Benarkah Bea Meterai dalam Tading Saham Diberlakukan Tanpa Batasan Nominal?

Tanggal 26 Oktober 2020, Pemerintah bersama-sama dengan DPR menandatangani UU No.10 tahun 2020 tentang Bea Meterai, dimana salinan UU-nya bisa anda baca lengkap disini. Dan dari sudut pandang Pemerintah, UU tersebut intinya bertujuan untuk mengejar pendapatan bea meterai dari transaksi jual beli digital/online, dimana memang selama ini kwitansi atau invoice digital dari transaksi jual beli secara online tersebut tidak pernah ‘ditempel’ meterai seperti halnya kwitansi fisik. Padahal kita tahu bahwa dalam beberapa tahun terakhir, frekuensi jual beli barang & jasa secara tatap muka sudah jauh berkurang (karena sekarang semuanya serba online), sehingga hampir tidak ada lagi orang tanda tangan kwitansi diatas materai, karena kwitansinya juga dibuat secara digital. Berikut adalah contoh kwitansi digital atas pembelian suatu barang melalui Tokopedia, dimana kwitansinya tidak membutuhkan tanda tangan, dan juga tidak ditempel meterai.

***

Ebook Market Planning edisi Januari 2021 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 2 Januari mendatang. Anda bisa memperolehnya disini. gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.

***

Sehingga dalam hal inilah, negara kehilangan salah satu sumber pendapatannya dari bea meterai. Contoh yang lebih riil, saudara penulis di kampung punya toko bahan bangunan, dan dulu kalau ada orang membeli semen, pasir dll dalam jumlah besar, maka si pembeli akan datang ke toko, membayar, dan akan dibuatkan nota kwitansi sebagai bukti bahwa dia sudah membayar, yang ditempel meterai dan ditandatangani oleh pemilik toko. Jadi kalau kedepannya ada masalah, misalnya jumlah semen yang dikirim ternyata tidak sesuai dengan jumlah yang dipesan, maka si pembeli bisa mengajukan klaim.

Tapi sekarang ini, pembeli cukup pesan lewat Whatsapp, lalu transfer, dan awalnya untuk kwitansi tetap berbentuk fisik yang ditempel materai lalu ditandatangani dan difoto, lalu fotonya juga dikirim via WA. Tapi karena hasilnya justru 'kurang profesional', maka kwitansi ini kemudian diganti dalam bentuk digital/file PDF, dimana disitu sudah termasuk cap digital dan juga tanda tangan digital, tapi tidak ada meterai digital. Jadi sejak semuanya serba digital inilah, saudara penulis yang jualan bahan bangunan itu hampir tidak pernah lagi membeli stok meterai. Dan meski dari sudut pandang pemilik toko, hal ini tidak berpengaruh apa-apa (karena harga meterai itu berapa sih?), tapi negara jelas kehilangan pendapatan yang sangat besar ketika hal ini kemudian terjadi pada hampir semua toko ritel di seluruh penjuru tanah air. Sehingga solusinya, diciptakanlah meterai digital.

Okay, lalu apa hubungan meterai digital ini dengan pasar saham? Nah, sayangnya pada Pasal 3 Ayat 2 Huruf e, disebutkan bahwa dokumen yang dikenakan bea meterai adalah termasuk dokumen transaksi surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apapun. Kemudian ada halaman penjelasan, jelas disebutkan bahwa yang dimaksud ‘surat berharga’ antara lain saham, dst, dan yang dimaksud ‘dokumen transaksi surat berharga’ adalah bukti transaksi atau trade confirmation (TC). Yang dimaksud TC adalah dokumen/file PDF yang dikirim oleh sekuritas  ke email anda pada sore atau malam hari setelah pasar tutup, yang berisi informasi saham-saham apa saja yang anda jual dan beli dalam satu hari tersebut, sebanyak berapa lot dan senilai berapa Rupiah, lengkap dengan informasi trading fee, PPN, pajak penjualan (jika anda hari itu ada jual saham), dan levy. Jadi entah dalam satu hari tersebut anda hanya membeli 1 saham sebanyak 1 lot, atau membeli 10 saham sebanyak masing-masing 1,000 lot, dari maka TC-nya tetap 1 dokumen saja. Jika anda termasuk trader yang aktif melakukan transaksi jual beli, katakanlah setiap hari perdagangan dari Senin sampai Jumat, maka anda juga akan menerima TC-nya setiap hari.

