Prospek Global Mediacom (BMTR) Setelah ‘Diakuisisi’ Lo Kheng Hong

Pada tanggal 11 Agustus lalu, PT Global Mediacom, Tbk (BMTR) melakukan private placement dengan menerbitkan 700 juta lembar saham baru pada harga pelaksanaan Rp200 per saham, sehingga perusahaan memperoleh tambahan modal Rp140 milyar, sedangkan jumlah saham beredarnya meningkat menjadi 16,035 juta lembar. Yang menarik adalah, anda tahu, siapa yang menyetor dana Rp140 milyar diatas? Yup, beliau adalah Pak Lo Kheng Hong, value investor legendaris yang sudah sangat terkenal di mata investor ritel. Menariknya lagi, LKH diketahui sudah mulai mengkoleksi saham BMTR sejak setidaknya awal Agustus 2020, dan dengan transaksi PP diatas maka LKH kemudian memegang setidaknya 767 juta saham BMTR, pada harga beli antara Rp199 – 204 per saham. Pertanyaannya, why??

***

Bagi anda yang baru belajar investasi saham/value investing, maka bisa peroleh video seminar terbaru disini. Info whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

Buku rekomendasi saham, dan analisa pasar bulanan edisi September 2020 akan terbit tanggal 1 September mendatang, bisa anda peroleh disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500. Gratis konsultasi/tanya jawab saham untuk member.

***

Nah, kalau anda baca-baca lagi di media sosial, maka seperti biasa ada pendapat pro kontra terkait aksi ‘akuisisi’ LKH terhadap BMTR ini, dimana yang pro menyebut bahwa valuasi BMTR memang murah, dan prospeknya juga bagus, sedangkan yang kontra menyoroti GCG dari Grup MNC sebagai owner dari BMTR itu sendiri, yang dinilai kurang baik. Jadi mana yang benar?? Untuk itu, mari kita coba pelajari dulu BMTR ini sejak awal. Okay, here we go.

PT Global Mediacom, Tbk (BMTR) berdiri pada tahun 1981, ketika itu dengan nama PT Bimantara Citra, dan dimiliki oleh Keluarga Cendana melalui Bambang Trihatmodjo, dan bergerak di bidang media dengan membuka stasiun televisi swasta pertama di Indonesia, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), disusul dengan membuka stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI, yang sekarang berubah nama menjadi MNC-TV). Perusahaan kemudian listing perdana di bursa efek pada tahun 1995, dengan kode BMTR, dan setelah itu mulai ekspansi kesana kemari diluar bisnis medianya.

Namun hanya selang dua tahun kemudian, pada tahun 1997, perusahaan terkena dampak krisis moneter yang terjadi di Indonesia ketika itu, dan mulai dibantu untuk restrukturisasi utang dll oleh PT Bhakti Investama, Tbk (BHIT, sekarang berubah nama menjadi PT MNC Investama, Tbk), milik pengusaha Hary Tanoesoedibjo. Pada tahun 1997 ini pula, Mr. Hary mengusulkan kepada manajemen BMTR untuk mengkonsolidasikan aset-aset bisnis media-nya, untuk dikumpulkan dalam satu anak usaha yang didirikan kemudian, dengan nama PT Media Citra Nusantara, Tbk (MNCN). Pada perkembangannya, BHIT akhirnya mengakuisisi BMTR sama sekali (termasuk MNCN sebagai anak usahanya) pada tahun 2001, termasuk mengakuisisi PT Global Informasi Bermutu, pemilik stasiun GlobalTV, yang kemudian dikonsolidasikan sebagai bagian dari MNCN.

