Prospek PT Vale Indonesia, Tbk (INCO)

PT Vale Indonesia, Tbk, dahulu bernama PT International Nickel Indonesia, Tbk (INCO) sudah merilis laporan keuangan tahun penuh 2020, dimana perusahaan membukukan laba bersih $82.8 juta, naik cukup signifikan dibanding 2019 sebesar $57.4 juta, namun laba tersebut tergolong kecil jika dibandingkan dengan ekuitas perusahaan yang mencapai $2.0 milyar, sehingga ROE-nya tercatat hanya 4.1%. Disisi lain, pada level harga sekarang yakni 5,850, PBV-nya tercatat 2.0 kali, relatif rendah jika perbandingannya adalah saham Aneka Tambang (ANTM), yang sama-sama terbang dalam setahun terakhir seiring dengan cerita rencana pembangunan pabrik baterai mobil listrik di Indonesia, yang disebut-sebut akan menggunakan bahan baku nikel. Kemudian kita tahu pula bahwa, berbeda dengan ANTM yang sebenarnya lebih banyak jualan emas ketimbang nikel, maka INCO ini 100% jualan logam nikel. Nah, jadi apakah INCO ini prospeknya lebih bagus?

***

Jadwal Seminar Tatap Muka Value Investing: Jakarta, Sabtu – Minggu, 6 – 7 Maret 2021. Info lengkap baca disini, tersedia juga videonya bagi anda yang tidak bisa hadir, dan alumni bisa bergabung dengan layanan webinar secara gratis.

***

PT Vale Indonesia, Tbk (INCO) berdiri pada tahun 1968, setelah Vale SA, perusahaan tambang yang ketika itu dimiliki Pemerintah Federal Brazil (pada tahun 1998, Vale SA diprivatisasi dan dengan demikian menjadi perusahaan swasta), memperoleh kontrak karya dari Pemerintah Republik Indonesia, untuk mengembangkan dan mengoperasikan proyek nikel dan mineral-mineral tertentu lainnya di daerah yang sudah ditentukan di Pulau Sulawesi. Tidak ada informasi siapa pemegang saham INCO ketika itu, tapi kemungkinan 100% dimiliki secara langsung oleh Vale SA. Proyek pertama milik perusahaan adalah fasilitas pyrometallurgical yang mengolah bijih nikel menjadi nickel matte di Sorowako, Sulawesi Selatan, yang mulai beroperasi secara komersial pada tahun 1978. Pada perkembangannya, INCO kemudian memiliki tiga lagi lokasi tambang yakni di Bahodopi (Sulawesi Tengah), Pomalaa (Sulawesi Tenggara), dan Suasua (Sulawesi Tenggara), yang kesemuanya juga fokus hanya memproduksi bijih nikel yang kemudian diolah menjadi nickel matte. Thanks to INCO, Vale SA kemudian dikenal sebagai produsen nikel terbesar di dunia.


Terkait pemegang saham INCO, pada tahun 1988, Sumitomo Metal Mining Co. Ltd. asal Jepang mengakuisisi 20% saham INCO, dan pada tahun 1990, INCO menggelar IPO di BEI, sehingga resmi menjadi perusahaan Tbk yang sebagian sahamnya dimiliki oleh investor publik. Lanjut pada tahun 2007, saham Vale SA di INCO dipindahkan ke Vale Canada Ltd., anak usaha Vale SA yang juga fokus memproduksi nikel di Kanada (jadi Vale SA tetap menjadi pemegang saham pengendali di INCO, tapi sekarang melalui Vale Canada). Dan terakhir pada tahun 2019, pihak Vale Canada dan juga Sumitomo setuju untuk mendivestasi sebagian saham INCO milik mereka ke Pemerintah RI melalui BUMN PT Indonesia Asahan Alumunium, yang lebih dikenal dengan nama PT Inalum.

Dengan demikian, per akhir tahun 2020, komposisi pemegang saham INCO adalah sebagai berikut: 43.8% Vale Canada, 20.0% PT Inalum, 15.0% Sumitomo, dan sisanya milik publik.

Nah, lalu kenapa informasi pemegang saham INCO ini penting? Karena ini nih: Selama ini, 100% nickel matte yang diproduksi INCO hanya dijual ke dua perusahaan, yakni Vale Canada, dan Sumitomo Metal Mining, yang notabene merupakan owner dari INCO itu sendiri. Termasuk untuk tahun 2020, dimana dari pendapatan INCO sebesar total $765 juta, $612 juta atau 80% diantaranya berasal dari Vale Canada, sedangkan $153 juta atau 20% sisanya berasal dari Sumitomo.