Kemudian berdasarkan press release per tanggal 18 Desember 2020 dari pihak Bursa Efek Indonesia (BEI) itu sendiri (bisa anda baca disini), disebutkan bahwa setiap TC tanpa batasan nominal yang diterima investor akan dikenakan bea meterai sebesar Rp10,000 per dokumen. Nah, kalimat ‘tanpa batasan nominal’ inilah yang kemudian jadi rame, karena itu berbeda dengan isi UU-nya itu sendiri dimana pada Pasal 3 Ayat 2 Huruf g, disebutkan bahwa dokumen yang dikenakan bea meterai adalah yang menyatakan jumlah uang Rp5,000,000 atau lebih. Dan menurut penulis sendiri memang harus ada batasan nominal untuk bea meterai ini, karena pada toko bangunan milik saudara penulis diatas, kalau misalnya ada orang beli sekaleng cat semprot seharga Rp17,500, lalu dia minta kwitansi yang ditempel meterai, maka itu jelas konyol. Dokumen kwitansi dengan meterai ini hanya diperlukan untuk pembelian bahan bangunan dalam nilai besar, dalam hal ini sekian juta Rupiah, dan seharusnya hal yang sama juga berlaku untuk dokumen TC yang diterima investor, dimana jika nilai uang yang disebutkan dalam TC-nya kurang dari batas nominal tertentu, dalam hal ini Rp5 juta, maka TC tersebut tidak perlu dikenakan bea meterai.

Sehingga berikut adalah poin-poin komentar penulis. Pertama, pihak BEI harus kembali merilis press release resmi yang pada intinya menjelaskan soal ‘tanpa batasan nominal’ diatas, karena sebenarnya hal itulah yang sekarang dipermasalahkan investor, dan terutama karena batas waktunya sudah sangat mepet/sebentar lagi kita akan memasuki tahun 2021. Sebenarnya bagi investor ritel tertentu dengan nilai portofolio yang tidak terlalu kecil, katakanlah Rp100 juta atau lebih, maka kami tidak protes soal bea meterai ini. Karena bahkan kalaupun kita aktif transaksi jual beli saham setiap hari, maka dalam satu tahun kita hanya akan membayar bea meterai ini senilai total kurang lebih Rp2 juta saja (Rp10,000 dikali 200 hari perdagangan bursa), dan itu tetap jauh lebih kecil dibanding akumulasi trading fee, pajak penjualan, dan pajak dividen yang juga harus kita bayarkan di tahun yang sama. Pada prakteknya, semakin besar dana kelolaan seorang investor, maka akan semakin jarang ia melakukan trading, sehingga bea meterainya juga akan lebih kecil lagi dibanding Rp2 juta diatas, mungkin bahkan tidak sampai Rp500 ribu.

Dan itulah kenapa, meski UU soal bea meterai ini sudah diteken pemerintah sejak Oktober lalu, tapi tidak ada penolakan yang berarti dari pihak investor. Sampai ketika BEI tiga hari lalu mengeluarkan press relase diatas, maka barulah investor banyak yang protes dan beritanya jadi ramai. Karena bea meterai itu jelas tidak adil jika dikenakan pada trader dengan dana kelolaan yang kecil, yang setiap harinya membeli atau menjual saham senilai Rp1 – 2 juta saja, atau bahkan lebih kecil lagi. Sehingga sekali lagi, pihak BEI dalam hal ini bertanggung jawab untuk sesegera mungkin meluruskan informasi yang beredar di masyarakat.

