Proyeksi IHSG Menjelang, dan Pasca Emiten Merilis Laporan Keuangan Kuartal II 2020
Pada
tanggal 14 Juli kemarin, PT Surya Esa Perkasa, Tbk (ESSA) menjadi emiten pertama
yang merilis laporan keuangan (LK) periode Kuartal II atau Q2 2020. Dan
hasilnya? Well, perusahaan mencatat rugi $6.8 juta, dibanding laba $4.2 juta
pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sejak tahun 2014, ini adalah kali
pertama ESSA membukukan kerugian, yang kemungkinan merupakan dampak dari
pandemi Covid-19 karena pada Q1-nya, perusahaan masih mencatat laba $1.0 juta. Menariknya,
keluarnya LK dengan hasil negatif ini tidak membuat sahamnya drop, dimana
ketika analisa ini ditulis, saham ESSA tetap bertahan di 150 – 160, dan itu
lebih tinggi dibanding posisi terendahnya pada 24 Maret lalu (yakni ketika IHSG
drop sampai 3,900-an), di 118. Jadi apakah harga saham ESSA sekarang ini memang
sudah price in dengan penurunan kinerjanya tersebut? Dan apakah analisa
yang sama juga berlaku untuk saham-saham lainnya di BEI?
***
Video Terbaru Seminar Value Investing, Basic & Advanced, sudah bisa anda peroleh disini.
Info whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
Ebook
Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisis saham pilihan edisi Kuartal
II 2020 akan terbit hari Sabtu, 8 Agustus mendatang. Anda bisa memperolehnya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500.
***
Catatan:
Untuk memahami apa itu ‘price in theory’, anda bisa baca dulu penjelasannya
disini, sebelum melanjutkan membaca tulisan ini.
Nah,
seperti yang pernah penulis sampaikan, pergerakan harga saham itu cenderung mendahului
kinerja perusahaan yang bersangkutan, dan demikian pula pergerakan IHSG seringkali
mendahului kinerja makroekonomi nasional. Yep, jadi ketika pasar crash pada
Maret lalu, maka itu adalah karena Pemerintah RI, dan juga pemerintah di
seluruh dunia, mulai memberlakukan lockdown (kalau disini istilahnya
PSBB), yang bisa dipastikan akan membuat ekonomi jeblok. Perlu dicatat bahwa
pada Maret tersebut, ekonomi belum benar-benar turun, tapi sudah ada
ekspektasi bahwa ekonomi akan turun. Ditambah karena di Amerika sendiri,
Dow Jones dengan cepat bablas sampai 18,000, maka jadilah IHSG juga bablas
sampai 3,900, atau turun lebih dari 40% jika dihitung dari posisi
tertingginya (6,623) pada Januari 2018 lalu. Sebenarnya pada titik ini, penulis
sendiri juga mulai berpikir bahwa kondisinya bisa saja seperti tahun 1998 lalu,
karena efek dari penghentian aktivitas ekonomi itu benar-benar sangat terasa
terutama di sektor ritel (banyak temen-temen pemilik toko, restoran, dan hotel
yang mengeluh omzetnya anjlok ke titik nol, sama sekali). However, karena
berdasarkan pengalaman, kita sudah hafal bahwa setiap kali IHSG (atau
saham-saham tertentu) turun kelewat dalam, maka selanjutnya dia akan membal
alias rebound (baca penjelasan soal market rebound, disini),
maka pada artikel crisis protocol yang saya tulis tanggal 25 Maret
(boleh baca lagi artikelnya
disini), penulis katakan bahwa kalau kita jual saham ketika IHSG berada di
3,900-an ketika itu, maka bisa jadi itu merupakan kesalahan terbesar
yang bisa kita lakukan.
And
indeed, IHSG
kemudian rebound, dimana pada bulan April-nya IHSG bahkan sudah sempat menyentuh
4,900-an lagi. Namun barulah pada titik ini, penulis katakan bahwa kita harus melakukan
analisa ulang dari tiap-tiap saham, dan menyusun kembali strategi investasi. Sebab
krisis ekonomi akibat Covid-19 itu memang benar terjadi, sehingga tidak
realistis jika kita berharap bahwa IHSG akan langsung ke 6,000 lagi dalam waktu
dekat. Dengan kata lain, jika saham yang kita pegang mengalami perubahan
fundamental, dan juga perubahan prospek karena dampak pandemi, maka kita
bisa jual lalu pindah ke saham lain, yang bisnisnya tidak terlalu dipengaruhi oleh
pandemi.
