Memilih Saham Teknologi dari Sudut Pandang Value Investing
Warren Buffett (WB), investor terbesar sepanjang masa, sejak dulu dikenal anti saham perusahaan teknologi, dan alasannya sangat sederhana, yakni karena ia tidak cukup memahami aspek fundamental serta prospek jangka panjang dari industri teknologi itu sendiri, jadi bukan karena ia menganggap bahwa saham-saham teknologi itu jelek atau semacamnya. Sehingga dengan tidak membeli saham tekno, WB tetap memegang teguh salah satu prinsipnya yang terkenal: Only invest in what you understand.
***
Ebook Market Planning edisi Juli 2021 yang berisi analisis arah IHSG, stockpick saham, dan informasi jual beli saham yang penulis lakukan, sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 6,200, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.
***
Tapi semuanya berubah di tahun 2016. Pada akhir tahun 2016 tersebut, Berkshire Hathaway (BRK) tercatat memegang 245 juta lembar saham Apple, Inc. (AAPL) dengan nilai pembelian $6.7 milyar, setara $27.5 per lembar saham (sudah disesuaikan stocksplit). Nah, biasanya ketika WB mulai membeli saham tertentu yang belum pernah ia miliki sebelumnya, maka ia akan membelinya secara menyicil dalam jumlah kecil dulu, misalnya hanya sebesar 1% dari seluruh nilai portofolio-nya di saham-saham yang diperdagangkan di Bursa Saham Amerika. Tapi ceritanya berbeda untuk AAPL: Pada tahun 2016 tersebut AAPL sudah menjadi salah satu pegangan terbesar BRK, dengan porsi mencapai 10% dari total nilai porto BRK sebesar $65.8 milyar (nilai modal, jadi belum termasuk floating profit/loss), dan merupakan saham terbesar ketiga di porto BRK setelah IBM Corp. (IBM), dan Wells Fargo & Co. (WFC). Jadi bisa dibilang bahwa WB sangat percaya diri dengan prospek dari AAPL itu sendiri, padahal sekali lagi jelas bahwa AAPL ini perusahaan teknologi.
Oke, lalu bagaimana ceritanya WB kemudian membeli saham AAPL? Nah, sebenarnya AAPL sendiri bukanlah saham tekno pertama yang dipegang oleh WB, melainkan pada tahun 2011, WB sudah mulai membeli saham IBM, sebuah perusahaan komputer, dan sampai dengan akhir tahun 2016, saham IBM tersebut masih dipegang. Tapi memang berbeda dengan IBM yang merupakan perusahaan mapan yang sudah berdiri sejak tahun 1911, dan sepanjang sejarahnya memiliki track record kinerja yang bagus termasuk sukses bertahan dari peristiwa great depression di Amerika di tahun 1930-an, maka AAPL relatif merupakan perusahaan baru yang berdiri tahun 1976, sempat mengalami penurunan kinerja (bahkan hampir bangkrut) di tahun 1990-an, dan sampai dengan tahun 2000-an awal masih merupakan perusahaan komputer dan ponsel yang biasa-biasa saja, yang masih harus berjuang untuk bisa bersaing dengan nama-nama besar ketika itu, seperti Microsoft, IBM, Intel, Dell, Samsung, Motorola, bahkan hingga Blackberry.
Barulah pada tahun 2010-an, setelah AAPL sebelumnya pada tahun 2007 memutuskan untuk diversifikasi dari membuat komputer menjadi memproduksi ‘produk elektronik konsumer’, seperti ponsel (iPhone), portable music players (iPod), komputer tablet (iPad), sambil tetap memproduksi komputer dan laptop (iMac), maka perusahaan kemudian sukses besar. Karena berbeda dengan perusahaan komputer dan ponsel lainnya, AAPL menerapkan strategi marketing yang bisa dibilang berani dan jor-joran, seperti mengadakan acara pameran/expo (Macworld Expo) dimana Steve Jobs sebagai founder perusahaan berpidato disitu, mengumumkan bahwa AAPL akan meluncurkan iPhone terbaru dst. Kemudian desain produknya yang elegan, enak dilihat dan juga enak dipegang (albeit secara fungsi mungkin biasa saja), menyebabkan iPhone dkk seketika menjadi gadget favorit semua orang, dan harganya pun naik sangat tinggi dibanding gadget merk lain. AAPL mungkin merupakan perusahaan yang paling sukses di seluruh dunia dalam hal membangun brand identity, dimana bagi para konsumennya, adalah suatu kebanggaan jika mereka memiliki dan menggunakan iPhone. Kebanggaan ini, seingat penulis, bahkan tidak dimiliki oleh oleh pengguna ponsel Nokia di tahun 1990-an, dan juga tidak dimiliki oleh pengguna Blackberry.
