Alasan Utama Kenapa W. Buffett Terus Menjual Saham, dan Menambah Cash

Dua hari lalu, pada tanggal 2 Mei 2020, Berkshire Hathaway (BRK) menggelar Annual Meeting untuk tahun 2020, dan di waktu yang sama perusahaan merilis laporan keuangan untuk periode Kuartal I 2020, dimana hasilnya cukup mengejutkan: BRK mencatat rugi bersih $49.7 milyar, yang merupakan rekor kerugian terbesar yang pernah dibukukan perusahaan sejak diambil alih Warren Buffett (WB) pada tahun 1965, dimana sebagian besar kerugian tersebut diakibatkan oleh penurunan nilai investasinya pada saham-saham di Bursa Amerika yakni dari $248.0 milyar pada akhir tahun 2019, menjadi hanya $180.8 milyar per 31 Maret 2020. Dan tidak hanya itu, posisi kas dan setara kas BRK juga kembali meningkat tajam ke level $137.3 milyar. Sehingga alih-alih belanja ketika terjadi market crash pada Maret 2020, WB justru jualan. Pertanyaannya, mengapa?

***

Jadwal Seminar: Karena imbas Covid-19, penulis sampai hari ini masih #rebahanathome, jadi untuk sekarang belum ada jadwal. Namun anda bisa memperoleh rekamannya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 6,000.

***

Dan penulis sendiri terus terang penasaran akan hal ini, selain karena sepanjang meeting-nya yang berdurasi total 5 jam, WB cukup banyak menyebut kata ‘Covid-19’, 'Coronavirus', atau 'pandemi', yang itu artinya WB sendiri tidak menganggap ringan masalah Covid-19 ini. Alhasil, saya kemudian menonton lagi video meetingnya berulang-ulang, hingga akhirnya diperoleh tiga kesimpulan sebagai berikut.

1. Prospek Industri Penerbangan Telah Berubah Signifikan

Ketika WB mulai mengoleksi saham-saham American Airlines, Delta Airlines, dan Southwest Airlines sejak tahun 2016 lalu, maka ia sudah memperhitungkan banyak faktor risiko terkait perusahaan penerbangan, seperti fluktuasi harga bahan bakar minyak, penurunan permintaan layanan penerbangan terkait naik turunnya kondisi ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain di seluruh dunia, dan tingkat kompetisi antar maskapai. However, ketika American Airlines menerbitkan obligasi senilai $829 juta pada tahun 2015, maka pada prospektusnya di bagian risks relating to the Company, sama sekali tidak disebut risiko terjadinya travel ban, alias larangan dari pemerintah kepada masyarakat untuk melakukan perjalanan termasuk menggunakan pesawat terbang. Karena memang, sepanjang sejarah industri penerbangan, tidak pernah terjadi travel ban secara total bagi seluruh penduduk, entah itu di AS ataupun di negara-negara lainnya seluruh dunia.

Namun ketika merebak pandemi Covid-19, maka seperti yang kita ketahui, tidak hanya AS, tapi hampir semua negara di seluruh dunia menerapkan larangan perjalanan ini. Sehingga permintaan untuk layanan penerbangan tidak lagi hanya sekedar turun, tapi menghilang sama sekali. Dan bagi WB, ini adalah sesuatu yang sama sekali baru, yang pada skenario risiko terburuk sekalipun tidak pernah diprediksi akan terjadi, sehingga ia sekarang tidak bisa lagi memperkirakan, akan seperti apa masa depan bagi industri penerbangan di AS. WB juga menambahkan, ‘Sudah sejak tujuh minggu terakhir saya belum memotong rambut, dan pada annual meeting ini adalah kali pertama saya mengenakan jas dan dasi. Tujuh minggu adalah waktu yang sangat lama bagi sebuah perusahaan untuk berhenti beroperasi sama sekali, tapi bahkan kita belum tahu akan butuh waktu berapa lama lagi agar perusahaan penerbangan bisa kembali beroperasi dengan normal’.

