Link Net
PT Link Net, Tbk (LINK) hingga Kuartal II 2020 kemarin melaporkan laba bersih Rp456 milyar, turun dibanding periode yang sama di tahun 2019 sebesar Rp527 milyar, namun laba tersebut mencerminkan ROE 21.1%, alias cukup besar, atau bahkan sangat besar jika dibandingkan dengan ROE dari emiten-emiten lainnya di Bursa Efek Indonesia, yang rata-rata drop karena efek resesi. Disisi lain, sebagai perusahaan penyedia layanan internet, maka prospek LINK memang justru semakin baik seiring dengan adanya trend work from home. Nah, tapi jika demikian, lalu kenapa sahamnya tetap turun signifikan (hampir 50%) sepanjang tahun 2020 ini? Dan kenapa pula beredar berita bahwa LINK ini hendak dijual oleh pemiliknya?
***
Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal III 2020 akan terbit tanggal 8 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.
Video Seminar Value Investing, basic and advanced, bisa diperoleh disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar (jadwal berikutnya, Sabtu, 21 November), gratis.
***
Sejarah PT Link Net, Tbk dimulai pada tahun 2000, ketija perusahaan mulai beroperasi sebagai penyedia layanan internet broadband, dan pada tahun 2007 meluncurkan layanan internet berkecepatan tinggi dengan merk dagang ‘FastNet’. Tahun 2008, seluruh saham perusahaan diakuisisi oleh Grup Lippo melalui PT First Media, Tbk (KBLV), yang juga terutama bergerak di bidang layanan internet.
Kemudian pada tahun 2011, sebuah private equity dengan nama CVC Capital Partners masuk ke LINK dengan menyetor modal $275 juta untuk memperoleh 1 milyar lembar atau setara 33.9% saham perusahaan, sehingga kepemilikan KBLV di LINK terdilusi menjadi 66.1%. Bersamaan dengan itu, dilakukan reorganisasi dimana tiga segmen bisnis utama milik KBLV, yakni layanan internet FastNet, televisi kabel merk HomeCable, dan layanan korporasi dengan merk DataComm (sekarang bernama FirstMedia Business), semuanya ditempatkan di bawah LINK. Sedangkan segmen selebihnya yakni First Media News/Berita Satu, BigTV, dan Bolt 4G, tetap dipegang langsung oleh KBLV. Tiga tahun kemudian, pada bulan Mei 2014, LINK menggelar IPO dengan menerbitkan 304 juta lembar saham anyar pada harga Rp1,600 per saham, sehingga diperoleh tambahan modal Rp487 milyar.
Kemudian pada perkembangannya, KBLV secara bertahap melepas saham mereka di LINK, kemungkinan pada harga tinggi (tak lama setelah IPO, saham LINK langsung terbang hingga sempat tembus 7,000-an di bulan September 2014), hingga kepemilikan mereka tidak lagi diatas 50%, melainkan hanya 29% (per 30 Juni 2020), dan karena itulah kinerja LINK tidak lagi dikonsolidasikan ke dalam laporan keuangan KBLV. However, pihak CVC tidak melakukan hal yang sama, dimana sampai Juni 2020, mereka masih memegang 1 milyar sekian lembar saham perusahaan, setara dengan 37% saham beredar LINK (meningkat dari sebelumnya 33%, karena LINK pernah buyback sahamnya sendiri di market, sehingga jumlah saham beredarnya berkurang). CVC juga menempatkan hingga tiga orang personelnya di board LINK (satu komisaris, dan dua direktur), untuk membantu mengembangkan perusahaan.