Dan hasilnya, antara tahun 2007 s/d 2011, pendapatan AAPL melonjak empat kali lipat dari $24.6 menjadi $108.2 milyar, sedangkan laba bersihnya naik lebih tinggi lagi, dari $3.5 menjadi $25.9 milyar. Untuk ekuitasnya juga sama: Lompat dari $14.5 menjadi $76.6 milyar. However, sampai dengan tahun 2011 tersebut, AAPL tidak membayar dividen, tapi harga sahamnya tetap naik signifikan dari $6.4 di akhir tahun 2007 (sudah disesuaikan stocksplit), hingga tembus $15.1 pada akhir tahun 2011. Pada tahun 2011, Steve Jobs mundur sebagai CEO AAPL (dan meninggal dunia tak lama kemudian), dan posisinya digantikan Tim Cook, dan di tangan Mr. Cook AAPL justru lebih menggila lagi dengan meluncurkan App Store, iCloud, iBooks, iPad Mini, MacBook Pro, dan masih banyak lagi, dan hampir semuanya sukses besar! Hasilnya pada 2015, AAPL membukukan pendapatan $233.7 milyar, laba bersih $53.4 milyar, dan ekuitas $119.3 milyar. Kemudian sejak tahun 2012, AAPL akhirnya membayar dividen dimana nilai dividen tersebut juga konsisten naik dari tahun ke tahun, yakni dari $0.095 per saham (sudah disesuaikan stocksplit), menjadi $0.495 per saham di tahun 2015.
Nah, jadi balik lagi ke pertanyaan diatas, kenapa WB pada tahun 2016 akhirnya memutuskan untuk membeli saham AAPL? Jawabannya ya karena AAPL sampai dengan tahun 2015 (WB pertama kali membeli AAPL sekitar bulan Mei 2016, sehingga laporan keuangan tahunan yang dibaca WB adalah untuk tahun 2015) menunjukkan kinerja fundamental yang sangat baik, konsisten, membayar dividen, dan yang paling penting, perusahaan sukses membangun brand identity yang kemudian menjadi aset terbesar yang dimiliki perusahaan, yang tidak tercermin di laporan keuangan. Yup, dalam banyak kesempatan, WB sering mengatakan bahwa ia berani membeli saham pada valuasi tinggi, misalnya ketika ia mengakuisisi See’s Candies di tahun 1972 pada harga yang mencerminkan PBV 3.1 kali, asalkan perusahaan/saham yang dibeli tersebut memiliki keunggulan kompetitif, reputasi yang baik, dan kekuatan merk. Dan memang See’s Candies kemudian menjadi salah satu investasi terbaik WB sampai hari ini. Nah, jadi ketika WB mungkin melihat sendiri bagaimana antusiasnya pelanggan setia AAPL setiap kali perusahaan mengumumkan akan meluncurkan iPhone terbaru, maka jadilah ia tertarik untuk membeli sahamnya.
Dan faktanya, WB membeli saham AAPL pada harga yang, meski tidak murah, tapi juga tidak bisa dikatakan terlalu mahal. Yup, pada harga beli $27.5 per saham, maka market cap AAPL adalah $613.4 milyar. Karena per akhir tahun 2015, ekuitas AAPL tercatat $119.3 milyar, dan laba bersihnya $53.4 milyar, maka PBV-nya 5.1 kali, dan PER-nya 11.5 kali. Sebagai perbandingan, ketika WB mengakumulasi saham Coca Cola (KO) antara tahun 1987 – 1991, maka PER-nya ketika itu mencapai lebih dari 20 kali, tapi WB tetap membeli KO karena alasan yang sama dengan ketika ia membeli AAPL, yakni karena perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, reputasi yang baik, dan kekuatan merk, dan kinerja KO sendiri ketika itu memang sangat baik dan konsisten.