Kedua, jika kita kembali ke UU-nya, maka penulis menganggap bahwa kamu-kamu investor mahasiswa yang berstatus ‘anggota pasukan 1 lot’, sebenarnya tidak perlu khawatir. Karena tidak hanya nilai nominal TC yang dikenakan meterai dibatasi minimal Rp5 juta, namun pada Pasal 6 Ayat 1, disebutkan bahwa batas nilai dokumen yang Rp5 juta itu dapat diturunkan atau dinaikkan. Dan masih di Pasal 6 Ayat 2, juga disebutkan bahwa tarif bea meterai yang Rp10,000 itu dapat diturunkan atau dinaikkan. Nah, ingat pula bahwa yang namanya UU itu adalah merupakan ‘peraturan dasar’, yang pada praktek penerapannya bisa dan harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Maksud penulis adalah, meski sama-sama ‘pasar’, dan sama-sama harus menerapkan kebijakan bea meterai ini, tapi penerapan bea meterai di pasar saham tentu tidak bisa disamakan dengan penerapan di pasar tradisional, pasar modern/supermarket, pasar online/ecommerce, dst. Karena dalam banyak hal, kesemua jenis pasar tersebut amat sangat berbeda satu sama lain, dan dengan otoritas pemerintah yang juga berbeda-beda.

Sehingga maksud penulis adalah, ketika nanti UU bea meterai ini pada akhirnya benar-benar diterapkan di pasar saham, maka batas minimal transaksinya bisa lebih dari Rp5 juta, dan nilai bea-nya juga bisa kurang dari Rp10,000. Dan menurut pendapat penulis sebagai investor itu sendiri, bea meterai gak masalah Rp10,000, asalkan batas minimalnya jangan Rp5 juta, apalagi jika tidak ada batas minimal, melainkan Rp50 juta. Perhitungannya sebagai berikut: Seperti yang kita ketahui, jika kita jual saham maka kena pajak penjualan 0.1%, dimana meski secara Rupiah ini tidak kecil (kalau jualnya Rp100 juta, berarti pajaknya saja sudah Rp100 ribu, belum trading fee), tapi tidak mengundang protes karena tarif 0.1% itu tadi biar bagaimanapun tampak kecil dan ‘tidak terasa’. Tapi sekarang jika anda beli atau jual saham senilai Rp5 juta, maka bea meterainya Rp10,000, atau setara 0.2% dari nilai transaksi, dimana 0.2% ini jelas tampak besar. Jika batas minimalnya dinaikkan menjadi Rp10 juta, maka bea meterainya menjadi 0.1%, tapi ingat bahwa dalam hal ini investor tetap harus bayar pajak penjualan itu tadi, sehingga adanya bea meterai menyebabkan pajaknya jadi tampak dobel.

Tapi jika batasnya kembali dinaikkan menjadi Rp50 juta, maka bea meterainya sekarang menjadi hanya 0.02%, dan barulah itu terbilang sangat kecil dan tidak akan ‘terasa’. Dan untuk menutup hilangnya potensi pendapatan dari investor yang kecil-kecil, maka untuk investor menengah keatas dengan nilai TC Rp1 milyar atau lebih, bea-nya bisa dinaikkan menjadi Rp20,000. Sekali lagi kalau kita baca UU-nya pada Pasal 6 Ayat 2, jelas bahwa tarif bea meterai dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan tingkat pendapatan masyarakat. Nah, dalam dunia investasi saham, jika ada investor individu pegang dana kelolaan milyaran Rupiah, maka tentu kita bisa asumsikan bahwa investor yang bersangkutan memiliki pendapatan diatas rata-rata, sehingga tidak masalah jika harus bayar bea meterai lebih besar (selain karena itu tadi: Investor dengan dana besar biasanya lebih jarang trading, sehingga bayar bea meterai-nya tetap lebih kecil). Dengan cara inilah, investor ritel kecil tetap bisa trading seperti biasa tanpa harus khawatir tekor, tapi disisi lain Pemerintah bisa tetap memperoleh pendapatan bea meterai secara maksimal.

