‘Second Wave Corona’ Tidak Akan Terjadi, Ini Alasannya
Salah satu isu yang diwaspadai investor
terkait arah pergerakan pasar kedepan, adalah kemungkinan terjadinya coronavirus
second wave, atau gelombang kedua penyebaran virus corona, yang bisa jadi
lebih mematikan/memakan lebih banyak korban dibanding gelombang pertama yang
terjadi sejak awal Maret lalu. Sebab kalau berkaca pada pandemi spanish flu yang
terkenal di tahun 1918 – 1919, yang diperkirakan menelan korban jiwa sekitar 17
– 50 juta penduduk di seluruh dunia, maka pandeminya ketika itu juga terjadi
dalam tiga gelombang berbeda, dimana yang paling mematikan adalah gelombang
kedua. However, penulis termasuk yang beranggapan bahwa untuk pandemi
corona tahun ini, maka second wave itu tidak akan terjadi. Why?
***
Jadwal
Seminar Value Investing, Basic & Advanced, Jakarta, Sabtu – Minggu, 18 – 19 Juli 2020.
Info lengkap klik
disini, atau whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti). Tersedia diskon earlybird
bagi peserta yang mendaftar sebelum tanggal 10 Juli.
***
Kita mulai analisanya dengan mempelajari kronologis
spanish flu terlebih dahulu. Pada tanggal 4 Maret 1918, Albert Gitchell, seorang
koki di camp militer Funston di Kansas, Amerika Serikat (AS), dilaporkan sakit
flu, dan dalam hitungan hari sekitar 500-an tentara di camp yang sama dilaporkan tertular. Ketika itu tidak ada tindakan karantina atau apapun yang diterapkan
kepada para penderita flu ini, dan para tentara serta petugas tetap diizinkan
keluar masuk di camp militer diatas. Karena ketika itu AS sudah terlibat dengan
Perang Dunia Ke-1 di Eropa, maka AS mengirim puluhan ribu tentara, termasuk
dari camp Funston, ke Eropa. Sehingga pada April 1918, wabahnya dengan cepat menyebar
di negara-negara seperti Jerman, Perancis, Inggris, Italia, Spanyol, bahkan
hingga Polandia. Pada bulan April ini, Jerman membebaskan dan mengembalikan tahanan
perang asal Uni Soviet (Rusia) ke negara mereka, dan virusnya mulai menyebar ke
Uni Soviet hingga Asia. Pada bulan Juni, muncul kasus spanish flu di China, dan
pada bulan Juli, giliran Australia melaporkan kasus yang sama.
Namun karena setelah Australia diatas, tidak
ada lagi negara lainnya yang melaporkan kasus spanish flu, sedangkan pasien-pasien
yang sudah ada sebelumnya juga mulai sembuh satu per satu, maka pandeminya
dianggap mereda. Pada gelombang pertama spanish flu ini tidak ada data yang
menyebutkan, berapa total jumlah korban jiwa spanish flu di seluruh dunia,
namun AS melaporkan setidaknya 75,000 kematian.
Kemudian memasuki bulan Agustus, muncul
kasus spanish flu di Boston, AS, dan Freetown, Sierra Leone, yang belakangan
diketahui disebarkan oleh tentara yang diangkut menggunakan sejumlah kapal dari
Brest, Perancis. Dan dalam dua bulan berikutnya, kapal-kapal ini singgah di
pelabuhan-pelabuhan di Amerika Utara, Tengah, dan Selatan, termasuk Kepulauan
Karibia dan Brazil, sehingga virusnya menyebar ke seantero Benua Amerika.
Kemudian dari Freetown, virusnya juga menyebar ke seluruh Benua Afrika. Di Asia,
seiring dengan terjadinya Russian Civil War, dan pembangunan Trans Siberian
Railway (jalur kereta api yang menghubungkan Moskow dengan wilayah timur Uni
Soviet), maka virusnya menyebar hingga ke seluruh wilayah Uni Soviet, lalu
lanjut ke Iran, China, hingga Jepang.
Dan karena second wave spanish flu ini genap
menyebar ke seluruh dunia, maka jumlah korbannya juga jauh lebih besar
dibanding first wave, dimana AS saja melaporkan 1 juta kematian. Pada gelombang
kedua pandemi inilah, pemerintah di beberapa negara mulai menerapkan karantina
dan tindakan-tindakan lainnya untuk mencegah menyebarnya virus, sedangkan para
tentara juga mulai kembali ke rumahnya masing-masing seiring dengan selesainya
Perang Dunia ke-1 pada bulan November, dan jumlah orang-orang yang bepergian
dari satu negara ke negara lainnya berkurang secara sangat signifikan seiring
dengan pemberlakuan karantina. Dan hasilnya, memasuki Desember 1918, pandeminya
mulai mereda.