Lebih jelasnya, pada Berkshire Hathaway’s Annual Meeting 2016, ketika seorang peserta bertanya:
‘Pak Warren, selama bertahun-tahun, anda selalu menghindari saham teknologi karena anda memandang bahwa industrinya sangat sulit diprediksi, dan juga tidak memiliki moat (‘moat’ disini adalah parit besar yang mengelilingi sebuah kastil atau benteng, yang menyebabkan benteng tersebut sulit untuk diserang dan diruntuhkan. Dalam memilih saham, WB menyukai perusahaan yang memiliki ‘moat’, dalam artian perusahaan tersebut sudah sangat kuat dan mapan hingga pada satu titik sulit untuk dikalahkan oleh para kompetitornya). Lalu anda mengubah pandangan tersebut dengan membeli saham IBM, dan sekarang anda membeli AAPL. Tapi beberapa waktu lalu anda mengatakan kinerja IBM tidak sesuai harapan, dan menjual sepertiga pegangan. Apakah anda memandang AAPL berbeda dibanding IBM? Dan apa yang sudah anda pelajari tentang berinvestasi di perusahaan teknologi?’
Lalu WB menjawab,
‘Ketika saya membeli IBM enam tahun lalu, saya berpikir bahwa kinerja perusahaan akan lebih baik selama enam tahun tersebut, tapi sayangnya tidak. Sedangkan AAPL, saya menganggapnya berbeda dengan IBM. Saya melihat AAPL sebagai perusahaan produk konsumer, berdasarkan analisa bahwa perusahaan memiliki moat, perilaku konsumen yang fanatik terhadap produk-produknya, semacam itu. Benar, seperti halnya IBM, AAPL juga perusahaan teknologi. Tapi dalam hal menciptakan produk-produk yang bisa dan akan diminati oleh para pelanggannya di masa yang akan datang, maka AAPL berbeda dengan IBM. Tentunya pendapat saya ini bisa saja keliru, dan kita akan mengetahuinya nanti seiring dengan berjalannya waktu.’
Pada perkembangannya, WB kemudian membeli lebih banyak lagi saham AAPL hingga pada akhir tahun 2020, BRK memegang 907 juta lembar saham AAPL senilai $120.4 milyar, dengan nilai pembelian $31.1 milyar (jadi sudah profit empat kali lipat), dan AAPL kemudian tidak hanya menjadi pegangan terbesar BRK, tapi lebih dari 40% portofolio saham BRK terkonsentrasi hanya di satu saham yakni AAPL ini saja.
Lima Poin Penting
Okay, jadi apa yang bisa kita pelajari tidak hanya dari kesuksesan WB dalam berinvestasi di AAPL, tapi juga kesuksesannya dalam hal breaking his own rule dimana ia sebelumnya tidak mau membeli saham-saham teknologi? Well, ada beberapa poin. Pertama, WB tetap sepenuhnya menggunakan kaidah fundamental/value investing. Yup, ketika ia pertama kali membeli AAPL di tahun 2016, maka ketika itu AAPL sudah merupakan perusahaan besar dengan kinerja fundamental yang jauh lebih baik, dan juga merk yang jauh lebih kuat dibanding lima atau sepuluh tahun sebelumnya. Seperti yang kita ketahui, AAPL barulah satu dari sekian banyak saham teknologi di Amerika Serikat, dan dalam lima tahun terakhir seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi itu sendiri, maka ada banyak saham-saham tekno tersebut yang juga naik tinggi, sebagian diantaranya bahkan dengan kenaikan yang lebih tinggi dibanding AAPL, seperti Amazon (AMZN), Tesla (TSLA), Netflix (NFLX), dst. Nah, tapi kenapa yang dipilih WB adalah AAPL? Ya karena AAPL kinerjanya memang sangat baik dengan track record yang juga super! Dan valuasinya di tahun 2016 itu juga masih wajar. WB memang punya juga saham AMZN, tapi nilai pembeliannya hanya $1 milyar di tahun 2019, sehingga tidak signifikan dibanding nilai porto saham BRK secara keseluruhan. Dan itu karena, boleh anda cek sendiri, kinerja keuangan AMZN memang tidak sebaik AAPL, dan valuasinya sejak awal juga jauh lebih mahal. Memang seperti halnya AAPL, AMZN juga memiliki kekuatan merk sebagai perusahaan ecommerce terbesar di dunia, dan itu juga alasan kenapa WB akhirnya membeli sahamnya. Tapi karena dalam aspek kinerja keuangan, AAPL jelas lebih baik (AMZN juga membukukan laba, tapi labanya kecil), maka investasi BRK jauh lebih terkonsentrasi di AAPL, dan hasilnya tetap cuan besar.
