Membedah Prospek Bank BRI di Tahun Pandemi
Bank BRI (BBRI) melaporkan laba bersih Rp8.2 trilyun sepanjang Kuartal I
2020, cenderung stagnan dibanding periode yang sama tahun 2019 yang juga
sebesar Rp8.2 trilyun, namun ini masih lebih baik dibanding kinerja emiten
lainnya yang rata-rata mulai turun di awal tahun 2020 ini. Meski demikian, anda
sendiri mungkin sudah mengetahui, apa isu terbesar yang menimpa saham-saham
perbankan, yakni: Bagaimana kinerja mereka di Kuartal II, III, dan seterusnya?
Sebab kita tahu bahwa ketika ekonomi melambat akibat Covid-19, maka biasanya
yang bakal kena duluan adalah lembaga-lembaga keuangan termasuk perbankan, ditambah
lagi adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan bank-bank untuk memberikan
relaksasi kredit kepada para debiturnya, dimana itu sekilas merugikan para bank
itu sendiri. Lalu apa pula itu bank jangkar??
***
Ebook
Market Planning edisi Juni 2020 akan terbit hari Senin, 1 Juni mendatang, dan
anda bisa memperolehnya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG dibawah 6,000, dan juga gratis
tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk subscriber.
Buku
kumpulan analisis 30 saham pilihan (Ebook Investment
Planning) edisi Kuartal I 2020 sudah terbit! Anda
bisa memperolehnya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 5,500. Info
whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).
***
Nah, sebenarnya jika kita melihat semua faktor-faktor pentingnya secara
keseluruhan, maka artikel kali ini bakal panjang sekali, termasuk soal bank jangkar itu juga butuh tulisan tersendiri. Karena yang kita
bicarakan disini tidak hanya tentang BBRI, tapi juga sektor perbankan secara
umum, dan lebih luas lagi tentang makroekonomi nasional, serta apa-apa saja
skenario yang mungkin terjadi dalam 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun, hingga 5 tahun
kedepan (karena, seriously, dampak ekonomi dari Coronavirus ini tidak
main-main). Kedepannya kita akan bahas itu semua satu persatu, namun untuk
tulisan kali ini, kita akan fokus pada dua hal terlebih dahulu: 1. Tingkat
kesiapan bank, dalam hal ini BBRI, dalam menghadapi disrupsi ekonomi, dan 2. Skenario-skenario
pergerakan saham BBRI hingga 6 – 12 bulan kedepan, mulai dari yang pesimis
sampai yang paling optimis. Okay, kita langsung saja.
Seberapa Besar Risiko Bank BRI untuk Kolaps?
Sepanjang bulan Maret lalu, penulis menerbitkan seri tulisan dengan tema
crisis protocol (anda bisa baca lagi dari sini), yang intinya
memberi panduan bagi temen-temen investor, dan juga bagi diri penulis sendiri,
untuk siap sedia sebelum terjadi krisis dan market crash, kemudian
bertahan ketika krisis itu terjadi, dan melewatinya. Dan actually, poin-poin
protokol yang disampaikan disitu tidak hanya berlaku bagi investor individu,
tapi juga korporasi. Simpelnya, ketika penulis katakan bahwa kita jangan pernah
beli saham pakai hutang, maka perusahaan yang aman adalah yang juga
konservatif dalam hal utang ini. Pada tahun 2008 lalu, Lehman Brothers
(LEH) bangkrut karena memang diantara semua bank-bank besar di Amerika, LEH
inilah yang paling ‘koboy’ sendiri. Sedangkan pada krisis moneter tahun 1998
lalu, maka yang keluar sebagai pemenang adalah Grup Djarum, karena diantara
semua konglomerasi besar di Indonesia ketika itu, Grup Djarum inilah yang paling
tidak grasa-grusu dalam mengembangkan usahanya.