Kemudian berdasarkan informasi dari manajemen, INCO menjual nikelnya pada harga hanya sebesar 78% dari rata-rata harga tunai nikel di London Metal Exchange (LME), alias lebih murah dibanding harga nikel di pasar internasional. Contohnya, sepanjang tahun 2020, INCO menjual produksi nikelnya pada harga rata-rata $10,498 per ton, sedangkan harga nikel di LME di tahun 2020 paling rendah adalah $10,300, sedangkan paling tinggi $17,700 per ton, sehingga jelas rata-ratanya jauh lebih tinggi dibanding $10,498 per ton itu tadi. Alasan kenapa nikel milik INCO selalu dijual pada harga lebih murah adalah mungkin karena INCO hanya menjual nickel matte, sedangkan harga nikel yang tercantum di LME merupakan harga logam nikel siap pakai. Tapi entah ada hubungannya dengan itu atau tidak, yang jelas laba bersih INCO selalu kecil dan stagnan dalam lima tahun terakhir (pada tahun 2015, INCO membukukan laba $50.5 juta, dan pada tahun 2019, laba itu hanya naik sedikit menjadi $57.4 juta), tak peduli meski harga nikel di LME sejatinya naik signifikan selama lima tahun tersebut, yakni dari $8,300 per ton di tahun 2016, hingga terakhir tembus $18,000 di awal tahun 2021.

Yang juga menarik untuk diperhatikan adalah kebijakan dividen perusahaan: Pada ulasan soal ANTM, penulis mengkritisi perusahaan karena dividennya selama ini amat sangat minimalis jika dibanding BUMN tambang lain, seperti misalnya PT Bukit Asam (PTBA). Tapi untuk INCO ini bahkan lebih buruk lagi: Sejak tahun 2015 sampai hari ini, perusahaan tidak pernah bayar dividen sepeserpun!

Nah, jadi anda mengerti jalan pikiran penulis bukan? Yup, INCO sebenarnya bisa saja menjadi perusahaan yang membukukan laba besar dan bertumbuh, dan juga rutin membayar dividen besar untuk pemegang sahamnya termasuk investor publik. Tapi sejak awal tujuan utama dari Vale Canada dan juga Sumitomo sebagai pemilik perusahaan hanyalah untuk mengambil sumber daya nikel dari alam Indonesia pada harga murah, untuk nanti diolah lebih lanjut di Kanada dan Jepang. Untuk diketahui, nickel matte yang diproduksi INCO merupakan produk setengah jadi yang masih harus diolah lebih lanjut menjadi logam nikel siap pakai. Sayangnya, meski sudah lebih dari 50 tahun beroperasi di Indonesia, INCO sampai hari ini tetap tidak membangun fasilitas untuk mengolah nickel matte lebih lanjut menjadi produk hilir, dan juga tidak pernah punya rencana untuk itu. Karena memang sekali lagi, tujuan mereka sebatas mengambil nickel matte dari sini untuk menjadi bahan baku produksi logam nikel di negara asal mereka sendiri.

Okay Pak Teguh, tapi kalau misalnya nanti pabrik baterai mobil itu jadi, maka INCO juga bisa menjual produksi nikelnya di dalam negeri bukan? Sayangnya, tidak juga, karena INCO sudah terikat perjanjian penjualan nikel dalam jangka panjang dengan Vale Canada dan Sumitomo, jadi mereka tidak akan menjual nikelnya ke pembeli diluar dua perusahaan itu, bahkan meski harga jualnya lebih tinggi. Lalu bagaimana dengan PT Inalum yang sekarang memegang 20% saham INCO? Apakah dengan demikian Pemerintah dapat mengendalikan INCO, dan membuat perusahaan lebih fair bagi Indonesia sebagai pemilik sesungguhnya dari nikel yang mereka tambang? Jawabannya juga tidak, karena posisi Inalum disini masih minoritas dan tidak memiliki kendali atas perusahaan, alias sama saja seperti investor publik yang juga memegang saham INCO. Ceritanya baru akan berbeda jika Inalum bisa mengakuisisi 51% saham INCO, seperti yang dulu mereka lakukan terhadap PT Freeport Indonesia, atau jika Pemerintah bisa memaksa pihak Vale Canada dan Sumitomo untuk membangun pabrik pengolahan nikel disini, sehingga kedepannya INCO tidak lagi sebatas memproduksi nickel matte, tapi sudah memproduksi logam nikel siap pakai. Tapi tentu negosiasinya akan amat sangat sulit untuk dilakukan, dan sejauh yang penulis pelajari, Pemerintah untuk saat ini sudah cukup puas setelah mereka bisa memegang 20% saham INCO.