Dan pendapat WB terkait ketidak pastian masa depan suatu industri karena adanya Covid-19 tidak terbatas pada sektor penerbangan saja. Ketika ia kemudian membahas soal investasinya di Occidental Petroleum (OXY), yang ia beli sahamnya setahun lalu, ia menyampaikan, ‘Kinerja OXY akan dipengaruhi oleh naik turunnya harga minyak, dimana hal itu tidak diprediksi, tapi itu normal. Tapi ketika harga minyak sampai minus $37 per barel, beberapa waktu lalu, maka itu sudah off the chart, alias sudah jauh melewati batas-batas fluktuasi yang wajar bagi harga sebuah komoditas.’ Terkait kinerja dari unit-unit usaha yang sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh BRK, maka WB juga mengatakan, ‘Kinerja mereka akan turun signifikan hingga waktu yang kami belum tahu sampai kapan’.

Singkat kata, meski WB sudah sangat berpengalaman dalam menghadapi berbagai krisis, termasuk ia juga mendengar langsung tentang kisah krisis great depression di tahun 1929 – 1933 dari ayahnya sendiri yang waktu itu berprofesi sebagai broker saham, tapi pada krisis tahun 2020 ini, ia untuk pertama kalinya menyebut bahwa, ‘Kemungkinannya sangat-sangat lebar terkait kinerja ekonomi AS di masa yang akan datang’, atau dengan kata lain, ‘Sekarang ini apapun bisa terjadi, termasuk skenario yang paling buruk yang tidak pernah terbayang sebelumnya sekalipun’.

2. Nilai Intrinsik BRK Telah Berubah

Kemudian ada pertanyaan, ‘BRK telah membeli kembali sejumlah sahamnya di pasar (buy back) pada bulan Januari dan Februari 2020 lalu, tapi ketika kemudian harganya turun hingga 30% di bulan Maret, BRK justru tidak lagi melakukan buy back tersebut. Kenapa?’ Dan WB menjawab, ‘Pada Januari, kami melihat harga saham BRK di pasar masih sangat rendah dibanding nilai intrinsik perusahaan. Tapi pada bulan Maret-nya, setelah merebaknya pandemi Covid yang bisa dipastikan akan berdampak negatif ke perusahaan, maka kami menganggap bahwa nilai intrinsik perusahaan telah berubah ke level baru yang kami belum tahu berapa, terutama karena kami juga tidak bisa melihat kapan pandemi ini akan berakhir. Kami hanya akan membeli suatu saham, tidak terkecuali saham BRK, jika kami memiliki gambaran yang cukup jelas tentang berapa nilai intrinsik perusahaan, dan jika harganya di pasar lebih rendah secara signifikan dibanding nilai intrinsiknya tersebut’.

‘Namun’, WB melanjutkan, ‘Berbeda dengan Januari lalu, pada saat ini kami tidak lagi mengetahui berapa nilai intrinsik dari BRK. Sehingga jika kami melanjutkan buy back, bahkan meskipun pada harga beli yang sebenarnya lebih rendah, maka itu adalah spekulasi’.

3. Pegangan Cash yang kembali Meningkat

Pertanyaan berikutnya, ‘Posisi kas BRK saat ini sangat besar, baik itu dalam nominal Dollar maupun dari persentase terhadap nilai total aset perusahaan. Tapi kenapa anda tetap menyarankan kepada investor untuk membeli saham?’ Dan WB menjawab, ‘Kami adalah investor yang sangat konservatif, yang selalu memperhitungkan semua kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Kami memegang cash besar karena sudah menjadi kebijakan perusahaan agar selalu siap jika terjadi skenario terburuk dari yang terburuk. Namun, ini bukan berarti kami memprediksi bahwa skenario terburuk itu akan terjadi. Faktanya justru, kami melihat bahwa sangat kecil kemungkinan skenario terburuk itu akan terjadi, dan jauh lebih besar peluang terjadinya skenario yang di tengah-tengah, alias tidak terlalu buruk tapi juga tidak terlalu bagus, baik itu jika pandemi Covid-19 ini berkepanjangan, atau jika kehidupan langsung kembali normal dalam waktu beberapa bulan hingga 1 – 2 tahun depan.’

‘Sehingga’, WB melanjutkan, ‘Kecuali jika anda juga memiliki kebijakan investasi yang ultra-konservatif seperti kami, maka kami tetap akan menyarankan untuk membeli saham. Risiko terjadinya kerugian tentunya akan selalu ada, bahkan jika kondisi ekonomi saat ini normal-normal saja/tidak sedang terjadi pandemi. Namun selama anda memilih saham bagus dan murah, maka peluang profitnya akan selalu lebih besar dari risiko kerugian tersebut.’

