Akankah IHSG Indonesia Bernasib Seperti Nikkei Jepang?
Beberapa waktu lalu, penulis menerima pertanyaan menarik, ‘Saya baru
tahu kalau indeks Nikkei 225 di Jepang pernah naik sampai 38,900 sekian pada
tahun 1989, kemudian turun lagi, dan sampai hari ini tidak pernah balik lagi ke
level tertingginya tersebut (saat ini Nikkei berada di posisi 19,000-an),
padahal sekarang ini sudah lewat lebih dari 30 tahun sejak tahun 1989 tersebut.
Nah, bukankah hal ini mematahkan mitos bahwa indeks saham pada akhirnya akan terus naik dalam jangka panjang? Karena 30 tahun jelas bukan waktu yang sebentar. Dan apakah
yang dialami Nikkei juga bisa terjadi pada IHSG? Jangan-jangan setelah IHSG
mencapai posisi tertingginya di 6,600-an pada awal tahun 2018 lalu, maka
kesininya dia akan turun terus, dan penurunan selama dua tahunan terakhir ini
barulah awal dari trend penurunan terus menerus hingga entah sampai kapan?’
***
Ebook
Market Planning edisi Mei 2020 akan terbit tanggal 1 Mei mendatang, dan
anda bisa memperolehnya
disini, tersedia diskon khusus selama IHSG dibawah 6,000, dan juga gratis
tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk subscriber. Info Whatsapp
0813-1482-2827 (Yanti).
***
Untuk itu, mari kita pelajari lagi tentang perekonomian Jepang, dan juga
hubungannya dengan indeks Nikkei yang belum pernah break new high lagi
dalam 30 tahun terakhir. Okay, here we go!
Dibanding banyak negara lain termasuk Indonesia, dimana perjalanan
sejarahnya banyak dipenuhi oleh perang saudara, dan juga penjajahan oleh negara
lain, maka Jepang sudah memasuki era industri modern sejak peristiwa Restorasi
Meiji pada tahun 1868, dimana Negeri Jepang yang sebelumnya dipimpin oleh shogun
kembali dipimpin oleh Kaisar, dalam hal ini Kaisar Meiji. Sang Kaisar
kemudian membuka Jepang untuk berdagang dengan negara-negara lain terutama Amerika Serikat dan
Eropa. Minimnya sumber daya alam yang dimiliki oleh Jepang membuat kekuatan
asing tidak terlalu berminat untuk menguasai/menjajah Jepang, dan itu justru
menguntungkan Jepang dimana mereka bisa menjadikan AS dan Eropa sebagai mitra
dagang yang setara, dan Jepang kemudian banyak mengekspor kain sutra, dan sebaliknya mengimpor alat-alat teknologi dan
industri. Jepang juga banyak membangun infrastruktur pabrik garment, rel
kereta api, galangan kapal dll (setelah memperoleh transfer teknologinya dari luar), dan pada awal abad ke-20, Jepang sudah menjadi
salah satu negara industri paling maju di seluruh dunia.
Kemudian pada tahun 1914 – 1918, di Eropa meletus Perang Dunia ke-1, dan
ekonomi Jepang tumbuh lebih pesat lagi setelah mereka menerima banyak pesanan
kapal selam, tekstil dll dari Eropa. Sehingga pada awal dekade 1920-an,
Jepang benar-benar sudah menjadi negara adidaya No.1 di Benua Asia. Karena
pada masa itu kolonisasi masih merupakan hal yang umum (Indonesia juga jaman
itu masih dikuasai Belanda), sedangkan wilayah negaranya juga relatif sempit
(luas darat Jepang hanya 378 ribu kilometer persegi. Sebagai perbandingan, luas
darat Indonesia mencapai 1.9 juta km persegi), maka Pemerintah Jepang kemudian
tidak lagi hanya membangun ekonomi dalam negeri, tapi mulai berusaha masuk dan
menguasai negara lain di Kawasan Asia Pasifik, dan upaya itu pada awalnya
terbilang sukses. Pada puncaknya, wilayah kekuasaan Kekaisaran Jepang
membentang dari Pulau Sakhalin di Rusia, Semenanjung Korea, China bagian timur termasuk Hong Kong, Taiwan, dan Macau, hingga hampir seluruh wilayah Asia
Tenggara termasuk Indonesia, pada tahun 1942.