Kedua, WB tidak membeli prospek, melainkan ia hanya membeli perusahaan yang sudah terbukti menghasilkan keuntungan besar secara konsisten dalam jangka panjang. Nah, belakangan ini banyak orang mengatakan bahwa andai saja WB membeli saham AAPL (dan AMZN) lebih awal, jadi bukan baru masuk di tahun 2016, maka harusnya hasilnya akan lebih cuan lagi. Untuk diketahui, pada akhir tahun 2010, AAPL berada di $11.5, dan lebih jauh lagi ke belakang pada akhir tahun 2000, AAPL berada di $0.2. Nah, jadi bisa dibayangkan berapa profitnya jika investor tertentu membeli saham AAPL ini di tahun 2010, atau 2000? Karena sekarang saham AAPL, ketika artikel ini ditulis, berada di posisi $140.
Namun investor yang mengatakan bahwa WB harusnya bisa cuan lebih besar jika membeli saham AAPL lebih awal, mereka lupa satu hal: Mereka bisa mengatakan itu sekarang, tapi mereka belum tentu, dan kemungkinan besar tidak akan mengatakan hal yang sama di tahun 2000 atau 2010 lalu! Yup, pada tahun 2000, siapa yang mengira bahwa AAPL, yang ketika itu namanya masih tenggelam diantara para raksasa teknologi seperti Microsoft, IBM, dan Intel, bakal menjadi besar suatu hari nanti? Pada tahun 2010, kinerja AAPL memang sudah lebih baik, demikian pula merk produk perusahaan sudah lebih populer, tapi track record kinerja perusahaan (ingat bahwa AAPL baru membukukan pendapatan dan laba yang besar sejak perusahaan mulai memproduksi ponsel iPhone pada tahun 2007) masih terlalu singkat, sehingga belum cukup teruji dalam jangka panjang. Faktanya saham Research in Motion, atau lebih dikenal sebagai Blackberry (BB) juga pernah terbang tinggi dari $20 di tahun 2006 hingga tembus $144 di tahun 2008, setelah perusahaan membukukan lonjakan laba bersih dari $375 juta di tahun 2006 menjadi $1.3 milyar di tahun 2008, dari kesuksesannya meluncurkan ponsel BB, dan layanan blackberry messenger/BBM yang terkenal itu. Dan meski trend pertumbuhan kinerja perusahaan berlanjut s/d tahun 2011, dimana BB membukukan laba $3.4 milyar, tapi setelah itu labanya malah terus turun dan akhirnya rugi, setelah perusahaan gagal bersaing dengan banyak pendatang baru, termasuk AAPL, yang lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan dan memasarkan produk-produknya. Jadi jika saja WB membeli saham BB pada tahun 2008 atau 2011 lalu, yakni berdasarkan analisa bahwa kinerja perusahaan ketika itu cukup bagus meskipun track recordnya belum cukup panjang (sehingga belum ada cukup gambaran apakah kinerja bagusnya tersebut akan berlanjut dalam jangka panjang atau tidak), maka hasilnya bakal rugi besar, karena sekarang saham BB tinggal $11 per saham.
