Indonesia di Masa Lalu, Hari Ini, dan 10 Tahun yang Akan Datang
Ketika saya untuk pertama kalinya belajar tentang dunia keuangan, dan khususnya investasi saham pada tahun 2009 lalu, maka saya mendengar satu pepatah dari negeri China yang masih saya ingat sampai hari ini, ‘Waktu terbaik untuk menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu. Dan waktu kedua terbaik untuk menanam pohon adalah sekarang.’ Sebagai investor saham itu sendiri, saya mengartikan pepatah itu sebagai, jika kita ingin sukses, maka kita harus mulai saat ini juga. Karena waktu yang sekarang ini akan dianggap sebagai ‘waktu terbaik untuk berinvestasi’ pada 20 tahun yang akan datang.
***
Jadwal Webinar Value Investing, Sabtu 26 September 2020. Info selengkapnya baca disini, contact person whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
***
Meski demikian, jika anda sendiri juga mulai berinvestasi di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2009 atau 2010 lalu, maka kemungkinan dalam 10 tahun terakhir ini hasilnya boleh dibilang kurang memuaskan seiring dengan pergerakan IHSG, yang jauh ketinggalan dibanding indeks-indeks saham lainnya di seluruh dunia. You see, pada September 2010, IHSG berada di posisi 3,300-an, dan 10 tahun kemudian, yakni ketika kolom ini ditulis, IHSG hanya naik sedikit saja ke 5,016. Karena IHSG itu sendiri sudah tembus 5,214 pada Mei 2013, maka bisa dikatakan bahwa rata-rata investor hanya menerima keuntungan dalam bentuk dividen saja selama tujuh tahun terakhir ini, itupun jika perusahaan yang mereka pegang sahamnya memang membayar dividen, namun tanpa memperoleh capital gain, sama sekali.
Dan pergerakan IHSG tersebut memang selaras dengan perkembangan ekonomi makro di dalam negeri, dimana setelah Indonesia mengalami puncak pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 lalu, thanks to booming komoditas ketika itu, maka kesininya ekonomi kita cenderung stagnan, sebelum kemudian turun karena dampak Covid-19. Yup, jadi bagi investor, pengusaha, dan pelaku ekonomi pada umumnya di Indonesia, maka periode 2010 – 2020 memang tidak sebaik katakanlah periode 2000 – 2010, dimana ekonomi ketika itu tumbuh sangat pesat pasca krisis moneter 1998.
Tapi mungkin, kita tidak bisa sepenuhnya mengatakan bahwa kita ‘tidak memperoleh apa-apa’ selama 10 tahun terakhir ini. Menurut investor legendaris, Warren Buffett, ada dua jenis pertumbuhan yang bisa dinikmati oleh investor pemilik perusahaan. Yang pertama adalah laba bersih, yang meningkatkan/menumbuhkan nilai buku/ekuitas perusahaan, dan yang kedua adalah pertumbuhan inti, yang meski tidak tercermin pada perolehan laba dan/atau kenaikan ekuitas perusahaan, tapi tetap meningkatkan nilai intrinsik perusahaan.
Dan yang dimaksud pertumbuhan inti adalah, ketika sebuah perusahaan membangun pabrik baru, atau menambah kapasitas produksi, maka hasilnya mungkin tidak akan langsung kelihatan/laba perusahaan tidak langsung naik, bahkan mungkin ekuitas perusahaan akan turun karena membengkaknya biaya-biaya. Namun perusahaan tersebut sekarang lebih berpeluang untuk membukukan laba yang lebih besar di masa yang akan datang, dibanding ketika dulu mereka masih belum memiliki pabrik/kapasitas produksinya masih kecil. Dalam hal inilah kita bisa katakan bahwa perusahaan mengalami pertumbuhan inti.
Sehingga, jika kita kembali ke masalah ekonomi nasional, maka meski GDP Indonesia cenderung jalan ditempat sejak tahun 2011, tapi dalam 10 tahun terakhir ini kita tetap mengalami pertumbuhan inti seperti yang disebut diatas, yakni dalam bentuk 1. Pembangunan infrastruktur, termasuk pemerataan pembangunan untuk membuka potensi ekonomi di daerah, 2. Pencabutan subsidi BBM dll oleh pemerintah, lalu dananya dialihkan untuk infrastruktur dan pendidikan, 3. Penggalakkan pajak (saya tidak suka mengatakan ini, tapi tidak ada negara maju yang warganya tidak disiplin masalah pajak), 4. Perkembangan industry 4.0 termasuk ecommerce yang mepermudah dan meningkatkan semua jenis transaksi ekonomi, dan 5. Meningkatnya edukasi & literasi masyarakat di bidang ekonomi dan keuangan, termasuk pasar saham.
