Stimulus Ekonomi Amerika $1.9 trilyun, Begini Dampaknya ke Indonesia, Part 2
Pada ulasan sebelumnya (kalau belum baca, maka baca dulu, karena tulisannya nyambung), kita sudah membahas tentang kondisi terbaru ekonomi dan pasar modal di Amerika Serikat (AS), terkait stimulus tahap ke-3 yang diluncurkan oleh Pemerintah pada bulan Maret 2021 ini, dan bagaimana perkiraan dampaknya terhadap ekonomi dan Wallstreet itu sendiri. Nah, pada tulisan kali ini kita akan membahas topik yang sama tapi fokusnya ke Indonesia, terkait bagaimana kondisi ekonomi nasional, kondisi pasar modal/IHSG, dan juga prospek kedepan. Okay kita langsung saja, dimulai dari kondisi ekonomi dulu.
***
Jadwal Kelas Online/Webinar Value Investing, Sabtu 20 Maret 2021, pukul 09.00 WIB, dengan pemateri Teguh Hidayat. Untuk mendaftar maka bisa klik disini.
***
Sebelum pandemi, ekonomi Indonesia juga berada dalam kondisi sangat baik: GDP melanjutkan trend pertumbuhannya dari $861 milyar di tahun 2015 hingga tembus $1,119 milyar di tahun 2019, inflasi stabil di 2.5 – 3%, dan pengangguran juga terus turun hingga terakhir sempat dibawah 5%. Kemudian ada satu lagi yang penulis perhatikan: Tingkat suku bunga Bank Indonesia, atau lebih dikenal sebagai BI Rate, juga terus turun, dari 7.5% di tahun 2014 hingga 5.0% di tahun 2009. Jika ditarik lebih jauh ke belakang, trend penurunan suku bunga ini sudah terjadi sejak setidaknya tahun 2006, dimana BI Rate ketika itu mencapai 12 – 13%.
Perkembangan BI Rate di Indonesia, yang cenderung turun dari 12.00% di tahun 2006, hingga sekarang tinggal 3.50%. |
Kemudian kalau anda lihat data ekonomi negara-negara maju seperti AS, Jepang, Korea Selatan, Jerman, Inggris, hingga Kanada, maka ciri utama mereka juga sama: Inflasi rendah, dan suku bunga yang rendah. Termasuk China, yang meskipun dulunya mereka selalu menderita inflasi tinggi, dan suku bunga yang juga tinggi, tapi sejak tahun 2005 sampai hari ini, inflasinya stabil di 2.0%, dan suku bunganya juga rendah di level 3.85%. Inflasi rendah menunjukkan ekonomi yang efisien, dimana setiap Rupiah yang berpindah tangan di masyarakat menghasilkan barang dan jasa, yang pada akhirnya menumbuhkan ekonomi. Penulis sendiri sudah sejak tahun 2018 lalu memprediksi hal ini, yakni bahwa pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan ekonomi kita menjadi sangat efisien (anda bisa baca lagi ulasannya disini). Dan ketika inflasi terkendali, maka BI juga bisa menurunkan suku bunga hingga serendah-rendahnya, yang memungkinkan perbankan untuk menyalurkan kredit sebesar-besarnya, sehingga ekonomi akan bertumbuh lebih pesat lagi.
Tapi memasuki tahun 2020, maka karena imbas pandemi, kondisinya seketika berbalik: Indonesia jatuh krisis. Tapi melihat perkembangannya sampai hari ini, penulis bisa katakan bahwa kita sukses melewati periode krisis tersebut dengan baik, lebih baik dibanding Amerika. Perhatikan: Per akhir tahun 2020, GDP drop -2.07%, inflasi drop menjadi 1.38% (ingat sekali lagi bahwa, inflasi yang rendah itu bagus, tapi kalau terlalu rendah/dibawah 2% maka itu menunjukkan penurunan daya beli masyarakat), dan pengangguran melonjak menjadi 7.1%. Bandingkan dengan Amerika dimana datanya juga kurang lebih sama: GDP turun -2.40%, inflasi 1.7%, pengangguran 6.2%.
