Bank BTN: Kinerja Kuartal III 2020 Membaik!
Bank BTN (BBTN) hingga Kuartal III 2020 melaporkan laba bersih Rp1.1 trilyun, naik signifikan dibanding periode yang sama di tahun 2019 sebesar Rp801 milyar, dan menariknya itu terjadi ketika perusahaan masih membukukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) senilai Rp1.6 trilyun, dimana angka beban ini masih lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya (apa itu CKPN? Baca lagi penjelasannya disini). Dengan kata lain, jika CKPN ini tidak ada, maka harusnya laba BBTN lebih besar lagi. Disisi lain, dengan PBV hanya 0.8 kali, maka sebagai saham bank BUMN dengan reputasi baik dan populer, maka BBTN praktis murah. An opportunity?
***
Ebook Market Planning edisi November 2020 yang berisi analisis IHSG, rekomendasi saham, dan update strategi investasi bulanan akan terbit tanggal 1 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk member.
Video Seminar Value Investing, basic and advanced, bisa diperoleh disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar (jadwal berikutnya, Sabtu, 21 November) secara gratis.
***
Meski PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk sudah berdiri dengan nama Postpaarbank pada tahun 1897, namun Bank BTN yang kita kenal hari ini mulai menjalankan operasinya pada tahun 1974, ketika itu sebagai satu-satunya lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Yup, jadi sebenarnya sudah sejak cukup lama, Pemerintah RI sudah memiliki program perumahan rakyat. Dan hingga hari ini, BBTN masih menjadi market leader di bidang penyaluran KPR, dan sekaligus berstatus sebagai bank terbesar No.5 (dari sisi nilai aset) di Indonesia, persis dibawah big four perbankan nasional (BRI, Mandiri, BCA, BNI).
Namun tidak seperti ‘kakak-kakaknya’ yang labanya naik terus, maka antara tahun 2010 – 2014 lalu, kinerja BBTN cenderung jalan di tempat, dimana penulis menyoroti beberapa masalah: 1. Booming properti ketika itu justru mengurangi pangsa pasar BBTN yang spesialis kredit rumah rakyat dengan harga murah, karena ketika itu trend-nya justru properti seperti ruko, apartemen, kondominium yang harganya mahal, 2. Manajemen BBTN tidak melakukan ekspansi atau inovasi tertentu, dan ini juga menggerus pangsa pasarnya (terutama oleh Bank Danamon, yang juga gencar masuk ke pasar KPR), dan 3. Kurangnya dukungan dari Pemerintah, dimana belum ada lagi program khusus untuk pembangunan rumah bagi rakyat menengah kebawah, yang sekali lagi, merupakan spesialisasi BBTN.
Hingga pada tahun 2015, Pemerintah meluncurkan Program Sejuta Rumah dengan BBTN sebagai penyalur KPR-nya, dan praktis peruntungan perusahaan berubah. Karena dalam perjalanannya, program ini benar-benar sukses membangun 1 juta unit rumah pada tahun 2018 lalu. Alhasil pendapatan BBTN lompat dari Rp12.8 trilyun menjadi Rp14.5 trilyun di tahun 2015, dan di tahun-tahun selanjutnya pendapatan tersebut terus menanjak hingga tembus Rp23.3 trilyun pada tahun 2019. Dan demikian pula dengan laba bersihnya, yang lompat dari Rp1.1 trilyun di tahun 2014, hingga tembus Rp2.8 trilyun di tahun 2018.
Namun pada tahun 2019-nya, BBTN mulai menerapkan standar akuntansi baru PSAK 71, yang pada intinya mengharuskan perusahaan untuk membukukan CKPN tidak hanya dari aset kredit macetnya, tapi dari semua kategori kredit termasuk kredit lancar. Alhasil, meskipun pendapatan BBTN sejatinya masih lanjut naik di tahun 2019 ini, namun beban CKPN-nya melonjak menjadi Rp3.5 trilyun, dari sebelumnya Rp1.7 trilyun di tahun 2018 dan otomatis laba BBTN anjlok sampai lebih dari 90%, menjadi tinggal Rp209 milyar saja. Inilah kenapa ketika terjadi market crash pada Maret 2020 lalu, maka BBTN menjadi salah satu saham big caps yang turun paling signifikan, dengan turun dari 2,200 sampai mentok di 720. Yup, karena sejak tahun 2019-nya, laba bersih BBTN memang sudah turun sebelum adanya pandemi.
