Special Report: Transaksi Repo Saham Jaya Bersama Indo (DUCK)?
Pada hari Senin kemarin, 10 Agustus 2020, PT Jaya Bersama
Indo, Tbk (DUCK) merilis keterbukaan informasi yang menyebutkan bahwa PT
Asia Kuliner Sejahtera (AKS), yang merupakan pemegang saham pengendali perusahaan, telah menjual saham DUCK sebanyak 24 juta lembar pada harga Rp440
per saham. Tidak ada penjelasan soal apa alasan penjualan tersebut, kecuali
disebutkan bahwa itu terkait transaksi/kontrak repo. Dengan penjualan tersebut,
AKS kini tinggal memegang 260 juta lembar saham DUCK, yang setara 20.3% saham
beredar perusahaan.
***
Ebook
Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisis saham pilihan edisi Kuartal
II 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon khusus selama
IHSG masih dibawah 5,500.
***
Catatan: Meski saya berusaha menyampaikan dengan bahasa sesederhana
mungkin, namun artikel ini mungkin merupakan salah satu analisa paling rumit
yang pernah penulis tulis di blog ini. Sehingga untuk benar-benar memahaminya, anda
disarankan untuk membacanya secara pelan-pelan, dan berulang-ulang.
Seluruh informasi dan angka-angka yang disampaikan disini diperoleh dari dokumen-dokumen
yang dirilis oleh DUCK, VICO, dan MINA, yang dipublish di www.idx.co.id.
Namun jauh sebelum itu, AKS sudah mulai jualan saham DUCK paling tidak
sejak tanggal 16 Oktober 2019, dimana AKS, yang ketika itu masih memegang 50.8%
saham DUCK, menjual 4 juta lembar saham DUCK pada harga Rp1,500 per saham, juga
dengan tujuan kontrak repo. Setelah itu, AKS terus melaporkan bahwa mereka
melepas saham DUCK di market, dengan harga jual yang hampir selalu lebih rendah
dibanding harga jual pada penjualan sebelumnya. Tapi tidak hanya AKS: Dua
pemegang saham lainnya di DUCK, yakni PT Investra Nusa Tama (INT), dan investor
perorangan bernama Edy Suwarno, juga terus melepas saham mereka sejak setidaknya
tahun 2019 lalu, sehingga nama mereka kemudian hilang dari daftar pemegang
saham DUCK.
Siapa itu Edy Suwarno?
Dan setelah penulis pelajari, ada banyak poin-poin menarik dari historis
kepemilikan saham DUCK oleh Edy Suwarno, and here we go. Pada
tanggal 12 November 2018, Tuan Edy membeli 168 juta lembar saham DUCK pada
harga Rp600. Lalu pada tanggal 25 Februari 2019, diketahui bahwa Tuan Edy
menjual sebagian sahamnya pada harga Rp1,465 (dan saham DUCK ketika itu memang
berada di 1,400-an), sehingga ia tinggal memegang 99 juta lembar saham DUCK,
setara 7.7% saham beredar DUCK. Beberapa waktu kemudian, kemungkinan Tuan Edy
kembali menjual sahamnya, tapi karena setelah penjualan tersebut ia memegang
saham DUCK kurang dari 5%, maka ia tidak perlu lagi melaporkannya ke otoritas,
sehingga tidak ada keterbukaan informasinya. Namun dengan asumsi Edy Suwarno melepas
seluruh sahamnya di DUCK pada atau sebelum bulan Oktober 2019, maka ia bisa
dipastikan meraup keuntungan besar, karena antara Januari – Oktober 2019, saham
DUCK di pasar berada di level 1,400 – 1,900.
