Prospek Saham Sampoerna Agro (SGRO) di Tengah Kenaikan Harga CPO

Kalau kita bicara sektor perkebunan kelapa sawit, maka beberapa saham yang cukup populer di sektor ini adalah PP London Sumatera (LSIP), Salim Ivomas Pratama (SIMP), dan Astra Agro Lestari (AALI). Tapi tahukah anda bahwa masih ada satu lagi saham sawit di BEI yang kurang populer karena sahamnya tidak likuid, namun ukuran perusahaannya cukup besar dan kinerja fundamentalnya juga terbilang bagus seiring dengan kenaikan harga crude palm oil (CPO) dalam setahun terakhir ini?

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal III 2021 akan terbit tangga 8 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, tersedia gratis layanan tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Dan perusahaan tersebut adalah PT Sampoerna Agro, Tbk (SGRO). Nah, kalau mendengar nama ‘Sampoerna’, anda mungkin langsung ingat dengan perusahaan rokok yang sangat terkenal itu, yakni HM Sampoerna (HMSP), dan tidak menyangka kalau mereka ternyata punya bisnis kelapa sawit juga. Padahal Keluarga Sampoerna sebagai pemilik SGRO sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan HMSP. Jadi ceritanya pada tahun 2005, Keluarga Sampoerna melepas HMSP ke tangan Philip Morris asal Amerika Serikat senilai $5 milyar, lalu menempatkan uangnya di perusahaan holding yang didirikan kemudian, dengan nama Sampoerna Strategic Group (SSG). SSG ini kemudian berinvestasi di setidaknya lima jenis usaha, yakni perkebunan (SGRO), kayu dan kehutanan (Samko Timber, terdaftar di Bursa Singapura), jasa keuangan (Bank Sahabat Sampoerna), properti (Gedung Sampoerna Strategic Square di Jakarta), dan telekomunikasi (Sampoerna Telekom). Kecuali SGRO dan Samko Timber, kesemua unit usaha lainnya merupakan perusahaan private, dan karena itulah kiprah SSG ini tidak banyak terdengar di pasar. Tapi intinya, meski HMSP sampai hari ini masih bernama ‘HM Sampoerna’ (gak diubah menjadi Philip Morris Indonesia, misalnya), namun Keluarga Sampoerna sudah tidak berkiprah di usaha rokok lagi sejak tahun 2005.

Kemudian untuk SGRO sendiri, maka ini bisa dibilang merupakan investasi yang paling pertama digeluti oleh SSG, segera setelah mereka tidak lagi menguasai HMSP. Yup, pada tahun 2006, SSG mengakuisisi perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan nama PT Sungai Rangit (SR), dilanjut pada tahun 2007 mengakuisisi PT Selapan Jaya, juga di bidang perkebunan kelapa sawit, lalu menempatkan SR sebagai anak usahanya. Masih di tahun 2007, nama ‘Selapan Jaya’ diganti menjadi Sampoerna Agro, kemudian perusahaan melantai di BEI dengan kode SGRO.

Setelah itu SGRO terus memperluas area perkebunannya, entah itu dengan mengakuisisi perusahaan perkebunan lain, mengakuisisi lahan perkebunan itu sendiri, atau menjalin kerjasama (plasma) dengan petani rakyat pemilik lahan. Dan meski di kemudian hari SGRO juga memiliki kebun sagu dan karet, tapi sebagian bisnis perusahaan terkonsentrasi di perkebunan kelapa sawit dan produksi CPO. Hasilnya, per akhir tahun 2020, SGRO memiliki 169 ribu hektar lahan tertanam (inti + plasma) yang tersebar di Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat, dimana 135 ribu hektar diantaranya merupakan kebun sawit. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama, LSIP memiliki 151 ribu hektar lahan tertanam. Sehingga dari sisi ukuran luas lahan, SGRO ini merupakan perusahaan yang cukup besar, kurang lebih sama besarnya dengan LSIP.

Sayangnya, seiring dengan trend penurunan harga CPO dalam 5 hingga 10 tahun terakhir, maka karena kinerja dan laba bersih perusahaan cenderung turun sejak tahun 2016 lalu atau lebih lama lagi, dan bahkan pada tahun 2020 kemarin perusahaan sempat merugi. Imbasnya sahamnya tidak pernah dilirik oleh investor, dan alhasil tidak hanya harganya gak kemana-mana, tapi volume transaksinya juga tidak likuid.

Hingga pada Semester I 2021 kemarin, setelah harga CPO itu sendiri naik dengan sangat cepat di tahun 2021, SGRO akhirnya membukukan laba bersih disetahunkan Rp774 milyar, atau bahkan sudah lebih besar dibanding rekor laba bersihnya di tahun 2011 sebesar Rp541 milyar. Nah, sebelum kita melanjutkan, petama-tama mari kita lihat lagi perkembangan industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2010 – 2011, tak lama setelah krisis global di tahun 2008, harga-harga komoditas termasuk CPO naik signifikan hingga mencapai Malaysian Ringgit 3,920 per ton. Hasilnya di tahun 2011, para perusahaan sawit di Indonesia termasuk SGRO menikmati pendapatan dan laba bersih yang sangat besar, yang sayangnya tidak pernah dicapai lagi hingga sembilan tahun berikutnya, dimana hingga pertengahan tahun 2020, harga CPO di pasar internasional terus turun. Kombinasi antara penurunan harga-harga komoditas secara umum, ketidak mampuan industri domestik untuk menyerap dan memproses CPO menjadi produk hilir dengan nilai tambah, kecuali untuk minyak goreng (sehingga surplus produksi CPO di Indonesia diekspor keluar negeri pada harga murah), dan kondisi krisis karena pandemi di tahun 2020 yang menurunkan permintaan CPO, menyebabkan harga CPO terus saja turun, hingga sempat beberapa kali dibawah RM2,000 per ton. Hasilnya, SGRO menderita rugi Rp201 milyar di tahun 2020.

