Special Reports: Fakta Keuangan Evergrande Group

Tanggal 31 Agustus 2021, China Evergrande Group merilis laporan keuangan semester I 2021, dimana perusahaan menunjukkan penurunan kinerja dari sisi pendapatan, laba operasional, dan juga laba bersih dibanding periode yang sama tahun 2020, namun sekilas kinerjanya tampak tidak terlalu buruk dimana perusahaan masih membukukan laba RMB (Renminbi Yuan) 10.5 milyar, dan ekuitasnya juga masih naik menjadi RMB190.8 milyar. Namun jika kita melihat total liabilitasnya yang mencapai RMB1,966.5 milyar (setara $304.5 milyar!), atau lebih dari 10 kali lipat ekuitasnya diatas, maka jelas bahwa untuk ukuran perusahaan di bidang non keuangan, dalam hal ini properti, liabilitas itu terlalu besar. Disisi lain meski perusahaan masih membukukan laba, namun laporan arus kas operasionalnya menunjukkan angka negatif RMB14.8 milyar, berbanding positif RMB3.6 milyar di periode yang sama di tahun 2020.

***

Ebook Market Planning edisi Oktober 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Catatan: Seluruh informasi dan angka-angka yang disajikan disini diambil dari dokumen-dokumen resmi yang dirilis oleh Evergrande di website Bursa Hong Kong, HKEX.com.hk.

Dan memang pada halaman 6 laporan keuangannya, manajemen Evergrande menjelaskan tentang masalah likuiditas dan kelangsungan hidup perusahaan (liquidity and going concern), yang secara singkatnya sebagai berikut: ‘Per 30 Juni 2021, perusahaan memiliki utang berbunga yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun atau kurang senilai RMB240.0 milyar ($37.2 milyar), sedangkan disisi lain kami hanya memiliki uang kas di bank senilai RMB161.6 milyar, dimana RMB74.9 milyar diantaranya dibatasi penggunaannya (baca: Tidak bisa ditarik kecuali berdasarkan kesepakatan tertentu antara pihak perusahaan dan bank, biasanya karena perusahaan juga punya utang ke bank tersebut). Pada saat laporan keuangan ini dirilis, pembayaran kepada pihak kontraktor dan supplier untuk sejumlah proyek pembangunan properti tertunda, yang menyebabkan berhentinya proyek tersebut, sehingga kami tidak bisa serah terima unit-unit properti ke pelanggan, dan pada gilirannya kami tidak menerima pendapatan tunai. Kami saat ini sedang bekerja keras untuk menyelesaikan masalah diatas, termasuk membayar semua utang yang jatuh tempo secara tepat waktu. Namun jika semua upaya tersebut gagal, maka kami akan menyajikan ulang laporan keuangan ini dimana: 1. Kami akan mencantumkan ulang (write down) nilai aset-aset properti berdasarkan angka realisasi penjualan, yang lebih rendah dibanding nilai tercatat saat ini, 2. Mencantumkan kewajiban kontinjensi (seperti biaya denda) yang mungkin muncul akibat keterlambatan pelunasan utang, dan 3. Sejumlah aset dan kewajiban tidak lancar akan diklasifikasi ulang sebagai aset dan kewajiban lancar.’

Intinya, meski LK-nya tampak baik-baik saja, namun manajemen jelas menyatakan bahwa mereka sedang kesulitan membayar utangnya yang segera jatuh tempo, karena disisi lain pendapatannya turun drastis akibat berhentinya sejumlah proyek. Jadi pada skenario terburuk dimana manajemen tidak bisa segera menemukan solusi, maka LK-nya akan disajikan ulang dimana perusahaan kali ini akan menyajikan informasi terkait gagal bayar utang alias default. Atau, jika LK-nya tidak disajikan ulang, maka informasi default tersebut akan disajikan di LK periode berikutnya.

