Kalau Saham Belum Dijual, Berarti Belum Rugi?

Dalam berinvestasi saham, ada banyak mitos yang diketahui oleh pemula, dimana benar atau tidaknya mitos tersebut biasanya baru akan diketahui beberapa waktu kemudian seiring dengan bertambahnya pengalaman. Salah satu mitos tersebut adalah, ketika kita beli saham lalu saham itu naik, maka selama sahamnya belum dijual kembali, kita belum benar-benar profit. Sebaliknya ketika kita beli saham lalu saham itu turun, maka selama sahamnya belum dijual kembali, kita belum benar-benar rugi.

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal I 2021 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 6,200, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.

***

Karena pemahaman tersebut, maka ketika saham yang kita beli naik barang 2 – 3% saja, kita sering buru-buru menjualnya agar profitnya terealisasi, selain karena khawatir besok-besok saham itu akan turun lagi. Sebaliknya ketika saham yang kita beli justru turun, maka kita akan diam saja. Semakin dalam turunnya, semakin tidak mau kita menjualnya, karena itu tadi: Selama itu saham belum dijual, berarti kita belum benar-benar rugi toh??

Pada akhirnya strategi investasi seperti itu, jika itu bisa disebut sebagai strategi, akan menyebabkan seorang investor tidak pernah profit cukup signifikan karena ia secara tidak sadar sering melakukan cut profit, bukan profit taking, alias memotong potensi profit maksimal yang seharusnya diperoleh, karena kita menjual saham yang sejatinya masih bisa lanjut naik. Dan sebaliknya, strategi itu bisa menyebabkan investor menderita rugi yang sangat besar karena tidak segera melakukan cut loss. Istilah cut loss mungkin terdengar menakutkan karena kita seperti dipaksa merealisasikan kerugian. Padahal sesuai pengertiannya, cut loss artinya memotong kerugian yang terjadi agar kerugian tersebut tidak menjadi lebih besar lagi. Penjelasan istilah cut loss dan profit taking bisa dibaca lagi disini.

Okay Pak Teguh, tapi meski benar bahwa cut loss disini artinya kita memotong kerugian agar tidak menjadi lebih besar, tapi tetap saja posisinya kita merealisasikan kerugian bukan? Sehingga kita jadinya kehilangan sejumlah uang. Nah, itu benar, tapi bagaimana kalau penulis katakan bahwa ketika anda menjual saham, entah itu dalam posisi profit maupun loss, maka profit/loss yang dihasilkan tetap bersifat floating alias belum benar-benar direalisasikan?

Sebab coba pikir: Ketika kita menjual saham A dalam posisi profit, maka uangnya nanti akan dibelikan saham lain, sebut saja saham B, dan hasilnya belum tentu profit juga, melainkan bisa saja rugi. Ini artinya ketika kita merealisasikan profit dari saham A, maka profit tersebut tetap bisa hilang lagi karena kita merugi di saham B. Sebaliknya ketika kita menjual saham C dalam posisi rugi, maka uangnya nanti akan dibelikan saham lain, sebut saja saham D, dan kali ini hasilnya mungkin profit. Ini artinya ketika kita merealisasikan rugi dari saham C, maka rugi tersebut bisa balik modal, atau bahkan kembali profit karena keuntungan yang dihasilkan dari saham D.

Dengan kata lain, selama uang hasil penjualan saham belum ditarik dari rekening kita di sekuritas, maka semua keuntungan dan kerugian yang dihasilkan belum benar-benar terealisasi, dimana nilai keuntungan/kerugian tersebut masih bisa berubah ketika kita membeli saham yang berikutnya lagi.

Jadi Kapan Kita Beli dan Jual Saham?

