Investasi Saham Itu Gampang Kalau Modalnya Besar? Ini Faktanya
Beberapa waktu lalu penulis pernah baca tulisan di salah satu medsos, kurang lebih seperti ini, ‘Investasi saham itu mudah kalo modalnya gede. Misal modal 2 M, cuan 1% saja sudah 20 juta, sudah cukup buat sehari-hari.’ Nah, setelah baca kalimat tersebut secara sekilas saja maka penulis langsung ingin balas komentar, ‘Iya bener cuan 1% dapet 20 juta, tapi ya kalau loss 1% maka ruginya 20 juta juga kan? Dan itu bahkan belum termasuk fee buat sekuritas. Memangnya kamu sudah siap mental untuk rugi sebesar itu?’
***
Ebook
Market Planning edisi Mei 2022 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual
beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 Mei
mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan
tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.
***
Tapi menariknya, setelah saya baca-baca lagi komentarnya, maka banyak yang mengiyakan kalimat diatas, bahwa investasi saham itu baru akan 'kerasa hasilnya' kalau modalnya gede. Karena kalau modalnya kecil maka profitnya dalam Rupiah juga kecil kan? Bahkan kalaupun persentase profitnya gak cuma 1 – 2% melainkan jauh lebih besar dari itu, maka tetap saja profitnya kecil kalau modal kita cuma beberapa juta Rupiah, misalnya. Pola pikir seperti ini pada akhirnya menyebabkan investor pemula dengan dana terbatas seringkali berusaha mengejar profit cepat pada saham-saham berisiko tinggi, dan akhirnya terjebak spekulasi alih-alih investasi. Dan itulah alasan kenapa 'saham-saham gorengan' yang bisa ARA tapi disisi lain bisa ARB juga, selalu banyak diminati.
Nah, tapi bagaimana kalau saya katakan bahwa kalau kita bisa fokus ke proses secara step by step, maka investasi saham itu JUSTRU akan lebih mudah jika kita mulai dengan dana kecil dulu, dan dengan demikian dalam jangka panjangnya kita memiliki peluang lebih besar untuk menjadi seorang investor full time?
Jadi begini. Investor saham pemula biasanya, pertama, ia berpikir bisa langsung profit konsisten dari saham tak peduli meski pengetahuan dan pengalaman masih nol, dan belum terbayang bahwa di saham itu sebenarnya bisa juga rugi (kecuali jika dia sudah pernah beli saham Bukalapak). Dan kedua, ketika ia beli saham tertentu dan hasilnya benar profit, maka dia akan mulai greedy. Misalnya, 'Coba kemarin jual rumah terus uangnya dibelikan itu saham, sekarang udah jadi sultan deh'.
Alhasil si investor pemula ini akan langsung pakai dana besar, misalnya seluruh tabungan yang dimiliki langsung dibelanjakan saham, dan terkadang sampai ambil margin/berhutang ke sekuritas untuk 'menambah amunisi', atau mengelola dana milik saudara/teman. Nah, biasanya hal ini kemudian menimbulkan satu problem: Ketika saham yang dibeli bukannya naik tapi justru turun, misalnya karena fundamentalnya buruk/kinerja perusahaan berubah, atau sejak awal saham itu memang dibeli tanpa analisa/hanya beli saham yang ramai di-pompom di medsos, maka dia tidak cukup kuat mental untuk cut loss karena nilai ruginya dalam Rupiah kelewat besar, karena memang belinya juga banyak, dan itu justru menyebabkan ruginya jadi lebih besar lagi ketika saham tersebut lanjut turun. Dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan seseorang terjebak menjadi 'investor jangka panjang' karena terus saja hold saham yang merugi selama bertahun-tahun, dan sulit sekali untuk move on karena artinya itu harus merealisasikan kerugian yang nilainya bisa jadi amat sangat besar.
Jadi ini yang saya lakukan ketika dulu di tahun 2010 untuk pertama kalinya membeli saham. Pertama, pakai uang kecil dulu, dalam hal ini 5 juta. Jadi ketika saham saya turun maka saya akan evaluasi/analisa ulang, dan kalau kesimpulannya ga ada masalah apa-apa maka hold saja, malah bisa beli lagi/average down. Tapi jika memang saya salah beli, atau prospek perusahaan berubah, maka saya tidak akan merasa berat untuk cut loss karena ruginya kecil. Sedangkan ketika hasilnya profit, saya tidak buru-buru profit taking karena toh profitnya kecil juga. Jadi ya sudah hold saja dulu, siapa tahu masih bisa naik lagi toh? (dan dalam banyak kasus ternyata benar itu saham naik lagi).
Intinya karena dana kita kecil, maka mainnya juga jadi santai dimana kalau nyangkut saya biasa aja/gak stress, dan kalau cuan juga biasa aja. Kita juga bisa fokus pada kinerja keuangan perusahaan, serta prospek jangka panjangnya, alih-alih melihat naik turun sahamnya setiap hari lalu jadi pusing sendiri.