Sehingga, terkait BBRI, maka jika perusahaan memiliki posisi keuangan
yang sehat, struktur modal yang kuat dan seterusnya, maka ketika terjadi badai
resesi, kinerja perusahaan memang akan turun, tapi ketika badainya kemudian
berlalu, maka ya kinerjanya akan bagus lagi. Anda mungkin pernah mendengar istilah bank
stress test, yakni suatu analisa yang menguji apakah sebuah bank akan
bertahan atau bangkrut, jika terjadi krisis ekonomi. Namun biasanya stress
test ini dilakukan oleh pihak internal dari bank itu sendiri, sehingga
hasil kesimpulannya mungkin tidak objektif. Meski demikian, kita sebagai
investor bisa melakukan stress test itu secara mandiri, berdasarkan laporan
rasio-rasio keuangan yang disajikan pada laporan keuangan terbaru perusahaan.
Nah, jadi sekarang anda klik gambar dibawah ini untuk memperbesar.
Okay, perhatikan. Dalam dunia perbankan, terdapat setidaknya empat
risiko utama yang harus dihadapi oleh BBRI dkk, yakni risiko kredit, risiko
pasar, risiko operasional, dan risiko likuiditas. Keempat risiko itu saling
berkaitan satu sama lain, dimana ketika sebuah bank mengalami peningkatan
risiko kredit, misalnya, maka risiko pasarnya juga akan naik. Jadi mari kita
sekarang cek satu persatu. Sebelumnya, bagi anda yang masih belum ‘ngeh tentang
istilah-istilah di LK perbankan, bisa tonton video
berikut.
Kita mulai dari risiko kredit, yakni jika BBRI mengalami peningkatan jumlah kredit macet,
dimana kredit macet artinya kerugian bagi bank, yang bisa mengurangi atau bahkan menyapu habis laba dari bank yang bersangkutan. Dalam hal ini kita lihat angka non
performing loan (NPL net), dan aset produktif bermasalah terhadap aset
produktif. Dan pada tabel diatas angkanya terbilang sangat baik yakni
masing-masing 0.63%, dan 2.13%. Say, kalaupun event resesi membuat
angka-angka tersebut naik dua hingga tiga kali lipat, maka hasilnya tetap tidak
terlalu mengkhawatirkan. Penulis bisa katakan bahwa di BEI, ada banyak
bank-bank menengah dan kecil dengan risiko kredit yang jauh lebih berbahaya
dibanding BBRI, dan mereka juga aman-aman saja, setidaknya hingga saat ini.
Berikutnya, risiko pasar, yakni risiko penurunan nilai/harga pasar dari
aset kredit dan aset-aset lainnya yang dimiliki oleh bank. Besarnya risiko ini
bisa dilihat dari angka CKPN, dimana semakin besar angkanya, maka semakin besar
jumlah dana yang disisihkan (allowance) oleh bank dari laba
operasionalnya, yakni untuk jaga-jaga jika nilai asetnya ada yang turun, entah
itu karena kredit macet atau lainnya. Pada tabel diatas, CKPN BBRI meningkat
signifikan menjadi 5.09%, dari sebelumnya 3.27%. Dan pada laporan laba rugi
perusahaan, beban penyisihan BBRI memang melonjak menjadi Rp6.5 trilyun pada
Kuartal I 2020, dibanding Rp4.5 trilyun pada periode yang sama tahun
sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa manajemen BBRI langsung mengantisipasi
meningkatnya risiko pasar akibat resesi, dengan menyiapkan dana cadangan yang
lebih besar. Mungkin perlu juga dicatat bahwa jika BBRI tidak menaikkan beban
CKPN-nya, maka harusnya labanya tidak stagnan, melainkan masih tumbuh sekitar
20%. Tapi dengan besarnya angka CKPN, maka hal ini meminimalisir risiko pasar
bagi BBRI, karena sejak awal nilai aset-aset perusahaan sudah
diturunkan/angkanya dikurangi dari yang seharusnya, bahkan ketika resesi itu
belum benar-benar terjadi.
Lanjut, risiko operasional, yakni risiko dimana bank akan merugi jika
biaya operasional lebih tinggi dibanding pendapatannya. Dalam hal ini kita bisa
lihat NIM dan BOPO, dan angkanya juga bagus masing-masing di level 6.66%, dan 72.97%.