Oke Pak Teguh, jadi maksudnya kita trading saham saja nih? Asal sudah untung jual, dan kalau rugi juga sama harus langsung jual? Well, penulis sama sekali tidak bilang begitu, melainkan begini: Berdasarkan kaidah value investing, kita akan beli saham lalu hold saja selama saham tersebut masih memenuhi tiga syarat berikut: 1. Kinerja laporan keuangannya bagus, atau belum bagus tapi itu karena faktor eksternal (seperti resesi/pandemi) 2. Valuasinya belum terlalu mahal, atau masih sangat murah untuk saham yang kinerjanya tidak terlalu bagus, dan 3. Prospek kedepannya masih bagus/tidak ada peristiwa penting tertentu yang mengubah proyeksi masa depan perusahaan. Jika saham yang kita pegang tidak lagi memenuhi satu saja dari tiga syarat tersebut, maka kita harus jual, tak peduli posisinya untung ataupun rugi. Ini belum termasuk kita menjual saham karena faktor eksternal, seperti kalau kita melihat bahwa IHSG mungkin akan terkoreksi (sehingga saham kita akan ikut turun), atau jika kita butuh dananya untuk masuk ke saham lain.

Sebagai contoh, pada Juni 2020, penulis membeli saham Indo Tambangraya Megah (ITMG) pada harga 7,350, setelah melihat valuasinya yang sangat murah dengan PBV-nya hanya 0.6 kali, sedangkan saya menilai bahwa harga batubara, yang ketika itu hanya sekitar $50 per ton, itu sudah sangat rendah sehingga kedepannya dia bisa naik lagi seiring meningkatnya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik dll ketika nanti ekonomi pulih. Sehingga meski kinerja ITMG, seperti halnya emiten-emiten lainnya di BEI juga turun signifikan di tahun 2020, tapi harusnya di tahun 2021 nanti bakal naik lagi. Analisa terkait batubara ketika itu bisa dibaca lagi disini.

Dan memang mendekati akhir tahun 2020, harga batubara naik sampai tembus $80 per ton (sekarang malah sudah di atas $100 per ton), dan ITMG ikut naik hingga sempat tembus 15,000 pada bulan November 2020, tapi kita hold saja. Memasuki Januari 2021, karena penulis menganalisa bahwa pasar/IHSG mungkin akan turun, maka kita jual ITMG ini di harga sekitar 13,500. Dan IHSG itu sendiri kemudian benar turun. Tapi karena disisi lain kita melihat harga batubara lanjut naik, dan benar bahwa laba ITMG juga naik di Kuartal I 2021, maka kita kemudian masuk lagi di ITMG ini di bulan April di 12,150, dan hingga ketika artikel ini diposting, ITMG masih di-hold.

Nah, jadi dalam hal ini kita bisa melihat bahwa ketika ITMG masih memenuhi tiga syarat diatas, dan juga tidak terjadi dua kondisi eksternal (IHSG akan turun, atau kita butuh dana untuk beli saham lain), maka sahamnya akan di-hold saja. Tapi ketika kondisinya berubah, dalam hal ini karena ada analisa bahwa IHSG mungkin akan turun, maka kita kemudian keluar dulu, lalu menunggu sampai kondisinya menjadi bagus lagi, barulah kita masuk lagi. Mungkin perlu dicatat pula bahwa untuk saham-saham lain yang juga kita pegang, maka ada diantaranya yang sama sekali belum dijual sejak kita membelinya setahunan lalu, dan ada pula yang kita hanya memegangnya sebentar lalu dijual. Lebih jelas tentang berapa lama sebaiknya kita hold sebuah saham bisa dibaca lagi disini. Sebagai catatan, diluar saham yang saya komitmen untuk hold forever, maka selama ini jangka waktu hold kami paling singkat 1 – 2 bulan, dan paling lama bisa hingga 1 – 2 tahun.

Meski sempat berdarah-darah pada awalnya, tapi di tahun 2020 Avere tetap sukses beat the market, salah satunya berkat saham ini

Kemudian untuk mencegah kondisi dimana kita terlambat jual, maka jika kita beli saham tertentu lalu dia turun 10%, sedangkan IHSG juga sedang baik-baik saja, maka coba cek lagi apakah benar LK-nya bagus? Valuasinya murah? Jika dua syarat itu benar terpenuhi, maka biasanya terjadi kondisi ketiga: Terjadi peristiwa penting tertentu yang mengubah fundamental dan prospek masa depan perusahaan. Contoh, pada Semester II 2020, saham Sritex (SRIL) adalah salah satu yang masuk planning penulis, dan saya sendiri sempat membelinya di bulan Agustus pada harga average 210, lalu kita jual di 240 – 250 pada Januari 2021 dengan alasan yang sama dengan ketika kita jual ITMG, yakni karena kita melihat bahwa IHSG mungkin akan turun, jadi bukan karena ada masalah di SRIL-nya. Ketika itu penulis berencana untuk masuk lagi di harga 190, tapi rencana itu batal karena di kemudian hari muncul kasus perusahaan gagal bayar.

