Prospek Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA), Setelah Suspensinya Dibuka
Setelah disuspensi selama dua tahun, persisnya sejak Juli 2018 lalu, maka pada hari Senin, 31 Agustus kemarin, Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali membuka perdagangan saham PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (AISA). Dan sayangnya sahamnya tanpa ampun langsung turun, yakni dari harga 168 ketika disuspen hingga sekarang sudah 147, dan kemungkinan masih akan lanjut turun mengingat hingga Kuartal I 2020, perusahaan masih membukukan defisiensi modal, alias ekuitas negatif. Disisi lain, berdasarkan laporan dari Kantor Jasa Penilai Publik, Suwendho Rinaldy & Rekan, disebutkan bahwa nilai wajar dari 100% saham AISA adalah Rp559 milyar, atau jauh diatas market cap perusahaan di level Rp201 milyar (pada harga saham 147). Nah, jadi jika penilaian tersebut benar, bukankah ini peluang? Lalu jika saya sejak awal sudah pegang saham AISA ini sejak tahun 2017 – 2018 lalu, maka apakah sekarang sebaiknya saya hold saja, tambah posisi/beli lagi, atau justru cut loss?
***
Bagi anda yang baru belajar investasi saham/value investing, maka bisa peroleh video seminar terbaru disini. Info whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
Buat yang ingin bergabung dengan layanan konsultasi saham, analisa pasar, dan rekomendasi saham bulanan (edisi September sudah terbit), maka bisa baca infonya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500.
***
Untuk menjawab pertanyaan diatas, pertama-tama kita pelajari lagi AISA ini dari awal.
PT Tiga Pilar Sejahtera didirikan pada tahun 1992 oleh Stefanus Joko Mogoginta dan dua orang mitranya, dan ketika itu bergerak di bidang produksi bihun dan mi kering, dengan lokasi pabrik di Sukoharjo, Jawa Tengah. Di tahun-tahun berikutnya, perusahaan terus mengembangkan usaha dengan membangun beberapa pabrik makanan di Karanganyar, dan Sragen, Jawa Tengah. Pada tahun 2003, perusahaan melakukan backdoor listing dimana Tuan Mogoginta mengakuisisi PT Asia Inti Selera, Tbk (AISA), dan AISA pada gilirannya mengakuisisi PT Tiga Pilar, lalu berubah nama menjadi PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (AISA). Sampai dengan titik ini, perusahaan masih tetap fokus di produksi dan pemasaran bihun, dan mi kering.
Hingga memasuki 2008, AISA menggelar right issue dimana dananya digunakan untuk akuisisi beberapa perusahaan di bidang makanan manis, biskuit, snack, hingga perkebunan kelapa sawit. Lalu antara tahun 2010 hingga 2016, AISA secara berturut-turut mengakuisisi tiga perusahaan perdagangan beras (termasuk PT Indo Beras Unggul), lima perusahaan perkebunan kelapa sawit, satu perusahaan biskuit, dan mengakuisisi merk snack ‘Taro’ dari PT Unilever Indonesia, Tbk. Pada periode ini, AISA juga menyelesaikan pembangunan pabrik pengolahan crude palm oil (CPO), menambah kapasitas produksi mi kering dan bihun, mendirikan PT Golden Plantation sebagai holding dari anak-anak usahanya di bidang perkebunan kelapa sawit, lalu meng-IPO-kannya ke bursa dengan kode GOLL, hingga mendirikan perusahaan pembangkit listrik.
Dan kesemua ekspansi tersebut dibiayai dengan rentetan right issue, penerbitan obligasi, utang bank, hingga private placement dimana perusahaan menjual 9.5% sahamnya ke KKR & Co., sebuah perusahaan investasi skala global. Sehingga sekilas, AISA bakal tumbuh menjadi salah satu perusahaan makanan terintegrasi terbesar di Indonesia, mungkin bisa sama besarnya dengan katakanlah Indofood. Nilai total aset perusahaan juga meningkat dengan cepat dari Rp3.5 trilyun pada Kuartal I 2012, menjadi Rp9.3 trilyun pada akhir tahun 2016.
Kronologis Kasus AISA
Namun masih di tahun 2016, AISA tiba-tiba saja menjual GOLL ke sebuah perusahaan dengan nama PT JOM Prawarsa, seharga Rp521 milyar, namun AISA ketika itu tidak menerima pembayaran secara tunai, melainkan di neracanya hanya dicatat piutang senilai Rp521 milyar tersebut. Dan PT JOM belakangan diketahui juga dimiliki oleh Tuan Mogoginta, sehingga kemudian muncul teori sebagai berikut: Sejak diakuisisi pada tahun 2014 hingga 2016, GOLL ini terus merugi seiring dengan lesunya industri kelapa sawit ketika itu, sehingga menurunkan laba AISA secara konsolidasi. Jadi agar laba AISA tetap kelihatan besar, maka GOLL harus dijual, tapi ke siapa? Well, gimana kalau dijual ke PT JOM saja dulu, dan nanti AISA baru akan menerima uangnya jika PT JOM sukses menjual kembali GOLL ke pihak lain?