Tapi
disisi lain, jika saham yang mengalami perubahan fundamental tersebut penurunannya
sejak awal sudah kelewatan, sedangkan kita tahu bahwa kinerja perusahaan
selama ini terbilang bagus, sehingga meski kinerjanya turun/rugi karena efek
pandemi, tapi jika nanti pandeminya berakhir maka kinerja tersebut berpeluang
untuk pulih lagi, maka kita punya opsi untuk hold saja saham tersebut. Contohnya
ya ESSA itu tadi: Pada awal tahun 2020, ESSA berada di level 270, dan baru anjlok
ke 118 setelah IHSG crash di bulan Maret, sebelum kemudian naik
lagi ke 150 – 160 di bulan April-nya seiring dengan market rebound. Jadi sebelum
perusahaan melaporkan kerugian di LK Q2-nya, maka saham ESSA sudah turun duluan
sebesar sekitar 50%.
Sehingga
ketika LK-nya keluar dan hasilnya memang gak bagus, maka pasar tidak lagi
memberikan reaksi, dan saham ESSA tetap berada di posisinya sekarang. Kemudian,
jika kedepannya terdapat ekspektasi bahwa ekonomi akan pulih, misalnya karena
Pemerintah tidak lagi menerapkan PSBB melainkan menggantinya dengan protokol ‘new
normal’, maka juga akan muncul ekspektasi bahwa kinerja ESSA juga akan membaik
di Q3, atau Q4 nanti. Dan jika ekspektasi tersebut sudah cukup kuat, maka saham
ESSA akan sudah mulai naik sebelum LK Q3-nya dirilis. Analisa ini juga berlaku
untuk saham-saham lain yang kondisinya sama, yakni: Sahamnya sudah turun
kelewat dalam, misalnya sebesar 40 – 50% dihitung dari awal tahun kemarin,
sedangkan kinerjanya selama ini terbilang bagus/gak jelek-jelek amat. Sehingga
kalaupun kinerjanya drop di tahun 2020 ini, tapi kinerja tersebut berpeluang
untuk bagus lagi ketika ekonomi berangsur-angsur pulih. Mungkin perlu dicatat
bahwa, analisa ini tidak berlaku bagi saham-saham tertentu yang
kinerjanya sejak awal sudah jelek/merugi bahkan sebelum terjadi pandemi.
Apakah
Ekonomi Sudah Berada di Jalur Pemulihan?
Tinggal
pertanyaannya sekarang, bisakah kita mengatakan bahwa ekonomi Indonesia (dan
dunia) pada saat ini sudah berada di jalur pemulihan? Ataukah justru kondisi
terburuk dari krisisnya masih belum terjadi? Kalau kita baca lagi wawancara
Jay Powell, chairman Federal Reserve, ia mengatakan bahwa ekonomi
Amerika akan kembali ke jalur pemulihan ekonomi mulai semester dua tahun ini
seiring dengan dibukanya kembali aktivitas ekonomi, meski itu bukan berarti
ekonomi akan benar-benar sudah pulih, melainkan baru bergerak ke arah pulih
saja. Dengan kata lain, kinerja para emiten di Q2 ini akan sangat buruk, perusahaan
akan banyak yang bangkrut, dan demikian pula data ekonomi makro seperti
pertumbuhan ekonomi, pengangguran dll, juga akan tampak mengerikan di Q2 2020.
Namun pada Q3 dan Q4 nanti, maka kesemua indikator tersebut akan mulai membaik,
tapi tidak akan langsung kembali ke level sebelum pandeminya terjadi. To make it simple, katakanlah sebuah
perusahaan otomotif menjual 100 unit mobil pada Q4 2019, dan angka penjualan
itu drop menjadi hanya 20 unit pada Q2 2020. Maka pada Q3 nanti, angkanya
mungkin naik lagi menjadi 30 unit, tapi perusahaan akan butuh waktu agar
penjualannya tembus 100 unit lagi, mungkin di tahun 2021 atau 2022 nanti.
