Begini Peran Manajer Investasi (MI) dalam Skandal Jiwasraya
Pada hari Rabu, 24 Juni 2020, terkait Kasus
gagal bayar Jiwasraya, Kejaksaan Agung menetapkan status tersangka terhadap
13 perusahaan manajer investasi (MI), plus satu orang pejabat di lingkungan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Ke-13 MI ini diduga telah bekerja sama dengan manajemen
Jiwasraya untuk membuat produk reksadana khusus, dimana dana yang disetor oleh Jiwasraya
ke dalam reksadana tersebut ujung-ujungnya tetap dibelikan saham-saham
gorengan. Sedangkan satu orang pejabat OJK diatas diduga mengetahui praktek
kongkalikong diatas, namun membiarkannya. Sebelumnya, Kejagung sendiri sudah
menetapkan status tersangka kepada 3 orang mantan direksi Jiwasraya, 1 orang pihak
luar, dan 2 orang pemilik sejumlah perusahaan Tbk, yang selama ini sudah sangat
dikenal sebagai ‘bandar saham’ di bursa.
***
Jadwal
Seminar Value Investing, Basic & Advanced, Jakarta, Sabtu – Minggu, 18 – 19 Juli 2020.
Info lengkap klik
disini, atau whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti). Tersedia diskon early bird bagi peserta yang mendaftar sebelum tanggal 10 Juli.
Ebook
Market Planning edisi Juli 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG dibawah 6,000, dan juga gratis
tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk subscriber.
***
Nah, terkait
hal ini penulis kemudian banyak menerima permintaan komentar dari temen-temen
media, karena memang di blog ini kita sudah banyak membahas soal Jiwasraya,
Asabri, dan saham/reksadana gorengan sejak akhir tahun 2019 kemarin. Dan
penulis juga banyak menerima pertanyaan dari nasabah reksadana/MI, dimana
intinya adalah, apakah dengan adanya kasus ini maka gak hanya perusahaan
asuransi model Jiwasraya, tapi kita juga gak bisa percaya lagi dengan MI-MI
itu?? Anyway, mungkin biar lebih jelasnya, kita bikin ulasannya dalam bentuk
tanya jawab saja.
Seperti
apa bentuk keterlibatan 13 MI diatas terhadap kasus gagal bayar Jiwasraya, jika
benar mereka terlibat?
Penyebab
gagal bayar Jiwasraya, seperti yang kemarin sudah dibahas
disini, adalah karena Jiwasraya banyak menempatkan dana milik nasabah
produk JS Saving Plan di saham-saham ‘gorengan’ yang harganya di pasar sengaja
dikerek naik, sehingga perusahaan kemudian membukukan ‘keuntungan investasi’ di
laporan keuangannya. Tapi karena pada dasarnya saham-saham yang dibeli itu berfundamental
jelek (atau valuasinya amat sangat mahal), maka harganya kemudian turun lagi,
sebagian diantaranya bahkan hingga mati ke level gocap. Sehingga Jiwasraya
kemudian merugi gila-gilaan, dan akhirnya gagal bayar ke nasabahnya.
Kemudian
sebagai perusahaan asuransi, Jiwasraya tidak bisa menempatkan seluruh dana
nasabah secara langsung di saham-saham, melainkan sebagian ditempatkan melalui
reksadana, sebagai upaya untuk meminimalisir risiko (karena MI yang mengelola
reksadana tersebut tentunya dianggap lebih ahli dalam hal investasi saham
dibanding Jiwasraya itu sendiri, karena Jiwasraya bukanlah MI, melainkan perusahaan
asuransi). Tapi belakangan diketahui bahwa dana yang disetor ke reksadana tersebut
ternyata tetap dibelikan saham-saham gorengan. Jadi kemungkinan, manajemen Jiwasraya
menempatkan dana di reksadana sehingga muncul kesan bahwa perusahaan mengelola
dana nasabahnya secara prudent, tapi mereka sudah janjian dengan MI yang
bersangkutan agar dana tersebut tetap dibelikan saham-saham model Inti Agri
Resources (IIKP), Trada Alam Minera (TRAM), Capitalinc Investment (MTFN), yang
sekarang semuanya mati di gocap. Dengan kata lain, itu cuma reksadana boong-boongan/cuma
formalitas, karena ujungnya tetap Jiwasraya main saham gorengan. Dan para MI
ini tentunya menerima fee dari jasa pengelolaan reksadana tersebut.