Anyway, karena penulis bukan bagian dari BEI, Dirjen Pajak, atau institusi pemerintah manapun, maka saya hanya bisa mengusulkan, sedangkan keputusan akhirnya tetap di tangan para bos besar ini. Tapi yah, mudah-mudahan tulisan ini dibaca oleh mereka, dan harusnya sih disetujui. Karena sebenarnya jika ‘bea meterai tanpa batasan nominal TC’ ini disahkan, maka yang dirugikan tidak hanya para investor ritel, tapi juga para anggota bursa alias sekuritas, termasuk juga BEI dan Pemerintah. Karena jelas dengan adanya bea meterai ini, maka frekuensi trading saham bisa jauh berkurang karena para trader semakin jarang untuk trading, sehingga trading fee untuk sekuritas, levy untuk BEI, dan PPN serta pajak penjualan untuk Pemerintah, semuanya ikut turun. Sehingga tidak hanya tujuan Pemerintah untuk memperoleh pendapatan bea meterai tidak tercapai, tapi penerimaan pajak yang sudah ada justru malah turun.

Jadi sekali lagi, kita dalam hal ini tidak perlu khawatir, karena penerapan yang kurang tepat dari UU Bea Meterai ini tidak hanya akan merugikan investor, tapi juga akan merugikan Pemerintah itu sendiri. Sehingga kalau penulis jadi Ibu Sri Mulyani, maka saya akan ekstra hati-hati terkait hal ini. Anyway, jika anda juga punya usulan tentang bagaimana sebaiknya penerapan bea meterai ini, maka boleh disampaikan di kolom komentar dibawah, tapi harap lihatnya dari dua sisi ya. Sebab kalau lihatnya dari sisi diri kita sendiri saja sebagai investor, maka jangankan bea meterai, kalau bisa trading fee sekuritas yang mahalnya minta ampun itu juga dihapuskan saja lah! Tapi kan ndak bisa begitu.

***

Video Seminar Terbaru: Peluang Multibagger dari Saham-Saham Turnaround. Info selengkapnya baca disini, dan alumni juga bisa ikut webinar (jadwal berikutnya Sabtu, 30 Januari 2021) secara gratis.

Komentar

desta mengatakan…
Usul saya sebaiknya dipotong 0,05% s/d 0,1% per TC tanpa batasan minimum agar mudah perhitungannya dan treder kecil-kecilan tidak terlalu terbebani. Salam
Anonim mengatakan…
Biar adil kepada semuanya, baik pemegang dana besar maupun kecil, kenapa tidak menggunakan persentase saja instead of nilai nominal tertentu. Misalnya 0,02% (atau berapa pun angkanya) dari nilai transaksi per hari, regardless apakah transaksinya 100 ribu atau 100 milyar.
Anonim mengatakan…
"Selain itu, kebijakan ini juga belum berlaku pada 1 Januari 2021 untuk transaksi di Bursa Efek Indonesia karena masih ada persiapan infrastruktur.
[..]
Selain itu, pengenaan bea materai untuk dokumen elektronik akan diberlakukan untuk transaksi nilai di atas Rp 5 juta. Hal ini tertuang dalam UU nomor 10 tahun 2020."
https://www.cnbcindonesia.com/market/20201221160321-17-210636/sri-mulyani-bea-materai-saham-belum-berlaku-1-januari-2021