Namun seperti yang kita ketahui, pada tahun 1940-an meletus
Perang Dunia ke-2, dan Jepang berada di pihak yang kalah setelah pada Agustus
1945, AS menjatuhkan bom nuklir di Kota Hiroshima, dan Nagasaki. Hasilnya,
Jepang tidak hanya kehilangan hampir seluruh wilayah jajahannya, namun
ekonominya juga hancur. Pada tahun 1946, output industri Jepang drop
hingga tinggal tersisa 27.6% dibanding dengan era sebelum perang. Namun perlu
dicatat bahwa karena sejak awal output industri Jepang adalah yang terbesar di
Asia, maka sisa output tersebut termasuk masih lebih tinggi dibanding banyak
negara lain. Jadi analoginya, sebelum PD II, Jepang punya uang Rp10,000, dan setelah
perang, uang tersebut tinggal tersisa Rp2,760. Tapi negara-negara lain termasuk
Indonesia, pada jaman itu hanya punya uang Rp1,000 saja, sehingga ekonomi
Jepang tetap terhitung lebih maju.
Setelah era perang, Pemerintah Jepang (dengan dibantu AS) kembali fokus
membangun ekonomi dalam negeri, termasuk mendorong tenaga kerja wanita untuk
ikut bekerja di pabrik-pabrik. Hasilnya ekonomi Jepang pulih dengan cepat, dan
output industrinya sudah balik lagi ke level sebelum PD II pada tahun 1951, dan
tumbuh lebih lanjut hingga 350% pada tahun 1960. Pembangunan infrastruktur juga
kembali dikebut, dan pada tahun 1962, Jepang sudah memiliki dan mengoperasikan Kereta
Shinkansen yang terkenal itu. Memasuki tahun 1970-an, Jepang sudah menjadi negara adidaya No. 3 di dunia setelah AS, dan Uni
Soviet, dimana konsumsi rumah tangga di Jepang meningkat dua kali lipat pada
tahun 1970, dibanding tahun 1955. Pada awal abad ke-20, Jepang sudah memiliki
sejumlah perusahaan di bidang heavy industry yang sukses menjual
produknya ke seluruh dunia, seperti Toyota, Mitsubishi, Sumitomo dst. Dan pasca
PD II, muncul perusahaan-perusahaan anyar yang juga sukses ‘menguasai dunia’
seperti Honda Motors, Sony Corp., NTT dst.
Kemudian antara tahun 1970-an hingga 1990-an, pertumbuhan ekonomi Jepang
mulai melandai, namun angkanya tetap tinggi (hingga tahun 1970-an, pertumbuhan
GDP Jepang mencapai puluhan persen setiap tahunnya, sedangkan antara 1970 –
1990, angkanya turun menjadi sekian persen setiap tahun). Pada tahun 1968, GDP
Jepang tercatat kurang dari $200 milyar, tapi angka tersebut sudah tembus
$4,000 milyar pada tahun 1992. Sehingga ketika penduduk Jepang sudah sejahtera
pada tahun 1970-an, maka pada tahun 1990-an, mereka lebih sejahtera lagi. Tapi
barulah pada dekade 1990-an ini, pertumbuhan ekonomi Jepang boleh dibilang
mentok sama sekali, dan terakhir angkanya masih di level $5,110 milyar pada
tahun 2019 kemarin.
Jadi kesimpulannya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Jepang
merupakan negara maju, paling maju dibanding semua negara Asia lainnya (sebelum
akhirnya disalip oleh China). Tapi yang tidak banyak diketahui adalah, Jepang
sudah menjadi negara maju sejak tahun 1970-an, atau bahkan sejak tahun
1920-an, yakni jika periode krisis pada era PD II tidak dihitung. Komik
Doraemon yang populer itu, yang menggambarkan tentang bagaimana majunya
teknologi di masa depan, juga terbit pada tahun 1970-an, dimana sang
pengarang, Fujiko F. Fujio, bisa berimajinasi tentang teknologi yang aneh-aneh
seperti mesin waktu, baling-baling bambu, pintu kemana saja, komputer, dll,
karena memang pada tahun 1970-an tersebut perkembangan teknologi di Jepang
sudah sangat pesat dibanding negara-negara lain di seluruh dunia.