Sehingga kalaupun event resesi menurunkan pendapatan (pendapatan bunga dan
lainnya), sedangkan biaya operasional BBRI termasuk untuk membayar bunga deposito
tidak berubah, maka NIM akan turun, sedangkan BOPO naik, tapi harusnya NIM ini gak
akan sampai minus, demikian pula BOPO-nya gak akan lebih dari 100%, sehingga
BBRI tidak sampai tekor/labanya minus alias rugi. Tapi kalaupun terjadi worst scenario dimana
BBRI membukukan rugi bersih, maka faktor risiko berikutnya ini penting untuk diperhatikan:
Terakhir, risiko likuiditas, yakni risiko dimana bank tidak punya cukup
dana untuk mengembalikan dana tabungan milik para nasabahnya, alias gagal
bayar. Seperti yang kita ketahui, bank memegang dana pihak ketiga (DPK) milik
masyarakat, yang disalurkan kembali ke masyarakat/perusahaan dalam bentuk
kredit. Perbandingan antara kredit yang disalurkan dengan DPK, bisa dilihat
pada angka LDR. Pada tabel diatas, LDR BBRI tercatat 90.39%, yang artinya dari
katakanlah Rp100 juta dana tabungan, giro, dan deposito yang diperoleh BBRI dari nasabahnya, maka
hanya Rp90 juta yang disalurkan dalam bentuk kredit, dan itu merupakan rasio
yang aman. Sebab, let say karena krisis, masyarakat ramai-ramai menarik
dana tabungan/depositonya dari BBRI, maka perusahaan masih ada Rp10 juta yang
tersimpan di brankas untuk membayar penarikan dana tersebut.
Jika LDR ini mencapai 95%, atau bahkan 100%, maka ada kemungkinan Bank BRI tidak
punya uang ketika nasabahnya menarik dana, dan itu bisa menyebabkan chaos.
Indikator lainnya yang juga penting terkait risiko likuiditas adalah
KPMM. You see, dalam kondisi krisis, ada kemungkinan BBRI akan merugi sama sekali,
entah itu karena kredit macet atau faktor lainnya, dan rugi itu akan menurunkan
ekuitas perusahaan. Jika angka KPMM ini tidak cukup besar, maka angkanya bisa
menjadi kelewat kecil ketika BBRI menderita rugi yang sangat besar, atau bahkan
menjadi nol, atau minus. Jika itu terjadi, maka secara teknis BBRI bangkrut
karena modalnya sudah habis, dan dia otomatis tidak akan bisa membayar nasabah
yang hendak menarik dana. Peraturan Bank Indonesia menyebutkan bahwa bank-bank
harus mencatat KPMM minimal 8% untuk mencegah hal ini terjadi, dan diatas kita
bisa lihat bahwa KPMM BBRI tercatat 18%, alias cukup aman. Sebenarnya, penulis
sendiri menganggap bahwa KPMM ini idealnya 20%, dan memang di tahun 2019, KPMM
BBRI tercatat 21.68%. Namun karena BBRI membayar dividen total Rp20.6 trilyun
pada Februari 2020 lalu, maka jadilah ekuitasnya turun sebesar Rp20.6 trilyun
tersebut, dan KPMM-nya juga turun. Seandainya masalah pandemi corona ini sudah
terjadi sejak awal tahun 2020 lalu, maka manajemen BBRI kemungkinan akan
menurunkan pembayaran dividen, atau bahkan tidak membayar dividen sama sekali,
dalam rangka memperkuat modal. Meski demikian, KPMM di level 18% juga tentunya
masih cukup aman.
Kesimpulannya, BBRI saat ini berada dalam kondisi dimana kalaupun
kinerjanya akan turun karena krisis di tahun 2020 ini, atau bahkan rugi, maka
perusahaan harusnya tidak akan sampai bangkrut, atau gagal bayar ke nasabahnya.
Dan ini bahkan dengan asumsi Pemerintah tidak turun tangan memberi bantuan jika
terjadi skenario terburuk, which is unlikely. Karena di negara manapun, jika
terjadi krisis maka bank-bank akan di-bail out, terutama bank milik
pemerintah itu sendiri. Sebenarnya, berdasarkan fakta bahwa kondisi industri
perbankan di Indonesia pada hari ini sangat berbeda dibanding tahun 1990-an
lalu (sebelum terjadi krisis 1998), maka skenario terjadinya bank gagal bayar
juga tidak sebesar dulu. Pada tahun 1990-an, terutama setelah Pemerintah
menerbitkan ‘paket deregulasi perbankan Oktober 1998 (Pakto 88, silahkan
googling), maka orang yang pegang duit Rp10 milyar bisa langsung mendirikan
bank, dan alhasil muncul ratusan start-up bank swasta di Indonesia, yang
rata-rata bermodal cekak sehingga rawan kolaps jika terjadi krisis (and
indeed, ketika terjadi krisis 1998, ada banyak bank-bank anyar ini yang
langsung tutup lagi).
