Saya Sudah Baca Prospektus IPO GOTO, dan Ini Poin-Poin Pentingnya
Pada tanggal 21 Januari 2022 kemarin, saya memposting artikel di blog ini tentang analisa saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA), yang ketika itu sudah turun jauh dari 850 sebagai harga IPO-nya, ke posisi 368, dimana salah satu poin analisanya adalah saya baru menganggap bahwa BUKA ini akan sudah cukup murah pada harga 225, karena harga 225 itu setara dengan nilai per lembar saham dari aset lancar BUKA terutama uang kas-nya, yang sudah bersih dikurangi liabilitas lancarnya. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.
***
Ebook Market Planning edisi Desember 2022 yang berisi analisis arah IHSG, stockpick saham, dan informasi jual beli saham yang penulis lakukan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.
***
Dan memang ketika artikel ini diposting, BUKA sudah drop lebih lanjut ke 268, tinggal sedikit lagi sebelum dia akhirnya mencapai 225. Nah, terkait analisa di atas, seorang wartawan sempat bertanya begini, ‘Jika harga wajar atau murah bagi BUKA ini adalah di Rp225 per saham, yang setara dengan nilai kas bersihnya per saham, maka bagaimana dengan aset-aset BUKA yang lain seperti aplikasi Bukalapak itu sendiri? Apakah aset-aset lain ini gak ada nilainya?’ Saya jawab, iya betul. Berdasarkan kaidah value investing, nilai sebuah aset dihitung dari kemampuan aset tersebut untuk menghasilkan keuntungan atau laba bagi perusahaan, dimana kemampuan ini disebut dengan earnings power. Semakin besar earnings power sebuah aset/perusahaan, maka semakin tinggi pula nilai intrinsik perusahaan tersebut, sehingga harga wajar sahamnya bisa lebih premium (PBV dan PER masing-masing 5 dan 20 kali, atau lebih tinggi lagi) dibanding saham lain pada umumnya.
Namun karena BUKA selama ini selalu merugi setiap tahunnya dari aset-aset ecommerce dan lain-lain yang dimiliki perusahaan, maka nilai aset-aset tersebut adalah nol. Nah, tapi untuk uang kas-nya sebesar Rp20 triliun sekian yang diperoleh dari IPO-nya kemarin, maka itu sih tentu saja ada nilainya, karena bahkan kalau uang kas itu didiamkan di bank dalam bentuk deposito, maka masih bisa menghasilkan bunga 3 – 4% per tahun. Jadi ketika saya katakan bahwa saya sendiri mungkin akan membeli saham BUKA jika nanti harganya cocok, maka memang yang dilihat hanya uang kas ini saja.
Okay, sekarang kita ke PT Goto Gojek Tokopedia, Tbk (GOTO), dimana seperti halnya BUKA, maka GOTO juga rugi terus saban tahun sejak berdirinya, malah dengan akumulasi kerugian yang lebih besar dimana sebelum IPO-nya, BUKA total merugi Rp8 triliun, sedangkan GOTO total merugi Rp65 triliun. Tapi memang justru karena GOTO lebih jor-joran dalam urusan ‘bakar duit’ inilah, maka hasilnya Gojek sukses menjadi pemimpin pasar ojol di Indonesia, sedangkan Tokopedia juga sukses sebagai pemain terbesar di industri marketplace, meski posisinya cukup mepet dengan Shopee (kalau Gojek jauh di atas Grab sebagai pesaing terdekatnya).
Tapi ya balik lagi, selama GOTO tidak menghasilkan keuntungan tapi justru kerugian, maka nilainya adalah nol, dan penulis kira para founder BUKA dan juga GOTO setuju dengan hal tersebut, dimana itulah alasan sesungguhnya mereka buru-buru IPO, yakni sebagai exit strategy dalam posisi profit. Sebab seperti halnya IPO BUKA yang sukses meraup Rp21.9 triliun dana milik investor, maka itu artinya akumulasi kerugian perusahaan yang Rp8 triliun tadi sudah balik modal bukan? Betul, jika para founder ini lanjut bakar duit untuk mengembangkan BUKA, maka mungkin pada akhirnya perusahaan akan profit juga, dan bisa bayar dividen, tapi waktunya kapan? Bagaimana jika profit itu baru terjadi 10 tahun dari sekarang? 20 tahun dari sekarang? Jadi ya mending IPO saja, dimana tidak hanya prosesnya lebih cepat, tapi hasilnya juga lebih pasti bakal profit.