Tinggal pertanyaannya, Edy Suwarno ini beli saham DUCK hingga sebanyak
168 juta lembar dari siapa? Mengingat saham sebanyak itu dibeli pada satu harga
saja, yakni Rp600 per saham, maka tidak mungkin Tuan Edy ini membeli saham DUCK
dari investor publik, melainkan ia membelinya dari penjual tunggal. Menariknya
lagi, transaksinya dilakukan persis satu bulan (tanggal 12 November 2018),
setelah saham DUCK itu sendiri melantai di bursa pada tanggal 10 Oktober 2018,
dan harga DUCK di pasar ketika itu sudah naik tajam dari harga IPO-nya yakni Rp505,
menjadi Rp1,600-an. Jadi bagaimana ceritanya Edy Suwarno ini bisa dapat saham
DUCK hanya pada harga Rp600 saja?
Kemudian, Edy Suwarno ini sebenarnya siapa? Nah, kalau anda googling
nama tersebut, maka akan muncul banyak artikel dan berita, namun bisa jadi itu
adalah ‘Edy Suwarno’ yang lain (karena nama tersebut cukup umum, sama seperti
orang dengan nama ‘Teguh Hidayat’ juga ada banyak). Tapi jika kita lihat lagi
dokumen kepemilikan saham yang dirilis perusahaan-perusahaan Tbk di BEI, maka
penulis menemukan bahwa Edy Suwarno ini juga memegang saham dalam jumlah besar di
PT Sanurhasta Mitra, Tbk (MINA), dan penulis yakin 100% bahwa ini adalah orang
yang sama karena alamat tempat tinggalnya sama, dan tanda tangannya juga
sama.
Keterbukaan informasi ketika Edy Suwarno membeli saham DUCK (atas), dan ketika menjual saham MINA (bawah) |
Dan ternyata, berdasarkan informasi dari laporan tahunan MINA untuk
tahun 2019, Tuan Edy adalah komisaris utama sekaligus pemegang saham pengendali
di MINA itu tadi. Selain MINA, yang bersangkutan juga memegang saham dan menjabat
(atau pernah memegang saham/pernah menjabat) sebagai komisaris di beberapa
perusahaan Tbk seperti PT Bumi Teknokultura Unggul, Tbk (BTEK), PT Bukit Uluwatu
Villa, Tbk (BUVA), dan PT Minna Padi Sekuritas, Tbk (PADI).
Sehingga tidak hanya di DUCK, namun Tuan Edy ini banyak memegang saham
dari perusahaan-perusahaan Tbk lainnya dalam jumlah besar, mungkin bisa disebut
sama seperti Pak Lo Kheng Hong. Bedanya, jika Pak LKH tidak turut campur ke dalam
manajemen perusahaan, maka Tuan Edy ada masuk juga ke manajemen, meskipun hanya
sebagai komisaris.
Kembali ke DUCK. Ketika Tuan Edy membeli 168 juta saham DUCK pada harga
Rp600 per saham, tujuan transaksinya disebutkan sebagai ‘eksekusi perjanjian
penjualan dan pembelian kembali saham’, alias repo (apa itu repo? Baca penjelasannya
disini). Yep, jadi kemungkinan AKS lah, yang merupakan pemegang
saham pengendali di DUCK, yang menjual 168 juta lembar saham DUCK itu ke Tuan
Edy, karena sebelumnya saham IPO-nya tidak laku. Kenapa penulis katakan tidak
laku? Karena sebelum DUCK ini melantai di bursa, harga IPO-nya direncanakan pada
rentang Rp1,550 – 1,950 per saham, tapi realisasinya ternyata hanya di Rp505
saja, dan ini jelas aneh karena secara valuasi, pada harga 505 itu DUCK terbilang
sangat murah (padahal biasanya saham IPO itu mahal, baca lagi ulasannya
disini). Kemudian memang pada Oktober 2018, pasar juga sedang lesu-lesunya
dimana IHSG terkapar di 5,700-an, turun signifikan dibanding awal tahun 2018 di
6,600-an, dan semua orang sedang nyangkut sehingga mereka tidak bersemangat
untuk masuk di saham IPO, entah itu DUCK atau lainnya.
Jadi bisa dibilang bahwa timing IPO DUCK ini kurang tepat,
sehingga nggak laku. Dan kemungkinan pada harga segitu pun (505), saham anyar DUCK
yang sebanyak 404 juta lembar tetap tidak diserap sepenuhnya oleh publik.