Namun belajar dari pengalaman tahun 1998 tersebut, Pemerintah kemudian tidak
hanya memperketat berbagai peraturan di industri perbankan, namun industri
perbankan itu sendiri kemudian dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah.
Dimana pada hari ini, lebih dari 70% aset perbankan di Indonesia dikuasai hanya
oleh empat bank: Tiga diantaranya milik pemerintah, dan satu lagi milik grup
swasta nasional yang sejak dulu terkenal gak suka macem-macem. Investor swasta
termasuk asing bukannya gak boleh punya bank disini, tapi berbagai batasan dari
pemerintah menyebabkan mereka tidak akan pernah bisa sebesar empat bank itu
tadi. Hal ini menyebabkan, 1. Level kompetisi industri perbankan di Indonesia
relatif rendah bagi bank-bank yang sudah mapan, sehingga BBRI dkk tidak perlu melakukan
tindakan yang berisiko tinggi untuk ekspansi (misalnya, menawarkan bunga
deposito yang sangat tinggi agar orang mau menabung, tapi risikonya bank bakal
tekor), tapi tetap bisa cuan gede, dan 2. Pengawasan pemerintah terhadap
bank-bank di Indonesia jauh lebih baik dibanding dulu karena jumlah bank-nya
lebih sedikit, dan karena mayoritas bank itu dimiliki oleh Pemerintah itu
sendiri. Sehingga kalau ada bank yang menunjukkan tanda-tanda bakal gagal bayar
atau semacamnya, maka pemerintah bisa segera mengambil tindakan preventif.
Jadi bahkan dalam skenario terburuk, penulis belum melihat bahwa kita
akan mengalami lagi bank-bank kolaps berjamaah seperti di tahun 1998, apalagi
untuk sekelas Bank BRI ini. Tapi kalaupun skenario tahun 1998 itu
kembali terjadi, maka bisa jadi itu justru bagus untuk BBRI. Perhatikan:
Pada krisis tahun 2008 di Amerika Serikat dimana ada sejumlah bank/lembaga
keuangan yang kolaps, maka bank-bank yang kolaps ini dimakan oleh bank-bank
besar yang bertahan, dan bank-bank besar ini menjadi lebih besar lagi pasca
krisis. Pada tahun 2008, ada dua bank yang menjadi pemenang pasca krisis, yakni
Bank of America, dan JP Morgan Chase, dimana BofA mengakuisisi Countrywide
Financial Corp. (perusahaan pembiayaan KPR terbesar di AS), dan Merrill Lynch (wealth
management terbesar), sedangkan JPM mengakuisisi Bear Stearns (investment
bank terbesar kelima di AS ketika itu), dan Washington Mutual (saving
and loan association/koperasi terbesar di AS). Hasilnya, JPM dan BofA hari
ini masing-masing menjadi bank terbesar pertama dan kedua di AS, dengan total
nilai aset yang juga jauh lebih besar dibanding tahun 2008 lalu.
Sehingga apapun skenario yang akan terjadi, penulis tetap beranggapan
bahwa BBRI tetap sangat ideal untuk investasi jangka panjang (1 tahun atau lebih). Meski demikian
untuk jangka menengah hingga beberapa bulan kedepan, masih ada kemungkinan
bahwa saham BBRI akan turun lebih lanjut, dan penjelasannya akan disampaikan
minggu depan.
***
Video
Seminar Terbaru: Berburu Saham Mutiara Terpendam, yakni saham yang berpeluang naik
hingga ratusan persen ketika nanti krisis karena Covid-19 ini berakhir. Anda
bisa memperolehnya disini. Info Whatsapp 0813-1482-2827
(Yanti).
Follow akun resmi penulis di media sosial, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar
Bagaimana Menanggapi ini ?
Seperti case BofA dan JP
Ditunggu ulasannya terkait akuisisi Pinehill oleh Indofood (masuk kiri keluar kanan)