However, jika kita lihat lagi fakta bahwa beban CKPN sebenarnya hanya bersifat pembukuan, dan program sejuta rumah tadi sampai tahun 2020 ini juga masih berjalan (albeit jumlah rumah yang dibangun memang turun dibanding 2019 lalu), maka sebenarnya BBTN tidak pantas dihargai serendah itu (700-an), dan itulah kenapa sahamnya dengan cepat naik lagi, meskipun sampai hari ini belum sampai balik lagi ke posisinya sebelum crash. Karena sampai Kuartal II 2020 kemarin, laba BBTN kembali turun dibanding 2019-nya, dan lagi-lagi penyebabnya adalah beban CKPN yang kembali membengkak.
Tapi kalau kita lihat dari sisi pendapatannya, yang hanya turun sedikit dari Rp12.8 menjadi Rp12.4 trilyun di Q2 2020, maka dalam hal ini kinerja BBTN bahkan lebih baik dibanding BBRI sekalipun, yang pendapatannya turun dari Rp60.0 menjadi Rp56.6 trilyun di Q2 2020. Faktor pandemi memang surprisingly tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja BBTN, dimana sampai Q2 kemarin, penyaluran kredit BBTN masih tumbuh tipis 0.3%, terutama ditopang pertumbuhan KPR bersubsidi sebesar 5.8%. Fakta bahwa harga properti residensial memang sudah murah bahkan sebelum adanya pandemi, menyebabkan BBTN bisa terus jualan sehingga pendapatannya tetap stabil, dan pendapatan tersebut sangat berpeluang untuk naik lagi di tahun 2021 nanti, yakni seiring dengan harga jual rumah, yang meski masih murah (percaya atau tidak, harga rumah baru tipe 36/90 di Bekasi sekarang sudah dibawah Rp300 jutaan), tapi sudah mencapai titik terendahnya pada Maret lalu, dan kesininya pelan-pelan naik lagi.
Tinggal sekarang masalahnya balik lagi ke CKPN itu tadi. Nah, sebenarnya pada Q3 2020 barusan, CKPN BBTN akhirnya turun menjadi Rp1.6 trilyun, dari sebelumnya Rp2.2 trilyun di periode yang sama tahun 2019 (albeit Rp1.6 trilyun itu masih tergolong besar/hampir sama dengan CKPN di tahun 2018), dan itulah kenapa laba bersihnya naik lagi, tapi kita tidak tahu apakah di kuartal berikutnya, atau di tahun 2021 nanti, CKPN ini bisa tetap dipertahankan di angka segitu, atau membengkak lagi. Problemnya, pasar seringkali tidak peduli meskipun beban CKPN ini sifatnya ‘hanya pembukuan’, dimana kalau angkanya naik dan alhasil laba BBTN jeblok lagi, maka ya sudah, sahamnya juga bakal bablas turun lagi.
Prospek BBTN
Tapi untungnya, kalau kita lihat rasio CKPN terhadap aset produktifnya, yang sekarang sudah cukup besar di level 4.3%, dimana itu meningkat signifikan dibanding 2.2% di tahun 2019, dan 1.3% di tahun 2018, maka harusnya kedepannya manajemen tidak perlu lagi melakukan pencadangan kerugian terlalu besar. Jika kita lihat rasio yang sama dari BBRI, BMRI, BBCA dan BBNI, yang masing-masing tercatat 4.7%, 5.0%, 3.1%, dan 4.1% pada Q2 2020, maka bisa dikatakan bahwa posisi BBTN, dari sisi pencadangan kerugiannya, sudah cukup aman dan konservatif. Sehingga, jika penurunan beban CKPN yang terjadi di Q3 2020 barusan kembali berlanjut di kuartal-kuartal berikutnya, sedangkan pendapatan BBTN juga minimal stabil di posisinya sekarang ini, maka otomatis laba perusahaan akan kembali menanjak.
Kemudian
yang juga penting untuk diperhatikan adalah dukungan pemerintah, yang sejak
awal merupakan pemicu utama peningkatan kinerja BBTN sejak tahun 2015 lalu. Dan
kabar baiknya, diluar program sejuta rumah yang masih berjalan, Pemerintah di
tahun 2020 ini juga meluncurkan program pemulihan ekonomi nasional, dimana BBTN
memenuhi kriteria untuk menerima penempatan dana dari pemerintah, meningkatkan alokasi
KPR Bersubsidi, dan menggelar program tabungan perumahan rakyat atau TAPERA. Kesemua
dukungan pemerintah tersebut mungkin baru akan berdampak mulai tahun 2021
nanti, karena untuk tahun 2020 ini, seperti juga emiten-emiten lainnya di BEI, target
manajemen BBTN sebatas untuk mempertahankan kinerja yang sudah ada saja (dan
sejauh ini, target tersebut tercapai). Tapi intinya, dibanding banyak saham-saham
lain termasuk sesama saham perbankan, maka penulis bisa katakan bahwa fundamental
BBTN berpeluang untuk pulih lebih cepat, ketika nanti masa-masa sulit karena pandemi
ini berakhir. Mungkin perlu juga dicatat bahwa, berbeda dengan bank-bank lain
yang pemulihan kinerjanya bergantung pada kinerja ekonomi makro nasional secara
umum (simpelnya, selama pertumbuhan GDP nasional masih minus, maka kinerja BBRI
dkk masih akan turun), maka kinerja BBTN hampir sepenuhnya ditentukan oleh
segmen KPR saja, dimana bahkan di tahun resesi ini perkembangannya terbilang masih
baik/angkanya masih tumbuh.