Anyway, meski untuk BUKA para foundernya sudah sukses balik modal, maka ceritanya berbeda dengan GOTO yang boleh dibilang kebagian getahnya, karena sudah pasti investor akan menghubung-hubungkannya dengan BUKA, sedangkan seperti yang kita tahu BUKA sudah nyungsep gak karu-karuan. I mean, masih mending kalau BUKA ini misalnya cuma turun barang 10 atau 20%, tapi kalau turunnya lebih dari 70 persen?
GOTO bukan BUKA! Kami tidak sama!
Jadi mungkin itulah alasan kenapa IPO GOTO ini totally di-desain agar ‘sahamnya tidak bakal bernasib seperti BUKA’, tapi dengan tetap mempertahankan valuasi sahamnya yang amat sangat premium, dimana penulis menemukan setidaknya lima poin penting dari informasi yang disajikan di prospektusnya, sebagai berikut. Pertama, harga IPO GOTO ditetapkan di level yang serendah-rendahnya, dalam hal ini Rp316 – 346 per saham. Tujuannya jelas yakni agar harga tersebut tampak murah, plus tidak jauh beda dengan harga BUKA saat ini. Sekarang bayangkan jika harga IPO GOTO juga ditetapkan di 1,000, 2,000 atau 3,000? Maka kemungkinan sahamnya gak akan laku karena orang akan melihatnya simpel saja: Itu BUKA yang harga sahamnya cuma 850 saja bisa nyungsep gitu, gimana GOTO yang harganya di 3,000??
Tapi karena para founder/investor awal di GOTO menginginkan market cap GOTO ini tetap jauh di atas BUKA ketika IPO-nya (Rp88 triliun), dalam hal ini setidaknya Rp400 triliun (dan itu sudah sedikit turun dibanding rencana awalnya, dimana saham GOTO sempat direncanakan akan dijual berdasarkan market cap Rp580 triliun), maka jadilah jumlah saham beredarnya yang dibuat amat sangat banyak, dalam hal ini 1,484,029,771,902 lembar saham setelah IPO-nya, dan juga setelah berbagai program penerbitan saham termasuk listing diluar negeri (masih dalam rencana dan rencana tersebut bisa berubah). Yup, anda tidak salah baca: Satu koma lima triliun lembar! Sehingga dengan asumsi semua rencana penerbitan saham tersebut berjalan lancar, maka pada harga terendah Rp316, GOTO akan memiliki market cap Rp469 triliun, jauh lebih besar dari market cap BUKA (ketika IPO-nya), dan juga lebih tinggi dibanding market cap perusahaan-perusahaan beken, mapan, dan (beneran) profit seperti Telkom, Bank Mandiri, dan Astra International. Penulis sendiri awalnya bingung dengan jumlah saham yang absurd ini, karena selama ini jumlah saham beredar terbanyak yang dimiliki sebuah perusahaan Tbk adalah 100-an milyar lembar, atau jauuuh lebih sedikit dibanding saham GOTO yang 1.5 triliun lembar itu tadi. Tapi saya kemudian baru menyadari bahwa tidak ada peraturan yang secara spesifik melarang hal ini. Jadi ya suka-suka perusahaan aja, mau jumlah sahamnya sebanyak bintang di langit juga boleh. Tapi balik lagi, dengan cara ini maka harga saham GOTO bisa dibuat jadi rendah, cuma 300-an perak, sedangkan nilai market cap perusahaan bisa dibuat setinggi mungkin, cuma kalah dari Bank BCA dan BRI.