Dan BB barulah satu dari sekian banyak ‘saham teknologi’ yang meski sempat jaya pada awalnya, sahamnya terbang tinggi, tapi kemudian jatuh dan hancur pada akhirnya (contoh lainnya ya Nokia). Sedangkan ketika WB membeli AAPL pada tahun 2016, maka ketika itu AAPL sudah memiliki track record kinerja apik sejak setidaknya tahun 2007, alias 10 tahun sebelumnya, dan posisinya (dari sisi kekuatan merk dll) ketika itu juga sudah jauh diatas para pesaingnya di bidang produksi komputer dan ponsel, sehingga sudah sulit untuk disalip. Dan betul, pada akhirnya profit yang dihasilkan tidak sebesar jika WB membeli saham AAPL ini sejak tahun 2010. Tapi pada tahun 2010 tersebut, WB jelas tidak mau mengambil risiko masuk ke perusahaan yang kinerjanya baru bagus ‘belakangan ini’ saja, dimana kalau berdasarkan posisinya yang belum cukup kuat pada saat itu, maka AAPL juga bisa saja berakhir seperti Blackberry.
Lanjut ketiga, diatas WB secara gamblang menjelaskan bahwa, meski IBM dan AAPL sama-sama perusahaan tekno, tapi dilihat dari sejumlah aspek, keduanya sangat berbeda. Dan penulis sendiri sudah sejak dulu memahami soal ini, dimana ketika kita anggap bahwa sektor batubara prospeknya bagus, misalnya, maka bukan berarti semua saham batubara adalah bagus dan layak dibeli, melainkan kita tetap harus membaca laporan keuangan dst dari tiap-tiap perusahaan. Jadi kita gak bisa itu langsung menyimpulkan bahwa perusahaan A bagus, atau bahwa harga sahamnya akan terbang menyusul kenaikan saham B, hanya karena kedua perusahaan bergerak di bidang yang sama. Keempat, ketika WB membeli IBM di tahun 2011, harapannya adalah kinerja perusahaan akan bagus terus kedepannya, tapi ketika harapan tersebut tidak terealisasi dimana pendapatan perusahaan ternyata justru terus turun, maka WB tidak segan untuk menjualnya, dan per hari ini BRK sudah tidak lagi memegang saham IBM. Sedangkan untuk AAPL, karena sampai akhir tahun 2020 kinerjanya bagus terus dimana labanya mencapai $57.4 milyar, dan demikian pula dividennya sudah mencapai $0.795 per saham, maka ya sahamnya tetap di-hold. Hal ini selaras prinsip yang selama ini juga penulis terapkan, yakni kita beli saham, lalu hold saja selama kinerja perusahaan memang masih bagus. Tapi ketika suatu hari kinerja tersebut tidak (lagi) sesuai harapan, dan demikian pula prospek jangka panjang perusahaan sudah berubah, maka itulah waktunya untuk menjualnya.
Terakhir kelima, valuasi itu penting, sangat penting. Seperti disebut diatas, WB pertama kali membeli saham AAPL pada tahun 2016 pada PER 11.5 kali, alias cukup wajar atau bahkan bisa disebut murah jika mempertimbangkan kekuatan merk AAPL itu sendiri. Dan WB sama sekali tidak tertarik dengan saham dengan PER puluhan atau bahkan ratusan kali, atau yang PER-nya minus (yang itu artinya perusahaannya merugi), tak peduli meski itu ‘saham teknologi’, dan tak peduli meski perusahaannya mungkin cukup terkenal. Dan jika saham dengan PER mahal itu ternyata lanjut naik lebih tinggi lagi, maka WB tidak akan menganggap keputusan untuk tidak membeli saham tersebut sebagai sebuah kesalahan. Pada euforia dot com bubble antara tahun 1995 – 2000, WB sama sekali tidak ikut membeli saham-saham teknologi yang hampir semuanya terbang tinggi ketika itu, dan menurut penulis itu bukan karena tidak ada perusahaan tekno yang kinerjanya bagus (contohnya Microsoft dan Yahoo Inc., yang sudah merupakan perusahaan besar di tahun 90-an), tapi karena valuasi mereka sudah pada super-mahal semua. Keputusan untuk tidak ikut ‘pesta saham teknologi’ ini menyebabkan BRK hanya menghasilkan profit 0.5% di tahun 1999, ketika indeks S&P500 naik 21.0% (dan indeks Nasdaq naik lebih tinggi lagi). Tapi ketika pasar akhirnya turun -9.1% di tahun 2000-nya, dan lanjut turun -11.9% dan -22.1% di tahun 2001 dan 2002, maka BRK secara keseluruhan pada periode waktu yang sama tetap profit total +9.9%. Pada annual letter-nya untuk tahun 2000, WB secara terbuka menegur investor dan fund manager yang larut dalam euforia saham-saham dot com: ‘Garis yang memisahkan antara investasi dan spekulasi, yang sejak awal memang tidak pernah cukup jelas, menjadi semakin buram ketika para investor dan trader saham ikut serta dalam kegilaan saham-saham dot com. Biasanya setelah memperoleh keuntungan mudah seperti itu, para trader ini kemudian menjadi seperti Cinderella dalam pesta dansa: Mereka sebenarnya tahu persis bahwa jika mereka terus berspekulasi dengan membeli saham-saham pada valuasi yang luar biasa tinggi (dibanding laba bersih yang akan dihasilkan perusahaan kedepannya), maka pada akhirnya mereka tidak akan memperoleh apa-apa kecuali kerugian. Meski demikian, mereka terus saja berdansa dalam euforia, dan tidak mau ketinggalan momentumnya sedikitpun. Hanya berbeda dengan kisah Cinderella, dimana jelas bahwa pestanya akan berakhir pada pukul 12 tengah malam, maka dalam pesta dansa Wallstreet ini, jam dindingnya tidak memiliki jarum jam!’