Kemudian terakhir, gelombang ketiga, terjadi
pada Januari 1919 di Australia, dimana 12,000 orang meninggal dunia setelah
pemerintah mencabut karantina maritim (catatan: Pada masa karantina maritim,
Australia menolak hampir semua kapal yang hendak berlabuh di negaranya, tapi memasuki
Januari 1919, karantina itu dicabut), dan setelah itu virusnya kembali menyebar
hingga ke AS dan Eropa, dan menelan ratusan ribu korban jiwa. Gelombang ketiga
ini tidak separah gelombang kedua, namun masih jauh lebih parah dibanding
gelombang pertama. Gelombang ketiga ini terjadi hingga sekitar bulan Juni 1919,
dan setelah itu mereda seiring dengan berkembangnya ilmu kesehatan dalam
melakukan penanganan dan pencegahan virusnya, serta terjadinya herd
immunity, dimana seiring dengan meningkatnya imunitas/daya tahan tubuh,
maka orang-orang dengan sendirinya menjadi kebal terhadap virus tersebut.
Meski demikian, kasus spanish flu ini masih
terus muncul sampai hari ini dengan berbagai perubahan/mutasi virus, dan kasus dalam
skala besar terakhir terjadi pada tahun 2009 lalu, yang dikenal
sebagai swine flu pandemic, yang ketika itu diperkirakan menelan hingga
500,000-an korban jiwa di seluruh dunia. Namun setelah ditemukan vaksinnya pada
bulan November 2009, maka pandeminya kemudian mereda.
Dan yang mungkin perlu dicatat adalah,
berbeda dengan spanish flu di tahun 1918, untuk swine flu ini tidak terjadi
gelombang kedua, karena sejak awal pemerintah langsung memberlakukan
karantina dan sebagainya untuk mencegah virusnya menyebar lebih jauh. Pada April
2009, atau hanya tiga bulan sejak kasus swine flu pertama muncul, Pemerintah
China sudah memberlakukan peraturan bahwa warganya yang baru kembali dari
negara yang terdampak swine flu harus menjalani karantina selama dua minggu.
Demikian pula Amerika Serikat dan negara-negara lainnya mengharuskan pengelola bandara
dan maskapai penerbangan untuk melakukan screening penumpang yang menunjukkan
gejala sakit flu, mengenakan masker untuk petugas dan penumpang, dan menyemprot
disinfektan. Pemerintah juga menerbitkan panduan pencegahan penyebaran virus bagi
sekolah-sekolah dan kantor-kantor. Kesemua upaya tersebut tidak membuat
pandeminya langsung berakhir (pandeminya baru mereda setelah vaksinnya ditemukan), namun secara signifikan mampu memperlambat penyebaran virusnya, sehingga jumlah korban
jiwa pada pandemi swine flu ini jauh lebih sedikit dibanding spanish flu di
tahun 1918.
Coronavirus 2020 = Swine Flu 2009
Nah, jadi kalau melihat bagaimana pemerintah
Indonesia, dan juga di seluruh dunia, terbilang sangat intens dalam
memberlakukan berbagai tindakan untuk mencegah penyebaran virus, maka penulis
bisa katakan bahwa Covid-19 di tahun 2020 ini lebih mirip dengan swine flu di
tahun 2009, ketimbang spanish flu di tahun 1918. Ingat sekali lagi bahwa ketika
terjadi pandemi spanish flu, dunia saat itu boleh dibilang sedang kacau karena
berkecamuknya Perang Dunia I, sehingga pemerintahan di seluruh dunia hampir
tidak punya waktu dan sumberdaya untuk mencegah virusnya menyebar. Sedangkan
untuk pandemi tahun 2009 dan 2020 ini, Pemerintah jauh lebih sigap. Dan actually, andai saja Pemerintahan
di seluruh dunia sejak awal mengambil tindakan pencegahan yang sama seperti
ketika terjadi pandemi tahun 2009 lalu, dimana orang-orang bisa tetap bekerja seperti
biasa namun dengan menerapkan sejumlah protokol kesehatan (pake masker, cuci
tangan, semprot disinfektan, dst), maka pandemi covid-19 di tahun 2020 ini
mestinya tidak harus sampai menyebabkan krisis ekonomi. Kalau anda
ingat-ingat lagi, meski kasus swine flu memang sempat ramai di tahun 2009 – 2010
lalu, tapi ketika itu orang-orang bisa tetap bekerja seperti biasa bukan? Dan
demikian pula anak-anak tetap sekolah, tapi itu tidak menyebabkan pandeminya jadi
lebih mematikan.