Tahu
dari mana para MI itu membeli saham-saham gorengan?
Salah
satu dari 13 tersangka MI diatas adalah PT Pool Advista Aset Manajemen (PAAM),
yang merupakan anak usaha dari PT Pool Advista Indonesia, Tbk (POOL). Dari keterbukaan
informasi yang dirilis POOL di website BEI, diketahui bahwa perusahaan (entah
itu secara langsung, atau melalui PAAM) memegang saham-saham berikut,
berdasarkan nilai pasar mereka per tanggal 31 Desember 2019, dan 2018. Perhatikan bahwa sepanjang tahun 2019, nilai investasi POOL di saham-saham dibawah ini anjlok 74.8% dari Rp476 milyar menjadi hanya Rp121 milyar, itupun dengan asumsi semua sahamnya bisa dijual (jika sebuah saham sudah turun sampai 50, maka anda akan sulit menjualnya karena bid-nya nggak ada), padahal IHSG pada periode yang sama masih naik 1.7%. Klik gambar untuk memperbesar.
Nah, dari
tabel diatas kita bisa lihat bahwa isi portofolio POOL ternyata sama
mengerikannya dengan porto milik PT Asabri, yang juga banyak berinvestasi di
saham-saham yang sekarang serempak mati di gocapan, atau di-suspen karena
perusahaannya bermasalah/bangkrut (daftar lengkap saham-saham yang dipegang
Asabri bisa dibaca
disini).
Sayangnya
ke-12 MI lainnya bukan merupakan perusahaan Tbk, dan juga bukan anak dari perusahaan Tbk, sehingga tidak ada informasi soal saham-saham apa
yang mereka pegang (PT Sinarmas Aset Management merupakan cucu usaha dari PT Sinarmas Multiartha, Tbk (SMMA), sedangkan PT MNC Aset Manejemen adalah cucu usaha dari PT MNC Kapital Indonesia (BCAP)). Tapi ada kemungkinan bahwa untuk produk reksadana yang mereka buat khusus untuk Jiwasraya, maka isinya adalah saham-saham
yang kurang lebih sama seperti yang dipegang oleh POOL.
Jika
para MI ini diputus bersalah, lalu bagaimana nasib dana nasabah?
Setiap MI
biasanya punya banyak produk reksadana, dan yang dipermasalahkan Kejagung
hanyalah reksadana yang terkait dengan Jiwasraya saja. Sebagai perusahaan besar
dengan dana besar, Jiwasraya bisa meminta MI untuk membuat produk reksadana
khusus dimana nasabahnya hanya Jiwasraya ini saja (disebut reksadana tunggal,
atau reksadana penyertaan terbatas/RDPT), dan dana yang masih ada di dalam produk
reksadana inilah yang mungkin akan disita oleh negara. Jadi untuk produk-produk
reksadana lainnya yang dimiliki oleh ke-13 MI diatas, yang dananya dihimpun
dari masyarakat, harusnya gak ada masalah.
Bagaimana
efek dari penetapan tersangka baru Jiwasraya ini terhadap prospek pasar saham
itu sendiri?