Dan memang sebelumnya Pengadilan Daerah di Kota Lu’an, Provinsi Anhui, telah mengabulkan gugatan ganti rugi biaya proyek dari sebuah perusahaan dengan nama Huaibei Mining Holdings Co Ltd terhadap anak usaha Evergrande dengan nama Lu’an Hengda, senilai RMB401 juta. Kemudian sebuah perusahaan investasi dengan nama Xiaogan Gaochuang Investment Co Ltd juga sedang bersengketa terkait 20% saham dari sebuah perusahaan properti dengan nama Langfang Development yang dipegang oleh salah satu anak usaha Evergrande senilai RMB349 juta, dan akibatnya saham Langfang tersebut dibekukan oleh Pengadilan. Terhadap dua masalahnya diatas, manajemen menyatakan sedang menempuh jalur hukum.

Sayangnya pada LK-nya yang dirilis kemudian, manajemen Evergrande membenarkan bahwa proyek-proyeknya banyak yang mandek, sehingga perusahaan kesulitan likuiditas. Hingga pada 14 September, Evergrande merilis keterbukaan informasi dengan inti sebagai berikut: Nilai kontrak penjualan sejak bulan Juni, Juli, dan Agustus 2021 menunjukkan trend penurunan, dan kemungkinan masih akan lanjut turun mengingat pemberitaan negatif oleh media, dan ini menyebabkan arus kas perusahaan menjadi lebih tertekan dibanding sebelumnya. Kemudian terkait upaya-upaya yang dilakukan manajemen untuk mengatasi masalah likuiditas kas perusahaan, maka berikut hasilnya: 1. Upaya penjualan gedung kantor China Evergrande Centre di Wan Chai, Hong Kong, sampai dengan saat ini belum menemukan calon pembeli, dan tidak ada jaminan bahwa gedung itu akan terjual sebelum waktu jatuh tempo utang, 2. Dua anak usaha Evergrande di bidang wealth management telah gagal melunasi kewajibannya senilai RMB934 juta ($145 juta) secara tepat waktu. Untuk upaya-upaya lainnya seperti penjualan sejumlah aset (aset properti dan aset keuangan) masih dikerjakan, termasuk manajemen kemudian mengambil jasa dari dua financial advisers untuk membantu mengatasi masalah likuiditasnya.

However, pada titik ini beritanya sudah menyebar ke seluruh dunia bahwa Evergrande mengalami gagal bayar, dan sahamnya sendiri di Bursa Hong Kong jatuh dengan cepat dari HK$9.47 pada bulan Juli 2021, hingga terakhir tinggal HK$2.55. Kemudian karena total nilai kewajiban Evergrande itu sendiri sangat besar (seperti disebut diatas, $304.5 milyar), maka timbul kekhawatiran bahwa jika Evergrande sampai bangkrut, maka itu akan menimbulkan dampak sistemik tidak hanya di China, tapi seluruh dunia juga bisa jatuh krisis. Tapi apakah benar demikian?

Mari kita cek lagi. Pertama, betul bahwa total liabilitas Evergrande per 30 Juni 2021 mencapai $304.5 milyar, namun hanya $88.5 milyar diantaranya yang merupakan utang berbunga, dan dari $88.5 milyar tersebut hanya $37.2 milyar yang akan jatuh tempo dalam waktu satu tahun atau kurang (dihitung dari tanggal 30 Juni 2021), sedangkan selebihnya merupakan utang usaha, kewajiban kontrak, dan utang pajak yang tidak mengandung bunga. Dan sejauh ini hanya utang senilai $145 juta yang dilaporkan sudah berstatus gagal bayar, itupun bukan utang ke bank atau lembaga keuangan lainnya, melainkan utang ke nasabah layanan wealth management (WM), jadi seperti Jiwasraya gagal bayar ke nasabahnya. Yup, seperti yang kita ketahui, Evergrande ini gak hanya jualan properti saja melainkan dia ada banyak usaha lain termasuk WM, dan untuk WM ini perusahaan agak sulit untuk bernegosiasi untuk misalnya memperpanjang masa jatuh tempo, karena yang dihadapi bukanlah satu atau dua pihak bank/lembaga keuangan, melainkan para nasabah individu yang bisa jadi jumlahnya sangat banyak. Sedangkan untuk utang bank dan obligasi, perusahaan masih bernegosiasi dengan pihak bank dan bondholder untuk perpanjangan waktu jatuh tempo, atau refinancing.