Alhasil, AKS kemudian mencari ‘investor strategis’ yang bisa membeli saham yang
tidak laku tersebut, dan ketemulah Edy Suwarno. Inilah yang menjelaskan kenapa
Tuan Edy memperoleh saham DUCK pada harga 600, ketika saham DUCK di market
sudah di 1,600-an. Sebab kalau anda ditawari repo saham, maka biasanya nilai
jaminannya jauh lebih besar dari nilai dana yang harus anda setor. Dalam
hal ini Tuan Edy kemudian menanggung risiko dimana jika AKS tidak bisa membeli
kembali saham yang dijaminkan, maka ia akan rugi besar, kecuali jika ia bisa
menjual saham DUCK di pasar pada harga yang minimal sama dengan dengan harga
belinya (Rp600). Tapi karena harga DUCK di pasar ketika itu mencapai 1,600,
maka Tuan Edy kemudian mengambil risiko tersebut.
However, Edy Suwarno kemungkinan bukanlah satu-satunya investor strategis yang
ditawari saham DUCK oleh AKS. Sebab seperti disebut diatas, saham DUCK ini pernah
juga dipegang (atau masih dipegang?) dalam jumlah besar oleh setidaknya empat institusi, yakni PT Penasehat Investasi Indonesia, PT Investra Nusa Tama, PT Victoria Investama, Tbk, dan
PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, tapi kepemilikan insitusi-institusi tersebut terhadap
saham DUCK cenderung berubah-ubah dari waktu ke waktu, yang itu artinya
mereka trading saham DUCK, dan tidak berniat untuk hold saham perusahaan
untuk seterusnya. Sebagai contoh, per 31 Desember 2019, PT Mirae memegang 14.9%
saham DUCK, dan pada 31 Juli 2020 angkanya naik menjadi 36.2%, namun nama Edy
Suwarno dan INT sudah tidak ada.
Kesimpulan
Jika kita jahit-jahit semua informasi diatas, maka bisa diambil
kesimpulan sebagai berikut: Ketika PT Asia Kuliner Sejahtera meng-IPO-kan DUCK
pada Oktober 2018 lalu, maka rencana awalnya cukup ambisius, dimana dana yang dihasilkan
akan digunakan untuk membuka banyak gerai baru ‘Duck King’ di Jawa, Bali,
Sulawesi, Kalimantan, bahkan hingga Vietnam, Kamboja, dan Myanmar, plus untuk renovasi
gerai yang sudah ada. However, karena timing IPO-nya yang salah, maka
dana yang bisa dihasilkan hanya Rp204 milyar saja (harga IPO Rp505 dikali 404
juta lembar saham baru), itupun kalau semua sahamnya diserap oleh publik. Tapi
karena tidak semua saham IPO DUCK diserap publik, maka sisanya kemudian ditawarkan
ke sejumlah investor strategis, termasuk Edy Suwarno.
Namun ketika akhirnya diperoleh dana Rp200 milyar sekian, maka itu juga
masih belum cukup. Sebagai dasar perhitungan, per akhir tahun 2019, DUCK
memiliki dan mengoperasikan 32 unit restoran, dengan total aset Rp1.47 trilyun.
Maka hitungan kasarnya, nilai satu unit restoran adalah Rp40 – 45 milyar, atau
serendah-rendahnya Rp30 milyar lah (masuk akal sih, karena memang restoran Duck
King terbilang luas, dan berlokasi di high end mall). Sedangkan diatas
sudah disebutkan bahwa DUCK berencana untuk membuka buanyak gerai baru termasuk
di luar negeri. Sehingga untuk membuka 10 gerai baru saja, maka biaya yang
dibutuhkan mencapai Rp300 – 400 milyar.
Dan memang setelah IPO-nya, maka pada Desember 2019, DUCK merilis rencana penerbitan obligasi
senilai Rp375 milyar, dimana jika prosesnya lancar maka obligasi tersebut akan diterbitkan
dan tercatat di BEI pada tanggal 13 Januari 2020.