WB kemudian melanjutkan, ‘Cobalah untuk mengendalikan rasa antusiasmu terhadap kenaikan cepat sebuah saham. Karena tidak ada hal yang lebih mematikan akal sehat dibanding mudahnya memperoleh uang (dari pasar saham) dalam jumlah besar tanpa kerja keras.’
Okay Pak Teguh, tapi kelima poin diatas belum menjelaskan tentang pengetahuan WB terkait saham teknologi itu sendiri. Apakah pada tahun 2016 ketika ia membeli AAPL, WB tiba-tiba saja sudah mengerti tentang industri teknologi? Nah, diluar mempertimbangkan kinerja keuangan AAPL, kekuatan merk-nya dst, maka untuk memahami prospek industri teknologi itu sendiri, WB dibantu oleh dua orang anggota tim-nya di BRK, yakni Todd Combs dan Ted Weschler. Sebagai investor angkatan lawas (WB lahir tahun 1930), ketidak pahaman WB terhadap teknologi tentunya bisa dipahami, karena hampir seluruh hidupnya dihabiskan tanpa mengenal laptop, ponsel, dan internet. Tapi ceritanya berbeda dengan Mr. Combs (kelahiran 1971) dan Mr. Weschler (1962), yang meski juga sudah senior dan sangat berpengalaman, tapi jauh lebih muda dibanding WB, sehingga mereka bisa lebih memahami perkembangan teknologi dan juga prospek jangka panjangnya, dan bisa menjelaskan hal tersebut ke WB sehingga pada akhirnya WB juga ikut memahami prospek dari industri teknologi itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa seorang investor harus bisa menerima pendapat dan masukan dari orang lain, yang mungkin memang lebih mengerti terkait adanya peluang di saham/perusahaan tertentu. However, ‘orang lain’ ini haruslah yang memang punya kapasitas, dan juga bisa kita percaya. Penulis sendiri kenal banyak investor dan analis yang hebat-hebat di bursa saham, beberapa diantara mereka juga lebih berpengalaman dan lebih sukses (baca: angka nol di rekeningnya lebih panjang), tapi hanya sedikit dari mereka yang bisa diajak diskusi dan dimintai pendapat.
Prospek Saham Teknologi di Indonesia
Seperti yang kita ketahui, meski di sepanjang Januari – Juni 2021, IHSG dan pasar saham di Indonesia secara umum cenderung turun, tapi sejumlah saham yang disebut-sebut sebagai ‘saham teknologi’ justru naik sangat tinggi, dan dengan kenaikan yang juga tidak bisa dijelaskan secara fundamental karena kinerja keuangannya rata-rata biasa saja, atau bahkan jelek/rugi, dan valuasinya sudah sangat mahal bahkan sejak sebelum mereka naik. Kondisi ini membuat beberapa investor fundamentalis mulai berpikir bahwa kita harus menggunakan ‘metode baru’ dalam memilih saham, yakni simply berdasarkan fakta bahwa sahamnya memang sedang hype (misalnya saham Tesla (TSLA), atau AMZN), jadi gak usah lagi baca laporan keuangan.