Anyway, karena dalam beberapa bulan terakhir
roda perekonomian seperti dipaksa berhenti berputar, sama sekali, maka imbasnya
adalah krisis. Beruntung, Pemerintah Indonesia dan juga di seluruh dunia kemudian
memberlakukan metode baru yang disebut dengan new normal, dimana intinya
kegiatan ekonomi bisa kembali berjalan tapi dengan memberlakukan protokol
kesehatan, sehingga harapannya adalah krisisnya tidak berkepanjangan, sedangkan
disisi lain pandeminya juga tidak menyebar lebih luas. Meski demikian perlu juga
dicatat bahwa bahwa dalam ‘new normal’ ini, tidak semua kegiatan ekonomi bisa kembali
bergerak secara penuh. Misalnya restoran boleh kembali buka, tapi kapasitas
tempat duduknya maksimal 50% saja. Demikian pula, anda bisa kembali bepergian
di dalam negeri, tapi anda belum bisa bepergian keluar negeri (atau bisa, tapi
prosedurnya ribet bin njlimet). Ini artinya dalam era new normal ini, pertumbuhan
ekonomi tetap akan turun. Dan untuk sektor-sektor tertentu yang paling
terdampak, maka boleh dibilang krisisnya masih akan terus terjadi, selama new
normal ini masih berlaku.
Jadi pertanyaan berikutnya, kapan kira-kira
new normal ini bisa kembali ke ‘old normal’? Nah, anda sendiri mungkin sudah
tahu jawabannya: Ketika nanti vaksin covid-19 sudah ditemukan. Yup, jadi
sama seperti pandemi swine flu di tahun 2009, yang baru resmi berakhir setelah vaksinnya
ditemukan dan didistribusikan ke 16 negara pada bulan November 2009, dan
barulah setelah itu jumlah kasus baru swine flu turun dengan cepat, hingga
akhirnya World Health Organization (WHO) mengumumkan bahwa pandeminya
sudah berakhir pada Agustus 2010. Tapi sejak November 2009 itulah, berbagai
protokol kesehatan seperti penyemprotan disinfektan tidak lagi dilakukan secara intensif seperti sebelumnya. Dengan kata lain, pada pandemi swine flu 2009, kondisinya langsung
kembali ke ‘old normal’ segera setelah vaksinnya ditemukan.
Second Market Crash?
Okay terakhir, ke pertanyaan pentingnya: Jika
hipotesanya adalah tidak akan terjadi gelombang kedua coronavirus, maka apakah
sekarang saya sudah boleh belanja saham? Terkait hal ini ada beberapa hal yang
perlu disampaikan. Pertama, ingat bahwa ekonomi/kinerja fundamental emiten
tetap akan drop di tahun 2020 ini, dan belum tentu akan langsung pulih lagi
di tahun berikutnya (2021), terutama karena era new normal ini tidak akan bisa
kembali ke old normal selama vaksinnya belum ditemukan. Di satu sisi, penurunan
harga-harga saham sejak bulan Maret kemarin mungkin sudah
selaras/sudah price in dengan proyeksi penurunan kinerja
emiten diatas. Namun disisi lain, kita tahu bahwa pandemi covid-19 ini
menyebabkan dampak yang berbeda-beda untuk tiap-tiap sektor, dan tiap-tiap
perusahaan, mulai dari dampaknya sangat buruk, cukup buruk, biasa saja, hingga
justru berdampak positif. Jadi maksud penulis adalah, kalapun IHSG tidak turun
lagi seperti bulan Maret lalu, tapi anda mungkin tetap akan menderita kerugian
jika anda membeli saham yang ternyata terdampak sangat buruk oleh pandemi (atau
perusahaannya bangkrut). Problemnya, meski sudah ada analisa bahwa perusahaan A
diuntungkan oleh pandemi, sedangkan perusahaan B dirugikan, tapi kita baru akan
mengetahui secara pastinya setelah perusahaan yang bersangkutan merilis laporan
keuangan (LK) untuk Kuartal I dan II 2020. Sebagai contoh, pada tulisan
minggu lalu, penulis katakan bahwa sebagai perusahaan teknologi informasi, PT
Telkom (TLKM) akan diuntungkan oleh pandemi. Namun tentunya, tidak ada jaminan bahwa
laba TLKM akan naik di tahun 2020 ini, karena pada tahun 2018 lalu pernah juga
laba TLKM turun sendiri, padahal gak ada pandemi atau apapun.
Sehingga untuk lebih amannya, kita harus
menunggu LK Q2 tersebut. Tapi kita gak perlu tunggu LK Q3, karena ketika itu
harusnya dampak coronavirus sudah jauh berkurang, dan ekonomi sudah bergerak ke
arah pemulihan, meski belum benar-benar pulih.
