Prospek IPO Cat Avian

Salah satu sektor usaha yang diuntungkan oleh situasi pandemi yang sudah terjadi sejak tahun 2020 lalu, percaya atau tidak, adalah sektor yang berhubungan dengan pembangunan dan renovasi rumah/tempat tinggal. Yup, menurut teman penulis yang merupakan pengusaha di bidang ini, pendapatan mereka memang sempat anjlok pas awal-awal pandemi (Maret – April 2020), tapi setelah itu naik lagi dan bahkan lebih baik dibanding sebelum pandemi. Dan kemungkinan itu adalah karena sekarang ini ada lebih banyak orang yang bekerja dan beraktivitas dari rumah, sehingga mereka kemudian merenovasi rumahnya agar menjadi lebih nyaman untuk ditempati.

***

Ebook Market Planning edisi Desember 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member. Info WA 0821.1001.1100 (Nury)

***

Dan salah satu perusahaan di bidang ini adalah PT Avia Avian (AVIA), yang memproduksi berbagai jenis cat, dan semen mortar siap pakai. AVIA adalah pemilik sejumlah merk cat yang cukup terkenal di Indonesia seperti Cat Avian, Cat Avitex, dan No Drop. Sepanjang tahun 2020, perusahaan membukukan laba bersih Rp1.1 trilyun, naik dibanding 2019 sebesar Rp959 milyar. Kemudian antara Januari – Mei 2021, perusahaan mencetak laba Rp603 milyar, alias kembali naik dibanding periode yang sama tahun 2020 sebesar Rp300 milyar. Nah, berhubung sebentar lagi AVIA ini akan melantai di bursa (listing tanggal 7 Desember 2021), maka apakah sahamnya layak invest?

Untuk menjawab itu, seperti biasa mari kita pelajari perusahaannya dari awal.

Sejarah Cat Avian dimulai pada tahun 1978 ketika founder perusahaan, Bapak Soetikno Tanoko, memulai usaha produksi cat kayu dan besi di Sidoarjo, Jawa Timur, dilanjut dengan produksi cat dinding dengan merk ‘Avitex’, yang kemudian sukses besar. Tahun 1983, PT Avia Avian resmi berdiri dan tampuk kepemimpinan perusahaan mulai dialihkan ke generasi kedua, dimana kedua putra dari Bapak Soetikno, yakni Wijono Tanoko dan Hermanto Tanoko, masing-masing menempati posisi direktur dan komisaris utama perusahaan. Sejak saat itu AVIA terus berekspansi dengan memproduksi cat semprot, cat otomotif, resin untuk bahan baku cat, kaleng untuk kemasan cat, dan masih banyak lagi, semuanya di Sidoarjo, dan pada tahun 1996 perusahaan membangun kompleks pabrik keduanya di Serang, Banten. Tahun 2000, AVIA mendirikan anak usaha dengan nama PT Tirtakencana Tatawarna sebagai unit usaha distribusi, dan juga mulai memproduksi cat anti air dengan merk ‘No Drop’, yang kemudian juga sukses besar. Tahun 2011, AVIA diversifikasi usaha dengan memproduksi semen instan dengan merk ‘Giant Mortar’. Tahun 2018, dalam rangka memperingati hari jadi perusahaan yang ke-40, kantor pusat AVIA pindah ke gedung 20 lantai di Surabaya, Jawa Timur, dan pada tahun yang sama perusahaan membeli sebidang tanah dari perusahaan afiliasi seluas 110 ribu meter persegi di Cirebon, Jawa Barat, yang akan dipersiapkan sebagai lokasi kompleks pabrik ketiga setelah yang di Sidoarjo, dan Serang.

Jadi pada hari ini, AVIA memproduksi berbagai jenis cat (cat dinding, cat kayu dan besi, cat anti air, cat otomotif), dimana perusahaan merupakan market leader dengan pangsa pasar sekitar 20% pada tahun 2020, thanks to lini usahanya yang terintegrasi dimana AVIA sejak awal memiliki pabrik bahan baku (pabrik resin dan pabrik kaleng cat), dan juga unit distribusinya sendiri sebanyak 96 cabang di seluruh Indonesia (terbanyak menurut Frost & Sullivan). Selain memproduksi cat, maka seperti disebut diatas, AVIA juga memproduksi semen instan atau semen mortar, dan menjual perlengkapan cat (yang dibeli dari perusahaan afiliasi) seperti kuas cat, rol cat, pita segel, dan pasir kertas. Dan actually kalau kita melihat sejumlah usaha lainnya milik Keluarga Tanoko (yang kesemuanya ditempatkan dibawah satu perusahaan holding dengan nama Tancorp), seperti toko bangunan, produksi pipa air, meubel, dan plastik kemasan, maka bisa kita katakan bahwa Tancorp tidak hanya berbisnis cat, tapi lengkap menawarkan solusi bangunan dari hulu hingga hilir. Dan itu bahkan belum termasuk unit-unit usaha dari sektor lain seperti makanan, air minum dalam kemasan (CLEO), café and resto, health and beauty, hotel, dan properti.