Tapi ingat bahwa AS mencapai kinerja ekonomi diatas dengan bantuan stimulus tahap ke-1 dan ke-2 senilai masing-masing $2.2 dan $2.3 trilyun yang diluncurkan pada Maret dan Desember 2020 lalu, yang menyebabkan anggaran belanja bulanan Pemerintah AS, yang sebelum tahun 2020 angkanya berkisar di $300 – 400 milyar per bulan, maka pada April dan Juni 2020, untuk dua bulan tersebut angkanya melonjak masing-masing $1 trilyun, dan untuk bulan-bulan selanjutnya hingga Februari 2021, juga angkanya berkisar di $500 – 600 milyar. Besarnya pengeluaran Pemerintah (ketika disisi lain pendapatan Pemerintah justru turun) menyebabkan desifit APBN AS untuk tahun 2020 diperkirakan mencapai 16 – 17%, terbesar sejak tahun 1945. Lalu dari mana Pemerintah AS dapet duit untuk menutupi defisit/kekurangan anggaran tersebut? Ada dua opsi: Utang luar negeri, dan/atau cetak Dollar baru oleh The Fed, tapi Pemerintah kemudian memilih opsi kedua, yang mungkin karena sejak sebelum pandemi, besarnya utang Pemerintah AS sudah berada di level yang cukup mengkhawatirkan, yakni diatas 100% nilai GDP. Imbasnya, seperti yang bisa anda lihat disini, jumlah uang Dollar yang beredar melonjak sangat signifikan dimana bisa kita katakan bahwa, dari seluruh uang Dollar yang beredar di seluruh dunia saat ini, maka tidak kurang dari seperempatnya baru dicetak oleh Bank Sentral AS hanya dalam setahun terakhir.
Maka tidak heran jika kemudian muncul banyak prediksi yang menyebutkan bahwa kurs Dollar akan melemah, apalagi setelah Pemerintah AS lagi-lagi meluncurkan stimulus ke-3 senilai $1.9 trilyun, sehingga bisa dipastikan akan membuat desifit APBN menjadi lebih besar lagi, dan itu pada gilirannya akan menyebabkan ekonomi Amerika akan stagnan dalam jangka panjang.
Okay, lalu bagaimana dengan Indonesia? Nah, untuk merespon pandemi, Pemerintah pada bulan April 2020 melakukan revisi APBN tahun 2020, dimana anggaran belanja dinaikkan karena ada tambahan anggaran bantuan sosial, sedangkan anggaran pendapatan diturunkan karena pemerintah memberikan banyak stimulus pajak untuk pengusaha. Pada realisasinya, hingga akhir tahun 2020, anggaran belanja negara tercatat naik menjadi Rp2,590 trilyun, pendapatan turun Rp1,633 trilyun, sehingga terjadi defisit Rp956 trilyun, atau setara 6.1% dari nilai GDP nasional. Defisit 6.1% ini juga merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia, namun tidak sampai 16 – 17% seperti yang dialami AS. Dan untuk menutup defisit tersebut, Pemerintah mengambil utang baru hingga Rp1,227 trilyun. Sehingga per akhir tahun 2020, Pemerintah tercatat memiliki utang Rp6,074 trilyun, atau setara 38.7% GDP.
