Mengenal ‘Opportunity Cost’ Dalam Investasi Saham
Pada Berkshire Hathaway (BRK) Annual Meeting 2017, Charlie Munger, vice-chairman di BRK, ditanya oleh salah seorang peserta yang hadir: Apa kesalahan terburuk yang pernah dilakukan BRK dalam satu atau dua dekade terakhir? Nah, penulis sendiri tadinya mengira bahwa Mr. Charlie akan menjawab, kami pernah membeli saham/perusahaan A, dan hasilnya rugi besar. Karena memang itulah kesalahan yang umum dilakukan seorang investor bukan? Yakni membeli saham tertentu, lalu di kemudian hari harganya/nilai perusahaan turun, sehingga ia kemudian kehilangan sejumlah uang.
***
Jadwal Seminar: Turnaround Opportunity during Economic Recovery. Jakarta, Sabtu 5 Desember, dan Surabaya, Sabtu 12 Desember. Info lengkap baca disini, tersedia juga video full seminarnya bagi peserta yang tidak bisa hadir, dengan biaya yang lebih terjangkau.
***
Tapi ternyata Mr. Charlie menjawab, pada awal dekade 2000-an, kami sudah melihat adanya peluang di dua perusahaan, yakni Google (GOOG, sekarang bernama Alphabet Inc.), dan Walmart (WMT). Kami seharusnya cukup cerdas untuk membeli saham di kedua perusahaan, tapi kami tidak melakukannya. Sebagai catatan, pada akhir tahun 2005, GOOG dan WMT masing-masing berada di posisi $215.5, dan 46.8 per saham. Dan pada Mei 2017 (bulan ketika Annual Meeting-nya diselenggarakan), kedua saham tersebut sudah naik signifikan masing-masing ke 927.2, dan 76.5 (dan ketika artikel ini ditulis, GOOG dan WMT bahkan sudah naik lebih tinggi lagi). Antara tahun 2005 hingga 2017, BRK bukannya tidak pernah mengalami kerugian di saham-saham tertentu, beberapa diantaranya bahkan sangat besar/nilai kerugiannya mencapai milyaran Dollar. Namun bukannya menunjuk kerugian-kerugian tersebut, Mr. Charlie justru menunjuk keputusan BRK untuk tidak membeli GOOG dan WMT, sebagai kesalahan terbesar yang mereka lakukan.
Dan hal ini mungkin membingungkan: Salahnya dimana? Bukankah dalam hal ini BRK tidak kehilangan uang sepeserpun? Nah, disinilah kita masuk ke tema kita kali ini, tentang opportunity cost. Bahasa mudahnya, opportunity cost adalah biaya yang timbul ketika seorang investor melewatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari keputusan investasi tertentu yang seharusnya ia buat. Namun memang, dibanding ‘biaya’ yang jelas wujud dan angka nominalnya, yang timbul ketika kita beli saham lalu hasilnya rugi, maka biaya seperti ini sulit untuk dihitung karena si investor seringkali tidak merasa kalau dia merugi. Contoh sederhana saja: Katakanlah anda beli saham A di harga 1,000, lalu beberapa waktu kemudian terpaksa menjualnya di harga 950. Maka, meskipun katakanlah nilai kerugiannya tidak seberapa, cuma seharga paket hemat makan siang di KFC (karena anda cuma beli saham A sedikit), tapi tetap saja rasanya nggak enak bukan?
Tapi bagaimana jika anda juga melirik B di harga 500, dan setelah dilakukan analisa mendalam maka kesimpulannya adalah bahwa saham B ini bisa ke 1,000 - 2,000, sehingga anda kemudian menyiapkan dana katakanlah Rp10 juta untuk membeli sahamnya. Tapi karena satu dan lain hal, anda gak jadi beli saham B ini, dan beberapa waktu kemudian saham B beneran ke 1,000. Maka, meskipun dalam hal ini anda baru saja kehilangan profit sekian juta Rupiah yang seharusnya anda peroleh jika anda beli saham B, tapi anda akan tenang-tenang saja bukan? Karena toh anda dalam hal ini tidak benar-benar kehilangan uang, alias berbeda dengan kerugian yang riil, yang timbul ketika anda beli saham A itu tadi.
