Tips ‘Money Management’ untuk Merapikan Portofolio Saham
Kalau anda googling di internet, maka ada banyak definisi tentang money management, tapi biar penulis sampaikan versi milik penulis sendiri: Money management (MM) adalah metode untuk mengatur ‘formasi’ portofolio investasi kita agar tetap rapih/teratur, aman terkendali, dan seimbang antara risk and reward. Sebagus apapun fundamental saham yang kita pegang, tapi jika MM-nya tidak bagus, maka hasilnya tetap tidak akan maksimal, atau bisa saja malah rugi. Analoginya seperti jika anda adalah manager tim sepakbola: Bahkan jika anda memiliki pemain sekelas Cristiano Ronaldo dan/atau Lionel Messi, tapi kalau formasinya gak karu-karuan, maka tim anda tetap akan kalah. Penerapan MM juga memungkinkan investor untuk menyiapkan ‘Plan B’, yakni jika ada sahamnya yang tidak naik seperti yang diharapkan, atau jika terjadi peristiwa tidak terduga, misalnya IHSG anjlok.
***
Video Seminar Terbaru tahun 2021: Value Investing Bacis and Advanced, bisa diperoleh disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar pada hari Sabtu, 22 Mei 2021.
***
Dan dari pengalaman penulis menerima permintaan konsultasi portofolio, maka meski beberapa investor sudah memiliki susunan portofolio yang ‘rapih’, tapi banyak juga yang portonya tidak beraturan, entah itu pegang terlalu banyak saham sampai 30 saham atau lebih, atau hanya pegang 3 – 4 saham saja, itupun dari sektor yang sama. Cash management juga banyak yang tidak teratur, entah itu cash-nya masih terlalu besar/mencapai 90% dari nilai portofolio (sehingga setinggi apapun kenaikan saham yang dipegang, maka profitnya tetap tidak akan maksimal. Penjelasannya baca disini), atau gak ada pegang cash sama sekali padahal saham-saham yang dipegang adalah kategori high risk, sehingga kalau misalnya saham itu turun maka tidak ada ‘amunisi’ untuk average down.
Nah, jadi berikut ini adalah poin-poin utama dari MM yang bisa anda terapkan agar anda tidak lagi pusing sendiri ketika mengatur porto. Sebenarnya topik ini sudah sering penulis bahas di banyak tulisan terpisah sejak 2010, termasuk juga dibahas di video seminar, karena memang kalau topik MM ini dibahas lengkap beserta contoh-contoh riilnya, maka itu bisa jadi satu buku tersendiri. Tapi pada kesempatan kali ini kita akan mencoba meringkasnya menjadi beberapa poin tips, sebagai berikut.
Pertama, terkait berapa idealnya jumlah pegangan saham dalam satu waktu, maka jawabannya adalah 10 – 12 saham dari 4 – 5 sektor yang berbeda, sehingga ada 2 atau 3 saham yang berasal dari sektor yang sama. Pada artikel ini, penulis sudah menjelaskan bahwa untuk sektor yang kita anggap prospeknya paling bagus, maka boleh kita ambil 2 atau 3 saham berbeda di sektor tersebut. Strategi concentrated diversfication ini memungkinkan kita untuk meraih profit maksimal dari saham/sektor tertentu yang kita anggap menawarkan profit tinggi, tapi disisi lain risikonya tetap terkendali karena porto kita tetap terdiversifikasi dengan baik.
Nah, biasanya pada titik ini ada lagi pertanyaan: Modal saya masih kecil, gak nyampai 5 juta. Apakah saya harus beli 10 saham juga? Jawabannya, ya. Anda harus berlatih untuk menerapkan diversifikasi dari sekarang. Kesalahan yang umum dilakukan pemula adalah tidak melakukan diversifikasi ini dan hanya membeli satu atau dua saham saja, sehingga kalau satu atau dua saham itu profit, maka hasilnya jackpot, tapi jika sebaliknya satu atau dua saham itu rugi, maka nilai portonya langsung habis sama sekali. Dan kita tentu tidak mau itu terjadi. Dan berdasarkan pengalaman, jumlah 10 – 12 saham sudah cukup ideal, karena kalau lebih dari itu maka kita akan pusing sendiri.
Kedua, tiap-tiap saham yang dipegang menerima alokasi dana antara 5 s/d 25% porto. Ini disebut asset allocation. Jadi kalau dananya misalnya Rp100 juta, maka alokasi dana untuk 1 saham adalah minimal Rp5 juta, jika kurang dari itu maka gak usah beli sekalian, karena kalaupun saham itu profit maka tetap tidak akan ada kontribusinya terhadap nilai porto secara keseluruhan, karena sejak awal pegangnya terlalu kecil. Dan sebaliknya jangan membeli saham senilai lebih dari Rp25 juta, karena jika yang terjadi adalah skenario terburuk, yakni saham itu malah rugi, maka nilai porto kita akan turun signifikan. Seorang investor baru bisa dikatakan menerapkan asset allocation yang efektif jika tidak ada pegangan saham yang berdampak terlalu besar terhadap kinerja porto, dan sebaliknya tidak ada saham yang tidak memberikan dampak sama sekali ke kinerja portofolionya secara keseluruhan. Asset allocation ini juga mencegah kita untuk tidak tega cut loss karena 'ruginya terlalu besar, karena belinya terlalu banyak', dimana dalam banyak kasus itu malah membuat ruginya jadi lebih besar lagi. Yep, seperti yang sudah sering penulis sampaikan disini, kita tidak selalu profit dari saham, kadang harus terima rugi juga, bahkan meski saham yang kita pegang sebenarnya bagus (misalnya karena terjadi perubahan fundamental, atau IHSG kita anggap akan turun), sehingga cut loss ini merupakan bagian dari 'Plan B' yang disebut diatas. Tapi ketika kita tidak cut loss karena sejak awal tidak menerapkan asset allocation ini dengan baik, maka seperti disebut barusan, seringkali itu malah membuat ruginya jadi lebih besar lagi.