Tapi tiba-tiba saja, pada tanggal 6 Januari, AKS sebagai pemegang
saham pengendali DUCK menerima gugatan senilai $40.6 juta dari Mizuho
(tidak disebutkan, Mizuho ini apa atau siapa, tapi kemungkinan Mizuho Financial
Group asal Jepang), dimana disebutkan bahwa AKS pernah menandatangani AOI (agreement
of investment?) dengan pihak Mizuho, dan sekarang (maksudnya tanggal 6 Januari 2020 tadi) kedua belah pihak sedang bersengketa terkait AOI tersebut di PN Jakarta
Selatan. Namun karena yang menerima gugatannya adalah AKS, bukan
DUCK itu sendiri, maka tidak ada informasi lebih lanjut soal ini, tapi yang
jelas karena hal ini maka rencana penerbitan obligasinya menjadi batal.
Tapi karena jauh sebelum berencana menerbitkan obligasinya, AKS ini
memang sudah terlibat transaksi repo dengan sejumlah pihak seperti Edy Suwarno, Victoria Investama dst, maka kemungkinan urusannya dengan Mizuho diatas juga sama soal repo. Hanya
mungkin berbeda dengan Tuan Edy yang cuan, Mizuho ini rugi, sehingga ia
kemudian menggugat AKS. Kalau dilihat dari nilai gugatannya, yakni $40.6 juta
atau setara Rp568 milyar, maka itu terbilang masuk akal karena angka tersebut tidak
jauh berbeda dengan nilai saham repo (berdasarkan harga saham DUCK di pasar per
Januari 2020, yakni 1,200-an) yang pernah dipegang oleh Edy Suwarno, dan INT.
Nah, jadi sekarang kita runut lagi:
- DUCK punya rencana ekspansi yang ambisius, tapi IPO-nya pada Oktober 2018 salah timing,
- PT Asia Kuliner Sejahtera (AKS) sebagai owner DUCK kemudian berusaha menutup kekurangan dana dengan cara repo saham DUCK itu sendiri,
- Pada Oktober 2019, diketahui bahwa AKS ada jual repo DUCK pada harga tinggi yakni Rp1,500 per saham, (apakah ketika itu yang beli Mizuho? Bisa jadi!). Ketika itu saham DUCK di market sudah mencapai Rp1,900-an.
- Disusul dengan rencana penerbitan obligasi pada awal tahun 2020,
- Namun kemudian muncul Mizuho yang menagih utang, sehingga penerbitan obligasinya gagal. Perlu dicatat bahwa pada Januari 2020, saham DUCK di pasar sudah turun menjadi Rp1,200-an. Sehingga Mizuho, atau siapapun yang membeli repo saham DUCK pada harga Rp1,500 tadi kemudian menagih AKS untuk membeli kembali saham DUCK yang mereka pegang minimal pada harga Rp1,500 juga, atau mereka akan menderita rugi.
Kemudian perlu dicatat bahwa kesemua event diatas terjadi sebelum
muncul pandemi Covid-19, yang menyebabkan kinerja DUCK seketika ambruk, dan
prospek jangka panjangnya menjadi tidak jelas. Sehingga, inilah kekhawatiran
penulis: Alasan kenapa AKS terus jualan saham DUCK, kemungkinan karena
perusahaan sudah give up sama sekali dengan DUCK ini, atau bisa juga karena
dipaksa oleh pihak-pihak tertentu (termasuk mungkin oleh Mizuho itu tadi), agar
mereka punya dana untuk membayar repo-repo itu tadi. Okay, tapi kenapa AKS gak
pakai dana cash milik DUCK saja? Ya karena yang punya utang repo dalam hal ini
adalah AKS, bukan DUCK itu sendiri. Bagaimana mungkin DUCK bisa membayar utang yang
tidak pernah tercatat di laporan keuangannya? Dan mungkin dalam hal ini AKS
tidak cukup lihai saja, dimana mereka sebelumnya tidak berpengalaman
soal mengelola repo ini, sehingga ketika situasinya seperti sekarang, they
have no idea what to do. Mirip-mirip seperti Jouska yang kemarin coba-coba goreng saham PT Sentral Mitra Informatika, Tbk (LUCK), tapi gagal total.