However, investor berpengalaman sepenuhnya menyadari bahwa, kerugian dalam bentuk opportunity cost ini sejatinya bisa lebih merugikan dibanding kerugian riil yang kita alami dari saham tertentu. Karena, perhatikan: Ketika anda beli saham A senilai Rp10 juta, dan hasilnya rugi, maka kerugian maksimal yang bisa anda derita adalah senilai Rp10 juta juga (rugi 100%), dan itupun kecil sekali kemungkinannya untuk terjadi, bahkan dalam kondisi market crash sekalipun, kecuali jika anda belinya saham Benny Tjokro. Yup, berdasarkan pengalaman selama ini, dengan asumsi kita pilih sahamnya benar, masuknya di harga yang tepat/murah, dan kondisi pasarnya gak seperti bulan Maret lalu, maka seburuk-buruknya kita akan rugi kurang lebih 20 – 25% saja, alias Rp2 – 2.5 juta.
Tapi jika kita sudah mengincar saham B, dan sudah berencana membelinya senilai Rp10 juta tapi nggak jadi, lalu kemudian saham B ini beneran terbang 50%, 100%, 150% dan seterusnya, maka dalam hal ini berapa kerugiannya? Yup, bisa mencapai Rp10 juta, 15 juta, atau lebih besar lagi! Contoh riil: Pada Mei 2020 lalu, setelah melihat bahwa perusahaan membukukan kenaikan laba pada Q1 2020, valuasinya sangat murah pada PBV hanya 0.5 kali, dan prospeknya bagus terkait rencana ekspansi di Provinsi Aceh, plus penulis ketika itu juga sudah mendengar rencana merger perusahaan..
Maka, penulis berencana untuk masuk ke saham Bank
BRI Syariah (BRIS), yang ketika itu berada di posisi 250-an (Sahamnya masuk
di pembahasan Ebook
Investment Planning edisi Q1 2020). Tapi sayangnya saya ngotot antri buy
di harga 200 – 220, terutama karena kinerja BRIS sebenarnya tidak terlalu
bagus, sahamnya sudah naik lumayan dari 135 di bulan Maret, dan kondisi pasar
ketika itu (bulan Mei 2020) masih sangat dihantui oleh resesi dan juga Coronavirus,
sehingga mau tidak mau kita harus sangat hati-hati sebelum memutuskan untuk
membeli saham tertentu. Alhasil, penulis akhirnya tidak sempat masuk ke BRIS
ini. Dan berapa BRIS sekarang?? Mungkin perlu juga dicatat bahwa, antara Mei
hingga November 2020 ini tentu saja ada banyak saham lain diluar BRIS, yang
penulis juga tidak sempat beli, dan mereka kemudian tetap naik signifikan. Tapi
kenapa penulis menyebutnya BRIS ini? Ya karena disinilah kemarin itu kita sudah
kerja keras menganalisa sana sini, dan hasilnya ketemu peluang di BRIS ini,
tapi karena satu dan lain hal, kita malah nggak beli sahamnya. Saya sebelumnya
pernah mengatakan bahwa, profit di pasar modal itu tidak gratis, sama
sekali tidak! Karena kita hanya bisa memperolehnya dengan kerja keras (baca laporan
tahunan yang tebalnya naudzubillah, dst), plus kesabaran, sedangkan untuk
bersabar itu juga nggak mudah. Tapi bagaimana jika kita sudah mengerjakan itu
semua, dan saham yang bersangkutan memang beneran terbang, tapi kita tetep aja gak
dapet apa-apa cuma gara-gara gak sempet beli sahamnya??