Ekonomi Tumbuh Pesat = Stock Market Bubble
Okay, lalu apa hubungannya cerita diatas dengan bursa saham di Jepang,
dalam hal ini Indeks Nikkei? Nah, jadi begini. Dalam value investing, kita tahu
bahwa harga saham tidak selalu mencerminkan nilai wajar perusahaan, melainkan
bisa murah (undervalue), dan bisa juga mahal (overvalue). Dan berdasarkan
pengalaman, jika sebuah perusahaan membukukan kinerja yang konsisten
bertumbuh/laba dan ekuitasnya naik terus selama katakanlah 10 tahun terakhir,
maka biasanya harga sahamnya akan naik lebih tinggi dibanding kenaikan laba/ekuitasnya dalam waktu 10 tahun tersebut, sehingga valuasinya menjadi mahal,
atau bahkan sangat mahal. Inilah kenapa pada tahun 2010 – 2011 lalu, PBV dari
saham-saham batubara di BEI mencapai 5, 6, hingga 7 kali (sangat mahal, alias bubble),
setelah sahamnya terus saja naik signifikan sejak sekitar tahun 2003, karena
perusahaan-perusahaan di sektor ini cuan terus sejak tahun 2000-an tersebut.
Tapi memasuki tahun 2012 sampai hari ini, kinerja perusahaan batubara turun dan
gak pernah balik lagi ke level di tahun 2011 tersebut. Dan alhasil, sekarang
ini tidak ada lagi saham batubara dengan PBV setinggi itu.
Kembali ke Jepang. Pada awal dekade 1940-an, Nikkei berada di posisi 40
– 42, yang turun ke 28.7 pada tahun 1946, yakni setelah ekonomi Jepang hancur
pasca perang. Namun didorong oleh optimisme karena ekonomi ternyata cepat pulih,
Nikkei dengan cepat naik lagi, dan sudah tembus level psikologis 100 pada tahun
1949. Sebagai ilustrasi, bayangkan IHSG sekarang berada di level 4,200-an, lalu
karena krisis turun ke 2,870, tapi hanya dalam tiga tahun berikutnya, IHSG
sudah tembus 10,000. Inilah yang dialami Nikkei ketika itu, yakni ketika
kondisi ekonomi sudah terasa nyaman lagi, padahal baru saja ‘kemarin sore’
terjadi perang.
Memasuki dekade 1950-an, maka seperti yang disebut diatas, ekonomi
Jepang tumbuh dengan sangat-sangat pesat dimana perusahaan-perusahaan juga
membukukan kenaikan laba yang luar biasa, infrastruktur dibangun gila-gilaan, dan
hasilnya Nikkei kembali menembus level psikologis 1,000 pada tahun 1960, dan
tembus 5,000 pada tahun 1972. Sehingga antara tahun 1949 hingga 1972, Nikkei
naik total 50 kali lipat dalam kurun waktu 23 tahun saja, tapi bahkan itu
masih belum selesai. Pada dekade 1970-an ini, pertumbuhan ekonomi Jepang kembali
berlanjut setelah Sony dkk sukses menguasai pasar elektronik dunia, dan Tokyo
segera ‘naik kelas’ menjadi kota pusat keuangan yang setara dengan
New York, Hong Kong, dan London. Memasuki dekade 1980-an, mulai terjadi bubble
berikutnya yakni di sektor properti, dimana banyak spekulan memainkan aset-aset
properti sehingga harga real estate di Tokyo meningkat dengan cepat, dan
menghasilkan keuntungan yang juga sangat besar bagi perusahaan-perusahaan
properti, yang otomatis menaikkan harga saham mereka di bursa. Antara awal 1980
– akhir 1989, Nikkei sekali lagi melejit dari 6,569 hingga menyentuh rekor 38,915.
Namun, menyadari bahwa bubble properti akan berbahaya jika terus saja dibiarkan,
maka pada tahun 1989, Bank of Japan secara signifikan menaikkan suku bunga interbank, yang
menyebabkan bank-bank di Jepang tidak lagi memberikan pinjaman kepada para spekulan
properti, dan hasilnya sektor properti mulai melandai (gak ada lagi yang
bilang, ‘Senin harga naik!’). Sementara pasar sahamnya? Otomatis turun tapi turunnya pelan-pelan, dimana
pada tahun 1992, Nikkei sudah di 16,000-an lagi. Dan karena memasuki dekade
1990-an tersebut, pertumbuhan ekonomi Jepang mulai stagnan, dan perusahaan-perusahaan
juga tidak lagi membukukan lonjakan laba, maka Nikkei terus lanjut turun pelan-pelan
(ingat bahwa sejak awal, valuasi saham-saham di Jepang sangat overvalue) hingga
akhirnya mentok di 8,000-an di tahun 2002, dan barulah setelah itu Nikkei
naik lagi hingga pada April 2020 ini, dia berada di 19,000-an.