Kedua, seperti yang kita ketahui, melalui IPO-nya BUKA sukses meraup Rp21.9 triliun, yang kemudian tercatat sebagai nilai perolehan dana IPO terbesar dalam sejarah, dan awalnya nilai IPO GOTO sempat direncanakan bakal lebih besar lagi yakni Rp35 – 40 triliun. Namun agar tampak bahwa GOTO ini ‘tidak seperti BUKA’, maka gimana caranya agar nilai IPO-nya lebih kecil dari BUKA, tapi perusahaan bisa tetap dapet Rp35 triliun itu tadi, atau malah lebih besar lagi? Gampang! Jadi pada IPO-nya yang akan digelar bulan April besok, GOTO akan melepas 52 milyar lembar saham saja senilai maksimal Rp18 triliun (jika harganya Rp346), sehingga perolehan dananya lebih rendah dibanding IPO BUKA. Tapi perusahaan juga meluncurkan 'program kepemilikan saham' yang pada intinya GOTO akan menerbitkan saham baru sebanyak total 169 milyar lembar, secara bertahap sebanyak 16.9 milyar lembar per tahun hingga 10 tahun ke depan. Nah, jadi setelah ditambah saham IPO-nya tahun ini, maka totalnya GOTO akan menerbitkan 221 milyar lembar dalam 10 tahun kedepan, dimana jika harganya sama yakni Rp346 per saham, maka total akan diperoleh dana Rp76.5 triliun, alias jauh di atas nilai IPO BUKA, tapi gak akan tercatat sebagai ‘nilai IPO terbesar’ karena penerbitan sahamnya dilakukan secara nyicil. Brilliant, isn’t it? Dan lagi-lagi penulis sempat mikir, kok bisa begitu? Perusahaan baru selesai IPO langsung right issue berjilid-jilid? Dan ternyata ada peraturan OJK yang baru saja dibuat tahun 2021 kemarin (POJK No.22/2021), yang membolehkan hal tersebut.
Keempat, kembali karena menyadari bahwa investor pastinya parno kalau-kalau GOTO ini bakal nyungsep seperti BUKA, maka perusahaan menunjuk satu sekuritas, dalam hal ini PT CGS-CIMB Sekuritas Indonesia, untuk melakukan ‘stabilisasi harga’ atau opsi greenshoe, dimana jika harga saham GOTO di pasar turun hingga dibawah harga IPO-nya, maka pihak sekuritas bisa membeli saham GOTO di pasar pada harga yang maksimal sama dengan harga IPO-nya, sehingga harapanya sahamnya akan kembali naik ke harga IPO-nya tersebut. Faktor stabilisasi harga ini juga yang dipromosikan ke calon investor yang masih ragu untuk masuk, karena hal ini seperti menjamin bahwa saham GOTO tidak akan turun.
Namun demikian kalau kita baca lebih detail lagi soal mekanisme stabilisasi harga ini, maka akan ketemu dua poin menarik: 1. Pihak sekuritas hanya melakukan stabilisasi harga selama satu bulan sejak GOTO listing perdana, dan 2. Pihak sekuritas hanya bisa membeli maksimal 7.8 milyar lembar saham GOTO di pasar, alias jauh lebih sedikit dibanding saham GOTO milik publik sebanyak 52 milyar lembar. Dengan kata lain jika lewat batas waktu 1 bulan tadi, atau jika investor publik yang memegang saham GOTO menjual lebih dari 7.8 milyar lembar saham GOTO tersebut di pasar, maka sahamnya tetap akan turun. Tapi sekali lagi, faktor ‘jaminan’ ini (meski dengan syarat dan ketentuan berlaku) tetap bisa menjadi daya tarik tidak hanya bagi investor, tapi juga bagi spekulan yang memang berniat memanfaatkan momentum IPO GOTO ini dengan hit and run, alias beli pas IPO-nya lalu langsung jual hanya dalam hitungan hari, minggu, atau maksimal 1 bulan, dengan harapan sahamnya bakal ARA (seperti BUKA dulu) sebelum baru kemudian nyungsep. Dari sini juga kelihatan bahwa pihak penyelenggara IPO GOTO ini hafal persis karakter makhluk-makhluk penghuni bursa, yang memang gak cuma investor dan trader, tapi banyak juga yang spekulan.