Kemudian seiring dengan perkembangan teknologi, BMTR banyak berekspansi dengan tetap fokus di bidang media dan teknologi informasi. Sehingga pada hari ini, BMTR bergerak di bidang stasiun televisi swasta, production house, produksi konten, digital media, marketplace TV, talent management (manajer artis), newsportal, televisi kabel berbayar (merk Indovision), internet TV, internet provider, pay channel, dan masih banyak lagi. Kesemua unit usaha tersebut kemudian dikelompokkan menjadi dua segmen, yakni segmen free-to-air dimana perusahaan memperoleh pendapatannya dari iklan dan konten, yang ditempatkan dibawah MNCN, dan segmen subscribe berbayar, yang ditempatkan dibawah PT MNC Vision Networks, Tbk (IPTV) (catatan: Dulunya IPTV adalah bagian dari MNCN, tapi kemudian di-spin off menjadi perusahaan terpisah, tapi masih menjadi bagian dari BMTR).

Dan karena bisnis asli BMTR adalah yang sekarang ditempatkan dibawah MNCN, sedangkan bisnis yang ditempatkan dibawah IPTV baru dikembangkan belakangan (sehingga sebagian besar masih merintis, termasuk banyak juga yang masih rugi), maka mayoritas pendapatan serta laba BMTR ya asalnya dari MNCN ini. Termasuk hingga Kuartal II 2020, dimana MNCN menyumbang laba kotor Rp2.6 trilyun bagi BMTR, sedangkan dari IPTV (termasuk anak usahanya yakni PT MNC Sky Vision, Tbk (MSKY)) hanya berkontribusi Rp341 milyar saja. Yep, jadi ini seperti Indofood (INDF), yang unit usahanya juga ada banyak, tapi unit-unit usaha yang paling menguntungkan, termasuk mi instan Indomie yang legendaris itu, adanya di Indofood CBP (ICBP).

Sehingga daripada ambil INDF, lebih baik kita ambil ICBP saja. Pun jika kita tertarik dengan BMTR, maka sebaiknya kita ambilnya MNCN-nya saja. Faktanya, ketika BMTR membukukan laba bersih Rp552 milyar pada Q2 2020, maka laba bersih MNCN sebagai anak usahanya justru jauh lebih besar, yakni Rp956 milyar. Memang ada juga argumen bahwa, meski untuk saat ini IPTV belum menguntungkan, tapi secara prospek dia justru lebih menarik. Karena kita tahu bahwa sekarang ini media konvensional seperti stasiun televisi perlahan-lahan mulai ditinggalkan, karena orang sekarang pindah ke Youtube dan semacamnya. However, kalaupun IPTV pada akhirnya bisa berkontribusi signifikan terhadap BMTR, maka penulis kira realisasinya tetap akan butuh waktu sangat lama dari sekarang, karena juga tidak segampang itu untuk mengubah gaya hidup masyarakat Indonesia yang terbiasa nonton tv gratisan, untuk berpindah ke nonton streaming yang harus pakai kuota internet berbayar, atau layanan apapun yang berbayar. Contoh sederhana, IPTV melalui MSKY sudah meluncurkan tv kabel ‘Indovision’ sejak tahun 2001 lalu, tapi sampai tahun 2020 ini MSKY masih terus merugi. Dan jika dulu Indovision boleh dibilang merupakan satu-satunya tv kabel berbayar di Indonesia, maka sekarang ini ada banyak perusahaan lain yang juga menawarkan produk yang sama, sehingga kompetisinya menjadi lebih ketat.

Okay, lalu jika demikian, kenapa LKH ambilnya BMTR? Well, karena meski MNCN memang lebih bagus, tapi valuasi BMTR cuma sepertiganya MNCN ini. Yup, pada harga private placement-nya di Rp200, PBV BMTR tercatat 0.27 kali (naik sedikit jadi 0.28 kali pasca PP). Sedangkan pada harga PP Rp855, PBV MNCN mencapai 1.0 kali, yang sebenarnya juga relatif murah, tapi BMTR tentunya jauh lebih murah. Seperti yang kita ketahui, sebagai value investor, Pak LKH memang menyukai saham-saham dengan valuasi super-diskon seperti ini. Sedangkan disisi lain, meski fundamental BMTR memang tidak istimewa dengan ROE hanya 9.6%, namun dia nggak bisa disebut jelek juga, dan jumlah utang-nya juga terbilang aman dimana DER-nya tercatat hanya satu kali.