Kedua, jika dikatakan bahwa Evergrande memiliki utang yang sangat besar yang berisiko gagal bayar, maka sebenarnya pada tahun lalu (2020), total liabilitas Evergrande sudah mencapai RMB1,950.7 milyar (setara $302.0 milyar), dengan utang berbunga jangka pendek yang bahkan lebih besar lagi! Yakni RMB335.5 milyar atau setara $51.9 milyar. Nah, tapi kenapa ketika itu sama sekali tidak kedengaran bahwa Evergrande ini bakal default, sedangkan kinerja perusahaan juga sudah mulai turun karena imbas pandemi? (Pada tahun 2020, Evergrande membukukan profit RMB31.4 milyar, turun dibanding RMB33.3 milyar di tahun 2019) Jawabannya adalah seperti yang disebut diatas: Menurut pihak manajemen, selepas 30 Juni 2021, di media muncul banyak berita dan laporan bernada negatif terkait Perusahaan, yang menyebabkan banyak calon konsumen batal membeli unit properti yang dijual perusahaan, sehingga perusahaan tidak punya cukup kas untuk membayar kontraktor dan supplier, sehingga pembangunan proyek dihentikan, sehingga perusahaan gagal men-deliver unit-unit properti secara tepat waktu ke konsumen, dan akhirnya pendapatannya turun lebih rendah lagi. Entah benar itulah penyebabnya atau ada hal lainnya lagi, namun situasi ini tidak terjadi setahun lalu, dan alhasil ketika itu tidak ada cerita gagal bayar meskipun liabilitas Evergrande sudah segunung. Jadi jika manajemen kedepannya bisa fokus untuk kembali meningkatkan pendapatan (manajemen sudah menyatakan bahwa mereka akan ‘dengan penuh semangat mempromosikan penjualan’), maka masalah likuiditasnya akan teratasi.

Terakhir ketiga, diluar upaya-upaya lainnya, manajemen juga mulai berusaha menjual aset-aset untuk membayar utang, dan aset-aset tersebut masih ada banyak. Yup, selain rencana penjualan gedung China Evergrande Center yang disebut diatas, manajemen juga sudah (per tanggal 27 Agustus 2021): 1. Menyerahkan sejumlah unit properti ke kontraktor dan supplier, sebagai pengganti biaya jasa mereka, 2. Menjual 11% saham di Hengten Networks Ltd, 3. Menjual 1.9% saham di Shengjing Bank Co Ltd, 4. Menjual 7.1% saham di Shenzhen High and New Technology Investment Co Ltd, 5. Menjual 49% saham di Evergrande Spring Ltd, dan 6. Menjual kepemilikan di lima proyek pembangunan properti dan aset non inti lainnya. Seluruh aksi penyerahan dan penjualan tersebut menghasilkan kas dan/atau pengurangan utang senilai total RMB41.7 milyar atau setara $6.5 milyar. Kemudian mengingat utang berbunga jangka pendek Evergrande per 30 Juni 2021 tercatat $37.5 milyar, dan perusahaan masih punya banyak aset lainnya lagi yang siap untuk dijual, plus perusahaan juga harusnya bisa mencapai kesepakatan dengan pihak bank untuk memperpanjang waktu jatuh tempo sebagian utang-utangnya (terutama dengan mempertimbangkan kondisi yang sudah dijelaskan diatas), maka secara teori Evergrande tidak akan sampai PKPU dengan para krediturnya.

Kesimpulan

Berdasarkan analisa diatas, maka betul bahwa Evergrande saat ini tengah mengalami kesulitan likuiditas, malah sudah ada sebagian (kecil) utangnya yang berstatus gagal bayar, dimana terkait hal ini maka kemungkinan besar perusahaan akan membukukan kerugian besar, misalnya karena aksi jual aset-asetnya yang kemungkinan pada harga yang lebih rendah dari nilai tercatatnya (sehingga selisihnya dicatat sebagai kerugian pelepasan aset). Tapi kalau dikatakan bahwa Evergrande bakal bangkrut, maka kecuali kedepannya ada perkembangan tertentu yang secara signifikan berdampak negatif, maka terlalu dini untuk menyimpulkan demikian, dan kalaupun Evergrande sampai bangkrut maka itu tidak otomatis akan menimbulkan dampak sistemik. I mean, lihat itu kasus bangkrutnya Jiwasraya, kurang gede apa coba kerugian yang dialami oleh para nasabahnya, yang sampai sekarang juga sama sekali belum balik modal? Belum lagi Asabri, Koperasi Indosurya, Emco Asset Management, dst, yang kalau dijumlahkan semuanya maka entah berapa ratus trilyun Rupiah total kerugiannya. Tapi apakah kemudian terjadi dampak sistemik lalu Indonesia jadi krisis karenanya?