Dan kalau
penulis sendiri ngobrol sama temen-temen pengusaha, maka mereka juga memang bilang
bahwa kondisinya sampai hari ini masih susah, tapi nggak separah Maret, April,
dan Mei kemarin ketika orang-orang beneran disuruh diem dirumah. Yup, ketika
restoran, hotel dll kembali beroperasi, maka pendapatan dan laba mereka tetap
anjlok, tapi minimal itu masih lebih baik dibanding beberapa waktu lalu dimana
pendapatan mereka tercatat nol sama sekali.
Sehingga,
meski ekonomi tetap akan butuh waktu untuk booming lagi, tapi mungkin untuk
sekarang kondisi terburuknya sudah berlalu. Sebenarnya, jika
perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki utang yang besar yang jatuh tempo
di tahun 2020 ini, maka barulah ending-nya bisa seperti tahun 1998, dan
IHSG bisa bablas sampai 2,800 (yes, seriously!). Maksud penulis
begini: Jika perusahaan otomotif diatas punya utang besar, maka ketika volume
penjualan mobilnya drop dari 100 menjadi 20 unit karena efek lockdown,
lalu naik lagi menjadi 30 unit ketika berlaku new normal, maka laba operasional
dari volume penjualan yang 30 unit itu tetap tidak akan cukup untuk membayar
beban bunga utang-utangnya, sehingga perusahaan tetap akan rugi besar, atau
bahkan default dan akhirnya bangkrut, karena tidak mampu melunasi
cicilan utang yang jatuh tempo. Actually, itulah yang terjadi pada PT Tiphone
Mobile Indonesia, Tbk (TELE), dimana perusahaan punya utang obligasi dan
utang bank senilai total Rp3.2 trilyun, yang pas banget jatuh tempo di
bulan Juni 2020 kemarin! Yakni ketika dampak pandemi terhadap kinerja perusahaan
sedang parah-parahnya (TELE jualan voucher pulsa di outlet-outlet mall, sedangkan
mall-nya itu sendiri tutup). Sehingga sebelum kinerja TELE membaik lagi pada
semester dua ini seiring dengan dibukanya kembali mall-mall, tapi perusahaannya
sudah keburu kehabisan nafas.
Kami menerima banyak permintaan analisa tentang saham TELE, karena memang valuasinya sudah murah sekali, tapi kita selalu jawab bahwa sahamnya too risky, sehingga bisa menjadi value trap. |
Namun
untungnya, TELE relatif bukan perusahaan besar, dan kalau kita lihat top ten
emiten di bursa, maka tidak ada dari mereka yang memiliki masalah serupa,
termasuk posisi modal emiten perbankan juga sangat kuat dengan CAR 19 - 20%
pada akhir tahun 2019 lalu. Sehingga meski kinerja katakanlah Bank
BRI (BBRI) tetap akan tertekan di tahun 2020 ini, tapi no way perusahaannya
bakal bernasib seperti Lehman Brothers. Dan demikian pula, meski IHSG masih
bisa turun lagi, tapi risiko untuk IHSG kembali turun ke 3,900, untuk sekarang
ini adalah sama kecilnya dengan peluangnya untuk langsung kembali lagi ke
6,000-an. Dan kenapa kecil kemungkinan untuk IHSG langsung ke 6,000? Karena itu adalah posisi IHSG sebelum pandeminya terjadi, sehingga agar IHSG bisa kembali kesitu, maka juga harus muncul ekspektasi yang kuat bahwa ekonomi tidak sekedar mulai pulih, melainkan akan langsung kembali ke level sebelum pandemi.
Tapi
karena hingga hari ini, jumlah pasien corona di Indonesia (dan juga di seluruh
dunia) masih terus meningkat, maka ekspektasi tersebut masih belum muncul,
karena itu berarti bahwa protokol new normal yang sekarang diberlakukan tidak
akan dilonggarkan, sedangkan protokol new normal itu ya sama saja artinya pembatasan
aktivitas ekonomi, meski tidak seketat lockdown. Dengan kata lain, selama
jumlah pasien corona masih belum benar-benar berkurang, maka selama itu pula kita hanya bisa mengatakan bahwa bahwa kinerja emiten akan membaik di Q3 atau Q4 nanti, yakni jika perbandingannya adalah Q2, tapi tetap tidak akan sebaik tahun 2019 lalu, yakni ketika pandeminya belum terjadi.