Informasi transaksi pembelian saham BMTR oleh Pak LKH


Dan terakhir, dengan adanya pandemi Covid-19, maka ada banyak perusahaan Tbk di BEI yang kinerja fundamental serta prospek jangka panjangnya berubah, beberapa justru harus kolaps sama sekali. Namun sebagai perusahaan media, BMTR tidak termasuk didalamnya, malah justru prospeknya semakin bagus seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan media, dan teknologi informasi. Jadi bagi fundamentalis seperti LKH, it’s a good deal.

Okay Pak Teguh, jadi apakah kita juga bisa ikut langkah Pak LKH dengan ikut masuk ke BMTR? Well, tentunya tidak sesederhana itu. Pertama, saham BMTR sekarang bukan lagi di 200, melainkan lebih tinggi dari itu, dan dengan selisih yang juga lumayan. Sehingga dalam hal ini posisi start kita berbeda dengan Pak LKH. Kedua, sebagai big player, Pak LKH membeli saham BMTR langsung dari tangan Hary Tanoe sendiri, sehingga normalnya ada kesepakatan tertentu yang tidak bisa diperoleh oleh kita sebagai investor ritel. Ketiga, Grup MNC sendiri memang selama ini kurang bersahabat dengan investor publik, terlihat dari seringnya perusahaan-perusahaan Tbk milik Grup MNC menggelar right issue, private placement, dan IPO anak usaha, yang kemudian mendilusi kepemilikan investor publik di BMTR dkk, dan saham BMTR itu sendiri kemudian sering bergerak liar dengan terbang hari ini, lalu besoknya anjlok lagi. Bagi Pak LKH, hal ini tidak jadi masalah, karena sekali lagi posisi beliau berbeda dengan investor retail kebanyakan, selain karena beliau bisa ‘tahan nafas’ hingga bertahun-tahun. Tapi bagi investor jutawan (maksudnya modal sejuta) yang kalau datang ke MNC Tower di Kebon Sirih sana dan bilang mau ketemu Om Hary maka bakal langsung diusir oleh satpam, maka bukan tidak mungkin kita bakal dikerjain, kalau ikut masuk ke BMTR ini.

Baiklah Pak Teguh, jadi kalo gitu bagaimana sarannya? Nah, kalau anda sejak awal sudah pegang BMTR ini, dan pada harga beli yang tidak terlalu jauh berbeda dengan harga belinya Pak LKH, maka yo wis, hold saja. Perlu dicatat pula bahwa, karena sekarang LKH pegang BMTR lebih dari 5% saham beredar, maka jika beliau ada beli atau jual lagi saham BMTR ini, maka itu harus dilaporkan ke BEI, sehingga publik akan mengetahuinya (bahwa Pak LKH membeli/menjual saham BMTR). Sehingga kalau misalnya Pak LKH nanti jual BMTR, maka anda boleh ikut jual meski, penulis kira Pak LKH tidak akan langsung keluar lagi dari BMTR ini dalam waktu dekat.

Tapi jika anda baru mau masuk, maka tidak perlu buru-buru, melainkan tunggu saja sampai cerita ‘akuisisi’ oleh Pak LKH mereda, sehingga fluktuasi sahamnya ikut mereda, sekalian tunggu perkembangan kinerja perusahaan. Sebab hingga Q2 2020, laba BMTR sejatinya masih turun, demikian pula dengan MNCN. Sehingga jika pada Q3 nanti katakanlah laba BMTR masih turun, maka sahamnya juga tetap tidak akan kemana-mana dulu, malah bisa saja turun lagi. Kemudian, ingat bahwa ketika Pak LKH membeli saham-saham diskonan lainnya seperti Petrosea (PTRO), Mitrabahtera (MBSS), Panin Financial (PNLF), Bumi Resources (BUMI), hingga Indah Kiat (INKP), maka jualnya paling cepat 1 – 2 tahun kemudian, dan selama jeda waktu menunggu itu sering juga saham-saham tersebut diatas malah turun banyak, entah itu karena koreksi IHSG, atau karena kinerjanya masih turun pada kuartal tertentu.