Dan kalau dari sisi jumlah utang ini, maka barulah kondisinya agak mengkhawatirkan, karena meski selama ini utang Pemerintah Indonesia memang naik terus, tapi angkanya selalu terjaga dibawah 30% GDP. Rasio debt to GDP yang tinggi juga bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang stagnan dalam jangka panjang, dimana pada satu titik tertentu Pemerintah mungkin harus lebih fokus membayar cicilan utang, dan imbasnya harus memotong anggaran belanja infrastruktur, pendidikan, dst. Namun sisi positifnya, angka 38.7% tadi masih lebih baik dibanding angka debt to GDP dari mayoritas negara-negara besar anggota G20, dan juga lebih baik dibanding catatan debt to GDP Indonesia sendiri pada tahun-tahun sebelum tahun 2006, yang selalu diatas 40%. Sehingga penulis kira Pemerintah belum perlu dan belum akan memotong anggaran belanja dalam beberapa tahun kedepan, sehingga ekonomi akan tetap bertumbuh (pemotongan anggaran dalam rangka membayar/mengurangi jumlah utang mungkin baru akan dilakukan ketika GDP nasional sudah kembali tumbuh rata-rata 5% per tahun dalam 5 – 10 tahun kedepan). Disisi lain karena hampir tidak ada aksi ‘cetak duit’ oleh Bank Indonesia, dimana jumlah uang Rupiah beredar tetap bertumbuh secara wajar seperti tahun-tahun sebelumnya, maka ini memastikan kekuatan mata uang Rupiah itu sendiri dalam jangka panjang, dan ini juga bagus untuk pertumbuhan ekonomi.
Kondisi pasar saham saat ini
Kemudian yang juga perlu diperhatikan, ketika Pemerintah banyak memberikan bantuan sosial, stimulus pajak dll, maka duitnya lari kemana? Dalam hal ini penulis menyoroti dua hal. Pertama, meski sempat menerima tekanan hebat dari publik untuk melakukan lockdown dan karantina total dimana semua orang tanpa terkecuali dilarang keluar rumah sama sekali, namun Pemerintah bersikukuh untuk tidak menerapkan lockdown tersebut, melainkan mengambil jalan tengah berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Kemudian Indonesia juga merupakan salah satu negara paling pertama yang mengadopsi kebijakan ‘new normal’, dimana masyarakat diizinkan untuk beraktivitas seperti biasa tapi dengan pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak. Jalan tengah berupa PSBB/new normal ini mengakibatkan ekonomi kita tidak terdampak terlalu signifikan, dimana meski negara-negara lain ada yang ekonominya drop sampai 20% pada Q2 2020, namun GDP Indonesia hanya minus 5.32% saja, lalu langsung membaik lagi di kuartal-kuartal berikutnya.
Lalu kedua, sekaligus yang paling penting: Berbeda dengan Amerika dimana menurut Statista.com, sekitar 55% orang dewasa di AS berinvestasi di saham/reksadana, maka sebagian besar penduduk Indonesia belum melek instrumen keuangan seperti saham, obligasi, reksadana, forex, cryptocurrency, dst. Profesi warga disini kalau bukan petani, ya pedagang. Betul, jumlah investor di BEI belakangan ini juga meningkat tajam, dan sekarang ini sudah ada lebih dari 4 juta investor ritel di bursa, tapi ingat bahwa penduduk Indonesia itu lebih dari 270 juta, jadi angka 4 juta itu masih tergolong kecil. Imbasnya ketika masyarakat menerima bansos, maka duitnya ya beneran buat beli kebutuhan sehari-hari, dan para pengusaha/pemilik toko juga menggunakan uang hasil dagang untuk menambah modal usaha, buka toko online, dan merekrut pegawai, jadi bukan buat beli saham Antam.