Sejak mencuatnya
kasus Jiwasraya dan reksadana gorengan sejak November 2019 lalu, maka volume
transaksi di bursa anjlok signifikan, dan itu secara tidak langsung turut
menyebabkan jatuhnya IHSG di tahun 2020 ini (diluar faktor pandemi corona),
karena sejak saat itu ada banyak nasabah asuransi dan aset manajemen yang
menarik dana mereka, sehingga para investor institusi ini (asuransi, aset
manajemen, dan dana pensiun) jadi kekurangan dana untuk diinvestasikan ke
saham. Dengan penetapan status tersangka terhadap 13 MI, maka kemungkinan akan
menyebabkan lebih banyak nasabah yang menarik dana mereka, tidak hanya dari 13
MI itu tapi juga MI-MI lainnya, dan pasar saham akan menjadi lebih sepi lagi.
Dan kalau volume transaksi sepi, maka harga-harga saham akan cenderung turun.
Jadi agar
hal itu tidak terjadi, maka pihak otoritas seperti BEI dan OJK harus turun
tangan langsung untuk menenangkan nasabah, untuk menjelaskan bahwa investasi
mereka aman-aman saja/gak akan ikut mengalami gagal bayar.
Tapi
bukankah dari OJK sendiri sudah ada yang ditetapkan sebagai tersangka? Apakah
ini juga akan menurunkan kepercayaan investor terhadap investasi di pasar
modal, baik itu secara langsung maupun melalui reksadana?
Karena Jiwasraya,
dan perusahaan-perusahaan manajer investasi itu semuanya terdaftar dan diawasi oleh
OJK, maka tidak mungkin pihak OJK tidak mengetahui kalau ada praktek-praktek diatas. Atau kalau mereka tidak mengetahui, berarti mereka
tidak melakukan fungsi pengawasannya dengan baik. Termasuk untuk
perusahaan-perusahaan Tbk yang sahamnya diperdagangkan di BEI diatas, maka
mereka juga hanya bisa melakukan IPO jika memperoleh pernyataan efektif dari OJK.
Jadi
intinya, penetapan status tersangka terhadap pejabat OJK ini memang sudah
semestinya. Tapi ini belum tentu berarti bahwa OJK itu sendiri yang bermasalah, karena bisa
jadi itu hanya kesalahan oknum. Sama seperti ketika ramai isu black
lives matter di Amerika Serikat karena ada oknum polisi yang, entah sengaja
atau tidak, membunuh seorang pria kulit hitam, maka oknum polisi inilah (yang
bernama Derek Chauvin) yang kemudian dikenakan hukuman, bukan institusi kepolisian
itu sendiri. Saya kira, jika OJK bisa memanfaatkan momentum ini untuk bersih-bersih
di internalnya sendiri, yakni agar kedepannya mereka bisa melakukan pengawasan
yang lebih baik sehingga kasus-kasus seperti Jiwasraya tidak terulang kembali,
maka itu justru bisa meningkatkan kepercayaan investor terhadap industri
keuangan di Indonesia secara keseluruhan.
Apakah
akan muncul tersangka baru terkait kasus Jiwasraya ini?
Mungkin
saja. Pangkal masalahnya kan sebenarnya bukan di Jiwasraya-nya, melainkan di
saham-saham gorengan itu yang memakan banyak korban tidak hanya investor nasabah Jiwasraya, tapi
banyak juga investor lainnya baik itu ritel maupun institusi (selain Jiwasraya,
boleh anda googling, ada banyak perusahaan asuransi/reksadana yang juga gagal
bayar gara-gara main saham gorengan). Jadi patut diselidiki, siapa dibalik perusahaan-perusahaan
Tbk yang sahamnya digoreng itu. Memang sudah ada dua ‘bandar saham’ yang
dijadikan tersangka, tapi kemungkinan masih ada lagi bandar-bandar lainnya.
Termasuk, karena saham yang digoreng tidak hanya saham perusahaan swasta, tapi
juga sejumlah BUMN (Semen Baturaja (SMBR), PP Properti (PPRO), Pelat Timah
Nusantara (NIKL), dst), maka kejagung juga bisa periksa direksi di BUMN-BUMN
tersebut, minimal sebagai saksi.
Jadi
memang, kalau mau kasusnya benar-benar tuntas, maka masih banyak yang harus
dikerjakan oleh kejagung sebagai penegak hukum.
