Strategi Crisis Protocol Ketika Bursa Anjlok, Part 4

Berikutnya, ketika krisis terjadi, maka siapapun akan rugi, dan itu normal, sehingga kita harus bisa melihat jauh kedepan. Ini juga mungkin sulit dipahami oleh temen-temen pemula, karena bukannya kalau investor saham yang masih pegang cash justru akan untung besar karena bisa belanja saham-saham bagus pada harga super diskon? Nah, dalam hal ini kita perlu sepakati dulu definisi ‘krisis’ disini: Kalau IHSG hanya turun 10 – 20% dari puncaknya, dan itu karena ada sentimen negatif sesaat yang tidak berdampak pada ekonomi, atau memang karena pasar sudah naik tinggi sebelumnya, maka itu bukan krisis, melainkan hanya koreksi pasar biasa yang cukup sering terjadi, biasanya antara 1 atau 2 tahun sekali. Dan pada kondisi ini, betul bahwa investor yang pegang cash akan cuan besar.

***

Jadwal Seminar: Untuk sekarang belum ada jadwal, namun anda bisa memperoleh rekamannya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 6,000.

Ebook Market Planning edisi April 2020 akan terbit hari Rabu, 1 April mendatang, dan anda bisa memperolehnya disini. Tersedia diskon khusus selama IHSG dibawah 6,000, dan juga gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio untuk subscriber. Info Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

***

Catatan: Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan empat hari lalu. Sebaiknya anda baca dulu biar nyambung.

Tapi jika terdapat isu besar yang sifatnya nasional atau bahkan global, yang bisa dipastikan akan berpengaruh signifikan terhadap sektor riil dan juga perekonomian secara keseluruhan, dan IHSG itu sendiri anjlok hingga lebih dari 20%, maka barulah itu disebut krisis. Dan dalam kondisi seperti itu, maka yang anjlok gak cuma bursa saham, melainkan semuanya turut anjlok. Dalam semingguan terakhir ini, penulis banyak bertanya ke temen-temen pengusaha, dan mereka mengatakan bahwa covid-19 ini memang berdampak signifikan menurunkan omzet toko, restoran, hotel dll hingga 50% atau lebih, sehingga cashflow jadi seret. Lalu bagaimana dengan temen-temen karyawan? Well, mereka masih bekerja, dan juga masih dapet gaji, tapi karena harga-harga kebutuhan pokok naik semua pasca ramai covid ini, maka nilai gaji yang diterima sebenarnya turun jika dihitung dari jumlah barang yang bisa dibeli sekarang, dibanding beberapa bulan lalu. Kemudian bagaimana dengan nilai tabungan/uang kas yang kita miliki? Nah, anda tentu sudah mengecek, kurs Rupiah terhadap US Dollar sekarang berapa?? Anjlok dari Rp13,500 hingga terakhir Rp16,400, hanya dalam sebulan! Sehingga berapapun nilai tabungan Rupiah yang anda miliki sekarang, tapi dari perspektif mata uang Dolar, nilainya sudah turun 17%. Pada contoh yang lebih ekstrim seperti krisis di tahun 1998, maka berapapun uang cash yang anda simpan di bank, tapi uang tersebut nilainya bisa turun menjadi nol, jika bank-nya bangkrut. Penulis ada teman yang bercerita kalau di tahun 1990-an ia punya tabungan hasil usaha sebesar Rp200 juta di Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yang tentu saja merupakan jumlah yang sangat besar ketika itu, yang habis sama sekali setelah bank-nya ditutup, tahun 1998 lalu.

Sehingga maksud penulis adalah, let’s face it, tidak ada seorangpun yang tidak rugi ketika terjadi krisis, dimana kalaupun anda tidak rugi dari saham, maka anda akan rugi dalam bentuk berkurangnya/hilangnya pendapatan, kenaikan biaya hidup, hingga menyusutnya nilai aset dan tabungan. Sehingga pertanyaannya disini bukanlah ‘Gimana caranya biar tetep cuan, atau minimal nggak rugi meski terjadi krisis?’, melainkan ‘Gimana caranya agar kerugian yang terjadi tidak terlalu besar, dan aset kita tidak sampai habis sama sekali, sehingga dari sisa dana/aset yang ada ini kita nanti bisa menghasilkan keuntungan yang amat sangat besar ketika krisisnya berakhir?’

Dan kalau anda mengikuti protokol sebelum krisis seperti yang sudah kita bahas beberapa waktu lalu, maka worst scenario-nya adalah porto anda rontok kurang lebih hingga separuhnya, tapi tidak akan sampai habis sama sekali. Namun dalam posisi ini, maka untuk balik modal ke posisi portofolio sebelum krisis saja, anda harus cuan 100% alias 2 kali lipat, dan itu tentu tampak mustahil untuk dicapai dalam kondisi pasar terus saja autoreject bawah seperti sekarang.