Tiga
Skenario untuk Jangka Menengah
Sehingga
pada periode menjelang dan pasca nanti emiten merilis LK Q2 inilah, IHSG
akan cenderung sideways di kisaran posisinya sekarang (4,900 – 5,000),
dan demikian pula saham-saham yang anda pegang hanya akan naik dan turun
sedikit saja, bahkan meski perusahaannya membukukan kinerja negatif di Q2. Lalu
setelah itu? Bagaimana kira-kira pergerakan pasar hingga akhir tahun nanti?
Nah, itu akan tergantung pada peristiwa penting apa yang akan terjadi
selanjutnya, sehingga dalam hal ini terdapat banyak skenario, tapi mungkin bisa
kita kerucutkan kedalam tiga skenario, yakni skenario terburuk, sedang, dan
terbaik:
- Jika muncul banyak perusahaan-perusahaan lain yang juga wassalam seperti TELE, sedangkan jumlah kasus baru corona terus meningkat setiap harinya (saat ini rekor penambahan kasus baru covid di Indonesia adalah 2,657 kasus baru dalam sehari, pada tanggal 9 Juli kemarin), maka siap-siap untuk market crash 2.0.
- Jika kasus corona masih meningkat, tapi tidak ada lagi perusahaan yang bangkrut, maka pasar akan lanjut sideways.
- Jika kasus harian corona berkurang, atau vaksinnya sudah ditemukan sehingga Pemerintah kemudian melonggarkan protokol new normal (misalnya restoran sudah boleh open full capacity), maka IHSG akan ke ke setidaknya 5,500, dan akan muncul milyader baru dari saham-saham multibagger.
Anyway, tiga
skenario diatas adalah untuk Q3 sampai akhir tahun nanti. Sedangkan untuk sekarang
ini, maka IHSG kemungkinan akan cenderung sideways, meski kondisinya bisa
berbeda untuk tiap-tiap saham, dimana jika perusahaan tertentu punya utang
besar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat, dan jenis usahanya termasuk yang
paling terdampak oleh pandemi, maka sahamnya bisa lanjut turun sendiri. Disisi
lain, untuk perusahaan yang posisi neracanya aman, sedangkan sejak awal
usahanya tidak terlalu dipengaruhi oleh pandemi, maka sahamnya bisa naik
sendiri tanpa perlu menunggu IHSG ke 5,500.
Okay Pak
Teguh, jadi bagaimana strateginya sekarang? Ya anda boleh lihat lagi
saham-saham yang sekarang dipegang, dimana fokusnya hanya pada dua itu saja: Posisi
utang, dan jenis usahanya. Jangan ragu untuk switch ke saham lain
jika memang saham yang anda pegang memiliki karakter mirip dengan TELE. Kemudian
jika anda masih ada pegang cash, maka untuk amannya tunggu sampai para emiten
merilis LK Q2 (gak akan lama, dua minggu lagi), dan barulah kita masuk ke
emiten yang kinerjanya masih bagus, atau kinerjanya turun tapi harga sahamnya
pada saat ini memang sudah sangat rendah, sedangkan kinerja perusahaan berpeluang
membaik lagi segera setelah nanti pandeminya berakhir. Actually, dalam hal ini
penulis juga tertarik dengan saham-saham komoditas, tapi mungkin nanti kita
akan bahas lagi secara khusus.
Kemudian
terakhir, jangan lupa untuk tetap menyisakan sejumlah cash. Karena meski dalam
jangka pendek hingga 3 bulan kedepan, pasar relatif aman, tapi setelah itu maka
terdapat tiga skenario seperti yang sudah disampaikan diatas, yang ketiganya
memiliki probabilitas yang sama besarnya untuk terjadi. But don’t worry, karena
nanti tiga bulan dari sekarang (menjelang emiten merilis LK Q3) maka tulisan
ini akan di-update lagi, just stay tune.
***
Video Terbaru Seminar Value Investing, Basic & Advanced, sudah bisa anda peroleh disini. Info whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
Ebook
Investment Planning yang berisi kumpulan 30 analisis saham pilihan edisi Kuartal
II 2020 akan terbit hari Sabtu, 8 Agustus mendatang. Anda bisa memperolehnya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500.
Follow me on instagram, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar
saya selalu menunggu artikel-artikel terbaru bapak.
sukses dan sehat selalu.