Ketiga, ambil 1 atau 2 saham bluechip, atau saham second liner yang kita anggap berisiko rendah (misalnya saham consumer goods dengan reputasi baik, pilihannya ada banyak kok), untuk tujuan meminimalisir risiko, dan selebihnya boleh masuk ke saham-saham yang meski disatu sisi risikonya tinggi, tapi disisi lain menawarkan profit multibagger. Inilah komposisi porto yang penulis anggap seimbang antara ‘menyerang’ dan ‘bertahan’, dan formasinya bisa disesuaikan dengan tingkat risiko yang berani anda ambil. Misalnya jika anda agresif, maka 30% porto dibelikan saham-saham low risk, 70% untuk saham dengan potensi profit 100% atau lebih, alias multibagger. Jika anda mau main aman, maka tinggal dibalik saja, 30% saham-saham multibagger, 70% saham-saham bluechip. Bagaimana kalau dibuat fifty-fifty saja? Nah, itu juga boleh.
ULTJ adalah salah satu saham non bluechip tapi risikonya rendah, meski disisi lain profitnya juga lamaaa banget |
Yang tidak boleh adalah, seluruh porto kita terkonsentrasi pada saham-saham bluechip, karena kalau gitu maka kita akan ketinggalan peluang profit besar di saham-saham yang sangat undervalue itu (saham bluechip biasanya tidak terlalu murah). Disisi lain jangan pula seluruh porto kita hanya dibelikan saham-saham high risk, karena jika misalnya IHSG jeblok lagi, maka nilai porto kita akan tersapu habis seketika, dan kita akan dipaksa pensiun dini dari pasar dalam keadaan bangkrut seperti Jiwasraya.
Keempat, jika anda sudah lama invest di saham tapi baru membaca artikel ini sekarang, maka biasanya di porto anda masih ada saham-saham nyangkut menahun, yang dibeli waktu zaman jahiliyah dulu dengan metode udinmology. Jika demikian, dan jika setelah anda pelajari lagi saham tersebut ternyata fundamentalnya memang buruk dst, maka, jual saham-saham tersebut, lalu mulai lagi semuanya dari awal. Proses ‘ruqyah’ ini memang akan terasa tidak menyenangkan, karena mungkin anda harus merealisasikan kerugian dari saham-saham yang dipegang. Tapi jika anda tidak melakukan itu, maka porto anda tidak akan benar-benar rapih sampai kapanpun. Lebih jelas soal ini bisa dibaca disini.
Terakhir kelima, jangan seluruh dana yang tersedia dibelikan saham, melainkan sisakan sejumlah cash, idealnya 10 - 15% dari nilai porto, untuk jaga-jaga average down, atau jika IHSG turun. Keberadaan cash ini juga akan sangat membantu kita secara psikologis, dimana penulis sendiri sudah pernah merasakan: Tidak ada situasi yang lebih buruk dibanding IHSG turun dalam, dan semua saham kita juga turun dan nyangkut, tapi kita gak bisa ngapa-ngapin karena peluru sudah habis. Seperti pernah penulis jelaskan disini, kita bisa menghitung pada harga berapa sebuah saham bisa disebut undervalue sehingga kita bisa membelinya pada harga tersebut. Namun yang tidak bisa kita perkirakan adalah, pada harga berapa penurunan sebuah saham akan berhenti sebelum kemudian naik lagi. Dengan kata lain, ketika kita beli suatu saham, maka bisa saja saham itu kemudian turun signifikan, tak peduli harga belinya sudah cukup murah, dan tak peduli meski fundamental dan prospeknya baik-baik saja.
Tapi dengan kita memegang sejumlah cash, maka kita akan selalu bisa beli lagi/average down di saham-saham yang turun tersebut. Yep, kalau pakai contoh penulis sendiri, maka kita jarang berada dalam posisi full power/seluruh cash dihabiskan untuk membeli saham, kecuali dalam kondisi ekstrim seperti IHSG turun signifikan, dan kita anggap bahwa penurunannya sudah cukup dalam. Cara ini sebenarnya membuat profit yang dihasilkan jadi kurang maksimal, karena selalu ada duit nganggur di portofolio yang tidak turut menghasilkan keuntungan, tapi dana nganggur tersebut harus ikut dihitung ketika kita menghitung kinerja investasi tahunan (baca penjelasannya disini). Tapi disisi lain, keberadaan posisi cash sekali lagi memungkinkan kita untuk beli lagi saham-saham di harga bawah ketika katakanlah IHSG turun, sehingga kita bisa membalikkan keadaan rugi menjadi profit yang lebih besar lagi, yakni ketika kemudian hari IHSG naik lagi. Dalam jangka panjang, strategi ini pada akhirnya memungkinkan kita untuk profit konsisten, tak peduli IHSG naik atau turun.
Nah, jadi kurang lebih itu tips money management dari penulis. Ada yang
mau menambahkan?
***
Video Seminar Terbaru tahun 2021: Value Investing Bacis and Advanced, bisa diperoleh disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar pada hari Sabtu, 22 Mei 2021.
Komentar
Sorry OOT. Saya request donk tentang crypto yang belakangan ini rame, dan banyak orang yang ninggalin pasar saham soalnya beralih ke crypto.
Bagaimana pandangan Pak Teguh tentang crypto ini dan prospek pasar saham kedepan setelah boomingnya crypto yang profitnya lebih cepet dari saham?
Mohon ulas Pak Teguh di pos selanjutnya. Makasih pak