Penyebab Saham SOHO Naik Terus: Multibagger?
Salah satu saham pendatang baru di bursa, PT Soho Global Health, Tbk (SOHO), belakangan menjadi pusat perhatian setelah autoreject atas terus menerus, hingga harganya naik dari Rp1,820 ketika sahamnya melantai di bursa pada tanggal 8 September kemarin, hingga sempat menyentuh 16,300 pada Rabu, 23 September, alias melejit hampir 9 kali lipat hanya dalam waktu dua minggu! Dan hebatnya itu terjadi ketika IHSG, seperti yang kita ketahui, cenderung turun sepanjang September ini. Nah, jadi apakah SOHO ini memang bagus? Dan apa sebenarnya yang menyebabkan kenaikannya yang tidak wajar tersebut?
***
Ebook Market Planning yang berisi analisa pasar dan rekomendasi saham edisi Oktober 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk subscriber.
Jadwal Webinar: Sabtu, 17 Oktober 2020, pagi pukul 09.00 WIB. Untuk bergabung, klik infonya disini.
***
PT Soho Global Health, Tbk adalah perusahaan farmasi yang sudah berdiri dan beroperasi sejak tahun 1956, ketika itu sebagai hasil merger dari dua perusahaan farmasi asal Belanda yang beroperasi di Indonesia dengan nama NV Soho dan NV Ethica Handel Maatschappij, yang masing-masing memproduksi obat-obatan resep dan injeksi. Kemudian dalam perjalanannya, perusahaan banyak masuk ke berbagai lini usaha namun tetap fokus di bidang farmasi, seperti mengembangkan usaha distribusi produk-produk farmasi, bekerja sama dengan perusahaan farmasi internasional untuk memasarkan produknya di Indonesia, memproduksi produk kesehatan konsumen, memproduksi peralatan medis, masuk ke segmen obat-obatan generik dan obat herbal, memproduksi obat suplemen dan makanan bernutrisi, dan mengembangkan sejumlah merk-merk obat ringan yang dijual bebas di toko-toko kelontong.
Dan hasilnya, pada hari ini, SOHO dikenal sebagai perusahaan farmasi pemilik merk-merk yang cukup populer seperti Imboost (suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh), Curcuma (multivitamin untuk anak), Fitkom (suplemen untuk anak), Diapet (obat diare), dan Laxing (obat diet). Sejumlah merk milik perusahaan, seperti Diapet, adalah merupakan market leader di tingkat nasional di segmennya. Jika melihat nilai aset perusahaan (Rp3.4 trilyun per akhir tahun 2019, sebelum IPO), nilai penjualan, serta kekuatan merk dari produk-produknya, maka SOHO ini kurang lebih sejajar dengan Sido Muncul (SIDO), tapi masih dibawah Tempo Scan Pacific (TSPC), dan Kalbe Farma (KLBF).
Kemudian kinerjanya, sejak 2017 sampai dengan Kuartal I 2020, maka nilai aset, ekuitas, pendapatan, dan laba bersihnya konsisten naik, tapi dengan ROE yang sangat kecil untuk ukuran perusahaan farmasi, yakni kurang dari 10%, dan ini mengherankan karena pendapatan SOHO setiap tahunnya cukup besar/sama seperti perusahaan farmasi lainnya yang sudah mapan, yakni bisa mencapai 1.5 kali dari nilai total aset perusahaan (beban operasional SOHO sudah besar sejak dari beban pokok penjualannya, sehingga margin labanya jadi kecil. Tapi dalam hal ini SOHO tidak sendirian, karena Indofarma (INAF) atau Kimia Farma (KAEF) juga mengalami masalah yang sama). Tapi yang jelas dalam hal inilah, fundamental SOHO kalah jauh dibanding katakanlah KLBF, atau SIDO. Secara prospek juga SOHO ini kurang jelas, karena kalau dari rencana penggunaan dana hasil IPO-nya, hanya disebutkan bahwa itu akan digunakan untuk memberikan pinjaman ke anak usaha perusahaan, PT Parit Padang Global, untuk membeli persediaan barang dagang. Tapi nominal pinjamannya berapa, itu tidak disebutkan.