Kesimpulannya, meski memang opportunity cost ini tampak tidak begitu menakutkan, tapi sebenarnya justru disinilah seorang investor banyak mengalami kerugian. Pada krisis tahun 2008 lalu, ada banyak investor yang memutuskan untuk ‘menutup laptop, untuk kembali nanti kalau kondisi ekonomi sudah pulih’. Para investor ini kemudian baru masuk pasar lagi di tahun 2012 – 2013, dan sekilas mereka tidak menderita rugi apapun, tapi sebenarnya mereka kehilangan peluang profit yang amat sangat besar dibanding jika mereka tetap di pasar pada tahun 2009, 2010, dan 2011. Karena pada tahun-tahun itulah, IHSG mengalami kenaikan yang luar biasa.
Nah, jadi terkait opportunity cost ini, maka berikut beberapa tips yang bisa anda praktekkan, mulai dari sekarang. Pertama, sadarilah bahwa kerugian dalam bentuk opportunity cost sejatinya bisa jauh lebih besar dibanding kerugian riil yang kita alami ketika cut loss dari saham-saham tertentu. Bahasa mudahnya, seorang investor saham mungkin akan menderita rugi, dan pasti dia akan menderita rugi dari saham tertentu, tapi sebenarnya itu tidak perlu ditakutkan. Yang harus kita takutkan adalah kerugian karena kita melewatkan peluang untuk meraih keuntungan yang amat sangat besar dalam jangka panjang, jika kita tidak pernah berinvestasi.
Lalu kedua, ketika kita sudah mengerjakan analisa dan hasilnya ketemu saham tertentu, maka kita harus berani mengeksekusi hasil analisa tersebut (baca: beli sahamnya), minimal sebanyak separuh atau sepertiga dari dana yang disiapkan. Yup, seperti disampaikan pada kasus BRIS diatas, penulis terlambat masuk karena kita ketika itu masih sangat hati-hati, terutama setelah menderita kerugian yang amat sangat besar di peristiwa market crash di bulan Maret-nya, dan ketika itu juga outlook kedepan masih sangat suram/belum ada kejelasan soal kapan PSBB akan berakhir, dst. Padahal seharusnya, kalau misalnya ketika itu penulis gak berani beli BRIS senilai Rp10 juta, maka kita bisa belinya senilai Rp5 juta saja dulu, dan penulis sejatinya sudah sering melakukan hal tersebut (beli suatu saham, tapi nyicil beli setengah dulu, atau sepertiga) di masa lalu, dan hasilnya memang sangat baik. Tapi memang untuk tahun 2020 ini, ceritanya sedikit berbeda, karena memang kondisi krisisnya juga sangat berbeda. Beruntung, untuk peluang-peluang di saham lainnya yang juga kita temukan sepanjang tahun 2020 ini, maka kita bisa mengeksekusinya dengan baik (nanti kita akan bahas itu di lain kesempataan).
Anyway, jika anda pernah mendengar pepatah, ‘Kesempatan tidak akan datang dua kali’, maka penulis bisa katakan bahwa, di pasar saham, pepatah itu tidak berlaku. Ketika kita melewatkan satu peluang, maka akan selalu ada peluang lainnya, meski juga jangan berharap bahwa peluang seperti itu akan muncul setiap hari. Terkadang kita harus menunggu hingga berbulan-bulan atau bahkan 1 – 2 tahun sebelum akhirnya peluang itu muncul, tapi pada akhirnya, it’s all worth it. Sehingga, meski penulis sendiri hingga ketika artikel ini ditulis masih sedikit nyesek karena ketinggalan di BRIS, tapi ketika nanti muncul peluang berikutnya, kami disini dan juga anda semuanya seharusnya akan sudah lebih siap. Mudah-mudahan!
***
Jadwal Seminar: Turnaround Opportunity
during Economic Recovery. Jakarta, Sabtu 5 Desember, dan Surabaya, Sabtu 12
Desember. Info lengkap baca
disini, tersedia juga video full seminarnya bagi peserta yang tidak bisa
hadir, dengan biaya yang lebih terjangkau.
Komentar