Nah, posisi 19,000 ini memang masih jauh lebih rendah dibanding posisi puncak Nikkei di tahun 1989 di 38,900. Tapi jika dihitung dari awal booming ekonomi Jepang pada akhir tahun 1949 hingga akhir 2019 kemarin, maka dalam kurun waktu 70 tahun tersebut, Indeks Nikkei naik dari 110 hingga 23,657, alias naik total 215 kali lipat. Sebagai perbandingan, pada periode waktu yang sama (tahun 1949 – 2019), Dow Jones naik dari 200 hingga 28,538, alias naik total 143 kali lipat. Jadi artinya? Yep, kalau kita melihatnya dalam jangka panjaaaang hingga 70 tahun terakhir, maka kenaikan Nikkei kurang lebih masih selaras dengan Dow Jones (malah masih lebih tinggi), dan juga indeks-indeks saham lainnya di seluruh dunia. Kemungkinan, karena Jepang somehow mengalami pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat pada periode 1950 – 1990, maka bursa sahamnya juga naiknya kecepetan. Tapi pada akhirnya, posisi Nikkei sekarang ini kembali selaras dengan indeks-indeks saham lainnya di seluruh dunia. Sehingga, jika kita mengecualikan periode heavy bubble pada dekade 1980-an dimana Nikkei terus saja naik hingga menyentuh 38,900, maka posisi Nikkei hari ini sudah jauh lebih tinggi dibanding posisinya pada awal dekade 1980, yakni 6,569. Jadi dengan demikian, teori bahwa suatu indeks saham pada akhirnya akan terus naik dalam jangka panjang, itu masih berlaku.
Nah, posisi 19,000 ini memang masih jauh lebih rendah dibanding posisi puncak Nikkei di tahun 1989 di 38,900. Tapi jika dihitung dari awal booming ekonomi Jepang pada akhir tahun 1949 hingga akhir 2019 kemarin, maka dalam kurun waktu 70 tahun tersebut, Indeks Nikkei naik dari 110 hingga 23,657, alias naik total 215 kali lipat. Sebagai perbandingan, pada periode waktu yang sama (tahun 1949 – 2019), Dow Jones naik dari 200 hingga 28,538, alias naik total 143 kali lipat. Jadi artinya? Yep, kalau kita melihatnya dalam jangka panjaaaang hingga 70 tahun terakhir, maka kenaikan Nikkei kurang lebih masih selaras dengan Dow Jones (malah masih lebih tinggi), dan juga indeks-indeks saham lainnya di seluruh dunia. Kemungkinan, karena Jepang somehow mengalami pertumbuhan ekonomi yang terlalu cepat pada periode 1950 – 1990, maka bursa sahamnya juga naiknya kecepetan. Tapi pada akhirnya, posisi Nikkei sekarang ini kembali selaras dengan indeks-indeks saham lainnya di seluruh dunia. Sehingga, jika kita mengecualikan periode heavy bubble pada dekade 1980-an dimana Nikkei terus saja naik hingga menyentuh 38,900, maka posisi Nikkei hari ini sudah jauh lebih tinggi dibanding posisinya pada awal dekade 1980, yakni 6,569. Jadi dengan demikian, teori bahwa suatu indeks saham pada akhirnya akan terus naik dalam jangka panjang, itu masih berlaku.
Lalu Bagaimana Dengan Indonesia, dan IHSG?
Berbeda dengan indeks-indeks saham di negara maju yang sudah dimulai
bahkan sejak abad ke-19, IHSG baru start pada Agustus 1982, dengan
posisi perdana 100. Karena pada akhir tahun 2019 kemarin, IHSG berada di posisi
6,300, maka artinya kenaikannya mencapai 63 kali lipat dalam 37 tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, pada akhir tahun 1986, atau 37 tahun setelah Nikkei
tembus 100 di tahun 1949, maka indeks Nikkei berada di posisi 18,701,
dan itu sudah bubble. Tapi posisi IHSG di akhir 2019 kemarin hanya sepertiganya
dibanding level Nikkei di tahun 1986 tersebut. Malah kalau kita ambil posisi
terendahnya di 3,900-an yang dicapai ketika terjadi market crash pada
Maret kemarin, maka posisi IHSG tentunya jadi lebih rendah lagi jika dibanding
Nikkei. Rendahnya posisi IHSG ini karena memang pertumbuhan ekonomi kita sejak
era kemerdekaan hingga hari ini belum se-pesat Jepang, dimana
GDP Indonesia pada saat ini juga hanya seperempatnya GDP Jepang.
