Bisakah kita beli saham, bitcoin cuma modal feeling?

Ada pengalaman menarik ketika penulis jalan-jalan keliling Turki, Januari kemarin: Ketika semua peserta tour sudah masuk ke dalam bus, dan busnya siap-siap untuk jalan, maka pemandu wisata mengumumkan ke semua peserta untuk mengenakan sabuk pengaman, karena ada kemungkinan polisi akan menghentikan bus untuk mengecek apakah penumpang mengenakan sabuk atau tidak. Mendengar itu, semua orang termasuk penulis langsung cepat-cepat memasang sabuk pengaman, dan kemudian bus-nya pun berjalan.

***

Jadwal Seminar Tatap Muka Value Investing: Jakarta, Sabtu – Minggu, 6 – 7 Maret 2021. Info lengkap baca disini (hingga 24 Februari pukul 14.00, masih tersedia 6 kursi lagi untuk kelas hari Sabtu, dan 8 kursi untuk kelas hari Minggu), tersedia juga videonya bagi anda yang tidak bisa hadir, dan alumni bisa bergabung dengan layanan webinar secara gratis.

***

Tapi kemudian penulis mikir lagi: Kita ketika itu sedang berada di kota kecil yang sepi, yang jangankan polisi, mobil-mobil yang lalu lalang juga sangat sedikit. Dan kalaupun ada polisi, apa mungkin mereka akan menghentikan bus hanya untuk mengecek apakah semua penumpangnya mengenakan sabuk pengaman atau tidak? Kalau kita naik mobil pribadi sih itu mungkin saja, tapi saya tidak pernah mendengar ada bus dihentikan polisi karena alasan seperti itu. Disisi lain, jalanan licin karena sedang turun salju, dan memang bus yang kami tumpangi berjalan lebih pelan agar tidak tergelincir.

Maka penulis kemudian menyimpulkan: Para penumpang harus pakai sabuk agar tidak jatuh jika busnya tergelincir atau mengerem mendadak. Tapi pemandu wisatanya tahu bahwa, jika dikatakan alasannya demikian, maka beberapa orang mungkin tidak akan menurut. Jadi kemudian dikatakan bahwa polisi akan mengecek, karena itu lebih terdengar menakutkan, misalnya bagaimana jika paspor kita ditahan sehingga kita gak bisa pulang ke Indonesia? Kemudian, sehari sebelumnya si pemandu juga sudah menghimbau agar peserta tour mengenakan sabuk pengaman karena alasan jalanan licin itu tadi, tapi ia mungkin memperhatikan bahwa sebagian besar peserta tetap tidak mengenakan sabuk. Karena itulah, ia kemudian mengubah strategi.

Dan ketika penulis menceritakan hal ini ke teman penulis yang duduk di sebelah, dia bilang begini, ‘Hmmm bener juga ya? Gak kepikiran gue! Kok elu bisa kepikiran gitu sih?’ Penulis cuma senyum saja, dan ngomong dalam hati, ‘Soalnya gua ini analis, yang sudah terbiasa mengamati dan mempelajari hal-hal penting terkait sesuatu (saham) sehingga kemudian bisa mengambil kesimpulan tentang sesuatu tersebut.’ Saking terbiasanya, bahkan meski kita tidak berniat menganalisa suatu hal (dalam hal ini kata-kata pemandu wisata soal polisi itu), tapi otak kita akan otomatis jalan dan mikir sendiri hingga akhirnya diperoleh kesimpulan terkait hal tersebut. Sama seperti penjaga gawang dalam pertandingan sepakbola: Jika dia sudah sangat terbiasa berlatih menjaga gawangnya agar tidak kebobolan, maka ketika bola datang, seringkali tangan dan kakinya refleks bergerak sendiri untuk menghalau bola tersebut. Faktanya, semakin spontan gerak refleks tersebut, maka semakin hebat pula si penjaga gawang. Alisson Becker, penjaga gawang Liverpool FC sekaligus salah satu penjaga gawang terbaik di dunia, memiliki skor refleks 97, alias nyaris sempurna, pada video game PES 2021.

Dan memang ketika tour-nya akhirnya selesai, bus kami sama sekali tidak pernah diberhentikan oleh polisi, tapi sempat beberapa kali sedikit tergelincir dan mengerem karena salju.