Laporan keuangan terbaru Berkshire Hathaway, di bagian aset. Kotak hijau adalah posisi cash perusahaan, sedangkan kotak biru adalah nilai investasi BRK di saham-saham Bursa New York

Never Bet Against America

Setelah menyelesaikan video Annual Meeting di tahun 2020, penulis juga menonton video meeting yang sama di bulan Mei 2008 (ketika mulai terjadi krisis subprime mortgage), dan Mei 2009 (titik terendah krisis). Pada Mei 2008, WB hanya sedikit berbicara tentang resesi dan krisis, seolah-olah ia sudah bisa memperkirakan berbagai skenario yang mungkin akan terjadi jika harga real estate ketika itu terus turun. Dan pada Mei 2009, ia menjelaskan bahwa krisis di tahun 2007 – 2009 tidaklah berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya, yakni bahwa itu disebabkan oleh keserakahan (greedy), kebodohan, dan sikap mental bahwa ‘Semua orang juga melakukan itu (maksudnya mengambil utang gila-gilaan dengan jaminan aset properti, yang sejak awal harganya digelembungkan)’.

Namun untuk resesi tahun 2020 ini, maka faktor utama penyebabnya bukan lagi greedy atau semacamnya. Pada krisis 2008, dan juga krisis-krisis sebelumnya, kondisi ekonomi adalah seperti ‘Gerbong kereta yang mengalami kecelakaan dengan tergelincir keluar dari jalur rel-nya, namun segera setelah kecelakaan tersebut ditangani, maka keretanya akan bisa jalan lagi’. However pada krisis kali ini, maka ‘Gerbong itu secara sengaja ditarik keluar dari rel, dan dibiarkan tidak beroperasi hingga entah sampai kapan’. WB juga secara tersirat menyatakan bahwa kebijakan lockdown atau semacamnya dari pemerintah AS untuk mencegah penyebaran Coronavirus, sebenarnya tidak perlu dilakukan. Tapi karena itu sudah di lakukan, maka dampak negatif/kerusakan yang ditimbulkan sudah terlanjur terjadi, dan belum tentu kondisinya akan kembali normal bahkan meski pemerintah AS pada akhirnya nanti kembali membuka seluruh kegiatan ekonomi. Dalam hal ini penulis mungkin boleh menambahkan satu analogi sederhana: Sekarang ini bulan suci Ramadhan, dan umat muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa, dari subuh sampai matahari terbenam. Jadi dalam hal ini, kita seperti mengalami lockdown dengan tidak bisa makan dan minum di siang hari. Tapi karena pada malam harinya kita bisa kembali makan, maka ya gak ada masalah, malah badan akan jadi lebih sehat karena puasa tersebut. Tapi sekarang bayangkan jika anda harus berpuasa selama 3 hari berturut-turut tanpa jeda, alias tidak boleh berbuka sama sekali. Maka ketika kita akhirnya diperbolehkan untuk makan pada hari ke-4, kira-kira kita ketika itu masih bernafas atau tidak??

Sehingga menurut Buffett, tidak bisa tidak, berhentinya kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan banyak perusahaan akan tutup sama sekali, dan tidak akan bisa kembali beroperasi normal bahkan meski nanti lockdown-nya sudah dicabut. Dan semakin lama pandemi ini berlangsung, maka akan semakin banyak perusahaan yang terpaksa tutup total tersebut.

