Ekonomi Indonesia Melesat 7.07%, Pertanda Resesi Sudah Berakhir?
Hari ini, Kamis 5 Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan gross domestic product (GDP), atau disebut juga data pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk Kuartal II/Q2 2021, dimana angkanya mencapai +7.07% secara year on year, tertinggi sejak tahun 2004, dan merupakan lompatan dibanding Kuartal I kemarin yang angkanya masih minus, tepatnya -0.71%. Nah, jadi apakah ini pertanda bahwa ekonomi Indonesia sudah pulih sepenuhnya dari krisis karena pandemi? Karena bahkan pada tahun 2019 lalu ketika belum terjadi pandemi, pertumbuhan ekonomi kita hanya di kisaran 4 – 5% saja, dan bukan mencapai 7% seperti sekarang.
***
Ebook
Market Planning edisi Agustus 2021 yang berisi analisis arah
IHSG, stockpick saham, dan informasi jual beli saham yang penulis lakukan sudah
terbit! Dan Anda bisa memperolehnya
disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.
***
Sayangnya, perlu diingat bahwa pada Q2 2020 alias setahun lalu, ekonomi kita tumbuh negatif -5.32%, ketika itu karena puncak resesi akibat penerapan PSBB oleh Pemerintah. Sehingga ketika sekarang ekonomi naik +7.07%, maka itu karena dihitungnya dari titik terendahnya pada Q2 2020 tersebut. Tapi jika dihitungnya dari dua tahun lalu ketika Indonesia belum dilanda pandemi/resesi, maka angka pertumbuhannya sama sekali tidak mencapai 7%. Ilustrasi mudahnya, katakanlah GDP kita pada Q2 2019 tercatat 1,000. Setahun kemudian pada Q2 2020, angka GDP tersebut turun -5.32% menjadi 947. Setahun berikutnya pada Q2 2021 (alias sekarang), angka GDP yang 947 itu naik +7.07% menjadi 1,014.
Sehingga dalam dua tahun terakhir, sebenarnya GDP Indonesia hanya naik total +1.4%, yakni dari 1,000 ke 1,014. Kenaikan ini jelas jauh dibawah tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 4 – 5% per tahun. Sebagai perbandingan, berikut adalah data pertumbuhan ekonomi lima negara/zona ekonomi terbesar di dunia dalam dua tahun terakhir, klik gambar untuk memperbesar.
Untuk informasi tambahan, rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan Amerika Serikat di tahun 2014 - 2019 adalah 2 - 3%, China 5 - 6%, Uni Eropa 1 - 2%, Jepang 0 - 2%, Jerman 1 - 2%. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa hingga Q2 2021 kemarin, ekonomi Amerika dan China sudah pulih sepenuhnya seperti sebelum resesi, tapi untuk negara-negara lainnya termasuk Indonesia masih berada di fase pemulihan. Dan memang jika kita lihatnya angka GDP Indonesia itu sendiri, maka pada tahun 2019, angkanya tercatat $1,119 milyar, yang kemudian turun menjadi $1,058 milyar di tahun 2020 karena imbas resesi. Untuk tahun 2021 ini hampir bisa dipastikan GDP kita akan naik lagi, tapi angkanya belum tentu akan langsung balik lagi seperti di tahun 2019 lalu. Dan jika skenarionya benar demikian/pada akhir tahun nanti GDP kita tercatat kembali naik tapi masih belum setinggi tahun 2019, maka artinya ekonomi kita belum pulih 100%.
Ekonomi Q3 2021 mungkin akan sedikit turun dibanding Q2
Kemudian yang menjadi perhatian penulis adalah fakta bahwa pada Q3 2021, alias sekarang ini, ekonomi kita kemungkinan akan turun secara quarter on quarter dibanding Q2 barusan. Yup, seperti yang kita ketahui, setelah jumlah kasus positif harian Covid-19 mulai melonjak pada sekitar pertengahan bulan Juni, maka Pemerintah sejak tanggal 3 Juli 2021 lalu menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat, yang sampai ketika artikel ini ditulis masih belum diberlakukan (update terakhir diperpanjang sampai 9 Agustus), dan imbasnya memang sangat terasa dimana Pemerintah kembali harus meluncurkan bantuan sosial secara besar-besaran bagi masyarakat yang terdampak. Nah, karena periode Q2 adalah di bulan April – Juni, maka dampak dari PPKM ini baru akan kelihatan di data pertumbuhan ekonomi untuk Q3 nanti. Semakin lama PPKM ini diberlakukan, maka akan semakin signifikan dampaknya, albeit penulis tidak melihat skenario bahwa ekonomi kita akan kembali resesi seperti tahun 2020 lalu, karena PPKM darurat ini tetap tidak sama seperti PSBB setahun lalu dimana orang-orang sampai dilarang keluar rumah sama sekali, dan kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta bahkan sempat lenggang (sedangkan sekarang Jakarta sudah macet lagi).