Beberapa
waktu lalu, salah satu tersangka berinisial BT menyebut bahwa Grup Bakrie juga
terlibat dengan Jiwasraya sejak tahun 2006. Apakah maksud anda Bakrie ini juga ‘bandar’?
BT yang bilang
itu, bukan saya. Tapi betul bahwa, sejak sebelum saham-saham milik Grup BT,
maka pada tahun 2003 – 2012 lalu, bursa ‘dikuasai’ oleh saham-saham Grup
Bakrie, termasuk saham sejuta umat Bumi Resources yang legendaris itu juga
sudah makan banyak korban, tidak hanya investor institusi, tapi juga ritel.
Jadi sekarang balik lagi ke penegak hukum, apakah mereka cukup berani untuk memeriksa,
atau tidak.
Saran
anda kepada para investor di bursa saham?
Skandal
Jiwasraya ini, termasuk reksadana-saham gorengan, telah membuat pasar modal
kita jadi nggak nyaman sejak beberapa tahun terakhir, bahkan sebelum adanya
musibah coronavirus di tahun 2020 ini. Dan sampai hari ini, sepertinya proses ‘bersih-bersihnya’
masih belum benar-benar selesai. Sehingga dalam jangka pendek – menengah,
dampaknya mungkin masih akan negatif terhadap pasar saham itu sendiri
(transaksi sepi, IHSG susah naik).
Meski
demikian, beberapa tahun lalu seorang teman pernah berkata kepada penulis, ‘Jadi
maling itu paling enak di pasar saham. Kalau kamu nyolong duit negara, maka
siap-siap dikejar KPK. Tapi kalau kamu nyolong duit investor pake saham
gorengan, maka ente cukup bilang, siapa suruh beli saham gua?? Kalau gak siap
rugi, ya jangan trading saham!’ Intinya, sebelum adanya skandal Jiwasraya, para
bandit ini bebas berkeliaran tanpa perlu khawatir bakal kena jerat hukum. Di
masa lalu, setiap kerugian yang dialami seorang investor di pasar modal, baik
itu yang berinvestasi langsung maupun melalui reksadana/asuransi unitlink, selalu
sepenuhnya dianggap sebagai kesalahan si investor itu sendiri.
Tapi
dengan adanya kasus ini, maka tentu saja harapannya adalah bahwa pasar modal
kita kedepannya akan lebih bersih, dan investor akan benar-benar dilindungi.
Jadi pesan saya tetap satu ini saja: Selama kita tetap berinvestasi di
saham-saham berfundamental bagus (saham-saham ‘gorengan’ yang dipegang POOL
diatas, boleh anda cek, kinerja perusahaannya amburadul semua), maka ya santuy
saja. Dan kalau anda khawatir bahwa MI anda juga ikut beli saham-saham gak
jelas itu tadi, maka boleh mulai belajar cara investasi saham secara langsung, jadi
gak lagi melalui reksadana. What? Anda gak punya waktu? Yo wis, sementara taroh
di deposito saja dulu sampai nanti semua gonjang-ganjing ini beres. Karena kalau
melihat angka kerugiannya yang amat sangat besar, yakni mencapai setidaknya
Rp12 trilyun dan itupun baru di Jiwasraya saja/belum termasuk gagal-gagal bayar
yang lain, maka memang kemungkinan ceritanya bakalan panjang. We’ll see.
***
Jadwal
Seminar Value Investing, Basic & Advanced, Jakarta, Sabtu – Minggu, 18 – 19 Juli 2020.
Info lengkap klik
disini, atau whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti). Tersedia diskon early bird bagi peserta yang mendaftar sebelum tanggal 10 Juli.
Ebook
Market Planning edisi Juli 2020 sudah terbit! Anda bisa memperolehnya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG dibawah 6,000, dan juga gratis
tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk subscriber.