Jadi sekali lagi, kita tidak perlu buru-buru. Penulis sendiri personally tertarik dengan BMTR/MNCN ini, karena memang valuasi keduanya sudah cukup murah, bahkan kalau kita mempertimbangkan GCG owner-nya yang tidak sebagus katakanlah Grup Astra. Tapi berhubung saya ndak bakalan juga bisa ngopi-ngopi sama Om Hary, maka kecuali nanti dapet harga yang lebih murah lagi, untuk sementara ini kita fokus ke saham lain dulu.

Untuk minggu depan kita akan bahas Bank Banten (BEKS), yang berencana reverse-stock lalu disusul right issue. Ada yang pegang saham ini?

***

Ebook Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisis saham pilihan edisi Kuartal II 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500.

Video seminar dengan tema ‘Berburu Saham Mutiara Terpendam/Multibagger’, bisa diperoleh disini.

Komentar

Unknown mengatakan…
Ada informasi BMTR tgl 25 Agustus juga PMTHMETD 700 jt saham baru di harga 200 diambil Charlton Group Holding. Apakah ini hal yg berbeda dengan yg dieksekusi Pak LKh tgl 11 Agustus?
Franklin Ocha mengatakan…
MNCN, dengan pbv 1, dengan kinerjanya seperti itu, terlihat cukup menarik walaupun GCG kurang bagus. Perusahaan ini masih mencetak laba yang lumayan, walaupun ke depannya FTA TV bakal down, tapi itu butuh waktu tidak sebentar.
W.L mengatakan…
2 bulan lalu saya beli BMTR, avg buy di harga 222. Lalu saya jual di harga 290an. Itupun belum keluar soal isu LKH di dalam. Alasan saya beli BMTR 2 bulan lalu ya karena seperti ulasan di blog ini. Saya dari dulu boleh dibilang selalu benar di harga beli, tapi selalu salah di harga jual. Kadang naik sedikit sudah dijual, kadang turun sedikit saja langsung cutloss, ternyata ga berapa lama naik balik.. BMTR ku sayang.. BMTR ku malang...
Unknown mengatakan…
Pak teguh, cara mengetahui data pembelian pak LKH di saham BMTR melalui web BEI bagian apa pak?
Terima kasih pak teguh
Anonim mengatakan…
dan tepok jidatlah para pemegang saham termasuk LKH melihat blunder MNC grup kemarin2..apakah gugatan terkait media penyiaran ini salah satu tanda2 sunset industry untuk pertelevisian?
Anonim mengatakan…
@Unknown: Kalau saya amati, LKH beli 700 juta saham BMTR dari BHIT/pihak terafiliasi BHIT. Lalu Charlton beli 700 juta saham BMTR yang baru dikeluarkan di private placement. Ada kemungkinan Charlton terafiliasi dengan BHIT.

Pola jual-lalu-serap juga terlihat di private placement MNCN. BMTR melepas kepemilikannya di MNCN sebesar jumlah saham baru MNCN (lupa persisnya berapa) kepada investor strategis. Lalu hasil penjualan saham MNCN digunakan untuk menyerap private placement MNCN
Tiyo mengatakan…
Saya beli MNCN, Pak. Dikit aja hehe
duta mengatakan…
pak analisa aisa dan PLIN dunk..
aisa sudah dibuka suspend, dan PLIN kenapa equity 2020 tiba tiba naik drastis?

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Prospek Saham Adaro Minerals Indonesia (ADMR): Better Than ADRO?