Meski demikian, WB menutup meetingnya dengan cerita tentang great depression yang diawali pada market crash di bulan Oktober 1929: Sebelum terjadi crash, Dow Jones Industrial Average berada di posisi 381, lalu kemudian anjlok, dan memasuki tahun 1930 (tahun dimana WB lahir) naik lagi hingga mencapai 240. Tapi setelah itu barulah terjadi resesi besar, dan Dow kemudian terus turun hingga mentok di 41 di tahun 1933. Hingga bertahun-tahun kemudian, pada tahun 1954, Dow akhirnya menyentuh 381 lagi dan melewatinya, dan pada saat itulah muncul lagi kekhawatiran, apakah pada tahun 1954 itu akan kembali terjadi resesi besar? Karena bahkan meski sudah lewat tepat 25 tahun, namun investor di bursa saham Amerika ketika itu masih sangat ingat dengan peristiwa market crash di tahun 1929. Jadi pada saat itulah, Pemerintah AS mengumpulkan 20 orang pakar ekonomi termasuk Bill Martin (chairman Federal Reserve), dan Ben Graham (penulis the intelligent investor, mentornya WB), untuk berdiskusi tentang masa depan ekonomi AS. Dan para pakar ini kemudian memberikan pendapat yang berbeda-beda, mulai dari sangat pesimis, pesimis, netral, hingga optimis. Namun, menurut WB, pada pertemuan ketika itu ada lebih banyak ekonom yang berpandangan pesimis ketimbang optimis, termasuk ada juga yang memprediksi bahwa Dow Jones akan runtuh lagi.

Tapi kenyataannya adalah, hari ini Dow sudah berada di level 24,000-an, atau naik 100 kali lipat dibanding posisinya di tahun 1930. Sehingga meski dalam jangka pendek – menengah, pasar bisa naik turun, demikian pula ekonomi bisa pasang surut, tapi dalam jangka sangat panjang hingga beberapa dekade kedepan, maka pesan kami hanya satu: Jangan pernah bertaruh melawan Amerika (Never bet against America). Kita pernah mengalami masa-masa ujian di masa lalu, dan kita mungkin akan mengalaminya lagi sekarang-sekarang ini. Namun pada akhirnya, Amerika akan kembali sejahtera, dan akan menjadi lebih baik dalam segala hal dibanding saat ini.

Kesimpulan: Tahun 2020, Tahun Transisi?

Sebagai value investor, penulis banyak melahap tulisan-tulisan WB di annual letternya sejak tahun 1957 (waktu WB masih pegang Buffett Partnership), termasuk juga video-video annual meeting-nya sejak awal tahun 2000-an, dan bisa saya katakan bahwa barulah di tahun 2020 ini, WB tampak pesimis dalam memandang prospek ekonomi Amerika Serikat (dan ketika ia pesimis soal AS, artinya ia pesimis soal prospek ekonomi dunia, termasuk Indonesia). Maksud penulis adalah, betul bahwa pada akhirnya, WB menyatakan never bet against America, namun contoh yang diambil pergerakan Dow antara tahun 1930 hingga 2020, alias amat-sangat-panjang-sekali, dan penulis tentu saja setuju kalau dikatakan bahwa pada tahun 2030 atau 2040 nanti, maka ketika itu krisis karena Covid-19 ini akan sudah menjadi pelajaran sejarah. However dalam jangka pendeknya, atau hingga 1 – 2 tahun kedepan, maka jelas WB mengatakan bahwa, ‘Sekarang ini terlalu banyak peristiwa yang sifatnya off the chart’.

Tapi mungkin dalam hal ini, kita harus bisa melihat dari sudut pandang WB: Ingat bahwa di masa lalu, WB mengatakan bahwa ia tidak mau masuk ke saham teknologi, dan bukan karena Apple Inc. (AAPL) dkk nggak bagus, tapi karena ia tidak mengerti teknologi, dan karenanya tidak bisa memprediksi soal prospek jangka panjang dari perusahaan-perusahaan teknologi tersebut. Tapi barulah beberapa tahun ini, setelah memperoleh masukan dari juniornya yang sama-sama value investor namun lebih paham dengan perkembangan kekinian dari industri dan ekonomi (Greg Abel, vice chairman di BRK), maka barulah BRK membeli AAPL, Amazon (AMZN), dan juga sejumlah saham perusahaan teknologi lainnya.

Sehingga ketika WB cut loss dari saham-saham airlines, maka itu belum tentu berarti bahwa prospek American Airlines dkk benar-benar sudah berubah, tapi lebih karena setelah adanya Covid ini, maka WB tidak tahu lagi bagaimana kira-kira masa depan perusahaan. Namun disisi lain hingga ketika artikel ini ditulis, tidak ada informasi bahwa ia menjual saham-saham teknologi diatas (ada sedikit profit taking dari AAPL, tapi nilainya gak signifikan, dan AAPL masih menjadi pegangan saham terbesar di porto BRK). Hal ini menunjukkan bahwa, meski WB berpandangan pesimis terhadap prospek ekonomi dan Bursa Saham Amerika secara umum, namun untuk sektor-sektor tertentu, maka ia ‘masih bisa melihat bahwa prospeknya cerah’.