Okay, lalu kenapa ketika SIDO, TSPC, dan KLBF relatif gak kemana-mana, atau hanya naik sedikit saja, maka SOHO ini terbang sendiri? Bahkan pada harganya sekarang yakni Rp10,975 per saham, maka market cap SOHO mencapai Rp13.9 trilyun, dan itu dua kali diatas market cap TSPC yang hanya Rp6.1 trilyun, padahal TSPC ini lebih besar. Nah, sebenarnya kalau anda perhatikan lagi, gak cuma SOHO, melainkan ada banyak saham yang baru IPO di bulan yang sama (September 2020), yang kemudian harganya melejit tinggi. Sebut saja Planet Propertindo Jaya (PLAN), Morenzo Abadi Perkasa (ENZO), Rockfields Properti Indonesia (ROCK), Grand House Mulia (HOMI), Puri Global Sukses (PURI), Selaras Citra Nusa Perkasa (SCNP), Kurniamitra Duta Sentosa (KMDS), dan Bank Bisnis Internasional (BBSI). Dan hingga ketika artikel ini ditulis, maka berbeda dengan SOHO yang mulai turun lagi, beberapa saham diatas bahkan masih lanjut terbang hingga 10 – 15% setiap harinya.
Sehingga mungkin muncul pertanyaan, apakah saham-saham IPO inilah yang oleh para value investor disebut sebagai saham mutiara terpendam alias multibagger, yang bisa menghasilkan cuan hingga ratusan persen hanya dalam waktu singkat? Jadi daripada beli BBCA dkk, yang ujung-ujungnya turun lagi, maka kenapa kita gak beli SOHO ini saja??
Nah, seperti yang sudah penulis jelaskan disini, saham mutiara terpendam itu ada dua jenis, yakni growth stock, dan turnaround stock. Yang dimaksud turnaround stock adalah saham yang sebelumnya turun sangat signifikan entah itu karena IHSG sedang terkoreksi, atau karena kinerja perusahaannya memang sedang turun, sedangkan perusahaannya masih baik-baik saja dan beroperasi dengan normal, tapi kemudian valuasinya menjadi sedemikian murahnya dimana ketika nanti ekonomi pulih, dan perusahaan berbalik membukukan laba besar (makanya disebut turnaround), maka sahamnya bisa naik berlipat-lipat. Yep, jadi bayangkan saham A yang turun dari 1,000 hingga tinggal 100, karena kinerjanya turun, plus pasarnya crash. Tapi begitu perusahaan kembali membukukan laba, maka dari harga 100 itu dia bisa naik lagi ke 1,000. Sehingga kalau ada investor yang baru masuk di harga 200, 300, atau 400 sekalipun, maka mereka tetap cuan ratusan persen. Penulis sejak tahun 2010 sudah banyak memberikan contohnya di blog ini, misalnya saham perkapalan yang satu ini.
Okay, lalu bagaimana dengan kenaikan yang dialami oleh SOHO, dan juga saham-saham IPO lainnya? Well, itu bukan multibagger, melainkan saham gorengan. Dan penjelasan lengkapnya bisa anda baca lagi disini, tapi biar penulis sampaikan lagi dengan singkat disini: Jika perusahaan besar dan populer menggelar IPO, maka biasanya mereka tidak akan kesulitan menawarkan sahamnya ke investor publik, lalu dapet uang dari situ untuk pengembangan perusahaan. Tapi untuk perusahaan kecil yang ‘nama perusahaannya saja baru kita dengar’, dan apalagi dalam kondisi dimana pasar anjlok seperti sekarang, maka sulit sekali untuk menjual saham langsung ke publik.
Maka solusinya, yang ambil sahamnya adalah pihak owner dari perusahaan itu sendiri, kemudian mereka memperjual belikan sahamnya di pasar, alias menggoreng sahamnya, dimana setiap transaksi dilakukan pada harga yang lebih tinggi dari transaksi sebelumnya, sehingga harga sahamnya naik terus. Dan ketika kenaikan sahamnya sudah cukup menarik perhatian investor publik (baca: Mulai ada investor ritel yang membeli saham tersebut, dengan harapan besoknya bakal terbang lagi), maka barulah Mr. Bandar ini mulai jualan ke investor publik, sehingga mereka memperoleh keuntungan substansial yang, ironisnya, berasal dari kerugian investor. Karena biasanya setelah itu sahamnya akan turun lagi, seringkali sampai mati di gocap karena sejak awal fundamentalnya tidak mendukung (sekali lagi, baca ulasannya disini).
Dan actually inilah biang kerok kenapa ada banyak asset management/reksadana yang kolaps setelah kinerja mereka anjlok besar-besaran pada tahun 2019 lalu (catat: Ketika itu belum ada corona, dan IHSG masih di 6,000-an. Jadi para reksadana ini bahkan ada yang sudah rugi 50 – 70%, ketika pasar sejatinya masih aman-aman saja), termasuk juga lembaga pemerintah seperti Jiwasraya dan Asabri, dimana mereka membeli saham-saham gorengan, termasuk yang baru IPO (‘baru IPO’ disini maksudnya baru IPO sejak tahun 2015, atau lebih baru lagi), tapi kemudian saham-saham gorengan ini turun gak karu-karuan. Yup, jadi dalam hal ini korbannya gak cuma investor ritel, tapi juga institusi. Salah satu saham gorengan yang paling banyak makan korban adalah Totalindo Eka Perkasa (TOPS), yang IPO pada bulan Juni 2017 pada harga perdana 310, dan setelah itu digoreng gila-gilaan hingga beberapa bulan kemudian tembus 4,000-an, dan sahamnya banyak di-repo-kan (apa itu repo? Baca penjelasannya disini) sehingga ada banyak investor yang terjebak karena ditawari membeli di harga 4,000-an tersebut, atau di harga 800-an (pada bulan Agustus 2018, tiba-tiba saja TOPS ini drop ke 800-an), tentunya dengan iming-iming bunga sekian persen bla bla bla.