BBTN didukung penuh oleh Pemerintah |
Tinggal sekarang soal sahamnya. Nah, tidak lama setelah LK Q3-nya keluar, maka pagi ini saham BBTN langsung lompat dari 1,260 ke 1,400-an, tapi seperti disampaikan diatas, pada harga 1,400 tersebut PBV BBTN tercatat masih 0.8 kali, yang juga merupakan salah satu level terendahnya dalam 10 tahun terakhir. Sehingga tentu saja sahamnya masih bisa naik lebih lanjut, tergantung perkembangan kinerjanya di Q4 2020 nanti dan seterusnya. Kata kuncinya disini adalah, BBTN ini murah, prospeknya bagus, dan manajemennya juga pekerja keras (salah satunya sukses menurunkan bunga depositonya dari sebelumnya 5 – 6% menjadi 4.5% saja per tahun, sehingga beban pokoknya turun, dan ternyata dana pihak ketiganya tetap tumbuh 20.8% pada Q3 2020), sehingga no way sahamnya bakal ke 700-an lagi. Dan actually pada Agustus kemarin, BBTN sempat menyentuh 1,700-an, tapi kemudian turun lagi di bulan September-nya seiring dengan koreksi IHSG.
Okay Pak Teguh, jadi sekarang bagaimana saran untuk sahamnya? Nah, seperti juga banyak saham perbankan lain, sebenarnya sejak tahun 2019 lalu ada banyak investor yang sudah membeli BBTN di 2,000 – 2,400, karena sebenarnya BBTN pada harga segitu gak bisa disebut mahal juga (PBV cuma 1.0 – 1.2 kali, berdasarkan ekuitasnya ketika itu). Jadi jika anda termasuk yang beli BBTN ketika itu, dan juga masih hold sahamnya sampai hari ini, maka sekarang waktunya untuk average down, pada harga 1,400 juga gak apa-apa, yang penting asal average-nya jadi dibawah 2,000. Sedangkan bagi anda yang baru mau masuk, maka bisa langsung buy di harga 1,400, tapi gunakan maksimal 2/3 dari dana yang dialokasikan. Kemudian sisanya nanti sambil tunggu perkembangan IHSG, karena kalau anda perhatikan, pergerakan BBTN ini ‘lengket’ sekali dengan pergerakan IHSG, dimana kalau IHSG turun 1% maka dia bakal turun 2 – 3%, demikian sebaliknya. Sebenarnya terkait IHSG ini, penulis juga percaya bahwa posisi saat ini (5,000-an) juga sudah cukup aman, tapi tidak ada salahnya jika kita berhati-hati.
And btw, sesuai harapan penulis sebelumnya, musim laporan keuangan Kuartal III 2020 ini memang menjadi momentum bagi kita para investor untuk pilih-pilih lagi saham mana saja yang sudah melewati ‘periode terburuk’ di tahun resesi 2020 ini, dan kinerjanya sudah kembali ke jalur pemulihan, sehingga cuma soal waktu sebelum kinerja mereka akan kembali sama baiknya seperti tahun-tahun sebelum tahun 2020 ini, atau bahkan lebih baik lagi. Jika ada usul soal saham apa yang akan kita bahas lengkap berikutnya, boleh sampaikan melalui komentar dibawah.
PT Bank Tabungan Negara (Persero), Tbk
***
Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisa saham pilihan edisi Kuartal III 2020 akan terbit tanggal 8 November mendatang. Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio, langsung dengan penulis.
Video
Seminar Value Investing, basic and advanced, bisa diperoleh
disini. Alumni bisa bergabung dengan layanan webinar (jadwal
berikutnya, Sabtu, 21 November) secara gratis.
Komentar
LPCK (pbv 0.2)
ITMG (pbv 0.7)
PJAA (pbv 0.4)
Sedangkan dari persentasenya, Q3 2020 adalah 4,27% sementara Q3 2019 1,7%.
Bagaimana caranya % CKPN 2020 > 2x % CKPN 2019 sedangkan nilai absolutnya malah lebih kecil sementara aset 2020 vs 2019 tak terlalu banyak perbedaannya?
Am I missing something here?
Btw, untuk pembahasan saham berikutnya tolong sektor consumer goods (INDF / ICBP atau UNVR.
Thanks.
Bikin gemess