Namun problemnya, jika AKS tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali
di DUCK, maka secara teknis DUCK ini sudah bangkrut, karena sudah
dilikuidasi oleh owner-nya. Dan dalam hal ini penulis jadi ingat dengan kasus Tiga
Pilar Sejahtera Food (AISA), yang sekarang sahamnya mati sama sekali,
setelah sebelumnya pemegang saham pengendali perusahaan, yakni PT Tiga Pilar Corpora,
juga terus melepas sahamnya ke publik. Jika dalam skenario terburuk dimana AKS
akhirnya lepas tangan sama sekali dari DUCK, maka sebagai pemegang saham
publik, terus terang saja, tidak ada yang bisa kita lakukan.
Anyway, analisanya nanti akan kita update lagi nanti.
Merasa artikel ini bermanfaat? Silahkan share melalui media sosial, dengan klik tombol 'berbagi' dibawah ini.
***
Bagi
anda yang baru belajar investasi saham/value investing, maka bisa peroleh video
seminar terbaru disini. Info whatsapp 0813-1482-2827
(Yanti).
Buat
yang ingin bergabung dengan layanan konsultasi saham, rekomendasi saham, dan
analisa pasar, maka bisa baca infonya disini, tersedia diskon khusus selama
IHSG masih dibawah 5,500.
Follow Teguh Hidayat on instagram, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar
tapi keknya ga bisa disamain dengan AISA deh wong ini BSnya masih okay2 aja, namun memang pendapatan terjun bebas krn covid
Kenapa harus di REPO ke Pak Edy? Karena terikat kontrak dengan pak Edy dan jgn lupa sebenarnya yg angkat saham DUCK jg pak Edy sendiri melalui sekuritas dia Mina Padi yg beli pakai dana Reksadana yg dibekukan oleh OJK.. dicek saja Reksadana Mina Padi beli saham DUCK brp byk?
Jd kl ga ada pak Edy ya saham DUCK adem ayem aja
IPO tidak laku bukannya sudah ada Penjamin Pelaksanaan Emisi Efekyang menjamin secara kesanggupan penuh (Full Commitment) terhadap sisa Saham Yang Ditawarkan yang tidak dipesan dalam penawaran Umum Perdana Saham Perseroan?
Seharusnya kalau mau merepokan saham, kita harus wanti-wanti ke pembeli reponya dan buat perjanjian tertulis, bahwa dalam periode repo atau periode tertentu, si pembeli repo tidak boleh menjual sahamnya, apalagi ke ,market. Kalau melanggar maka dosa lho...
Tentu saja tuan Edy yang nakal senang jika harga di market sudah tinggi, untuk apa lagi menunggu penjual repo (AKS) menebusnya..cukup guyur saja ke pasar, dan cuan berlipatpun sudah ditangan. Masalah dosa, sih...yaaa..siapa sih manusia yang tidak berdosa? kata tuan Edy...
ya logika nya aj yg owner asli ny aj jual nih saham... brati sangat jelas gcg ny gk bgs ...
msh byk saham yg lbh murah bgs dan menarik ..
duck terlalu beresiko tinggi ..klo ad yg lbh baik knp ambil yg berisko ???
Yg sudah Risen / yg belom Risen mohon di bayarkan dengan lunas mohon utk tanggung jwb nya wahai bos/pemimpin duck semua nya bayarlah gaji karyawan yg semestinya wajib di byr ..mksh
Maybe, just maybe, they have no money from the beginning ... maybe it just unverified number !!
Karena posisi Cash dari DUCK ini sudah melebihi nilai Market Cap-nya. Peluang yang dibarengi dengan risiko yang mengancam.
Tidak cukup hanya mengkalkulasi angka-angka yang ada di laporan keuangan tetapi perlu menggunakan kerangka memadai untuk menilai apalah laporan itu wajar atau tidak