Okay, lalu apa hubungannya cerita diatas dengan saham? Nah, jadi pada Selasa 23 Februari kemarin, penulis posting ini di Twitter, ‘Karena saya masuk pasar tahun 2010, saya gak tahu rasanya tahun 2007 itu gimana. Tapi mungkin, rasanya ya seperti sekarang ini.. Kok feeling-nya gak enak aja gitu?’

Dan kemudian ada yang balas begini, ‘Saya kok gak yakin Mas TH ngeliat market (cuma) pake feeling? Pasti Mas TH sudah punya prediksi berdasarkan data.’

Nah, tapi bagaimana kalau penulis bilang, bener kok, saya cuma modal feeling saja?? Tapi yang harus dicatat disini, feeling seorang investor itu berbeda dengan feeling orang kebanyakan. Yup, jadi balik lagi: Karena kita sudah terbiasa selama bertahun-tahun mengamati, mempelajari, dan pada akhirnya mengambil kesimpulan tentang misalnya kondisi pasar saham, maka meski kita tidak meluangkan waktu khusus untuk mempelajari secara detil tentang bagaimana kondisi pasar saham sekarang ini (misalnya seperti penulis yang, jujur saja, lebih banyak menghabiskan waktu jalan-jalan, main PES di Xbox, atau nonton The Crown di Netflix ketimbang duduk didepan laptop), tapi otak kita akan dengan sendirinya mempelajari kondisi-kondisi yang tampak, memperhatikan peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan kemudian mengambil kesimpulan tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar sana.

Dan kesimpulan yang dihasilkan ‘secara tidak sengaja’ seperti itulah, yang disebut ‘feeling’. Semakin lama seorang investor bergulat di pasar saham, maka akan semakin kuat feeling tersebut, dan dia kemudian akan bisa melakukan keputusan buy, hold, and sell bahkan tanpa perlu melakukan menghitung ini itu (jadi hanya ‘modal feeling’), tapi ternyata itu tetap merupakan keputusan yang tepat. Seperti yang dikatakan Tio Pakusadewo di film Sang Pialang (2013): ‘Pasar saham itu hanya dua hal: Insting, dan timing!’ Yup, insting disini adalah istilah lain dari feeling itu tadi, dan insting mungkin merupakan istilah yang lebih tepat, karena dalam dunia pasar modal, itu adalah kemampuan seorang investor untuk membaca situasi dan kondisi pasar, termasuk mengidentifikasi peluang profit sekaligus risiko terjadinya kerugian, boleh dibilang secara otomatis tanpa perlu baca ini itu lagi.

'Sang Pialang' adalah film pertama di Indonesia tentang pasar saham, dirilis tahun 2013 lalu

Contoh insting ala investor adalah ketika beberapa waktu terakhir ini heboh tentang Bitcoin, dimana grup-grup saham sekarang lebih banyak ngomongin BTC ketimbang saham itu sendiri, dan penulis pada tanggal 22 Februari kemarin ngomong di Twitter, ‘Saya gak ngerti BTC, tapi sebagai investor saham saya hafal satu hal: Kalau tiba-tiba banyak pakar saham dadakan di medsos, itulah waktunya jualan. Harusnya di BTC juga sama gitu’. Ketika itu BTC berada di posisi $57,000-an, dan dalam hal ini penulis tidak memprediksi bahwa apakah dia akan naik atau turun (prediksi gimana? Lha wong saya gak ngerti bitcoin itu apa). Melainkan sekedar mengatakan bahwa, berdasarkan insting/feeling yang terbentuk dari pengalaman selama ini, maka kalau saya sendiri ketika itu ada pegang BTC, saya akan segera jual. Tidak ada analisa mendalam yang saya lakukan, jadi betul-betul hanya modal insting saja.

Insting saja tidak cukup

Meski demikian insting atau feeling saja tidak cukup, karena pengalaman juga mengajarkan bahwa insting seperti itu tidak selalu tepat. Contohnya BTC tadi, yang meski ketika artikel ini diposting sudah turun lagi ke $45,000, tapi siapa yang tahu jika besok-besok dia balik arah dan naik lagi? Dan jika kita ingin mengetahui hal itu (apakah BTC akan naik lagi atau turun), maka kita harus mengerjakan analisanya, meluangkan waktu khusus untuk menjahit-jahit semua informasi yang tersedia hingga akhirnya diperoleh kesimpulan. Unfortunately, karena penulis tidak (dan tidak berencana untuk) mengerjakan analisa tersebut, maka kalau ada orang bertanya, gimana prospek bitcoin? Maka saya akan langsung menjawab, saya tidak tahu.