Kedua, setor lagi secara rutin, awalnya 1 juta per bulan tapi di kemudian hari bertambah. Dengan cara ini maka, terlepas dari hasilnya profit atau loss, tapi nilai porto terus bertambah secara pelan-pelan, dan alhasil mental saya tidak kaget dan bisa tetap santai ketika kemudian mengelola 10 juta, 20 juta, 30 juta, dst. Kondisi psikologis yang tenang dan rileks ini sangat membantu kita untuk terus belajar, rutin evaluasi (kalau rugi maka evaluasi, dan kalau profit juga tetap evaluasi, apakah seharusnya profitnya bisa lebih besar lagi?), dan terakhir, tidak gampang bingung atau panik karena sekali lagi kita kelola dana kecil saja, dimana meski dana tersebut terus bertambah maka tetap kita anggap dana segitu kecil, karena disisi lain mental kita juga terus menjadi lebih kuat dari waktu ke waktu.
Nah, jadi justru karena kita mulai dari kecil inilah, dan tidak berusaha untuk 'melompat', maka dalam jangka panjang hasilnya sangat memuaskan, dimana meski kami di Avere pada hari ini mengelola dana yang tidaklagi hanya sekedar Rp5 juta, tapi santainya masih tetap sama. Karena tidak hanya mentalnya sudah lebih kuat, tapi pengetahuan dan kemampuan analisa yang dimiliki juga sudah jauh lebih tajam, karena memang terus diasah selama bertahun-tahun. Kemudian meski persentase profitnya juga masih sama, dalam hal ini konservatif saja di 20 - 25% per tahun, tapi nilai profit tersebut dalam Rupiah sudah jauh lebih besar, tentu saja, karena modalnya juga lebih besar.
Jadi kesimpulannya, mulailah dari kecil dulu, tidak usah buru-buru dan nikmati saja prosesnya. Lagian kalau mau langsung trading pakai 2 M..
*gebrak meja* DARI MANA DUITNYA?? |
Lalu terakhir, trust me, perjalanan untuk menggali pengalaman selama 5 tahun, 10 tahun itu gak lama kok. Silahkan tanya investor/trader saham kawakan manapun, mereka pasti selalu bilang bahwa rasanya seperti baru kemarin mereka pertama kali beli saham. Nah, jadi sampai ketemu nanti yap, dan semoga ketika itu kita bisa bertemu sambil ngopi-ngopi di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat, atau minimal di angkringan Jogja dulu deh, sambil kita bercerita tentang kisah perjalanan investasi kamu hari ini. Semangat! 😁
***
Jadwal
Live Webinar Value Investing, Sabtu 14 Mei 2022, pukul 08.00 – 11.00 WIB.
Untuk mendaftar klik disini.
Komentar
Di save dulu siapa tau kesampaian buat ngopi bareng
Dulu awal tahun 2015 saya belajar tentang apa itu investasi saham. Saya cari2 di internet blog investasi nya orang Indonesia yang paling lengkap hanya pak Teguh dan blog Pak Parahita Irawan. Saat itu saya baca habis seluruh artikel pak Teguh buat dan sampai saat ini pun saya masih terus mengikuti blog pak Teguh.
Lalu baru mulai tahun 2016 saya mulai terjun investasi saham. Saat itu modal saya masih 5 juta an saja. Lalu tahun 2017 saya top up modal beli saham BNI 20 juta. Permasalahan nya saya beli pas di pucuk harga 9600 an. Lalu dari tahun 2018 sampai awal tahun 2019an saya vakum dari dunia persahaman karena malas lihat floating loss 50 persen BNI. Saat itu saya sadar kesalahan terbesar saya saya terlalu naif dan nafsu keuntungan besar saham. Hal ini juga membuat saya sadar bahwa investasi saham yang cocok untuk orang seperti saya harusnya DCA (Dollar cost averaging).
Pada pertengahan tahun 2019 saya mulai terpantik lagi untuk investasi saham. Kali ini saya membagi modal saya ke beberapa saham. Lalu setiap bulan saya terus menerapkan DCA saham. Lalu pada awal tahun 2020, muncul kasus pertama COVID di Indonesia. Saat itu saya pertama kali nya merasakan krisis di pasar modal. Banyak saham bagus yang saat itu anjlok lebih dari 50 persen. Kali ini mental saya sudah lebih siap menghadapi naik turunnya pasar saham. Ketika kolega saya yang mentalnya trading saham, ketakutan dengan resesi, saya justru sibuk mengoleksi saham. Saat itu saya fokus beli saham-saham perbankan karena valuasi nya yang sedang menarik.
Fast forward, sekarang rekening saham saya sudah 260 juta an. Saya sampai sekarang masih terus menerapkan metode DCA dalam investasi saham. Jadi saya sangat berterima kasih kepada Pak Teguh. Artikel bapak terkait sikap mental yg dibutuhkan ketika terjadi resesi saham cukup membantu saya dalam mengambil keputusan berinvestasi. Semoga pak Teguh bisa terus berbagi ilmunya lewat blog.