Kemudian kedua, pada spanish flu tahun 1918,
penyebab terjadinya gelombang kedua adalah karena berlayarnya kapal-kapal pengangkut
tentara hingga hampir ke seluruh dunia, yang otomatis menyebabnya virusnya go
global. Untuk pandemi covid 2020 ini, sejauh yang penulis ketahui,
penerbangan dan pelayaran internasional masih ditutup kecuali yang sifatnya benar-benar
penting (misalnya untuk mengangkut logistik). Namun sejak awal Juni kemarin
sampai hari ini, di Amerika Serikat terjadi unjuk rasa besar terkait isu
black lives matter dimana ratusan ribu orang turun ke jalan, tidak hanya
di satu kota tapi di seluruh AS, dan unjuk rasa itu juga kemudian menyebar
hingga ke Eropa, dan Australia. Padahal seperti yang kita ketahui, salah satu
protokol pencegahan penyebaran covid adalah social distancing, tapi yang
namanya unjuk rasa tentu saja orang-orang akan berdesak-desakan, plus berteriak/berorasi
satu sama lain sehingga percikan air liur yang berisi virus akan menyebar
dengan sangat mudah. Dan kalau unjuk rasanya cuma terjadi di satu atau dua
kota, mungkin itu tidak jadi masalah, tapi ini terjadi di hampir seluruh
dunia!
Sehingga, kalau sebelumnya penulis bisa
tegas katakan tidak akan terjadi corovirus second wave, tapi untuk kali
ini kita mungkin harus tunggu barang 3 – 4 minggu lagi. Kalau memang dalam
kurun waktu tersebut, tidak terjadi ledakan kasus baru covid, then that’s it!
Dan selanjutnya kita tinggal fokus ke pemulihan ekonomi pasca pandemi. Tapi
jika kasusnya terus bertambah (dan memang pada tanggal 19 Juni kemarin tercatat rekor 181
ribu kasus baru dari seluruh dunia, dalam sehari), maka disinilah kita harus hati-hati. Jika Pemerintah AS atau negara lainnya kembali memberlakukan lockdown atau semacamnya, maka itu bisa menjadi katalis untuk terjadinya market crash berikutnya.
Kesimpulannya, penulis tetap berkeyakinan
bahwa kita akan sudah bisa belanja saham sebelum vaksin covid-19 ditemukan, mungkin
sebelum akhir tahun 2020 ini. Karena biasanya sih, ketika nanti vaksinnya sudah
ditemukan, maka IHSG juga sudah naik duluan. Meski demikian, karena masih ada
beberapa hal krusial yang masih memerlukan ‘konfirmasi’ seperti laporan
keuangan emiten, dan kemungkinan terjadinya second wave karena peristiwa unjuk rasa
diatas, maka mungkin kita masih harus menunggu, sebentar lagi.
Okay, kalau anda punya analisa tersendiri
soal topik ini, silahkan menyampaikannya melalui kolom komentar dibawah. Jangan
lupa share artikel ini melalui Facebook dan Twitter, dengan cara klik tombol ‘berbagi’
warna biru, dibawah ini:
***
Ebook
Market Planning edisi Juli 2020 akan terbit tanggal 1 Juli mendatang. Anda
bisa memperolehnya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG dibawah 6,000, dan juga gratis
tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk subscriber.
Buku Kumpulan Rekomendasi 30 Saham Pilihan edisi Kuartal I 2020 sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini, tersedia diskon selama IHSG masih dibawah 5,500.
Komentar
ID first wave aja masih blm move on pak..
dan apakah bisa diselesaikan? mengigat total testing sampai saat ini masih dibawah 1jt specimen. menurut banyak pakar, vaksin jg belum akan ada dalam jangka pendek.
jangan sampai misleading dan merugikan masyarakat.. bapak bukan ahlinya..
Ak lebih percaya sebenarnya angka aslinya sudah parah banget, mungkin sebenarnya first wave sudah terjadi dan kacau banget sejak Mudik lalu pas orang2 pada bondong2 pulang kampung tanpa perlu rapid2 test, dan mungkin sebenarnya kita sudah second wave sekarang tapi kita tidak tau karena minimnya transparansi dan parahnya infrastruktur untuk mengkoleksi data dan menyebarkanya secara benar dan cepat
Ak ngerasa pemerintah indonesia udah apal sama karakter orang indo, dimana kalo dibeberin angka asli mereka bakal panik banget, sehingga ada insentif buat pemerintah indo untuk agak lemot ngadain testing dan manipulasi data. Bisa jadi ini disengaja.... Atau mungkin ending ny duit buat penanganan corona dikorupsi kayak biasa