Nah, tapi bagaimana kalau penulis katakan bahwa memang ada pihak-pihak tertentu diluar sana yang secara sengaja menggiring kita untuk berpikir seperti itu? Yakni melalui berita-berita di media, buzzer di medsos dll. Hal ini disebut penggiringan opini, dan di pasar saham sudah sejak dulu itu selalu terjadi, dan tujuannya adalah agar pihak-pihak tertentu ini mendapatkan keuntungan dari menjual saham yang sebelumnya sudah dikerek tinggi, sama seperti yang dulu dilakukan Benny Tjokro. Sedangkan seperti yang sudah penulis sampaikan di analisa prospek IPO GoTo, jika memang prospek saham tekno di Indonesia itu sedemikian bagusnya hingga aspek fundamental tidak lagi penting, maka kenapa itu Telkom (TLKM), Link Net (LINK), dan Metrodata (MTDL) malah disitu-situ saja, atau naik tapi dengan kenaikan yang wajar, dan yang melesat malah saham-saham tekno gak jelas yang nama perusahaannya sendiri baru kita dengar sekarang? Padahal kalau pakai logika sederhana saja, maka gimana ceritanya valuasi ‘saham-saham tekno’ itu bisa disamakan dengan TSLA, AMZN, NFLX, FB, AAPL dst? Terlepas dari bagaimana kinerja keuangannya, namun perusahaan-perusahaan Amerika yang barusan disebutkan memiliki produk-produk yang tidak hanya digunakan di Amerika itu sendiri, tapi juga seluruh dunia, dan mereka juga memiliki kekuatan merk dll yang tidak ada satupun perusahaan tekno di Indonesia bisa menandinginya, not even close! Dan saya dalam hal ini tidak bilang bahwa perusahaan tekno di Indonesia itu jelek, atau prospeknya suram, malah faktanya kami beli saham LINK di tahun 2020, dan masih dihold sampai sekarang. Tapi seperti halnya WB jelas mengatakan bahwa meski sama-sama perusahaan tekno, tapi AAPL berbeda dengan IBM, maka kita juga tidak bisa membeli ‘saham-saham tekno’ disini pada valuasi yang sama tingginya seperti AMZN dkk, karena mereka jelas tidak sama, sangat tidak sama.
Sehingga, jika anda juga tertarik untuk berinvestasi di ‘sektor teknologi’, maka kita bisa belajar langsung dari Warren Buffett: Lihat lagi kinerja keuangan perusahaan, track record-nya dalam jangka panjang (minimal lima tahun kebelakang), histori pembayaran dividen, keunggulan kompetitif, reputasi, dan kekuatan merk. Dan terakhir tentunya lihat juga valuasinya, apakah masih wajar atau tidak. Terakhir kalau bisa, mintalah pendapat dari orang yang anda percaya, yang kita tahu persis bahwa dia tidak akan pom-pom ‘saham masa depan’ cuma karena alasan prospeknya bagus bla bla bla. Cara berinvestasi yang ‘ketinggalan jaman’ ini mungkin tidak akan memberikan hasil maksimal dibanding kalau misalnya kita kebetulan beli saham-saham yang dikerek sangat tinggi itu, tapi disisi lain risikonya pun jauh lebih aman, dan kita tidak akan terjebak menjadi Cinderella seperti yang disebut oleh WB pada peristiwa dot com bubble di tahun 2000 lalu.
Anyway kalau ada pertanyaa, apakah Pak Teguh sekarang ada mengincar saham teknologi tertentu, selain yang sudah dipegang? Maka jawabannya ada, dan alasannya bukan semata karena itu saham teknologi, tapi karena memang kinerja keuangannya bagus dan seterusnya, dan yang jelas sahamnya juga belum terbang sehingga valuasinya masih masuk akal. Nanti lah kita akan bahas itu lain waktu.
***
Jadwal Kelas Online/Webinar Value Investing, Sabtu 10 Juli 2021, pukul 08.00 - 11.00 WIB, dengan pemateri Teguh Hidayat. Untuk mendaftar maka bisa klik disini.
Komentar
Terima kasih banyak Pak 🙏