Nah, tapi berapa saham TOPS sekarang? Mati di gocap, tentu saja. Lalu bagaimana dengan sekuritas yang menawarkan repo TOPS itu tadi? Juga sudah ditutup. Atau anda masih ingat dengan saham Sentral Mitra Informatika (LUCK), yang di-endorse dan digoreng oleh sebuah perusahaan perencanaan keuangan yang sangat populer, tapi ujung-ujungnya sahamnya anjlok juga.
Gak Kapok-Kapok!
Dan meski penulis sudah sering teriak di koran, bahwa pihak BEI dan OJK sebaiknya memperbaiki kualitas dari saham-saham yang mau IPO ini agar Kasus Jiwasraya dkk tidak terulang lagi, atau memberlakukan moratorium IPO untuk memulihkan kepercayaan investor, tapi sepertinya suara saya tidak digubris, karena nyatanya sampai September ini, saham-saham gorengan anyar terus membanjiri bursa, dan beberapa diantaranya sukses menarik perhatian ritel seperti SOHO itu tadi.
Jadi mungkin pada akhirnya, saya tetap harus kerja sendiri untuk mengingatkan temen-temen investor: Hati-hati dengan saham-saham seperti ini. Karena sebenarnya gak susah juga untuk membedakan antara saham yang beneran berpotensi multibagger, dengan saham-saham IPO gorengan. Contohnya, anda mungkin masih ingat kalau value investor paling senior di Indonesia, Pak Lo Kheng Hong, beliau membeli saham Global Mediacom (BMTR), dan diluar itu beliau juga ada beli saham-saham lain yang semuanya diskonan, entah itu PBV-nya nol koma, atau PER-nya kurang dari 5 kali.
Tapi apakah Pak LKH pernah kedengaran beli saham SOHO, misalnya? Tidak. Dan beliau juga tidak pernah membeli saham-saham IPO atau gorengan yang disebut diatas (sebagai investor besar, maka kalau Pak LKH ada beli saham tertentu, investor publik biasanya akan otomatis tahu, bahkan meski beliau diam saja/gak ngomong-ngomong, karena nilai pembeliannya besar/minimal sekian ratus milyar Rupiah), termasuk penulis pribadi juga tidak pernah beli saham-saham gorengan tersebut. Tentunya, ini bukan berarti semua saham yang dibeli oleh Pak LKH pasti bakal profit, namun juga tidak sulit untuk melihat bahwa saham-saham yang dibeli oleh Pak LKH memiliki karakter fundamental dan valuasi yang sepenuhnya berbeda dengan saham-saham seperti SOHO, TOPS dll. Dan mau SOHO lanjut terbang sampai 20,000 sekalipun, maka penulis yakin, yang akan ramai membicarakannya hanyalah para trader yang memang sejak awal cukup sadar bahwa jika mereka membeli sahamnya, maka itu spekulasi yang berisiko sangat tinggi. Sedangkan untuk para fundamentalis, kita memiliki saham-saham pilihan milik kita sendiri.
Anyway, untuk minggu depan kita akan sharing update kondisi pasar, terkait kemungkinan resesi di Kuartal III 2020, serta bagaimana strategi yang disarankan.
***
Ebook Market Planning yang berisi analisa pasar & rekomendasi saham edisi Oktober 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG dibawah 5,500, dan juga gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk subscriber.
Jadwal
Webinar:
Sabtu, 17 Oktober 2020, pagi pukul 09.00 WIB. Untuk bergabung, klik infonya disini.
Komentar
Sangat disayangkan bahwa pasar modal kita masih dipenuhi aksi2 korporasi seperti yg bapak sebutkan diatas. Semoga teman2 investor retail cukup telaten untuk mempelajari konsep value investing seperti yg bapak bagikan di blog ini sehingga terhindar dari aksi aksi kriminal komplotan berkerah putih.
Salam dari saya pembaca setia teguhidayat.com
biasanya bapak memberikan penjelasan komprehensif dr sisi laporan keuangannya...