Tapi ketika nanti pasar akhirnya pulih, maka seperti tahun 2009, 2010, dan 2011 lalu, ada banyak saham-saham yang naiknya 2, 3, 5, hingga 10 kali lipat dari posisi terendahnya di tahun 2008, atau bahkan lebih tinggi lagi, dimana kenaikan luar biasa tersebut memang selaras dengan valuasi serta fundamental perusahaan Contohnya saham Gudang Garam (GGRM), yang pada tahun 2007 mencapai 12,000, tapi memasuki 2008 dia terus turun hingga akhirnya mentok di level 3,500, dari posisi tertingginya di tahun 2007 di level 12,000. And let say, anda terlalu cepat beli GGRM ini di harga 10,000, dan gak average down lagi, sehingga posisinya rugi 65% (jadi bukan lagi 50%). Maka pada Mei 2009, GGRM sudah balik lagi ke 10,000, dan anda dalam hal ini sudah balik modal, tapi bahkan hanya dalam setahun berikutnya, GGRM lanjut naik lagi sampai.. 50,000!

Sehingga, meski sempat nyangkut parah pada awalnya, tapi anda tetap akan profit sekian kali lipat selama pilihan sahamnya benar, yakni ketika krisis itu berlalu, dan normalnya yang namanya krisis memang tidak akan langsung pulih lagi hanya dalam satu dua hari. Jadi inilah yang penulis maksud dengan ‘kita harus bisa melihat jauh kedepan’, alias bisa melihat kondisi dimana semua badai ini akhirnya berakhir, dan kita pada akhirnya akan cuan lagi. Tapi kalau untuk sekarang ini bagaimana? Ya sabar aja dulu, sering-sering latihan meditasi sambil menghirup aromatherapy lah. Malah, dalam kondisi krisis yang parah, maka kita-kita disini yang masih bisa mikir soal profit loss di saham sebenarnya sangat beruntung. Karena diluar sana akan selalu ada saja orang-orang gak bisa mikir apa-apa lagi kecuali soal agar keluarganya dirumah bisa makan, karena imbas krisis tersebut.

Cash is King? Belum Tentu!

Okay, lanjut. Salah satu istilah yang sering muncul ketika krisis adalah, cash is king. Tapi pada titik tertentu, menjual saham anda dengan tujuan memperoleh cash tersebut bisa jadi merupakan kesalahan terbesar yang bisa anda lakukan. Maksud penulis adalah, terkadang investor yang sudah nggak punya cash masih belum kepikiran untuk menjual sahamnya (untuk memperoleh cash tersebut), karena posisinya udah kadung floating loss 5% bahkan meski IHSG belum turun, tapi ia baru kepikiran untuk jual sahamnya tersebut ketika harganya sudah anjlok 50% atau lebih, ketika krisisnya sudah terjadi.

Dan jika anda melakukan itu, maka itu namanya bukan lagi cut loss, melainkan realize loss. Contohnya GGRM diatas, dimana katakanlah anda pada tahun 2008 membeli sahamnya di harga 10,000, lalu average down di harga 5,000 (sehingga rata-ratanya jadi 7,500), dan setelah itupun GGRM lanjut turun sampai 4,500, 4,000, dan seterusnya, padahal cash sudah nol. Pada titik inilah, terkadang muncul pikiran bahwa, ‘Apa jual dulu ya? Soalnya gak ada kas sama sekali ini, sedangkan sahamnya masih aja turun’. Nah, let say anda kemudian jual GGRM ini di harga 4,500 tadi, dan sekilas itu merupakan keputusan tepat karena GGRM kemudian lanjut turun. Beberapa waktu kemudian, anda baru beli lagi GGRM ketika kondisinya sudah ‘aman’, tapi pada harga 7,000, karena memang sahamnya sudah rebound. Setahun kemudian, GGRM lanjut naik sampai 50,000, dan anda tetap cuan besar. Tapi coba perhatikan lagi: Apa yang salah disini??


Dihitung dari harga 5,000 pada awal 2009 hingga akhirnya tembus 100,000 pada awal 2019, maka GGRM sukses memberikan profit 2,000%, belum termasuk dividen.