Meski demikian, Indonesia punya sesuatu yang tidak dimiliki Jepang:
Wilayah yang jauh lebih luas, sumber daya alam yang belum sepenuhnya dioptimalkan,
dan juga sumber daya manusia yang masih bisa dikembangkan. Seperti yang disebut
diatas, luas wilayah darat Jepang termasuk sempit, hanya 378 ribu km persegi.
Sehingga ketika seluruh wilayah negara sudah dibangun infrastruktur, dan sistem
pendidikan sudah sangat baik, maka ketika itulah pertumbuhan ekonomi mandek
karena sudah nggak ada yang bisa dibangun lagi, sedangkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusianya juga sudah maksimal. Hal ini berbeda dengan
negara-negara maju lainnya seperti Rusia, Amerika Serikat, dan China, yang
karena wilayahnya jauh lebih luas (luas daratan China 9.6 juta km persegi),
maka ekonominya tumbuh terus sampai hari ini.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Untungnya, kita juga termasuk negara
besar dengan luas darat 1.9 juta km persegi, dan kualitas SDM-nya jelas masih
bisa dikembangkan. Jadi meski kita saat ini ketinggalan, tapi pada waktunya
nanti kita akan menyusul Jepang. Dalam hal ini kita bisa melihat contoh China: Diatas
sudah disebutkan bahwa Jepang sudah menjadi negara industri maju pada tahun
1920-an, sedangkan China pada waktu yang sama masih sangat miskin, malah perang
saudara melulu. Tapi ketika China akhirnya mampu menjalankan reformasi ekonomi
sejak tahun 1978, maka barulah ekonominya berkembang pesat. Dan hasilnya, pada hari
ini GDP China sudah jauh lebih besar dibanding Jepang, bahkan lebih besar
dibanding GDP Uni Eropa. Namun karena wilayah China mencapai dua kali lipat dari
total wilayah Uni Eropa, maka penulis perkirakan pertumbuhan ekonominya
yang pesat belum akan berhenti (terakhir masih tumbuh 6 koma sekian persen per
tahun, sebelum imbas Corona), dan bukan tidak mungkin suatu hari nanti GDP
China akan menyusul Amerika Serikat. Dan indeks sahamnya, yakni Shanghai
Composite (baru diluncurkan tahun 1990, juga di posisi perdana 100) yang
sekarang berada di level 2,800-an, kemungkinan juga masih akan terus naik dalam
jangka panjang.
Okay, jadi kembali ke pertanyaan diatas, apakah IHSG akan bernasib
seperti Jepang, yang tidak pernah mencetak new high lagi bahkan meski
sudah lewat puluhan tahun? Maka jawabannya, tidak. Jika situasi politik dalam
negeri tetap damai seperti hari ini, dan pembangunan infrastruktur serta
investasi besar Pemerintah di sektor pendidikan (20% dari APBN) terus
dilanjutkan, maka ekonomi Indonesia juga akan terus bertumbuh, kualitas SDM-nya
akan terus meningkat, dan suatu hari nanti IHSG akan tembus 10,000, 15,000, 20,000,
dan seterusnya. Sudah tentu, dalam jangka pendek tertentu akan terjadi
riak-riak dan fluktuasi, seperti yang terjadi sepanjang awal tahun 2020 ini
(dan kondisinya bisa lebih buruk lagi, jika masalah Covid-19 ini tidak kunjung
selesai). Namun berbeda dengan luas negara yang sifatnya permanen (bisakah Indonesia
memperluas wilayah? Akuisisi Singapura, misalnya?), maka fluktuasi seperti itu
sifatnya hanya sementara.
Jadi untuk sekarang, just survive. Kita tidak tahu kapan
IHSG akan ke 10,000, mungkin 10 tahun lagi, mungkin 15 tahun lagi, mungkin juga
lebih cepat. Tapi melihat kondisinya sekarang ini, maka itu tidak akan terjadi hari ini. Jadi berapapun
posisi IHSG dalam beberapa waktu kedepan, namun yang terpenting adalah nilai
portofolio kita tidak sampai habis saja. Agar pada waktunya nanti, kita bisa
panen raya lagi!
***
Video
Seminar Terbaru: Berburu Saham Mutiara Terpendam, yakni saham yang berpeluang naik
hingga ratusan persen ketika nanti krisis karena Covid-19 ini berakhir. Anda
bisa memperolehnya
disini.
Follow akun resmi penulis di media sosial, klik 'View on Instagram' berikut ini:
Komentar
Bila dilihat dari grafik pertambahan penduduk juga mengalami penurunan signifikan mulai tahun 70-an.
mana yg kebih menguntungkan..invest di market indonesia atau china/vietnam?