Nah, seperti yang bisa anda lihat diatas, berbagai faktor seperti pembangunan infrastruktur, pencabutan subsidi, hingga penggalakkan pajak, maka dalam prosesnya itu justru membuat ekonomi jadi stagnan, namun setelah itu GDP Indonesia bisa melompat tinggi di masa yang akan datang. Dalam hal ini saya teringat dengan Deng Xiaoping, pemimpin tertinggi di Negeri China yang meluncurkan reformasi ekonomi antara tahun 1979 – 1994, membangun infrastruktur, termasuk membuka kesempatan bagi perusahaan/investor asing untuk masuk ke China, serta mepromosikan slogan ‘Time is Money, Efficiency is Life’, yang pada intinya mendorong rakyat China untuk bekerja lebih keras, dan sekaligus bergaya hidup lebih hemat.
Dan hasilnya, antara tahun 1979 – 1994, GDP China tumbuh lebih lambat dari $264 menjadi $564 milyar dalam waktu 15 tahun. Sebagai perbandingan, pada periode 15 tahun sebelumnya yakni 1964 - 1979, GDP China meningkat tiga kali lipat dari $60 menjadi $264 milyar. Kinerja ekonomi yang tampak buruk selama era kekuasaan Deng tentunya menimbulkan pergolakan di China itu sendiri, mulai dari unjuk rasa mahasiswa, hingga puncaknya insiden Tiananmen Square di tahun 1989.
Namun satu generasi kemudian, pada hari ini China sudah merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, dan bahkan hingga tahun 2019 kemarin GDP-nya masih terus menanjak sebesar 5 – 6% per tahun. Dan demikian pula Shanghai Stock Exchange, yang meski baru diaktifkan lagi pada tahun 1990, tapi sekarang sudah menjadi bursa saham terbesar No.4 di dunia (setelah NYSE, Nasdaq, dan Japan Exchange Group) dari sisi market cap.
Okay, lalu bagaimana dengan Indonesia? Nah, karena pembangunan infrastruktur dll baru dimulai tepatnya sejak tahun 2014, maka prosesnya masih membutuhkan waktu, selain karena ‘PR’-nya memang masih sangat banyak. Namun yang jelas proses tersebut sudah dimulai, dan sampai hari ini masih terus berjalan. Sehingga pada akhirnya nanti, potensi ekonomi Indonesia sebagai salah satu negara terluas dan jumlah penduduk terbesar di dunia akan terbuka secara maksimal. Dalam banyak kesempatan saya sudah menyampaikan bahwa meski ekonomi Indonesia masih kalah jauh dibanding misalnya Jepang atau Korea Selatan, tapi cuma soal waktu sebelum kita akan menyalip mereka. Karena seperti halnya Amerika Serikat, China, dan India, maka Indonesia adalah juga negara besar dan luas, dengan banyak potensi sumber daya ekonomi yang belum dioptimalkan.
Sehingga dalam waktu 10 – 20 tahun kedepan, saya percaya bahwa Indonesia eventually akan menjadi negara maju. Saat ini Indonesia hanya memiliki belasan orang billionaire (in term of US Dollar), dan itu jauh dibawah China yang memiliki hampir 400 orang billionaire. Namun dalam waktu 10 – 20 tahun kedepan, saya percaya bahwa Indonesia akan memiliki setidaknya 50 billionaire. Well, mungkin anda salah satu diantaranya?
Dan dalam hubungannya dengan pasar saham, maka mereka yang berinvestasi disini pada hari ini, atau sejak 10 tahun lalu, juga akan menikmati buahnya dalam waktu 10 – 20 tahun yang akan datang. Dan actually inilah alasan kenapa saya tidak tertarik untuk membeli saham diluar negeri, melainkan sepenuhnya berinvestasi di Indonesia saja. Karena Indonesia pada hari ini adalah seperti Amerika Serikat 60 tahun yang lalu, atau China 30 tahun yang lalu. Dan berhubung pada tahun 2020 ini kita juga sedang mengalami resesi terburuk sejak krisis 1998 lalu, maka bisa jadi inilah kesempatan yang sudah lama kita tunggu-tunggu, untuk melompat jauh lebih tinggi di masa yang akan datang!
Artikel ini akan dipublish di Forbes Indonesia Magazine Special Edition 10th Anniversary, terbit di bulan Oktober 2020.
***
Jadwal
Webinar Value Investing, Sabtu 26 September 2020. Info selengkapnya baca
disini, contact person whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
Komentar
Terima kasih pak Teguh, ulasannya membuat saya kembali tetap optimis dalam berinvestasi untuk masa depan.