Kesimpulannya, well, anda tentu bisa menyimpulkannya sendiri. Disisi lain, meski INCO tidak pernah, dan tidak akan pernah menjadi perusahaan yang menguntungkan (dari sudut pandang investor ritel. Karena kalau bagi Vale Canada dan Sumitomo sih, mereka cuan besar karena dapet nikel murah, atau bahkan bisa dibilang gratis karena pemilik INCO adalah mereka juga), tapi perusahaannya gak pernah ada masalah gagal bayar utang atau semacamnya, dan INCO selama ini juga selalu memenuhi kewajibannya untuk membayar royalti ke Pemerintah. Kemudian pada titik harga tertentu, valuasi sahamnya terbilang murah, dan bisa naik dengan mudah entah itu karena ada sentimen positif, atau jika harga nikel di LME naik. Contohnya pada April – Maret 2020 lalu, PBV INCO tercatat 0.7 kali pada harga saham 2,000, dan harga nikel ketika itu juga drop sampai $8,000-an per ton, yang merupakan salah satu harga terendahnya dalam 10 tahun terakhir, akibat merebaknya pandemi Covid-19. Jadi jika kita ketika itu bisa melihat bahwa harga nikel eventually bakal naik lagi, dimana itu akan menjadi sentimen positif bagi INCO, maka kita bisa beli INCO pada harga 2,000-an tersebut. Dan penulis kira saham INCO selanjutnya tetap akan naik signifikan, bahkan meski tidak ada cerita mobil listrik (belakangan Om Elon bilang kalau dia gak jadi bikin pabriknya di Indonesia, tapi di India. Jadi ini prank apa gimana??), karena betul faktanya bahwa harga nikel sekarang naik lagi.

Anyway, INCO sekarang bukan lagi di 2,000-an, dan harga nikel juga sudah cukup tinggi sehingga peluangnya tentu berat untuk naik lebih tinggi lagi. Jadi ya, anda tahu apa yang harus dilakukan.

Untuk artikel minggu depan, silahkan pilih tema berikut: 1. Heboh bitcoin, dan hubungannya dengan pasar saham, 2. Stimulus pemerintah untuk sektor otomotif, dan pengaruhnya terhadap saham ASII dkk, 3. Arah pasar/IHSG, yang setelah hampir saja mencapai 6,500 pada pertengahan Januari lalu, kesininya seperti susah naik, 4. Update prospek sektor batubara, 5. Analisa saham tertentu (sebutkan nama sahamnya).

***

Jadwal Seminar Tatap Muka Value Investing: Jakarta, Sabtu – Minggu, 6 – 7 Maret 2021. Info lengkap baca disini, tersedia juga videonya bagi anda yang tidak bisa hadir, dan alumni bisa bergabung dengan layanan webinar secara gratis.

Komentar

Noobinvestor mengatakan…
Tlg bahas arah IHSG ke depan (setidaknya 6 bln ke dpn) Pak Teguh terkait pandemi msh blm ketauan kpn berakhir.
Kalau boleh tlg jg bahas SRIL,knp saham dgn fundamental sebagus ini masih saja tertatih2. Terimakasih sebelumnya.
Anonim mengatakan…
no 4
Anonim mengatakan…
Batubara pak
Anonim mengatakan…
Nomor 4 Pak Teguh, terutama dengan adanya laporan keuangan Q4 2020 ITMG yang labanya turun drastis
Anonim mengatakan…
No. 3 pak
Value Investor mengatakan…
Arah IHSG Pak Teguh, terutama yg saat ini sedang pegang cash dan blm belanja full power karena ternyata IHSG justru naik hampir 6400
Anonim mengatakan…
Cemerlang Pak Ulasannya. Coba Pemerintah mau berkomitmen untuk lebih konsen ke hasil pengolahan nikel, pasti jadi bagus ini nilai sahamnya. Minggu depan tlg sektor property (DP 0%) dan PPnBm 0% dihadpkan dgn kebijakan Pemerintah di sektor perbankan (penurunan suku bunga.
Terimakasih Pak
Anonim mengatakan…
Kalau boleh, tolong buat artikel dengan tema nomor 1 Pak. Terima kasih.
basri muhammad mengatakan…
nomor 3 pak teguh? sangat menjadi tanda tanya melihat kenaikan IHSG tidak sejalan kondisi ekonomi sekarang
Anonim mengatakan…
no 3 pak dan potensi koreksinya kalau memang ada
Anonim mengatakan…
Pak Teguh mohon berbagi pendapatnya untuk prospek saham WMUU ke depan seperti apa? Terima kasih sebelumnya
Anonim mengatakan…
Nomor 4 pak, valuasi batubara msh pada murah2
Anonim mengatakan…
selamat sore pak TH, sungguh insight yang sangat berguna.