Okay, Pak Teguh, jadi kalau gitu insting ini ga ada gunanya dong? Karena bisa aja salah? Well, actually ketika kita mengerjakan analisa mendalam tentang prospek sebuah saham dengan membaca semua laporan keuangan, laporan tahunan emiten yang tebalnya minta ampun itu, lalu kemudian menyimpulkan bahwa sahamnya layak invest, maka itu tetap tidak menjadi jaminan bahwa kesimpulan analisanya adalah benar. Dan bisa saja ketika kita beli sahamnya, dia kemudian turun sehingga bukannya profit, kita malah rugi.

Meski demikian, ketika anda sudah cukup lama di pasar saham hingga akhirnya ‘insting’ itu terbentuk, maka itu bisa sangat membantu kita untuk menyadari lebih awal tentang adanya peluang profit, dibanding orang lain. Contohnya, mungkin anda juga masih ingat pada September – Oktober 2020 lalu, IHSG drop dari 5,371 sampai sempat menyentuh 4,700-an, dan semua media bilang bahwa Indonesia akan krisis (which is misleading, karena nyatanya Indonesia waktu itu memang sudah krisis karena pandemi, jadi bukan akan krisis). Dan ada member kami sendiri yang mengaku bahwa, setelah dia cut loss ketika IHSG crash sampai 3,900-an di bulan Maret 2020, lalu baru belanja lagi beberapa waktu kemudian setelah IHSG berangsur-angsur naik, tapi ketika IHSG turun sekali lagi di bulan Septembernya, dia cut loss lagi!

Dan penulis sendiri ketika itu sudah sampai berbusa-busa menjelaskan ke semua member bahwa, yang terburuk sudah berlalu! Indonesia memang sudah krisis, jadi gak akan ada krisis lagi, justru sebaliknya ekonomi akan mulai beranjak pulih karena toh meski PSBB bla bla bla masih berlaku, tapi orang-orang sudah tidak dilarang keluar rumah (dan alhasil gak bisa kerja) seperti pada awal-awal pandemi. Mungkin perlu juga dicatat bahwa, meski penulis ngomong begitu berdasarkan analisa mendetail dan hati-hati yang sudah kami kerjakan sebelumnya, tapi tetap saja kita ketika itu juga sedikit panik, dan ragu tentang apakah benar ‘yang terburuk sudah berlalu’? Karena nyatanya IHSG ketika itu kelihatan turun terus, dan sulit/tidak ada sentimen positif tertentu yang bisa mendorongnya untuk naik lagi.

Tapi pada akhirnya penulis tetap bersikukuh: Apapun saham yang bapak pegang, jangan jualan! Malah justru kalau ada cash, inilah waktunya untuk belanja agar nanti profitnya maksimal ketika IHSG naik lagi. Dan kenapa saya bisa 'nekad' begitu? Karena insting saya ketika itu mengatakan, coba perhatikan lagi di sekitar: Memang Indonesia sedang krisis, PHK dimana-mana, tapi ecommerce/jual beli online tetap jalan, malah booming. Kemudian harga-harga kebutuhan pokok juga stabil, jadi gak seperti tahun 1998 lalu dimana harga beras dengan cepat naik dari Rp400 sampai Rp4,000 per kg. Dan pemerintah juga proaktif memberikan bansos untuk masyarakat, plus stimulus untuk perusahaan, dengan tujuan akhir pemulihan ekonomi. Kesemua hal-hal diatas tidak langsung berhubungan dengan analisa saham, dan karenanya tidak penulis perhatikan, tapi hal-hal seperti itu kelihatan dengan sendirinya (dan otak saya terus mengatakan bahwa itu semua penting untuk diperhatikan), berkat insting yang memang sejak awal sudah terbentuk dalam benak penulis sendiri sebagai investor.