However, dari sekian banyak usaha tersebut maka hanya usaha produksi dan distribusi cat, semen mortar, dan perlengkapan cat saja yang ditempatkan dibawah AVIA. Namun dengan pendapatan tunai lebih dari Rp5 trilyun setiap tahunnya sejak 2018 atau lebih lama lagi, dan dengan ROE mendekati 25%, maka bisa kita katakan bahwa AVIA adalah cashcow terbesar dari Tancorp secara keseluruhan, dimana pihak owner setiap tahunnya mengambil dividen besar dari situ untuk diputar di usaha lain. Yup, untuk tahun buku 2018, 2019, dan 2020, AVIA totalnya membayar dividen Rp2.95 trilyun kepada owner, dimana angka tersebut mencapai 94% dari total laba bersih yang dihasilkan perusahaan selama periode waktu yang sama. Jadi hanya sedikit dari laba yang dihasilkan perusahaan yang diinvestasikan kembali. Tapi bahkan dengan kecilnya saldo laba yang tidak ditarik sebagai dividen, dan juga hampir tanpa utang, sejak tahun 2018 AVIA bisa lanjut berekspansi dengan meluncurkan merk cat ‘Avitex One Coat’, membangun Avian Innovation Center diatas lahan seluas 5,000 meter persegi, mulai memproduksi cat anti air berbasis semen, terus memperluas jaringan distribusi, hingga di tahun 2021 ini mengakuisisi 67% saham PT Multipro Paint Indonesia, yang memproduksi cat untuk kapal laut.

Sehingga disini kita punya satu perusahaan yang memenuhi semua kriteria wonderful company ala Warren Buffett: 1. Perusahaan bergerak di bidang consumer (menjual cat yang harganya terjangkau, langsung ke konsumen akhir), jadi bisnisnya terbilang mudah dengan jumlah pelanggan yang banyak di seluruh negeri, 2. Perusahaan sudah mapan/berdiri sejak lama, dan selama itu terbukti menghasilkan keuntungan tunai yang besar/earnings power-nya besar, 3. Tidak memiliki dan tidak perlu menggunakan utang untuk pengembangan usahanya, dan 4. Memiliki keunggulan kompetitif berupa kekuatan merk dan posisinya sebagai market leader yang sulit disaingi perusahaan lain yang sejenis. Penulis juga menyukai fakta bahwa dua bersaudara Wijono dan Hermanto Tanoko sampai hari ini tetap aktif dengan terjun langsung di perusahaan, termasuk juga para anak, istri, dan keponakan mereka juga semuanya ada di AVIA ini, atau di anak-anak usaha Tancorp yang lain. Biasanya sih kalau di keluarga besar pengusaha lain, hanya ada satu orang saja yang menonjol (misalnya Hary Tanoesoedibjo, Chairul Tanjung, atau Anthoni Salim), dan biasanya pula mereka hanya duduk di belakang layar (misalnya Aburizal Bakrie, jangan harap kita bisa menemukan namanya di laporan keuangan Bumi Resources). Namun duet Wijono – Hermanto Tanoko ini mengingatkan penulis dengan duet Budi – Michael Hartono, pemilik Grup Djarum yang sekaligus dua orang terkaya di Indonesia. Dan seperti yang kita ketahui, Grup Djarum mungkin bisa dinobatkan sebagai grup konglomerasi yang paling baik dalam hal GCG di Indonesia.

Okay Pak Teguh, jadi apakah sampeyan bilang kalau AVIA ini bisa seperti BBCA? Well, I would like to, karena saya gak melihat adanya kelemahan tertentu dari AVIA ini. I mean ketika AVIA, seperti disebut diatas, membeli tanah untuk membangun pabrik baru dari perusahaan afiliasi, dan membeli perlengkapan cat juga dari perusahaan afiliasi, dimana ‘perusahaan afiliasi’ disini pasti maksudnya milik Tancorp juga, maka AVIA bisa saja membayar pada harga mahal sehingga perusahaan dalam hal ini merugi, tapi Tancorp-nya tetap cuan, dan actually ada banyak grup usaha lain yang melakukan itu. Tapi jika kita lihat lagi laporan laba rugi dan arus kasnya, maka tidak ada kecenderungan seperti itu.

Hanya memang kalau kita lihat harga IPO-nya, maka IPO AVIA ini sama saja mahalnya seperti IPO Cimory atau IPO Mitratel yang sudah kita bahas beberapa waktu lalu. Okay, mari kita hitung. Pada IPO-nya, AVIA melepas 6.2 milyar saham baru pada harga maksimal Rp930 per saham, sehingga akan diperoleh dana Rp5.8 trilyun. Jumlah saham AVIA setelah IPO, ESA (employee stock allocation) dan private placement atau PP (selain IPO, dua pemegang saham pengendali perusahaan, yakni PT Tancorp Surya Sentosa dan PT Wahana Lancar Rejeki, akan menjual sebagian saham yang mereka pegang ke investor institusi. Jadi dalam hal ini perusahaan bukan menerbitkan saham baru kecuali yang sudah diterbitkan lewat IPO), adalah 61.95 milyar saham, sehingga market cap-nya Rp57.6 trilyun.