Dan setelah jalan beberapa tahun, investasi CVC di LINK terbilang sukses. Per akhir 2019, LINK memiliki 645 ribu pelanggan HomeCable, 668 ribu pelanggan FastNet, dan 2,481 perusahaan pelanggan FirstMedia Business. Tidak ada informasi soal pangsa pasar LINK untuk ketiga segmen bisnisnya, tapi yang jelas jumlah pelanggan mereka terus meningkat dari tahun ke tahun, dan demikian pula pendapatannya terus naik secara konsisten dari Rp582 milyar di tahun 2011 (tahun ketika bisnis layanan internet milik KBLV ditempatkan seluruhnya dibawah LINK), hingga mencapai Rp3.8 trilyun di tahun 2019. LINK juga royal dividen dimana perusahaan rutin membayar 60% laba bersihnya setiap tahun untuk dividen, dan pada tahun 2019 lalu dividen tersebut bahkan mencapai Rp232 per saham, yang mencerminkan yield lebih dari 10% berdasarkan harga sahamnya sekarang ini (2,170). Kemudian laba bersih LINK setiap tahunnya juga terbilang besar, terlihat dari ROE perusahaan yang stabil di rentang 17 – 22% sejak tahun 2015 sampai hari ini, dan menariknya ROE tersebut dicapai ketika LINK saban tahunnya mencatat beban penyusutan (penyusutan alat-alat elektronik, decoder, service control point, dst) yang besarnya hampir sama dengan nilai laba bersih tersebut. Misalnya pada Kuartal II 2020, LINK mencatat laba bersih Rp456 milyar, sedangkan beban penyusutannya, yang sebenarnya hanya bersifat pembukuan, mencapai Rp402 milyar.
Dengan kata lain, jika kita melihatnya dari sisi arus kas operasional, maka laba LINK sejatinya lebih besar lagi! Contohnya pada Kuartal II 2020, LINK mencatat penerimaan kas dari pelanggan sebesar Rp1.8 trilyun, dan kas bersih operasional Rp1.1 trilyun, yang mencerminkan margin laba yang sangat besar/hampir 60%. Besarnya keuntungan yang dihasilkan oleh LINK ini karena perusahaan sejak awal tidak harus mengeluarkan investasi yang besar untuk membangun menara telekomunikasi dll (dimana itu biayanya sangat mahal, dan actually itu menjelaskan kenapa perusahaan IT yang sudah mapan seperti Indosat, atau XL Axiata, labanya justru kecil, atau malah rugi), karena perusahaan bekerja sama dengan ICON+, yang merupakan anak usaha dari PT PLN, untuk menempatkan alat pemancar sinyal internet di tiang-tiang listrik milik PLN. Nah, sebenarnya ini sekaligus menimbulkan kekhawatiran, yakni bagaimana kalau nanti PLN gak mau lagi pinjemin dia punya tiang listrik? Tapi kabar baiknya, per Agustus 2020 kemarin, LINK sukses memperpanjang kerjasamanya dengan ICON+ sampai dengan setidaknya akhir Juni 2022.
Link Net Dijual?
Okay, tapi jika LINK ini memang sebagus itu, lalu kenapa sahamnya sejak tahun 2018 turun terus? Well, penulis simply melihatnya karena kemarin itu dia mahal saja. Tapi kalau pada harga sekarang, dimana harga 2,170 mencerminkan PER 6.6 dan PBV 1.4 kali, sedangkan prospeknya juga bagus sebagai internet provider, maka LINK tentu menarik. Kita tahu bahwa di BEI ada cukup banyak perusahaan IT, tapi yang kinerjanya bagus ya cuma LINK ini saja, plus Telkom (TLKM). Dan karena PBV dan PER TLKM juga jauh lebih tinggi dibanding LINK, maka tentu LINK bisa dipertimbangkan.
Lalu yang menarik adalah rencana dari duo pemegang saham pengendali perusahaan, yakni CVC dan Grup Lippo, untuk mendivestasi saham mereka di LINK dalam waktu dekat. Yup, sebagai private equity dimana mereka harus mengembalikan dana ke investor pemilik modal setelah periode waktu tertentu, maka CVC pada akhirnya harus keluar dari LINK, sama seperti mereka sebelumnya juga sudah profit taking dari Matahari Dept. Store (LPPF). Sedangkan Grup Lippo, seperti disebut diatas, sejak awal mereka memang sudah keluar sedikit-sedikit dari LINK ini, dan pada akhirnya mereka akan keluar habis sama sekali. Terkait hal ini, ada yang menyebutkan bahwa Lippo hendak fokus ke properti, terlihat dari tahun lalu mereka menambah setoran modal/right issue di Lippo Karawaci, dan anak usahanya Lippo Cikarang.