Dan karena duit dari Pemerintah beneran masuknya ke sektor riil/bukan ke saham, maka jadilah IHSG, meski tetap naik banyak jika dihitung sejak market crash Maret 2020, tapi secara keseluruhan untuk tahun 2020 dia agak ketinggalan tidak hanya dibanding Dow Jones, tapi juga dibanding Kospi Korea, Nikkei Jepang, dan masih banyak lagi (sepanjang tahun 2020, IHSG turun -5.1%, sedangkan Dow Jones naik +6.3%). Nah, jadi kita punya dua kabar bagus disini. Pertama, valuasi saham-saham di BEI masih banyak yang murah, jauh lah jika dibandingkan dengan valuasi AAPL, AMZN, dst, dan masih ada banyak saham dengan PBV kurang dari satu kali, yang berpotensi melejit/multibagger jika nanti kinerja perusahaan yang bersangkutan kembali pulih. Kedua, karena bantuan Pemerintah terbilang tepat sasaran masuk ke sektor riil, maka ekonomi kita berpeluang untuk tidak lagi sekedar bertumbuh, melainkan melompat dalam beberapa tahun kedepan, tinggal tunggu pandemi ini benar-benar selesai saja/kita gak perlu pake masker lagi. Plus satu lagi: Pada awal-awal pandemi, di Amerika dan juga negara-negara maju lainnya banyak terjadi kasus perusahaan besar gagal bayar utang dan bangkrut, dan alhasil Pemerintah setempat harus keluar dana besar untuk menalangi kewajiban perusahaan-perusahaan tersebut. Tapi di Indonesia, maka meski ada juga beberapa perusahaan bangkrut seperti Modernland Realty (MDLN), Ti-Phone Mobile Indonesia (TELE), tapi skala usaha mereka tidak terlalu besar, sehingga Pemerintah juga tidak harus ikut campur. Kondisi ini berbeda dengan pasca krisis tahun 1998, dimana Pemerintah terpaksa membantu grup-grup usaha dengan meluncurkan program bantuan likuiditas Bank Indonesia atau BLBI, sehingga yang makan duitnya ya para konglomerat ini, bukan rakyat. Tapi untuk tahun 2020 – 2021 ini, maka yang terima duitnya beneran masyarakat akar rumput dimana duit tersebut akan berpindah-pindah dari satu pasar tradisional ke pasar/warung lainnya, bukan malah ditempatkan di Monaco atau Panama. Sehingga ekonomi di dalam negeri akan tumbuh pesat lagi.
Terakhir, diatas sudah disebutkan bahwa dalam 10 – 15 tahun terakhir, BI Rate cenderung bergerak turun, dan itu bagus karena memungkinkan perbankan untuk menyalurkan kredit lebih besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dan hingga awal tahun 2021 ini, seiring dengan stabilnya harga-harga kebutuhan pokok dan rendahnya inflasi, maka BI Rate itu diturunkan lagi hingga ke level 3.50%. Jadi untuk sektor perbankan, tinggal tunggu saja sampai pandemi sepenuhnya berakhir dan prokes new normal dicabut sama sekali, maka permintaan kredit untuk banyak usaha baru di sektor riil akan melonjak signifikan, dan ekonomi akan berada di jalurnya lagi untuk bertumbuh.
Kesimpulannya, jika diatas penulis katakan bahwa ekonomi Amerika akan stagnan dalam waktu katakanlah 10 tahun kedepan, maka mudah-mudahan Indonesia akan sebaliknya maju pesat dalam kurun waktu yang sama. Jadi dengan asumsi anda memilih saham yang tepat, dan pada harga beli yang juga tepat, maka hasilnya akan sangat luar biasa dalam beberapa tahun kedepan. Seperti biasa, nanti deh pada tahun 2024 anda coba baca lagi tulisan ini, untuk melihat apakah prediksi ini terbukti benar atau tidak.
Dampak stimulus AS dalam jangka pendek
Okay Pak Teguh, jadi kalau gitu kita bisa langsung belanja saham saja nih? Sebelum itu, mari kita ke bagian akhir sekaligus bagian paling penting dari ulasan kali ini: Dampak stimulus $1.9 trilyun terhadap Indonesia. Yang pertama, meski meningkatnya jumlah Dollar diprediksi akan melemahkan nilai tukar Dollar itu sendiri dalam jangka panjang, tapi dalam jangka pendeknya, Dollar mungkin justru akan menguat? Why? Karena stimulus itu hampir menjadi garansi bahwa Dow Jones dkk tidak akan drop apalagi crash dalam waktu dekat, bahkan bisa saja lanjut naik, tak peduli meski semua orang menyebut bahwa Wallstreet sudah sangat bubble. Alhasil akan ada banyak fund manager global yang menjual saham-saham mereka di negara lain (termasuk Indonesia), lalu uangnya dikonversi ke Dollar, lalu dibelanjakan saham di Amerika. Ini yang menjelaskan kenapa asing belakangan membukukan net sell di BEI, dan kurs Rupiah dalam sebulanan terakhir juga melemah dari Rp13,900 ke 14,400 per US$. Kondisi ini mungkin akan terjadi selama beberapa minggu hingga beberapa bulan, dan penentuannya adalah ketika data ekonomi Indonesia untuk Kuartal I 2021 akhirnya dirilis: Jika angkanya sama atau lebih baik dari ekspektasi, misalnya GDP kita tumbuh positif lagi sekitar +4% atau bahkan +5%, maka barulah dana asing masuk lagi kesini, dan imbasnya Rupiah menguat, IHSG juga akan kembali rally. Tapi jika datanya ternyata tidak terlalu bagus, maka Rupiah juga gak akan kemana-mana, dan IHSG akan kembali melanjutkan trend sideways-nya, atau bahkan justru turun. Intinya, meningkatnya jumlah Dollar beredar tidak akan serta merta membuat kurs Rupiah menguat terhadap Dollar, melainkan kondisi ekonomi di dalam negeri juga harus recover terlebih dahulu.