Kemudian dengan asumsi harga PP-nya sama dengan harga IPO yakni Rp930 per saham, maka perusahaan akan dapat lagi Rp5.2 trilyun. Karena ekuitas AVIA sebelum IPO adalah Rp3.2 trilyun, maka setelah IPO dan PP-nya, ekuitas itu akan menjadi Rp14.2 trilyun. Lalu karena seperti disebut diatas, market cap AVIA pada harga saham Rp930 adalah Rp57.6 trilyun, maka PBV-nya 57.6 / 14.2, sama dengan 4.1 kali. Kemudian yang juga harus diperhatikan, karena dari IPO plus PP-nya, AVIA akan memperoleh setoran modal tunai kurang lebih Rp11.0 trilyun, which is jumlah yang sangat besar dan bakal sulit untuk dibelanjakan (karena seperti yang disebut di atas, AVIA selama ini bahkan gak perlu menginvestasikan kembali laba bersihnya untuk ekspansi, apalagi memerlukan setoran modal jumbo seperti itu), maka ROE AVIA kedepannya bakal anjlok karena hampir tiga perempat aset bersihnya merupakan uang tunai yang tidak produktif. Yel, karena bahkan untuk membangun dan membeli mesin-mesin untuk pabrik ketiganya di Cirebon, maka perusahaan hanya perlu menggunakan 14% dari dana hasil IPO-nya (sekitar Rp807 milyar), itupun akan dibelanjakan secara bertahap sampai tahun 2024. Jadi sisa dananya masih buanyak.

Okay Pak Teguh, itu artinya? Yes, rekomendasi saya untuk AVIA ini sama seperti CMRY dan juga MTEL: Kalau saya sendiri gak akan ikut IPO-nya, tapi mulai sekarang sampai dengan 3 – 4 tahun ke depan, saya akan terus mengamati perkembangan bisnis AVIA ini, seperti apakah pengerjaan pabrik ketiganya berjalan tepat waktu, dan juga melihat perkembangan kinerja keuangan perusahaan. Pada akhirnya, kecuali jika terjadi perubahan tata kelola perusahaan ketika nanti manajemen AVIA ini dialihkan ke generasi ketiga (misalnya anak-anak dari Wijono dan Hermanto Tanoko kemudian ngambil banyak utang dan juga goreng saham, seperti yang dilakukan oleh keluarga pemilik Sritex (SRIL)), maka penulis anggap bahwa AVIA ini sangat bisa dipertimbangkan sebagai investasi jangka panjang/legacy stock, tinggal tunggu harga sahamnya menyesuaikan dengan sendirinya, seperti yang dialami saham SIDO yang sempat turun dulu dari harga IPO-nya di 300 sampai mentok di 225, sebelum kemudian naik lagi ke posisi sekarang. Kata kuncinya disini adalah, jika kita hendak beli saham untuk tujuan jangka panjaaaaang, maka belinya juga tidak perlu buru-buru, melainkan tunggu sampai momentum terbaik, karena nanti sekalinya kita beli sahamnya maka tidak akan dijual-jual lagi.

Kemudian yang juga penting untuk diperhatikan adalah kebijakan manajemen yang royal dividen, jadi sulit berharap bahwa ekuitas AVIA di masa yang akan datang akan meningkat karena akumulasi saldo laba ditahan, sehingga kemungkinan harga sahamnya lah yang akan turun agar valuasinya kemudian menjadi lebih wajar. Oke, lalu wajarnya berapa? Ya PBV 2.7 – 3.0 kali lah, dimana nanti angka pastinya akan kita hitung lagi setelah perusahaan merilis laporan keuangan terbarunya pasca IPO. Don’t worry, penulis secara personal menyukai AVIA ini, sama seperti saya menyukai wonderful company lainnya seperti EKAD, MTDL, dan MFIN (dan AVIA ini jelas lebih baik dari ketiga perusahaan tersebut dari sisi market cap, kekuatan merk, dan likuiditas sahamnya yang lebih besar), jadi kita pasti akan membahasnya lagi lain waktu.

***

Ebook Market Planning edisi Desember 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member. Info WA 0821.1001.1100 (Nury)

Dapatkan postingan via email

Komentar

Transcendental Journey mengatakan…
Dari pengalaman saya di bursa, saham bagus IPO banyak yang tidak langsung naik, malah cenderung turun dalam beberapa bulan. Nah, di saat itulah timing yang cukup tepat untuk melakukan pembelian, di saat market hopeless...

Contoh PMMP semester I lalu. WOOD, HOKI di 3-4 tahun yang lalu.
ARCI ada peluang untuk akumulasi sekarang-sekarang ini untuk calon bagger tahun depan. Bagaimana prospeknya ARCI ini secara growth-value investing menurut Pak Teguh?

Terima kasih.
rudykawi mengatakan…
Seperti cleo dan depo...kayaknya owner2nya suka menggoreng perusahaannya berlipat lipat..

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?