatan ekonomi setelah Bank Indonesia (BI) juga menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi, dan ada sejumlah pedagang/pengusaha yang mengeluh jualannya kurang laku/usahanya lesu. Tapi secara agregat/keseluruhan, maka ekonomi kita masih tumbuh signifikan, terakhir +5.44% secara year on year pada kuartal II 2022. Okay, lalu kenapa kok Pemerintah sendiri sepertinya getol sekali bilang bahwa Indonesia tahun depan bakal resesi? Kalau penulis sendiri melihat itu sebagai himbauan agar masyarakat tidak terlalu euforia dengan momentum pemulihan ekonomi yang terjadi sekarang ini. Seperti disebut di atas, beberapa pengusaha memang mengeluh usahanya lesu, tapi bisnis lainnya masih lancar jaya, dan itu bisa dilihat dari volume penjualan kendaraan bermotor yang booming dalam beberapa bulan terakhir ini. Yup, anda juga pasti memperhatikan sekarang ini di jalanan ada banyak mobil baru termasuk yang harganya mencapai Rp500 jutaan bukan? Dan kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung sekarang jadi lebih macet bahkan dibanding sebelum pandemi. Euforia seperti inilah yang jika dibiarkan maka bisa berujung pada resesi itu sendiri.

Sehingga ketika Ibu Menteri Keuangan, dan juga Pak Presiden sendiri bilang hati-hati, Indonesia mungkin akan resesi, maka itu merupakan tindakan pencegahan agar masyarakat tidak lagi terlalu boros dengan membeli barang-barang yang bukan kebutuhan pokok seperti itu, apalagi dengan cara kredit/paylater. Melainkan kita semua harus berhemat, menabung, dan jangan berhutang kecuali benar-benar diperlukan. Nah, jadi jika kita semua juga sudah ‘bersiap-siap’ seperti itu, then don’t worry, Indonesia akan baik-baik saja.

***

Ebook Market Planning yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan terbaru dari blog ini via email

Komentar

Gusti mengatakan…
Setuju banget sama opini'nya pak teguh
Yasin Ramadhani mengatakan…
Siap pak TH, kita harus optimis dg Indonesia dan ketika market turun maka itu adalah peluang.
Anonim mengatakan…
Untuk informasi pak Teguh, di US sejatinya memang bisa mengolah sumber energi sendiri, namun saat ini capex untuk itu sangat terbatas, dan Sy baca belum ada rencana penambahan untuk eksplorasi sumber baru, bahkan membuka sumur minyak lama, dan ini berpotensi membuat krisis energi, dan dollar...... Indonesia kemungkinan akan relatif aman karena volatilitas market di Indo terkendali, model ekonomi subsidi bergantung dr kekuatan pemerintah mengendalikan harga
Anonim mengatakan…
opininya bagus, tetapi tetap saja kita tidak tahu apa yang akan terjadi di tahun 2023
Anonim mengatakan…
Terima kasih Pak Teguh atas tulisan ini
Sasmita Dwidhananta mengatakan…
Keren analisanya pak👍👍
Unknown mengatakan…
berhubung gambarnya minyak, AALI piye pak?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?