Sehingga penulis kemudian menyimpulkan sebagai berikut: Saya masih percaya bahwa krisis karena pandemi Corona ini, baik itu di Indonesia maupun di seluruh dunia, tidak akan berkepanjangan seperti pada great depression di tahun 1930-an lalu, ataupun seperti krisis 1998 dimana hampir seluruh sektor ekonomi mati sama sekali. Sebab meski Pandemi Corona ini memang akan mematikan industri tertentu, namun sebaliknya akan mendorong pertumbuhan pesat industri yang lain, yang bisa jadi sebelumnya tidak pernah diprediksi sama sekali bahwa industri tersebut akan maju. Sehingga meski akan ada banyak perusahaan yang tutup, tapi akan muncul perusahaan-perusahaan lain yang menggantikan mereka, sehingga roda perekonomian akan kembali berputar. Dengan kata lain, pada tahun 2020 ini mungkin sebenarnya bukan sedang terjadi krisis, melainkan terjadi periode transisi, dimana perusahaan-perusahaan bagus dan prospektif di masa lalu akan tersingkir oleh perusahaan yang sama sekali baru.

Anyway, kalaupun benar bahwa sekarang ini kita sedang mengalami transisi tersebut, maka proses transisinya tentu tidak akan langsung selesai hanya dalam waktu 1 – 2 hari, melainkan kita akan butuh waktu untuk akhirnya bisa menjawab pertanyaan, perusahaan dan sektor baru apa saja yang akan tumbuh pesat pasca pandemi Corona ini? Perkiraan penulis, WB akan kembali membelanjakan cash-nya ketika ia akhirnya menemukan jawaban atas pertanyaan diatas, dan harusnya itu tidak akan makan waktu lebih lama dari 1 atau 2 tahun mendatang. We’ll see!

***

Video Seminar Terbaru: Berburu Saham Mutiara Terpendam, yakni saham yang berpeluang naik hingga ratusan persen ketika nanti krisis karena Covid-19 ini berakhir. Anda bisa memperolehnya disini.

Follow akun resmi penulis di media sosial, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

GOLD FOR MONEY VALUES mengatakan…
http://ekonomiorangwarasdaninvestasi.blogspot.com/p/blog-page_9.html?m=1

This guys, oracle..!!
Nisa mengatakan…
Pak Teguh lbh baik tulisan2 di blog spt ini dibuat vlog di youtube aja, trmksh.
Inos mengatakan…
Di bikin vlog juga pak teguh
mahesa mengatakan…
Tulisan yang bagus pak teguh..sukses trus bro. Salam
halley mengatakan…
Perusahaan teknologi, robotika, dan AI yang bakal makin hebat. Perusahaan tradisional yang tidak menggunakan teknologi, robotika dan AI bakal mati. Teknologi, robot dan AI tidak bakal sakit, libur dan demo.
Analis Gratis mengatakan…
Pak teguh nonton video laporan WB beberapa kali,kesimpulannya ditulis disini..luar biasa pak..tks sdh mau berbagi..🙏
ArkinP mengatakan…
Dlm banyak krisis sebelumnya WB selalu tampil optimis dan agresif dlm menambah portofolionya (be greedy when everybody fears...), tapi tidak kali ini.

WB dan team sangat berpegang pada analisa fundamental dan mungkin memang ultra conservative dlm berinvestasi, tetapi dalam krisis kali ini, WB dan team sepertinya sangat "overwhelm", sehingga tidak bisa lagi menggunakan analisa fundamental dalam situasi ekonomi & bisnis yg "kacau" seperti saat ini.

Jadi mereka memutuskan utk reduce position dan keep cash ~ reduce position to our sleeping point.

Mungkin itu langkah yg bijak dilakukan....
Indra Ferdinan Panjaitan mengatakan…
Terima kasih penjelasannya pak. Menurut saya pandemic covid ini berefek akselerasi disrupsi..sehingga saham2 bidang digitalisasi semakin prospektif
Foke mengatakan…
Mungkin dengan berkembang pesatnya digitalisasi akan mempercepat proses society 5.0 kedepannya

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?