Sehingga.. Tadaaa.. Jadilah AISA ‘menjual’ GOLL, dan laba bersihnya jadi naik lagi. Tapi masalahnya, bahkan hingga tahun 2017-nya, PT JOM masih belum bisa menemukan pembeli untuk GOLL, sehingga AISA masih belum menerima pembayaran sepeserpun. Dan pada tahun 2017 ini, muncul kasus baru: Salah satu pabrik beras milik anak usaha perusahaan, yakni PT Indo Beras Unggul (PT IBU), digerebek oleh polisi, dan pihak perusahaan kemudian dinyatakan bersalah karena ‘menjual beras rakyat bersubsidi dengan harga premium’. Masalahnya menjadi runyam setelah AISA lagi-lagi mengatasi problem diatas dengan cara menjual PT IBU, dan juga seluruh anak-anak usaha lainnya yang bergerak di bidang perdagangan beras, ke PT JOM Prawarsa. Dan kenapa penulis bilang runyam? Karena ketika AISA menerbitkan obligasi dan sukuk senilai total Rp2.1 trilyun di tahun 2013 dan 2016, maka kesemua obligasi tersebut dijamin dengan aset-aset usaha berasnya. Sehingga jika AISA hendak melepas usaha berasnya, maka mereka harus menggelar RUPO (rapat umum pemegang obligasi) terlebih dahulu.
Dan ternyata, para pemegang obligasi diatas menolak rencana AISA menjual usaha berasnya, yang mungkin karena mereka sudah tahu bahwa seperti halnya dulu AISA cuma terima ‘cek kosong’ setelah menjual GOLL ke PT JOM Prawarsa, maka penjualan usaha beras ke PT JOM ini juga cuma boong-boongan. Pada titik inilah, Pefindo segera menurunkan rating obligasi AISA dari A menjadi BBB, dan segera beredar rumor yang menyebutkan bahwa perusahaan gagal bayar dan bangkrut. Saham AISA itu sendiri ketika itu sudah longsor dari 1,500-an sampai sempat dibawah 500. However, karena menilai bahwa rumor AISA bangkrut itu cuma rumor, sedangkan disisi lain valuasi sahamnya juga sudah sangat murah dengan PBV 0.4 kali (apalagi jika dibandingkan dengan saham-saham consumer goods lainnya, yang rata-rata valuasinya premium), maka penulis sendiri ketika itu (Desember 2017) masuk di harga 500, dengan harapan bahwa ketika nanti masalah beras-nya sudah selesai, kinerja AISA akan tetap bagus seperti biasa, dan sahamnya akan naik lagi. Anda bisa baca lagi cerita lengkapnya disini.
Hingga beberapa bulan kemudian, tepatnya pada April 2018, diketahui bahwa PT Tiga Pilar Corpora, pemegang saham pengendali (PSP) di AISA, terus menjual saham AISA di pasar. Tidak ada penjelasan soal apa alasan penjualan tersebut, tapi penulis sudah hafal bahwa jika PSP atas sebuah perusahaan melepas saham perusahaan tersebut ke publik, maka pasti ada something wrong. Lalu di bulan Mei-nya, Pefindo kembali menurunkan rating obligasi AISA, dan investor mulai was-was terutama karena AISA ketika itu bahkan masih belum merilis laporan keuangan (LK) untuk tahun penuh 2017. Ketika itu AISA masih di 480-an, turun dari 600an di bulan April, tapi turunnya lebih karena koreksi pasar. Karena tidak mau ambil risiko, penulis akhirnya jual AISA ini setelah sahamnya ketika itu rebound ke 580.
Lalu memasuki Juni 2018, AISA akhirnya merilis LK untuk tahun penuh 2017, dimana perusahaan secara mengejutkan membukukan rugi Rp552 milyar! Penulis katakan mengejutkan, karena di Kuartal III-nya, AISA masih mencatat laba bersih Rp173 milyar. Tapi memang pada laporan keuangannya untuk tahun penuh 2017 inilah, AISA mulai melaporkan biaya-biaya yang memang seharusnya sudah dicatat sejak awal, seperti penyisihan penurunan nilai piutang (salah satunya piutang penjualan saham GOLL, karena kan perusahaan masih nggak terima duitnya?), rugi penghapusan persediaan karena divestasi anak usaha, penurunan nilai goodwill, dst. Kesemua beban tersebut, ditambah pendapatan AISA sendiri turun karena kasus pabrik berasnya sejak beberapa bulan sebelumnya, pada akhirnya membuat perusahaan menderita rugi bersih untuk tahun 2017.