Sudah diklarifikasi oleh Sri Mulyani bahwa ada minimum 5 juta dan belum berlaku 1 Januari 2021 karena infrastruktur belum siap.
Anonim mengatakan…
kalau misal hari itu saya punya uang didompet 20rb ,beli gorengan 20rb+fee, nah bea 10rb pajak ngambil dr mana? sy ga ada uang lg.
Anonim mengatakan…
UU merupakan aturan umum yg masih harus dibuatkan lagi aturan turunannya di kementerian terkait dalam hal ini kemenkeu dengan mengeluarkan PMK atau dirjen dibawahnya yaitu DJP. Setau saya di web djp hal ini belum final masih digodok dulu aturan teknisnya. Semoga bisa diambil jalan yg lebih bijak semisal saran mas ini.
Andy mengatakan…
Saya setuju dengan sdr.desta dikomentar atas saya.
Unknown mengatakan…
Saya mau komentar sedikit tentang bea meterai untuk TC
Saya mulai dengan penggalan kalimat sbb.: “ trading fee untuk sekuritas, levy untuk BEI, dan PPN serta pajak penjualan untuk Pemerintah”, ketika transaksi terjadi maka baik penjual maupun pembeli dikenakan trading fee untuk sekuritas sekaligus terkena PPN, pajak disini sudah dikenakan double jadi tiap transaksi terkena ppn duakali. Dan pajak masuk ke pemerintah. Selain PPN dipungut pajak penjualan khusus untuk penjual dan ini juga untuk pemerintah (tanpa memandang penjualan tersebut untung atau rugi). Selain itu ada levy untuk BEI yang dipungut dari penjual dan pembeli, jadi double juga. Trus mau ditambah dengan meterai lagi yang tidak dijelaskan untuk pihak mana lagi? Menurut saya sih untuk PT POS, karena biasanya kita membeli meterai di kantor POS.
Nah kenapa sampai bea meterai ini ikut dipungut lagi dari trader? Yang notabene sudah dibebani berbagai macam beban, belum beban dari sekuritas tertentu yang mengenakan bea beban bulanan bila transaksi tidak mencapai jumlah tertentu.
Menurut pendapat saya sih, bea meterai sudah tidak perlu dipungut lagi, terutama untuk yang paperless. Negara seharusnya sudah menyadari perubahan jaman yang demikian pesat, sehingga kehilangan penghasilan dari meterai bisa dicarikan dari pendapatan lain yang sesuai dengan kemajuan saat ini.
Salah satu yang mendasari Satoshi Nakamoto menciptakan bitcoin adalah agar bea administrasi pengiriman uang jadi nol.
Saya juga mengapresiasi rencana untuk penghapusan pajak deviden yang menurut saya juga tidak perlu dipungut karena keuntungan perusahaan sudah dikenai pajak, jadi untuk pembagian laba dari perusahaan sudah tidak perlu dipungut pajak lagi.
Jadi sekali lagi, bea meterai tidak perlu dikenakan untuk TC, karena tiap transaksi sudah dikenakan beban yang berlipat lipat, tapi kalau masih ingin diterapkan ya mungkin sebulan sekali dimana pihak sekuritas biasanya memberikan rekap trading tiap bulan.
Dan kalau perlu pajak penjualan hanya dikenakan pada transaksi yang untung, sedangkan penjualan yang rugi dibebaskan dari pajak penjualan.
Apapun keputusannya, kita trader kecil Cuma bisa memilih terus trading di BEI atau berhenti trading atau pindah ke bursa luar yang sesuai dengan karakter masing masing.
Anonim mengatakan…
Poin nya Negara ini butuh PENDAPATAN, dari mana saja dan apa saja yang BISA.

Betapa mumetnya MenKeu, defisit terus melebar, untung saja berita pembayaran bunga utang tertutup oleh hebohnya pandemi.

Sejak dari Penghapusan Subsidi, Tax Amnesty hingga kenaikan harga utilitas / BPJS, dll, semua tujuannya agar tagihan utang tahunan terbayarkan.

Untung saja Presiden berkeras harus ada bantuan untuk rakyat yang tergerus pendapatannya. Dibantu bahwa tidak semua rencana Belanja Anggaran direalisasikan.

Tahun depan..? Mungkin belanja pegawai mengalami pengurangan karena toh mereka hanya kerja setengah setengah saja atau malah dari rumah saja.

BEI aja tutup lebih cepat. Bentar lagi T+0, artinya harus cash semua.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?