Kemudian karena CVC selama beberapa tahun ini sukses membangun LINK menjadi perusahaan yang menguntungkan, maka tentunya tidak sulit untuk memperoleh pembeli yang bersedia membayar pada harga premium. Sehingga tidak seperti private equity lokal, Recapital Advisors, yang gagal total dalam mengelola Bank Pundi (BEKS) sehingga mereka gak bisa menemukan pembeli untuk BEKS, dan mereka kemudian melakukan ‘trik-trik tertentu’ sehingga mereka pada akhirnya tetap bisa keluar dari BEKS tapi dengan meninggalkan kerugian gila-gilaan bagi investor ritel yang terjebak membeli BEKS di harga Rp18 per saham (baca lagi ceritanya disini), maka CVC tidak perlu melakukan muslihat yang sama. Informasi terakhir dari direktur utama perusahaan, Marlo Budiman, menyebutkan bahwa sudah ada empat calon pembeli, jadi tinggal tunggu saja yang mana yang memberikan penawaran terbaik, yang normalnya bakal jauh diatas harga saham LINK pasar. Karena harga saham LINK itu sendiri pada saat ini memang terbilang undervalue.
Jadi kesimpulannya, yep, LINK ini menarik tidak hanya karena fundamentalnya bagus, prospeknya cerah (terlepas dari rencana pemegang saham untuk menjual perusahaan, namun manajemen LINK tetap terus berekspansi, termasuk menargetkan 1 juta pelanggan residensial pada tahun 2021), dan valuasinya murah, melainkan juga karena dalam waktu dekat ini, perusahaannya bakal berganti pemilik. Dan seperti yang sudah-sudah, jika perusahaan pada akhirnya nanti merilis keterbukaan informasi bahwa sudah ada pembeli yang bersedia membayar Rp4,000 per saham, misalnya, maka LINK ini akan sudah terbang duluan sejak sebelum keterbukaan informasi tersebut dirilis. Disisi lain, saham LINK tetap mengandung risiko, yakni jika berita yang nanti keluar adalah sebaliknya, bahwa CVC masih belum mencapai kesepakatan dengan calon pembeli, sehingga LINK ditunda/batal dijual.
Dan jika berita yang keluar demikian, maka saham LINK bisa turun lagi. Dan memang beberapa bulan lalu juga sempat disebutkan bahwa Grup MNC melalui PT MNC Vision Networks, Tbk (IPTV) berniat akuisisi LINK, tapi batal karena Om Hary gak dikasih pinjaman sama bank. Meski demikian, penulis menganggap bahwa reward yang ditawarkan LINK tetap jauh lebih besar dibanding risk-nya, selain karena barangnya memang bagus, sehingga sahamnya tetap bisa dipertimbangkan. Jadi ya, mari kita tunggu saja perkembangannya. Karena kalau dari pernyataan dirutnya sih, kemungkinan LINK bakal sudah dijual sebelum akhir tahun 2020 ini.
PT Link Net, Tbk (LINK)Disclosure: Ketika artikel ini di posting, Avere sedang dalam posisi memegang LINK di harga 2,050. Posisi ini bisa berubah setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya.
***
Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal III 2020 akan terbit tanggal 8 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.
Video
Seminar Value Investing, basic and advanced, bisa diperoleh
disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar (jadwal berikutnya, Sabtu, 21 November), gratis.
Komentar
thanks insigtnya pak teguh.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Link net terus berusaha dijual pemiliknya paling tidak sejak 5 tahun terakhir. Analisa kita adalah pemilik keberatan untuk terus injeksi modal untuk ekspansi mengingat untuk mencapai tingkat optimal penetrasi, paling tidak dibutuhkan 4-5tahun. Tingkat EBITDA 60% justru menunjukkan tingkat penetrasi yang sudah mentok dan laba perusahaan berpotensi stagnan ditahun-tahun mendatang
Sambil menunggu pembeli dengan harga yang "cocok", Link net, termasuk sebagian pemain lainnya sedang mengarah ke sistem profit sharing dengan cara bekerja sama dengan penyedia infrastruktur lain seperti Icon+ dan Fiberstar. Permasalahannya adalah Icon+ belakangan diketahui juga masuk ke bisnis ini dan sistem profit sharing sangat menggerus margin perusahaan. Disisi lain, Indihome sebagai pemain terbesar (+- 20x lipat lebih besar dari no 2) juga semakin agresif dan menawarkan harga yang semakin kompetitif
Kesimpulannya, saham ini layak di-keep s/d company berhasil terjual, karena diperkirakan noise berita ini akan mengundang "bandar" untuk "menggoreng" nilai saham, namun sangat tidak disarankan untuk investasi jangka panjang
Happy to discuss
Target Korporat jual di 4.400 adalah taktik buat sentimen positif pasar. Dan prep-up buat calon investor dan pembeli.