Mengenal FOMO: Awal dari Saham ARB Berjilid-jilid

Hingga ketika artikel ini ditulis, saham PT Bukalapak.com, Tbk (BUKA) berada di posisi 840, atau tidak jauh berbeda dari harga IPO-nya di 850. Sehingga terlepas dari kualitas fundamental perusahaannya, bagi investor yang membeli sahamnya ketika IPO maka mereka belum menderita kerugian yang besar. Tapi ceritanya berbeda dengan investor yang FOMO membeli saham BUKA ini pada harga 1,100, 1,200, hingga 1,300, yakni ketika sahamnya langsung ARA (autoreject atas) pada hari perdagangan pertama dan keduanya, Agustus lalu: Para investor ini belum apa-apa langsung menderita rugi besar, dan kemungkinan sekarang ini mereka sedang kebingungan, apakah BUKA ini sebaiknya di-hold, atau cut loss saja? Dan seringkali, perasaan kebingungan ini lebih mengganggu secara psikologis/lebih bikin stress, ketimbang kerugiannya itu sendiri.

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal II 2021 sudah terbit, dan sudah bisa dipesan disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Nah, tapi sekali lagi kondisi rugi diatas sebenarnya tidak berhubungan dengan saham BUKA itu sendiri, melainkan disebabkan oleh FOMO itu tadi. Lalu apa sih FOMO itu sebenarnya?

Ada yang FOMO di saham ini? Karena memang kemarin itu IPO-nya heboh banget dan viral dimana-mana, dan alhasil orang jadi penasaran dan buru-buru masuk

Dalam dunia investasi pasar saham, FOMO, yang merupakan singkatan dari fear of missing out, adalah situasi dimana seseorang merasa takut ketinggalan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar (dan cepat) dari kenaikan harga saham tertentu. FOMO ini menyebabkan seorang trader/investor melakukan panic buying, yakni terburu-buru membeli saham hanya karena khawatir ketinggalan kereta jika besok sahamnya naik lebih tinggi lagi, padahal ia sama sekali belum mengerjakan analisa apapun terkait saham ataupun perusahaannya, jadi murni hanya karena panik saja.

Dan diatas kita sudah berikan contoh peristiwa FOMO ini pada saham BUKA, dimana investor yang membeli sahamnya di harga 1,000 sampai 1,300 adalah murni karena mereka penasaran saja, karena waktu itu saham BUKA sampai ARA dua hari berturut-turut, apalagi sebelumnya IPO BUKA ini ramai diberitakan dimana-mana. Tapi diluar saham BUKA, sebenarnya masih ada banyak lagi kasus dimana investor menderita rugi besar di saham lain, juga karena FOMO. Contohnya, masih ingat bulan Januari 2021 lalu ketika saham-saham farmasi seperti Kimia Farma (KAEF), dan Indofarma (INAF) terus saja naik gila-gilaan hingga tembus 7,000, dari hanya 1,000-an beberapa bulan sebelumnya? Dan otomatis sahamnya jadi viral dimana-mana, sehingga menyebabkan investor yang belum pegang sahamnya jadi penasaran ingin ikut beli, simply karena berharap bahwa sahamnya akan naik lebih tinggi lagi (meskipun sekali lagi, tidak ada dasar analisanya), terutama karena ketika itu juga ramai cerita vaksinasi di Indonesia.

Tapi apa yang terjadi? Masih di bulan Januari tersebut, KAEF dan INAF mendadak ARB berjilid-jilid! Hingga sahamnya tiba-tiba saja sudah di level 3,000-an, atau anjlok lebih dari 50% hanya dalam dua pekan. Semua euforia yang terjadi seketika berbalik menjadi kepanikan, dan juga kebingungan dari investor yang tidak mengerti kenapa uangnya mendadak hilang hingga separuhnya. Dan sampai dengan hari ini pun, KAEF dan INAF sama sekali belum balik lagi ke 7,000 tersebut.