Lalu kedua, sekaligus yang paling penting: Wallstreet is in bubble. Tidak ada perdebatan soal itu, dan hanya soal waktu sebelum akhirnya bubble ini akan meletus. Masalahnya, meskipun diatas kita sudah membahas bahwa ekonomi Indonesia baik-baik saja, dan yang lagi ada problem itu di Amerika, tapi jika Dow Jones crash, maka IHSG tetap akan ikut crash juga. Dan stimulus demi stimulus yang diluncurkan oleh Pemerintah AS memang untuk sementara mencegah bubble itu untuk meletus, malah akan terus menggelembung lebih besar lagi, tapi tetap saja pada akhirnya bubble itu akan meletus juga. Karena stimulus ke-3 sudah fix ditanda tangani oleh Presiden Biden, maka yang sekarang ditunggu oleh semua orang adalah kondisi dimana Pemerintah akhirnya stop memberikan stimulus, dan The Fed menaikkan suku bunga, yang disebut dengan taper tantrum. Ketika kondisi diatas terjadi, maka pada saat itulah kita akan sekali lagi mengalami koreksi besar. Sayangnya seperti biasa, kita tidak bisa menebak kapan itu akan terjadi, mungkin besok, bulan depan, atau bulan depannya lagi. Tapi yang jelas, itu akan terjadi.
Jadi maksud penulis adalah, meski sekarang ini penulis sangat optimis dengan outlook jangka panjang IHSG, tapi dalam jangka pendeknya/hitungan beberapa bulan ke depan, maka masih ada beberapa hal yang kita tunggu: Data terbaru ekonomi dalam negeri, dan momentum taper tantrum itu tadi.
Tapi kalau kita nunggu aja terus lalu kapan belanjanya? Nah, jadi jika anda bisa berpandangan jauh kedepan, dan bisa tutup mata terhadap fluktuasi harga saham dalam jangka pendek, maka sekarang ini adalah waktu yang sangat baik untuk mulai menyicil beli saham-saham untuk investasi jangka panjang. Faktanya, saya tidak akan menyebut nama sahamnya, tapi sekarang ini sudah ada sejumlah saham-saham populer berfundamental dan berprospek bagus yang harganya justru cenderung turun dalam 2 – 3 bulan terakhir bukan? Dan alhasil valuasinya menjadi murah, terutama jika mempertimbangkan prospek perbaikan kinerjanya mulai tahun 2021 ini dan seterusnya.
Okay, that’s from me for now. Kalau menurut anda sendiri bagaimana?
***
Video Seminar Terbaru tahun 2021: Value Investing Bacis and Advanced, bisa diperoleh disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar secara gratis.
Komentar
ASII, UNVR, ICBP...?
Semoga bener.. Hehe!
JADI SEPERTINYA UNTUK SATU BULAN KEDEPAN (SEBELUM PENGUMUMAN GDP Q1 INDINESIA) KITA MASIH BISA BELANJA SEPERTI BIASA?