Tapi intinya adalah, jika misalnya hingga Q2 kemarin kita katakan bahwa ekonomi Indonesia sudah mulai pulih tapi belum 100%, melainkan let say baru 70%, maka untuk Q3 nanti persentase pemulihan itu turun sedikit menjadi 60%. Sehingga ibarat orang sakit Covid dengan gejala berat, maka fase kritisnya sudah lewat, tapi kondisinya saat ini masih naik turun, dan masih perlu waktu untuk bisa sembuh sama sekali. Harapan penulis tentunya adalah gelombang kedua Covid ini pada akhirnya nanti akan berakhir juga, dan setelah itu ya sudah pandeminya selesai, dan tidak akan ada gelombang ketiga (atau ada, tapi tidak separah gelombang kedua seperti sekarang). Sehingga ketika PPKM yang sekarang diberlakukan akhirnya dicabut, maka itu merupakan PPKM terakhir yang tidak akan pernah diberlakukan lagi di masa yang akan datang. Dan jika skenarionya demikian, maka perlambatan pemulihan ekonomi yang terjadi pada Q3 ini juga merupakan yang terakhir, dan setelah itu ekonomi akan terus lanjut pulih tanpa mengalami perlambatan lagi.
Anyway, tulisan diatas lebih merupakan harapan ketimbang prediksi. Sementara faktanya untuk saat ini adalah, ekonomi kita sampai Q2 2021 barusan baru pulih sedikit (jika perbandingannya adalah periode sebelum resesi), dan kemungkinan untuk Q3 ini bakal melambat lagi. Sedangkan untuk Q4 nanti dan seterusnya kita masih belum tahu kondisinya akan seperti apa, albeit seperti ditulis diatas, harapannya adalah sudah tidak akan ada PPKM lagi, yang itu berarti tidak akan terjadi perlambatan ekonomi lagi.
Okay, lalu bagaimana hubungan antara kondisi ekonomi riil diatas dengan investasi kita di pasar saham? Nah, jika kita lihat IHSG itu sendiri, maka sejak mengalami euforia dengan hampir saja menembus 6,500 pada pertengahan Januari 2021 lalu, maka kesininya IHSG cenderung turun meski pelan-pelan, dimana ketika artikel ini ditulis IHSG masih bertahan di 6,205, atau masih naik +3.8% secara year to date. However, jika kita lihat indeks-indeks penting lainnya seperti LQ45, IDX30, dan Jakarta Islamic Index (JII), maka per penutupan pasar 5 Agustus, semuanya turun masing-masing -8.8%, -9.6%, dan -14.1% secara YTD (data lengkapnya bisa dilihat disini). Termasuk kalau kita lihat saham-saham big caps seperti Astra International (ASII), Bank BRI (BBRI), Bank BCA (BBCA) dst, maka rata-rata semuanya turun cukup signifikan dalam enam bulan terakhir.
Sehingga jika yang kita lihat adalah pergerakan saham-saham secara umum (jadi gak cuma lihat IHSG), maka kondisi pasar saham Indonesia memang sudah turun signifikan meski tidak sampai kembali ke titik terendah mereka di bulan September 2020 lalu, yakni bulan terakhir sebelum vaksin covid akhirnya ditemukan di bulan Oktobernya, yang kemudian menjadi pemicu rally pasar saham di seluruh dunia termasuk Indonesia hingga Januari 2021. Dengan kata lain, ketika diatas penulis katakan bahwa ekonomi kita, meski sudah tidak lagi resesi, tapi juga masih belum pulih 100%, maka kondisi pasar sahamnya pada saat ini juga sudah selaras alias price in dengan kondisi tersebut. I mean, pada Januari 2021 lalu ketika IHSG hampir tembus 6,500, ASII di 6,700, BBRI di 4,700, dan banyak lagi saham-saham kecil naik gila-gilaan, maka penulis sendiri dalam banyak kesempatan ketika itu mengatakan bahwa IHSG sudah naik terlalu tinggi, dan kemungkinan kedepannya akan turun. Karena kenyataannya kondisi ekonomi riil kita pada saat itu sama sekali belum pulih, termasuk meski vaksin sudah ditemukan tapi proses vaksinasi itu sendiri akan butuh waktu, terutama karena besarnya jumlah penduduk Indonesia (dan memang benar sampai hari ini, baru sekitar 8% dari 277 juta penduduk Indonesia yang sudah full vaksin 2 kali).