Follow akun resmi penulis di media sosial, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar
ngepetnya lagi ane titip ammo di perusahaan asuransi ... :D pak teguh coba bahas donk kalo ammo lg ngak dipake mending titip kemana ...kan ngak mungkin tiap hari belanja juga ... emang kita trader apa :D
1. Pertanyaan dasarnya: apakah goreng-menggoreng saham ini diperbolehkan? Jika ilegal, mengapa OJK tidak bertindak? Jika ternyata masih ada celah aturannya, mengapa OJK tidak menerbitkan aturan untuk melarangnya? Karena telah terbukti merugikan banyak orang baik investor ritel maupun institusi. Intinya, dimana peran pengawasan OJK dalam kasus ini?
2. Analogi dengan Derek Chauvin mencerminkan (maaf) kenaifan dalam hal ini. Yes, memang untuk saat ini Derek Chauvin "hanyalah" satu oknum yang jadi pusat perhatian. Namun sebenarnya isu rasial dan sikap sewenang2 telah mewabah di dalam institusi polisi AS, lebih besar dari hanya sekedar segelintir orang saja. Likewise, apakah hanya perlu satu oknum petugas saja untuk mematikan peran satu institusi penting OJK sehingga menimbulkan kerugian trilyunan rupiah? Terus yang lain-lainnya kerjanya ngapain aja?
Menurut saya, bersih-bersih internal OJK bukan hanya satu hal yang "bisa" dilakukan, namun HARUS.
Kalau boleh usul saran, setelah ini mungkin Bapak bisa menulis artikel tentang perbaikan yang perlu dilakukan dari pihak OJK.
Those being said, saya setuju kalau para MI yang terlibat perlu diselidiki perannya. Apalagi kalau terbukti ada kongkalikong dengan pejabat Jiwasraya, Asabri, dll. Selain itu ke depannya perlu juga dilakukan pengawasan serta audit lebih ketat untuk skema2 yang menawarkan guaranteed fixed rate of return. Saya agak kurang setuju kalau dibilang "Pangkal masalahnya kan sebenarnya bukan di Jiwasraya-nya". Saya lebih setuju dengan ulasan Bapak sebelumnya dimana Jiwasraya bisa jadi mereka bukan korban tapi justru bandarnya. Serta seharusnya mereka menghentikan program JS Saving Plan secepatnya saat keadaan pasar sudah tak mampu memberikan imbalan yang dijanjikan.
Kalau main di dunia saham pasti ada kemungkinan untuk rugi, regardless yang main perusahaan negara atau perorangan. Kalau tidak mau rugi ya jangan main di saham. Menurut saya inti permasalahannya adalah karena kurang / tidak adanya pengawasan, terutama untuk kasus goreng-menggoreng saham.
Sebaiknya BEI segera merilis pengumuman ini dan selanjutnya rutin dirilis, bahkan termasuk saham2 yang baru lahir (IPO) sejak semula harus dikasih tau oleh BEI : ini lho saham gorengan..
Jadi investor tau saham mana2 yang sebaiknya dijauhi. Dan selanjutnya pengumuman ini perlu dibuat rutin misalnya tiap hari dimonitor.
Sehingga kalo ada kerugian investor akibat salah beli saham, harusnya yang dijerat adalah orang BEI :
1. Kenapa saham gorengan boleh masuk di bursa dan menjerat orang (karena tujuan satu2nya saham gorengan masuk bursa kan cuma buat jerat orang)
2. Kenapa ga sedini mungkin sejak awal IPO atau terdeteksi saham gorengan, ga diinformasikan ke masyarakat, karena sebagai penyelenggara harusnya BEI tau
3. Kalau BEI ngaku ga tau mana saham gorengan, BEI harusnya kena sanksi kenapa mereka bisa ga tau padahal mereka harusnya tau
4. Atau BEI juga mendapat keuntungan dari beredarnya saham gorengan di bursa? Bikin bursa lebih menarik, lebih ramai, dan banyak transaksi misalnya?