Jadi maksud penulis adalah, memang idealnya kita sudah pegang cash besar sebelum krisis itu terjadi, lalu belanja persis ketika IHSG berada di titik terendahnya, sehingga cuannya maksimal. Tapi pada prakteknya jelas tidak semudah itu, karena lebih sering terjadi skenario:
  1. Kita gak pegang cash, dan baru kepikiran jualan ketika pasar sudah anjlok,
  2. Kita sejak awal sudah pegang cash, lalu setelah pasar turun kas itu dibelanjakan sampai habis, tapi ternyata setelah itu pasar tetap lanjut turun sehingga ujung-ujungnya nyangkut juga,
  3. Kita pegang cash besar, tapi baru berani belanja ketika krisis sudah selesai sama sekali, sehingga kehilangan peluang untuk beli BBRI dkk pada harga super duper diskon.
Nah, sebenarnya gak masalah kalau anda mengalami salah satu dari tiga skenario diatas, karena itu bukanlah kesalahan, karena hampir semua orang juga mengalaminya. Tapi bagaimana kalau anda, karena khawatir tidak pegang cash, lalu menjual semua saham pada harga mereka sekarang, dan baru masuk lagi tahun depan ketika cerita covid-19 ini sudah hilang sama sekali?? ‘Strategi’ diatas mungkin terdengar konyol, tapi faktanya ada banyak kenalan penulis yang jual habis seluruh sahamnya di tahun 2008, dan baru belanja lagi ketika pasar sudah aman di tahun 2012, tapi tentu saja pada harga beli lebih tinggi.

Dan inilah yang penulis maksud dengan, meski benar bahwa cash is king, tapi pada titik tertentu, menjual saham anda dengan tujuan memperoleh cash tersebut, kemudian baru belanja lagi ketika krisisnya sudah berakhir, maka itu bisa jadi merupakan kesalahan terbesar yang bisa anda lakukan. Pada tahun 1973, setelah Indeks S&P500 anjlok dan saham-saham berjatuhan, Warren Buffett membeli saham The Washington Post (GHC) pada harga sekitar $3.9, setelah ia melihat market cap GHC hanya $80 juta saja, sedangkan nilai aset bersihnya mencapai $400 juta, tapi setahun kemudian saham itu lanjut turun hingga hingga sempat sesaat dibawah $2.0 (karena di tahun 1974-nya, bursa saham Amerika kembali turun). Alhasil Buffett merugi 50%, tapi ia tidak beli lagi karena cash-nya sudah hampir habis. Pada saat itulah, muncul banyak analis yang merekomendasikan sell untuk GHC, tapi Opa Warren tetap hold! Eventually, 10 tahun kemudian (tahun 1983), GHC sudah tembus $40.0 per saham, sehingga hasilnya cuan 10 kali lipat (multibagger!), dan setelah itupun GHC terus saja naik hingga tembus $700.0 pada tahun 2019 lalu.

Baiklah, untuk lanjutannya bisa dibaca disini. Karena tulisannya lumayan panjang, sepertinya bisa jadi buku baru nih 😎

***

Jadwal Seminar: Untuk sekarang belum ada jadwal, namun anda bisa memperoleh rekamannya disini, tersedia diskon khusus selama IHSG masih dibawah 6,000. Info Whatsapp 0813-1482-2827 (Yanti).

Buku Kumpulan Analisis 30 Saham Pilihan edisi Kuartal IV 2019 sudah terbit, dan anda bisa memperolehnya disini. Dapatkan info saham-saham terbaik yang berpotensi naik 100% atau lebih, ketika nanti periode krisis ini berakhir.

Punya akun Instagram? Follow akun resmi penulis di media sosial, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

rudykawi mengatakan…
Ggrm bbri..harga berapapun reject berapapun beli ga akan kemahalan....akan sangat murah nanti pada saat recovery...dan ketinggalan kereta. Jangan menolak investor asing, tapi biarkan mereka menyesal main short saham bluechip walaupun ada barang.beli lagi diatasnya maksudnya kalau kondisi virus reda.
La pulga mengatakan…
Well...koleksi saham sy pada nyangkut 50%-60% posisi sekarang. Masih ada dana sedikit buat average down...sebaiknya mulai average down sekarang atau bagaimana ya?
Yoga P mengatakan…
wahh terimaksih pak teguh, sangat menyejukan tulisannya, jadi sekarang saya tahu harus ngapain :D
Yoga P mengatakan…
wah terikasih pak teguh, sudah tercerahkan, jd saya tahu harus ngapain :D
Anonim mengatakan…
Tulisan yang logis dan menenangkan....setuju banget mas Teguh, thank you.
Imam mengatakan…
Bikin buku bagus nih pak teguh. Kayanya belum ada, atau mungkin saya belum menemukan buku yang bahas tentang sikap investor saat krisis seperti ini.
michael mengatakan…
ditunggu buku barunya pak, jangan lupa ditambah bab tentang tips menjalani hidup dan traveling yang fun tapi tetap hemat ala value investing :D
Unknown mengatakan…
Thanks pak teguh..
Kodox mengatakan…
Waoowww
Andika jiwara husodo mengatakan…
Mantap mas Teguh. Terimakasih atas semangatnya,disaat perekonomian dan indeks saham seperti ini. Saya menanti tulisan anda berikutnya.
gwyn mengatakan…
sudah floating loss 38% masih ok lah ya
biarin keep dulu dan kembali wfh

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 12 Oktober 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Mengenal Saham Batubara Terbesar, dan Termurah di BEI