GOTO ‘murah’ kok, lihat saja ekuitasnya gede banget
Terakhir kelima, kalau kita balik lagi ke prospektus BUKA, maka ketika itu ada satu poin yang bikin penulis cringe setengah mati: Perusahaan cuma punya ekuitas sebelum IPO Rp1.7 triliun, tapi seluruh saham beredarnya dihargai Rp88 triliun? Jadi elu beli becak yang bahkan pedalnya rusak sehingga kagak bisa digunakan buat mencari nafkah, pada harga Alphard? Dan fakta bahwa saham IPO-nya tetap laku keras ketika itu membuat saya sempat merasa bego sendiri, apakah benar saya sebagai value investor adalah sebenarnya seekor dinosaurus yang seharusnya sudah punah?
Tapi pada akhirnya BUKA turun juga, jadi ternyata kami para murid Ben Graham masih belum jadi fosil. Nah, tapi kemungkinan karena berkaca pada kasus ‘Becak vs Alphard’ di atas, maka GOTO kemudian mengatur strategi: Per akhir tahun 2020, ekuitas perusahaan juga cuma Rp20 triliun, jauh lebih kecil dari market cap yang diinginkan sebesar Rp450 triliun lebih. Jadi bagaimana caranya agar hal ini gak jadi bulan-bulanan para investor aliran value investing?
Maka GOTO kemudian menjalankan skema sebagai berikut, harap baca pelan-pelan karena mungkin membingungkan jika anda awam akuntansi: Penggabungan Gojek dan Tokopedia secara resminya dilakukan dengan cara Gojek mengakuisisi 99.99% saham Toped pada bulan Mei 2021, senilai Rp113 triliun, tapi dibayarnya bukan dengan uang tunai, melainkan pemilik Tokopedia menerima setoran modal dalam bentuk penerbitan sekian lembar saham baru dari perusahaan hasil gabungan Gojek dan Toped, alias GOTO, dimana saham baru tersebut dianggap memiliki ‘nilai wajar’ Rp109 triliun, plus pembayaran dalam bentuk lainnya sehingga totalnya Rp113 triliun. Kemudian karena nilai wajar bersih Toped itu sendiri dianggap hanya Rp20 triliun, maka jadilah pada aset tidak lancar GOTO muncul akun goodwill senilai Rp93 triliun (113 dikurangi 20), yang merupakan selisih lebih antara harga yang ‘dibayarkan’ Gojek dalam bentuk saham GOTO kepada pemilik Toped, dengan nilai wajar Toped itu sendiri. Alhasil di laporan keuangan GOTO, di bagian ekuitasnya muncul ‘tambahan modal disetor’ yang baru (diluar tambahan modal disetor yang sudah ada sebelumnya) senilai Rp109 triliun, sehingga ekuitas GOTO lompat dari hanya Rp20 triliun di akhir tahun 2020, menjadi Rp130 triliun per tanggal 31 Juli 2021. Sedangkan nilai total aset GOTO juga membengkak dari hanya Rp30 triliun menjadi Rp148 triliun, salah satunya karena kemunculan goodwill yang Rp93 triliun itu tadi.
Jadi ini seperti saya punya usaha rental mobil, dan saya beli satu unit Toyota Avanza dari dealer tapi bayarnya bukan dengan uang tunai, melainkan dengan kepemilikan/saham di usaha rental itu tadi, dimana saham ini dianggap bernilai Rp1 milyar. Karena harga Avanza itu sendiri cuma Rp200 juta, maka jadilah di laporan keuangan usaha rental tersebut, di bagian asetnya muncul aset tetap Rp200 juta dan goodwill Rp800 juta, sedangkan di bagian ekuitasnya muncul tambahan modal disetor Rp1 milyar yang kemudian menaikkan nilai ekuitas itu sendiri, tak peduli meski sebenarnya tidak ada uang tunai yang benar-benar disetor (jadi seperti modal Rp1 milyar itu turun dari langit).