Nah, tapi apakah semua trader/investor yang FOMO ini pasti bakal rugi besar? Well, sebenarnya tidak juga. Pada contoh kasus saham KAEF diatas, ada juga investor yang FOMO sahamnya pada bulan Oktober – November 2020 di harga 3,000-an, dimana harga 3,000 itu sebenarnya sudah naik sangat tinggi, karena beberapa waktu sebelumnya KAEF ini masih di 1,000-an. Tapi karena ketika itu sahamnya masih lanjut naik sampai 5,000, 6,000, hingga 7,000, maka mereka kemudian masih bisa profit taking dengan keuntungan jumbo. Kemudian untuk saham BUKA juga sama: Betul sekarang sahamnya di 800-an, tapi siapa yang tahu jika besok-besok dia naik lagi ke 1,000-an? Itu bisa saja bukan? (Meski disisi lain, BUKA juga bisa saja lanjut turun lebih dalam lagi, karena fundamentalnya tidak mendukung).

Tapi kata kuncinya adalah, mau hasilnya untung atau rugi, namun tindakan membeli saham karena FOMO itu adalah pure gambling karena sekali lagi tidak didasari oleh analisa, dan masalahnya pikiran seorang investor tidak akan bisa tenang ketika sudah membeli saham secara FOMO seperti itu, karena dari hati kecilnya ia sadar betul bahwa apa yang baru saja dilakukannya itu adalah spekulasi. Dan kalau penulis sendiri, jujur saja, saya lebih suka profit sewajarnya tapi kita megang sahamnya juga tenang, santai, dan rileks, daripada profit besar tapi sambil jantungan karena kita tahu persis bahwa profit itu bisa sewaktu-waktu berbalik menjadi rugi yang tidak kalah besarnya. Faktanya ada juga investor yang beli KAEF ini di 4,000 pada akhir tahun 2020 lalu, dan untuk sesaat dia merasa super happy karena sahamnya terbang ke 7,000, tapi kemudian jatuh depresi karena sahamnya sudah keburu nyangkut sebelum dia sempat menjualnya (karena ARB berjilid-jilid itu tadi). Dan anda tahu? Kesehatan mental itu jauh lebih berharga daripada cuan itu sendiri.

Okay Pak Teguh, jadi adakah cara agar kita tidak terjebak FOMO seperti ini? Ada, tentu saja, tapi sebelum itu ingat dulu tiga kata kuncinya agar kita bisa mengetahui apakah kita sedang FOMO atau tidak, yakni jika beli saham secara: 1. Terburu-buru, 2. Karena takut ketinggalan kereta/peluang di saham yang (kelihatannya) naik terus, dan 3. Tanpa analisa sebelumnya.

Nah, jadi seperti yang sudah sering penulis sampaikan, jangan pernah beli saham secara buru-buru, apalagi tanpa analisa sebelumnya. Tapi Pak Teguh, analisa saham itu perlu waktu, untuk baca laporan keuangan saja bisa berhari-hari, terutama buat saya yang masih belajar. Jadi sering ketika analisanya sudah selesai dan kesimpulannya sahamnya memang bagus, harganya sudah naik duluan. Nah kalau gitu bagaimana itu pak? Well, kecuali untuk saham-saham spekulasi/gorengan, kenyataannya saham sebagus apapun akan butuh waktu untuk naik banyak, entah itu beberapa minggu, bulan, hingga 1 – 2 tahun. Jadi sebenarnya kita sama sekali tidak perlu buru-buru, karena mau beli hari ini atau besok itu sama saja, paling harganya cuma beda sedikit saja. Dan kalau sebuah saham naik terlalu cepat, misalnya sampai ARA atau naik 100% hanya dalam sebulan, maka cepat atau lambat dia akan turun lagi, bahkan kalau setelah itu dia masih lanjut naik. Nah, tapi bagaimana jika saham yang diincar itu tetap saja nggak turun? Maka juga gak usah khawatir karena akan selalu ada saham lain yang juga bagus, tapi harganya belum naik sehingga masih bisa kita beli. Dan seringkali ini pula kesalahan yang sering dilakukan pemula: Terlalu fokus pada saham yang sedang ramai/viral di grup-grup, hingga kemudian FOMO di saham tersebut, dan lupa bahwa masih ada banyak saham lain yang lebih bagus dan lebih aman. Faktanya, peluang investasi terbaik justru biasanya terletak pada saham yang tidak sedang ramai dibicarakan oleh orang-orang, alias saham yang sepi dari pemberitaan maupun diskusi di grup-grup.