Tapi untuk sekarang saham-saham memang sudah pada turun, dan kita tinggal melewati satu kali lagi periode perlambatan ekonomi pada Q3 2021 ini, sebelum kemudian ekonomi akan melaju lagi dan pada akhirnya pulih 100%, mudah-mudahan. Sehingga, kalaupun untuk Q3 nanti BPS melaporkan angka pertumbuhan ekonomi yang sedikit turun dibanding 7.07% pada Q2 ini, maka harusnya itu sudah tidak lagi menjadi alasan bagi saham-saham/IHSG untuk kembali turun, terutama jika pada saat itu sudah tidak ada lagi PPKM darurat atau semacamnya.
Okay Pak Teguh, jadi berbeda dengan enam bulan lalu dimana sarannya kita harus hati-hati, karena saham-saham sudah pada naik tinggi sedangkan ekonomi masih resesi, maka untuk kali ini kita sudah boleh belanja? Well, diatas penulis hanya mengatakan bahwa kondisi pasar saham saat ini sudah price in dengan perkembangan ekonomi riil, tapi agar IHSG bisa naik lagi maka harus ada peristiwa positif yang menjadi katalisnya, dan data pertumbuhan ekonomi yang +7.07% di Q2 2021 yang barusan dirilis bukanlah peristiwa positif tersebut, karena untuk saat ini ekspektasinya adalah bahwa angkanya akan turun lagi di Q3. Tapi jika nanti data untuk Q3 akhirnya keluar, dan angkanya tidak seburuk yang dikhawatirkan (misalnya masih naik 4 – 5%), dan ketika itu juga sudah tidak ada lagi PPKM dengan segala tetek bengeknya, maka barulah kita akan pesta lagi seperti pada November 2020 – Januari 2021 lalu. Tapi sekali lagi, ini adalah skenario terbaiknya, yang kita sendiri baru akan mengetahuinya dalam beberapa waktu kedepan.
Sehingga kalau anda berpandangan 6 – 12 bulan kedepan, maka sekarang sudah boleh belanja, karena toh pada akhirnya ekonomi akan pulih, cepat atau lambat. Tapi jika belum cukup yakin, maka boleh tunda dulu sebentar lagi, sambil lihat perkembangan covid di Indonesia (yang sampai hari ini kasus positif hariannya masih cukup tinggi). Kalau penulis sendiri ambil jalan tengah saja: Kita tetap beli/hold saham-saham tertentu, sambil tetap jaga posisi cash sekitar 10 – 20%.
Terakhir, jika saya memutuskan untuk belanja, maka pilihan sahamnya apa saja? Well, karena sekarang sudah musim rilis laporan keuangan Q2 2021, maka anda bisa pilih saham yang kinerja LK-nya bagus, dimana berdasarkan hasil screening yang penulis lakukan, jumlahnya ada cukup banyak. Tapi biar saya kasih sedikit petunjuk: Seperti yang kita ketahui, komponen pertumbuhan GDP adalah pertumbuhan konsumsi + konsumsi lembaga non profit + belanja pemerintah + investasi + ekspor – impor. Nah, dari keenam komponen tersebut, maka komponen yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada Q2 2021 adalah ekspor 31.78%, disusul impor 31.22%, dan belanja pemerintah 8.06%. Artinya? Yup, perusahaan yang kinerjanya bagus di Q2 2021 ini adalah yang berbasis ekspor, dan/atau impor. Angka ekspor ini kemungkinan naik sangat tinggi hingga jauh diatas pertumbuhan ekonomi itu sendiri yang 7.07%, karena kondisi ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan China sudah lebih dulu pulih dibanding Indonesia (dan sudah gak ada lockdown juga), sehingga permintaan produk-produk komoditas dll dari seluruh dunia termasuk dari Indonesia meningkat pesat. Dan menurut penulis sendiri, kalaupun pada Q3 ini pertumbuhan ekonomi kembali turun gara-gara PPKM, tapi komponen ekspor-impor ini akan tetap tumbuh karena memang pendorongnya adalah pulihnya kondisi ekonomi di negara-negara luar sana, tak peduli meski ekonomi di dalam negeri masih struggle.
Grafik komponen pertumbuhan ekonomi Indonesia di Q2 2021, klik gambar untuk memperbesar |
Sehingga jika anda ingin langsung belanja saham dari sekarang, maka kata kuncinya adalah itu tadi: Ekspor – impor, tentunya sambil tetap memperhatikan kinerja laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan. Dan salah satu pilihan saham dari perusahaan berbasis ekspor yang bisa dipertimbangkan, analisanya bisa dibaca disini. Semoga beruntung!
***
Ebook Market Planning edisi Agustus 2021 yang berisi analisis arah IHSG, stockpick saham, dan informasi jual beli saham yang penulis lakukan sudah terbit! Dan Anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.
Komentar