Alhasil tak lama setelah perusahaan merilis LK-nya, saham AISA ambyar sampai 200-an. Masih di bulan Juni 2018, manajemen AISA menyatakan bahwa mereka belum berhasil menjual unit usaha berasnya, tanpa menyebut secara spesifik dimana letak masalahnya.
Daaan puncaknya adalah ketika pada tanggal 5 Juli 2018, AISA kembali mengumumkaan bahwa manajemen tidak memiliki uang kas yang cukup untuk membayar bunga salah satu utang obligasinya, yang jatuh tempo pada tanggal tersebut. Ketika itu AISA sudah terkapar di 168, dan pihak BEI segera men-suspen sahamnya. Setelah itu terjadi kisruh dimana pada RUPS yang diselenggarakan kemudian, Tuan Mogoginta ditendang keluar sama sekali dari perusahaan, dan manajemen AISA yang baru (tidak ada informasi, siapa pemilik baru AISA setelah Tuan Mogoginta dikudeta, tapi kemungkinan masih KKR. Karena salah satu komisaris AISA yang juga managing director di KKR Singapura, yakni Jaka Prasetya, ia masih menjabat sebagai komisaris perusahaan sampai sekarang) kemudian menyajikan ulang LK perusahaan untuk tahun 2017, dimana perusahaan mencatatkan ‘cadangan kerugian penurunan nilai’ atas aset anak-anak usahanya, yang tidak lagi dikonsolidasikan sebagai milik perusahaan, termasuk GOLL dan PT IBU. Hasilnya, AISA menderita rugi Rp5.2 trilyun di tahun 2017, dan ekuitasnya menjadi minus Rp3.3 trilyun.
Reformasi Total Perusahaan
Meski demikian, sepanjang tahun 2018, manajemen baru AISA sukses merestrukturisasi seluruh utang-utangnya (melalui mekanisme penundaan kewajiban pembayaran utang, atau PKPU), termasuk menjual/melikuidasi anak-anak usahanya yang tidak lagi produktif, dan AISA itu sendiri tidak sampai pailit. Lalu diluar huru hara yang terjadi di tingkat pemegang saham, maka kegiatan operasional AISA untuk anak-anak usahanya yang masih dipegang, termasuk snack Taro, itu tetap berjalan seperti biasa, dan masih menghasilkan pendapatan dan laba. Sehingga perlahan tapi pasti, defisiensi modalnya terus berkurang (meskipun hingga Kuartal I 2020, angkanya masih tetap minus).
Kemudian pada tahun 2019, tepatnya tanggal 7 Agustus 2019, manajemen AISA mengumumkan penerbitan 1.6 milyar saham baru dengan harga pelaksanaan Rp210 per saham, yang diambil seluruhnya oleh PT FKS Food And Ingredients, anak usaha dari FKS Group, yang merupakan salah satu grup usaha pangan terbesar di Indonesia yang sudah berdiri sejak tahun 1970, dan juga merupakan salah satu importir kedelai terbesar di Indonesia melalui anak usahanya yakni PT FKS Multi Agro, Tbk (FISH).
Sehingga dengan demikian, AISA kini memperoleh pemilik baru, dan FKS Group sendiri masih akan terus menyetor tambahan modal ke perusahaan, termasuk melalui right issue, yang mekanisme pelaksanaannya baru akan diputuskan pada RUPS tanggal 30 September 2020 nanti. Dan karena semua masalah pembayaran utang perusahaan dinilai sudah beres, termasuk AISA juga kini sudah jelas ‘dimiliki oleh siapa’, BEI akhirnya membuka kembali perdagangan AISA pada hari Senin, 31 Agustus kemarin. However, kemungkinan karena perusahaan per Kuartal I 2020 masih membukukan ekuitas minus Rp1.3 trilyun, maka jadilah sahamnya bablas turun, dan mungkin masih akan lanjut turun kecuali jika nanti right issue-nya dilakukan pada harga atas.
Okay Pak Teguh, tapi kesemua cerita diatas masih belum menjelaskan, bagaimana kinerja AISA saat ini? Dan apakah setelah perusahaan diambil alih FKS Group, maka prospeknya sudah kembali cerah, atau masih suram seperti tahun 2017 – 2018 lalu? Lalu bagaimana dengan saham AISA itu sendiri? Apa benar nilai wajar market capnya di Rp500 milyar sekian?
Well, karena tulisannya sudah cukup panjang, maka untuk lanjutannya bisa anda baca disini.
***
Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisis saham pilihan edisi Kuartal II 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500.
Video
seminar dengan tema ‘Berburu Saham Mutiara Terpendam/Multibagger’, bisa diperoleh disini.
Komentar
Sebelumnya kenal PT Tiga Pilar Sejahtera karena client saya menjadi salah satu supplier TPS. Client saya punya piutang yang sampai saat ini masih dicicil pembayarannya oleh TPS.
Info dr client saya memang bisnis TPS masih jalan terutama snack Taro.
Ditunggu kelanjutan analisanya Pak Teguh.