Kedua, terkait ‘takut ketinggalan kereta’, maka jika menggunakan pendekatan value investing, penulis sendiri selama ini cukup sering ‘mengejar kereta’, dan penjelasannya sebagai berikut: Sebelum membeli saham tertentu, kita selalu menerapkan margin of safety (MOS) sekitar 35%. Jadi kalau setelah dianalisa, kita harga wajar saham A adalah di kisaran 1,000, maka kita beli sahamnya pada harga 650 atau dibawahnya. Nah, tapi bagaimana kalau sebelum kita beli sahamnya sudah naik duluan ke 700, misalnya karena kita menghabiskan waktu satu dua hari untuk menganalisanya terlebih dahulu? Atau kita baru beli sedikit di harga 650, dan ketika mau beli lagi, sahamnya sudah di 700? Maka, jika kita cukup yakin bahwa harga wajar saham A adalah benar di 1,000, maka kita masih bisa beli lagi di harga 700 tersebut (average up), atau bahkan 750 juga masih ok, karena MOS-nya masih agak lebar. Tapi jika sahamnya sudah di 900, maka barulah kita jangan mengejarnya dan kita bisa cari peluang lagi di saham lain, karena itu sudah mepet. Lebih jelas soal average up bisa dibaca lagi disini, sedangkan soal menghitung harga wajar saham bisa dipelajari disini.

Intinya, kita boleh mengejar kereta seperti dijelaskan diatas, dengan catatan kita sudah mengerjakan analisanya, dan alhasil kita punya perhitungan yang jelas soal harga wajar saham A itu di berapa. Jika kita asal beli saja tanpa analisa seperti itu, melainkan hanya karena takut ketinggalan kereta karena kita lihat saham A itu naik terus tiap hari, maka itu adalah FOMO.

Anyway, pada akhirnya FOMO ini biasanya memang hanya dilakukan oleh investor pemula dengan pengalaman kurang dari 1 - 2 tahun, yang kalau ia kemudian bisa mengambil pelajaran dari kerugian yang kemudian terjadi, maka selanjutnya ia tidak akan pernah FOMO lagi. Balik lagi ke contoh saham BUKA, ada juga kenalan penulis yang beli sahamnya ketika IPO di harga 850, lalu ia jual persis di 1,300, dimana dalam hal ini ia bukannya terjebak FOMO tapi justru memanfaatkan aksi FOMO yang dilakukan investor lain. Dan memang kenalan penulis ini sudah cukup lama berinvestasi di saham.

Sehingga jika anda termasuk pemula, dan sekarang ini di porto masih ada saham nyangkut yang gak juga naik lagi meski sudah ditunggu lama, maka coba evaluasi lagi, apakah dulu belinya karena FOMO? Jika jawabannya adalah ya, dan setelah dianalisa lagi kesimpulannya adalah saham itu sejak awal tidak layak invest, maka: Jual sahamnya, lalu mulai lagi semuanya dari awal. Nah, untuk cut loss seperti ini memang rasanya akan sangat tidak enak, apalagi jika nilai ruginya sebesar 1 bulan gaji. Tapi jika anda bisa melakukan itu then trust me, kesananya akan jauh lebih mudah, dan anda pada akhirnya nanti akan benar-benar bisa menghasilkan cuan besar dari saham seperti pada November 2020 - Januari 2021 lalu. Good luck!

***

Ebook Market Planning edisi September 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, gratis info jual beli saham via Telegram, dan tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Lihardo Saragih mengatakan…
Trima kasih atas tulisannya pak Teguh...
Atas saran pak TH, bulan Juli saya cutloss di HMSP dan UNVR (sebesar 5,6 juta)
Saya perbaiki portofolio sesuai saran pak TH, dan hari ini portofolio saya sudah tumbuh 6 %. Optimis bisa diangka 15% di akhir tahun 2021...

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?