Kemudian jika penulis baca-baca lagi tulisan di media, banyak juga yang menyamakan ‘kebangkrutan’ Evergrande (padahal Evergrande sama sekali belum bangkrut) dengan kebangkrutan Lehman Brothers yang menjadi puncak krisis finansial tahun 2008 lalu. Nah, ini juga terlalu jauh, karena pada tahun 2008, dari total aset Lehman sebesar $680 milyar, $657 milyar diantaranya merupakan utang yang mayoritas merupakan dana pihak ketiga (ingat bahwa Lehman ini merupakan bank) yang mengandung bunga. Jadi jika perbandingannya adalah Lehman ini, maka jumlah utang berbunga Evergrande hitungannya masih kecil. Kemudian jika aset terbesar Lehman sebelum bangkrut adalah instrumen keuangan terutama yang dijamin dengan aset properti (tapi bukan aset properti itu sendiri), dan saham-saham dengan perjanjian akan dijual kembali (alias repo, dimana aset repo seperti ini sangat berisiko karena bisa saja pihak yang berjanji akan membelinya kembali mengingkari janjinya), maka mayoritas aset-aset Evergrande adalah aset fisik yang kalaupun dijual pada harga BU, tapi harusnya selisihnya tidak terlalu jauh dibanding nilai tercatatnya. Jadi sekali lagi, meskipun Evergrande akan menderita rugi karena penjualan aset-asetnya, tapi secara teori perusahaan masih bisa melunasi sebagian utang-utangnya yang akan jatuh tempo, dan sebagian lagi bisa dinegosiasikan untuk diperpanjang atau refinancing.

Dan kalau terjadi kemungkinan terburuk dimana Evergrande tetap gagal bayar sebagian besar utang-utangnya, maka mengingat posisi perusahaan sebagai developer properti terbesar kedua di China, plus kekuatan koneksi politik sang chairman, Hui Ka Yan, maka Pemerintah China akan turun tangan melakukan bail-out. Yup, jadi balik lagi ke Lehman Brothers, maka ketika itu lembaga keuangan yang default gak cuma Lehman, tapi juga bank-bank besar lainnya seperti JPMorgan Chase, Goldman Sachs, Bank of America, dan Morgan Stanley. Dan Pemerintah Amerika Serikat kemudian mem-bailout hampir semua bank tersebut, kecuali Lehman, yang dinilai paling ‘koboy’ diantara semuanya.

Dengan kata lain, skenario krisis seperti tahun 2008 baru akan terjadi jika tidak hanya Evergrande, tapi juga ada banyak perusahaan-perusahaan lain di China yang default, dan kalau demikian kejadiannya maka tentu Pemerintah tidak akan diam saja, dimana kalaupun pada akhirnya ada perusahaan yang ‘di-Lehman-kan’, maka perusahaan itu belum tentu Evergrande. Tapi seperti yang kita ketahui, kondisinya sama sekali tidak demikian.

Anyway, berbagai cerita mengkhawatirkan seperti dulu di bulan April meningkatnya kasus Covid di India, lanjut meningkatnya kasus Covid di Indonesia, lalu cerita tapering, dan sekarang cerita Evergrande, penulis melihatnya lebih karena mood investor sudah jelek saja sejak awal tahun 2021 ini, karena IHSG dan mayoritas saham-saham di BEI cenderung terus turun dalam 6 – 9 bulan terakhir. Jadi mari kita lihat pada akhir tahun nanti ketika kondisi pasar sudah lebih baik dan investor kembali cuan, harusnya sih cerita Evergrande ini ketika itu bakal sudah hilang sama sekali.

***

Ebook Market Planning edisi Oktober 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, info jual beli saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Anonim mengatakan…
Pak...

PMMP bisa tlg dibahas lagi....

Trims
Hendro's Blog mengatakan…
Saya suka tulisan pak teguh terkait issue global seperti ini.. Keep posting ya pak

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?