And indeed, thanks to my instinct, penulis kemudian memutuskan untuk full power/belanja menghabiskan seluruh cash persis pada awal November 2020, ketika IHSG recover ke posisi 5,100-an. Keputusan yang sangat tepat, dan kita akhirnya mencapai target beat the market untuk tahun 2020 tersebut, bahkan meski harus berdarah-darah pada awalnya. Tapi saya sendiri masih ingat ketika itu ada banyak sekali investor yang masih belum berani masuk pasar (atau sudah masuk, tapi tidak seluruhnya/masih pegang cash, sehingga profitnya tidak maksimal). Dan harus penulis akui bahwa, kalau saja ketika itu saya belum cukup pengalaman sehingga insting yang sekarang saya miliki juga belum terbentuk, maka sangat mungkin bahwa saya juga bakal telat masuk ke pasar/tidak belanja full power ketika IHSG di 5,100 itu, dan pada akhirnya kita gagal menghasilkan kinerja investasi yang sesuai target.

Nah, jadi apakah feeling atau insting itu penting dalam dunia investasi saham? Yup, penting, bahkan sangat penting. Insting membantu kita untuk tetap berpikir logis, dimana otak/alam bawah sadar kita secara otomatis memerintahkan kita untuk membaca, mengingat, dan memahami hal-hal yang memang penting terkait dengan investasi saham itu sendiri. Dan memang kalau hanya modal insting saja, maka itu belum cukup, melainkan kita juga harus mengerjakan analisa dan mengumpulkan data-informasi. Tapi sekali lagi, insting membantu kita untuk menyadari lebih awal tentang adanya peluang profit, dan/atau sebaliknya jika ada bahaya (misalnya jika IHSG bakal crash), dimana ketika insting kita mulai merasakan 'sesuatu' itulah, maka kita kemudian mengerjakan analisanya, lalu kemudian mengambil kesimpulan soal tindakan apa yang harus dilakukan.

Sayangnya, insting investor ini biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah cukup lama di pasar saham, dan itulah kenapa di film Sang Pialang, yang menyebut quote tentang insting ini adalah Om Tio Pakusadewo, yang digambarkan sebagai angkatan lawas di pasar saham, bukan Mas Christian Sugiono yang di film-nya berperan sebagai seorang pialang muda. Nah, tapi mudah-mudahan setelah anda membaca tulisan ini, maka anda mengerti, seperti apa sih insting itu? Dan bagaimana itu bisa sangat berpengaruh terhadap aktivitas investasi kita di pasar saham.

Tinggal pertanyaannya sekarang, menurut insting/feeling kamu, saham apa nih yang bakal cuan? :)

***

Jadwal Seminar Tatap Muka Value Investing: Jakarta, Sabtu – Minggu, 6 – 7 Maret 2021. Info lengkap baca disini (hingga 24 Februari pukul 14.00, masih tersedia 6 kursi lagi untuk kelas hari Sabtu, dan 8 kursi untuk kelas hari Minggu), tersedia juga videonya bagi anda yang tidak bisa hadir, dan alumni bisa bergabung dengan layanan webinar secara gratis.

Komentar

Anonim mengatakan…
saham yg bakal cuan gede bingit is KRAS!
Mark my words ya...
Hafiz Muhammad mengatakan…
Berdasarkan insting Pak Teguh, apakah IHSG skrng harusnya turun dulu dalam waktu dekat ???
Silverdenz mengatakan…
GG dan Sampoerna 👍
yasinramadhani mengatakan…
Btw kan kabar terbaru ni bakalan ada IPO saham Unicorn atau mungkin kedepannya ada yg Decacorn bakal IPO di Bursa Efek Indo(amin). Nah dalam menyikapi ipo saham seperti itu apakah kita menyiapkan kuda kuda atau tetap wait and see dulu?
Makasih Pa wkk
Unknown mengatakan…
mark my word gundulmu, akun aja anonim...
Noobinvestor mengatakan…
Lbh tepatnya intuisi Pak Teguh. Sdh ada penelitian ilmiah yg menjelaskan bhw seseorg yg sdh tinggi jam terbangnya dlm suatu bidang, maka mereka akan mengambil keputusan scr cepat dan lbh tepat tanpa analisa lbh mendalam. Krn proses analisa tsb sdh masuk ke alam bawah sadarnya yg kemudian diwujudkan sbg intuisi itu td.

PS: Alisson mgkn refleksnya tinggi, tp Manuel Neuer intuisinya jauh lbh bgs drpd Alisson Pak. Hahaha...
Anonim mengatakan…
Sukses itu jika saham bisa kalahkan ihsg long term. Dan jika crypto bisa kalahkan Bitcoin long term. Tinggal koki meraciknya tepat apa bahan yg harus dipilih. Semuanya tetap satu ilmu dasar buy low sell high.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?