Kemudian berdasarkan PSAK 22 tentang Kombinasi Bisnis, maka hal ini diperbolehkan dengan catatan perusahaan harus menunjuk pihak independen untuk mengukur nilai wajar dari saham usaha rental yang diberikan ke dealer, apakah benar nilainya Rp1 milyar atau tidak? Dalam kasus GOTO, perusahaan menunjuk PT Ernst & Young Indonesia sebagai penilai independen dimana kemudian keluarlah laporan bahwa nilai wajar saham GOTO yang diterbitkan lalu diberikan ke pemilik Toped adalah Rp109 triliun (angkanya bisa super gede gitu karena termasuk menghitung 'potensi ekonomi' yang timbul dari penggabungan kedua entitas Go-Jek dan Toped), dan laporan bahwa nilai wajar Toped adalah Rp20 triliun. Dengan cara ini maka, seperti disebut di atas, tiba-tiba saja ekuitas GOTO pada laporan keuangan terakhirnya menggelembung menjadi Rp130 triliun, jadi gak kecil-kecil banget lah sama market cap-nya yang Rp450 triliun lebih itu tadi, dan alhasil valuasi GOTO yang lebih mahal dibanding TLKM dan ASII sekalipun tampak masih ‘wajar’.
Tapi yah, seperti pada ilustrasi ‘Avanza’ di atas, dari sini kita tahu bahwa ekuitas GOTO yang jadi jumbo itu bukan karena setoran modal tunai atau akumulasi laba bersih yang riil/beneran ada duitnya, melainkan perusahaan memanfaatkan standar akuntansi yang ada di Indonesia untuk membuat ekuitas/modal bersih perusahaan jadi tampak sangat besar. Yang harus dicatat disini adalah, juga berdasarkan standar akuntansi, maka nilai goodwill yang timbul harus di-review secara berkala, sehingga nilainya akan menyusut jika kedepannya Toped tidak segera berkontribusi laba bersih bagi perusahaan, dimana penyusutannya akan dicatat sebagai kerugian, dan ekuitas GOTO itu sendiri juga akan berkurang dan bisa saja kembali ke posisi semula, yakni jika goodwill Rp93 triliun itu dihapus sama sekali. Jadi ini seperti balon yang digelembungkan lalu kemudian kempes dengan sendirinya, gitu.
Kesimpulan
Anyway, prospektus GOTO bisa saya nobatkan sebagai
prospektus paling njlimet yang pernah saya baca, sedemikian rumitnya hingga
penulis sendiri butuh waktu 2 hari untuk membacanya (kalau prospektus yang lain 2 jam kelar). Alhasil selain yang sudah ditulis di atas, sebenarnya
masih banyak lagi yang bisa saya share seperti skema dual-voting, lock-up saham milik para founder, dan profil para pemegang sahamnya sebelum IPO yang rata-rata investor asing, seperti Tencent, KKR, Facebook, hingga Visa (meski ada juga yang lokal seperti Telkomsel dan Astra International, tapi porsinya kecil), dan alhasil tiga dari enam posisi komisaris di GOTO diisi oleh warga negara asing. Tapi karena artikel ini sudah
cukup panjang maka nanti kita lanjut lagi lain waktu.
***
Ebook
Market Planning edisi Desember 2022 yang berisi analisis arah IHSG, stockpick saham, dan
informasi jual beli saham yang penulis lakukan sudah terbit.
Anda bisa memperolehnya
disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.
Komentar
Jadwal Buka Puasa Hari Ini
Masih banyak perusahaan lain yang mempunyai fundamental lebih kokoh dengan valuasi wajar/murah dan mempunyai prospek yang moncer tetapi masih jauh dari hype..
Dua tahun ini adalah pembuktian kebenaran wisdom yang disampaikan oleh eyang Peter Lynch, yaitu membeli saham ketika orang lain eneg dan mulai berencana menjual ketika terjadi hype (dengan catatan valuasinya sudah mahal)..
Saya senang sekali secara berkala membaca web Pak Teguh ini, juga sharing tentang web dan konten-nya ini kepada teman-teman yang berminat tentang 'analisis fundamental yang tepat-guna'.
Maju terus untuk Pak Teguh & team Avere Investama !
GBU