Namun berkaca pada pengalaman di tahun 2008 – 2011, maka kita bisa simpulkan bahwa pasca krisis, harga-harga komoditas termasuk CPO biasanya akan naik tinggi, dan perusahaan perkebunan kelapa sawit akan sekali lagi menghasilkan pendapatan dan laba yang besar. Jadi sejak setahun terakhir, penulis sendiri terus mengamati perkembangan harga CPO dan juga kinerja perusahaan sawit, termasuk SGRO. Dan ketika artikel ini ditulis, here we go: Harga CPO sudah mencapai RM4,855 per ton, jauh lebih tinggi dibanding rekor tahun 2011, dan seperti yang saya sebut diatas, laba bersih disetahunkan SGRO pada Semester I 2021 juga sudah lebih besar dibanding tahun 2011.

Dan yang paling menarik adalah, anda tahu berapa harga saham SGRO di tahun 2011? Well, Rp,3000 – 3,500 per saham. Lalu berapa harga SGRO sekarang? Cuma Rp1,950, yang mencerminkan PBV 0.9 dan PER 4.8 kali, seiring dengan ekuitasnya yang terakhir tercatat Rp4.0 trilyun, naik signifikan dibanding Rp2.5 trilyun di tahun 2011. Kemudian diatas penulis membandingkan luas lahan SGRO dengan LSIP, dan kenapa perbandingan ini penting? Karena pada saat artikel ini ditulis, market cap SGRO hanya Rp3.6 trilyun, sedangkan market cap LSIP mencapai Rp10.1 trilyun.

Jadi dilihat dari banyak sisi, SGRO ini masih undervalue. Dan sekali lagi berdasarkan pengalaman di tahun 2010 – 2011, biasanya cuma soal waktu sebelum sahamnya naik tinggi dan ramai diperdagangkan di bursa. Tapi selama hal itu belum terjadi, maka artinya peluang.

Satu-satunya risiko adalah terkait harga CPO itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, dalam kondisi pasar yang fluktuatif dimana harga CPO naik sangat tinggi dalam waktu singkat (baru saja bulan Juni kemarin, harga CPO masih di RM3,500 per ton), maka kita sekarang berada pada satu titik dimana harga CPO bisa saja turun lagi sewaktu-waktu. Dan jika nanti harga CPO turun ke katakanlah RM2,500 per ton, maka apakah laba bersih SGRO akan bisa sama besarnya seperti sekarang ini?

Untungnya, meskipun saya juga menganggap bahwa harga CPO bisa turun lagi sewaktu-waktu, tapi harusnya tidak akan turun sampai balik lagi ke titik terendahnya pada 1 – 2 tahun lalu, melainkan harga CPO akan bertahan di setidaknya RM3,000 – 3,500 per ton. Seperti disebut diatas, salah satu alasan kenapa harga CPO selama ini sangat rendah adalah karena di Indonesia, hampir tidak ada industri hilir yang bisa menyerap produksi CPO kecuali untuk membuat minyak goreng dan margarine, sedangkan permintaan minyak goreng itu sendiri masih jauh lebih rendah dibanding produksi CPO nasional. Hasilnya, surplus produksi itu diekspor pada harga rendah, karena para perusahaan sawit tidak punya pilihan lain.

Namun sejak akhir tahun 2019, Pemerintah RI sukses meluncurkan program biodiesel B30, yang merupakan campuran 70% minyak solar, dan 30% CPO, dimana di sepanjang tahun 2020, program ini menyerap 7.4 juta ton CPO, naik 32% dibanding tahun 2019, dan angka tersebut sudah mencapai 42% dari tingkat konsumsi CPO nasional, atau dengan kata lain sudah mendekati volume permintaan CPO untuk pembuatan minyak goreng. Hal ini otomatis meningkatkan permintaan CPO di dalam negeri, sehingga volume ekspor CPO turun, dan harganya naik. Karena kedepannya program B30 ini akan terus berjalan, bahkan bisa ditingkatkan menjadi B40, B50 dst, maka peningkatan permintaan CPO di dalam negeri ini bisa dikatakan bersifat permanen. Sehingga meskipun besok-besok harga CPO cooling down dan turun lagi, tapi harusnya tidak akan sampai balik lagi ke titik terendahnya di bulan Juli 2019, dimana ketika itu belum ada program B30 ini.

Anyway, terlepas dari proyeksi harga CPO dalam jangka panjang diatas, yang jelas sampai dengan Semester I 2021 kinerja SGRO sangat bagus, dan kemungkinan labanya akan kembali naik sampai akhir tahun nanti, sedangkan disisi lain valuasi sahamnya masih murah, boleh dibilang ketinggalan dibanding saham-saham komoditas lainnya, simply karena sahamnya kurang likuid saja. So it’s our chance.

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal III 2021 akan terbit tanggal 8 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, tersedia gratis layanan tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

Dapatkan postingan via email

Komentar

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?