Tapi let say penulis ketika itu benar-benar beli lagi SRIL ini di 190, maka apa yang akan saya lakukan? Here we go: Jika SRIL turun sampai 180 (turun 5%), maka saya akan diam saja, karena biasanya itu cuma fluktuasi pasar yang normal. Tapi ketika SRIL turun lebih lanjut sampai 170 (turun 10%), maka saya akan analisa ulang, termasuk mencari tahu tentang peristiwa apa yang mungkin terjadi, yang bisa jadi mengubah prospek SRIL ini kedepannya. Dan jika ternyata tidak ada peristiwa apa-apa, maka saya akan tetap hold saja. However, karena dalam kasus SRIL ini terjadi peristiwa gagal bayar itu tadi, dan setelah dipelajari kasusnya memang cukup serius, maka saya akan cut loss SRIL ini di harga 170 tersebut, atau bahkan lebih rendah lagi pun gak apa-apa. Saya tidak akan menunggu sahamnya untuk balik naik dulu ke 190 (jadi biar posisinya balik modal), lalu baru jual, melainkan kalau kita sudah tahu bahwa fundamental SRIL ini berubah, maka saat itu juga kita akan menjualnya. Faktanya meski untuk SRIL ini penulis tidak benar-benar cut loss, karena kita waktu itu batal membelinya di harga 190, tapi penulis tidak jarang menderita cut loss di saham-saham lain, dan terkadang dengan kerugian yang lebih besar dari 10%.

Nah, tapi balik lagi ke tema artikel kali ini: Meskipun kita terpaksa harus merealisasikan kerugian di SRIL atau saham lainnya, tapi ingat bahwa setelah itu kita masih bisa membeli lagi saham yang lain, dimana kita kemudian profit dari situ. Sehingga dalam hal ini kita tidak benar-benar ‘merealisasikan kerugian’, karena nyatanya kerugian tersebut masih bisa balik modal di saham lain. Ceritanya justru berbeda jika kita terus hold saham yang turun tersebut hanya karena gak mau merealisasikan kerugian, karena secara keliru menganggap bahwa ‘kalau sahamnya belum dijual, berarti belum rugi’. Maka, jika saham yang bersangkutan sejak awal memang sudah tidak layak invest lagi, entah itu karena perubahan fundamental atau faktor lainnya, maka tindakan tersebut justru akan menyebabkan ruginya menjadi lebih besar lagi! Dan kita kemudian kehilangan kesempatan untuk bisa balik modal di saham-saham lain yang lebih baik.

Okay, saya kira cukup. Ada yang mau menambahkan?

***

Ebook Market Planning edisi Juni 2021 yang berisi analisis arah IHSG, stockpick saham, dan informasi jual beli saham yang penulis lakukan, sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 6,200, dan gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

Dapatkan postingan via email

Komentar

Anonim mengatakan…
semua tentang logika, emang repot kalo bahas ama orang tidak berlogika dan tidak mau rugi.
Anonim mengatakan…
kalo sudah dijual, rugi ya rugi.. masalah nanti diinvestasikan di saham lain untung/rugi, itu masalah lain. Ga perlu cari kompromi lah intinya.
Yang penting secara total di 1 tahun itu untung/rugi. Kalo orang sudah Bucin ama saham jelek A, rugi pun ga mau dilepas, bahkan mgkn di avg down, karena pada dasarnya ga ngerti apa2, taunya cuma trading.
Anonim mengatakan…
Hai pak, saya mau tanya
Saya punya saham IRRA dan kondisinya sudah minus 53%
Saya bingung apakah saya harus cut loss atau average down?

Terima kasih atas waktunya
Tuhan memberkati

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?