Mohon dapat dibahas saham gocapers seperti SRSN (Indoacidatama) pak yang harusnya diuntungkan dengan kenaikan permintaan ethanol selama pandemi tapi
malah harga saham nya tidak kemana mana (sideways)
terima kasih
Aris Setyawan mengatakan…
Kalo saya pilih tema nomer 4. prospek batubara pak Teguh.
Atau secara fokus ke ITMG pak, baru kali ini liat laba ITMG turun signifikan, jd agak sedikit kuatir kira-kira sampe berapa lama kondisi akan berlangsung.. 😀🙏
Hendra H. Lbs mengatakan…
Izin mas Teguh,
Sudah lebih 6 tahun saya selalu baca tulisan mas Teguh dan untuk tulisan yg ini saya sangat setuju, karena kita (Indonesia) memang kurang berdaulat dalam mengelola SDA kita sendiri.
Terima kasih
Unknown mengatakan…
Bisa buat artikel ttg ARTO pak, berkaitan dengan akuisisi oleh Gojek yg kemungkinan akan digunakan sebagai main bank untuk ekosistem mereka, selain itu manajemen dibawah Jerry Ng dkk yg dimasa lalu pernah sukses dengan Danamon Simpan Pinjam dan BTPN nya
desta mengatakan…
Stimulus ke sektor otomotif pak
Unknown mengatakan…
Bahas semua Pak. Menarik semua soalnya....kcuali bitcoin...hehehe
Anonim mengatakan…
Prospek ihsg aj pak.
Joni mengatakan…
BANK, ARTO, dan bank2 unyil lainnya donk
Anonim mengatakan…
No 4 pak.. Khususnya DOID
Abduh Djanoko mengatakan…
Nomor 2 Pak Teguh, lagi nabung ASII soalnya.
yoga mengatakan…
stimulus sektor otomotif kang teguh..thx
Unknown mengatakan…
Batubara dong pak
Abuy mengatakan…
No 4.ITMG
Anonim mengatakan…
Update prospek batubara pak
Anonim mengatakan…
Tolong pak bahas juga tentang Utilitynya INCO ini. Karna perusahaan belum berjalan fully produksi.
Ada 1 smelter yg di Upgrade (belum produksi normal)
2 lagi baru di bangun ahkir thn 2021 barulah bisa berjalan.
Gimana menurut pandangan bapak?
Dan setelah saya baca artikel ini, barulah saya sadar.
Bahwa INCO (VALE INDONESIA) ini hanya jadi boneka saja untuk induknya Vale Canada. Sangat di sayangkan sekali yah.
Nur bau massepe mengatakan…
Saya sebagai orang yang tinggal di sulawesi selatan geram baca ulasan pak teguh, bukan karena faktor harga saham, tetapi betapa selama 50 tahun kita diperdaya.
Dan rakyat luwu masih hidup dalam kemiskinan
Kresna mengatakan…
No.3 Pak kalau berkenan untuk di bahas.
Saya kebetulan investor pemula, dan hal tersebut amat penting di ketahui pentingnya pergerakan IHSG dengan momment entry dan exit market.
Karena terkadang untuk investor pemula telat dalam membaca arah market saat melakukan entry.

Terima kasih sebelumnya Pak Teguh
Adrie mengatakan…
SRIL pelit Deviden pak, makanya kurang diminati pasar walau secara fundamental oke hehe
yuna mengatakan…
sependek pengetahuan saya, perjanjian kontrak karya perusahaan tambang dengan pemerintah tidak bisa segampang menambah klausul (improvisasi) dari hanya penghasil nikel lalu tiba-tiba produksi produk olahan (misal: stailess steel). Jadi mungkin kalimatnya bukan pemerintah harus memaksa... tapi apakah pemerintah mau/ rela/ bersedia? ^_^

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Terbit 8 November

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia