PP Properti: Prospek Cerah, Tapi..

Bagi penulis, PT PP Properti, Tbk (PPRO), merupakan salah satu saham yang sukses menghasilkan profit jumbo di masa lalu, tepatnya di tahun 2015 lalu ketika penulis melihat bahwa sahamnya cukup murah pada PBV 0.9 kali (harga 127, sebelum stocksplit), sedangkan kinerja perusahaan terbilang bagus, prospek kedepannya bagus, sahamnya likuid, dan perusahaan punya keunggulan sebagai bagian dari PT Pembangunan Perumahan, Tbk (PTPP), salah satu perusahaan konstruksi terintegrasi terbesar dan termapan di Indonesia. Anda bisa baca lagi ulasannya disini.

***

Ebook Analisa IHSG & Rekomendasi Saham edisi Februari 2020 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk subscriber.

Ebook Kumpulan Analisa 30 Saham Pilihan ('Ebook Investment Planning') edisi Kuartal IV 2020 akan terbit hari Senin, 24 Februari 2020, dan layanan preorder-nya sudah dibuka mulai hari ini. Info lengkap baca disini, tersedia harga diskon bagi yang memesan sebelum tanggal 24 Februari.

***

And indeed, PPRO kemudian sukses naik, meski kenaikannya ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraan penulis sebelumnya: Dibanding target kami yang hanya 400 – 500, PPRO ternyata melesat hingga tembus 1,200-an pada awal tahun 2017. Tidak ada faktor fundamental yang bisa menjelaskan kenaikan luar biasa tersebut, karena meski benar bahwa kinerja laba bersih perusahaan sukses naik antara dari tahun 2015, 2016, hingga 2017, tapi kenaikannya ya normal saja di kisaran 20 – 30%, jadi tidak sampai melejit dua atau tiga kali lipat. Penulis sendiri ketika itu sudah profit taking, dan saya sibuk memberikan warning kepada temen-temen investor yang penasaran untuk masuk ke PPRO ini pada harga yang sudah tinggi tersebut. Karena pada awal tahun 2017 itu pula, PPRO melakukan dua aksi korporasi sekaligus: Stocksplit dengan rasio 1 : 4 sehingga harga sahamnya menjadi 300-an, yang kemudian diterjemahkan investor sebagai pertanda bahwa ‘sahamnya bakal naik lebih tinggi lagi’ (sehingga penulis kemudian harus menjelaskan melalui artikel ini, bahwa aksi stocksplit itu tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap harga sahamnya dalam jangka panjang, dan juga tidak bikin sahamnya jadi lebih murah), lalu disusul right issue pada pelaksanaan Rp280 per saham, di bulan April 2017. Bersamaan dengan itu, media dipenuhi berita dan rumor bahwa PPRO sedang membangun ini itu, prospeknya sangat cerah dst, sehingga investor tambah penasaran lagi untuk masuk, dan penulis juga tambah sibuk untuk mengatakan, ‘Jangan!’

Dan ternyata, masih di tahun 2017 itu pula, PPRO mulai turun dari 300-an hingga ditutup di posisi 189, alias bergerak berlawanan dengan arah pasarnya dimana IHSG di tahun 2017 tersebut sukses naik hingga 20.0%. Memasuki 2018, masih ada beberapa orang yang bertanya, PPRO sudah murah belum? Karena kalau lihat kinerjanya, PPRO ini masih bagus sampai tahun 2018 tersebut, dan boleh dibilang kinerja dia bagus sendiri ketika mayoritas emiten propertinya mengalami penurunan laba. Tapi penulis bilang, nanti saja sekalian tunggu dia sampai dibawah 100. Karena ingat bahwa, karena PPRO ini melakukan stocksplit pada awal tahun 2017 lalu, maka pada harga 100 itu sekalipun, PPRO ini sebenarnya masih berada di harga 400 jika berdasarkan harga sebelum stocksplit-nya, alias masih cukup tinggi dibanding ketika penulis pertama kali masuk di tahun 2015 lalu, di harga 187. Jadi mari kita tunggu beberapa waktu lagi.

Nah, karena pada awal tahun 2020 ini, PPRO memang sudah dibawah 100, bahkan tinggal 55 perak, maka apakah sekarang dia sudah murah? Untuk itu mari kita pelajari lagi PPRO sejak awal.

Fundamental PPRO, Hari Ini

Sejak perusahaan dipisahkan (spin off) dari PTPP sebagai entitas usaha tersendiri yang fokus di bidang properti, tahun 2013 lalu, kemudian disusul IPO pada tahun 2015-nya, maka PPRO terus berkembang pesat, dan juga sukses menghasilkan kinerja yang terus bertumbuh. Hingga pada Kuartal III 2019, PPRO sudah mencatatkan total aset Rp18.2 trilyun, ekuitas Rp5.4 trilyun, dan laba bersih disetahunkan Rp281 milyar. Sebagai perbandingan, pada tahun 2014, total aset PPRO hanya Rp2.7 trilyun. Angka pertumbuhan lebih dari 5 kali lipat hanya dalam waktu kurang dari lima tahun tentu saja sangat mengesankan, apalagi ketika industri properti itu sendiri sebenarnya justru sedang lesu dalam periode lima tahun tersebut.
 
Sebaran lokasi proyek-proyek milik PT PP Properti, Tbk. Klik gambar untuk memperbesar

Dan strategi yang dilakukan manajemen PPRO memang memungkinkan perusahaan untuk tumbuh pesat seperti itu. You see, PPRO fokus pada empat segmen yakni pengembangan hunian apartemen, hotel, kawasan komersial/pertokoan, dan pembangunan unit-unit perkantoran. Namun dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 80% pendapatan perusahaan hanya berasal dari segmen pertama, yakni penjualan unit-unit apartemen, yang sukses laku keras karena beberapa faktor:
  1. Harga jualnya relatif terjangkau, misalnya apartemen Grand Kamala Lagoon di Bekasi, yang hanya Rp400 jutaan untuk type studio,
  2. Lokasinya yang sangat dekat dengan akses tol dll, thanks to koneksi perusahaan dengan pengelola tol yang merupakan pihak berelasi, alias sama-sama BUMN (mungkin perlu juga dicatat bahwa kalau untuk developer lain, gak segampang itu untuk dapet izin membangun menara apartemen di deket pintu tol atau semacamnya), dan
  3. Adanya kerjasama penyaluran KPR dengan Bank BTN, yang memang spesialis KPR, dimana kerjasama itu juga bisa terjalin karena status kedua perusahaan sebagai sama-sama BUMN.
Singkat kata, PPRO mampu mengoptimalkan statusnya sebagai pihak berelasi degan banyak perusahaan BUMN lain yang bisnisnya terkait, untuk tetap membukukan kinerja yang bertumbuh ketika industri properti secara umum tengah struggle. Untuk tahun 2019 kemarin, pendapatan dan laba PPRO memang turun dibanding 2018, dan itu wajar karena pada tahun tersebut konsumen properti cenderung wait and see karena menunggu hasil Pemilu dan Pilpres. Tapi kalau melihat angka persediaan unit-unit apartemen siap jual milik perusahaan yang masih sangat besar (Rp4.8 trilyun, meningkat tajam dibanding dua tahun sebelumnya di angka Rp1.5 trilyun, dan itu adalah berdasarkan harga perolehan/biaya pembangunan, jadi harga jualnya harusnya lebih tinggi), maka dengan asumsi di tahun 2020 ini sektor properti kembali pulih (karena, apa lagi yang ditunggu? Kondisi politik sudah aman, bunga bank lagi murah-murahnya, dan bahkan beberapa properti menawarkan DP 0%), maka PPRO siap untuk panen raya lagi. Untuk prospek jangka panjangnya, cadangan landbank milik perusahaan juga masih ada 300 hektar (per tahun 2018, meningkat signifikan dibanding 53 hektar di tahun 2015), maka PPRO juga sudah siap untuk tumbuh lebih besar lagi, albeit dalam hal ini perusahaan akan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi makro dll, karena tanah seluas apapun percuma saja jika tidak bisa dikembangkan, yakni jika penjualan properti masih lesu. Tapi untuk jangka pendeknya di tahun 2020 – 2021 ini, maka dengan mempertimbangkan angka persediaan diatas serta status perusahaan sebagai BUMN (lebih tepatnya anak usaha dari BUMN yang sedang menggeber pembangunan infrastruktur), maka PPRO sangat-sangat menarik.

Valuasi PPRO = Masih Tanggung?

Jadi sekarang tinggal soal valuasi sahamnya. Dan pada harga Rp55 per saham, maka berdasarkan LK Kuartal III 2019, PBV PPRO tercatat 0.6 kali, dan PER 12.1 kali. Dalam hal ini penulis bisa memberikan beberapa komentar, sebagai berikut. Pertama, betul bahwa dari sisi PBV, PPRO sudah murah, tapi boleh anda cek, sekarang ini di BEI ada banyak sekali saham-saham properti lainnya, yang PBV-nya lebih rendah lagi. Sehingga kalau nanti sektor properti beneran pulih, maka saham-saham yang valuasinya lebih rendah itulah, yang naiknya bakal lebih tinggi. Kemudian kalau anda perhatikan, saham-saham properti yang lebih murah tersebut, sekarang mereka cenderung tidak likuid, karena yang masih pegang di harga tinggi gak mau jual, tapi yang belum pegang belum berani masuk. Sedangkan PPRO? Bahkan pada harga serendah ini, volume transaksinya masih ramai dengan lebih dari 100 juta lembar saham yang berpindah tangan setiap harinya. Yang itu artinya, dibanding saham-saham properti lain yang mudah untuk naik sewaktu-waktu karena yang pasang offer sudah nggak ada, maka untuk PPRO ini bisa agak berat untuk naik, karena yang jualan masih banyak.

Kedua, dari sisi harga sahamnya. PPRO sekarang sudah di 55, atau tinggal selangkah lagi menuju gocap/50. Sebagian investor menilai bahwa hal ini berarti bahwa risiko PPRO sudah terbatas, karena dia hanya bisa turun max sampai 50, tapi disisi lain dia bisa naik sampai berapa saja.

Tapi penulis dalam hal ini harus kasih pencerahan. Sekarang coba anda buka software online trading anda di laptop, cek saham-saham di BEI yang harganya sudah di 50: Ada yang pasang bid nggak? Nggak ada kan? Dan kalau gak ada yang pasang bid, maka gimana caranya agar kita bisa jual cut loss saham tersebut di harga 50? Yup, jadi ini berbeda dengan katakanlah kalau anda beli saham di harga 1,000, lalu saham itu turun ke 950, 900, 850, dan seterusnya, dimana kalau gak ada yang pasang bid di harga 950, misalnya, maka anda bisa jual di harga 940, alias lebih rendah. Hal ini tidak berlaku untuk saham gocapan, dimana kalau tidak ada yang mau pasang bid di harga 50, maka anda juga tidak bisa jual pada harga 49, karena orang tidak bisa pasang bid pada harga dibawah 50.

Sehingga skenario terburuknya, kalau PPRO ini turun sampai 50, maka kerugian anda bukan 10%, melainkan 100% alias dana anda habis sama sekali. Jadi dalam hal ini risikonya bukannya terbatas, melainkan justru sangat besar, dan karena inilah penulis selama ini gak pernah beli saham pada harga nominal dibawah 60 – 70 perak, tak peduli se-menarik apapun saham tersebut. Sedangkan kalau kita beli saham pada harga 70, misalnya, maka asumsinya, kalau misalnya sahamnya turun, maka kita masih bisa cut loss katakanlah di 55.

Sehingga terkait hal ini, akan lebih aman jika anda masuk di PPRO ini ketika nanti harganya sudah sedikit naik lagi, misalnya ke 70. Cara ini memang mengurangi potensi profitnya, tapi disisi lain juga secara signifikan mengurangi risiko dana anda ‘nyangkut forever’ di gocap, dan gak bisa dijual sama sekali (sebenarnya di pasar nego, anda masih bisa jual atau beli saham pada harga dibawah 50, tapi mekanismenya jauh lebih ribet, dan perlu bantuan broker).

Ketiga, dengan PER 12.1 kali, maka itu menunjukkan bahwa meski PPRO mencatat laba Rp281 milyar untuk tahun 2019 (disetahunkan), tapi laba tersebut terhitung masih kecil dibanding ekuitas perusahaan. Karena memang, setelah menggelar IPO senilai Rp909 milyar, lalu disusul right issue senilai Rp1.5 trilyun, maka ekuitas PPRO meningkat sangat pesat, sedangkan pertumbuhan laba bersihnya tidak setinggi itu. Dalam hal ini PPRO harus membukukan kenaikan laba minimal tiga kali lipat pada tahun 2020 ini, dibanding 2019 kemarin, agar ROE-nya menjadi besar, dan otomatis PER-nya turun. Pertanyaannya, seberapa besar peluang PPRO untuk membukukan lompatan kinerja setinggi itu? Well, tentunya agak berat, karena kalaupun kita asumsikan bahwa laba PPRO bakal naik di tahun 2020 ini, maka akan lebih realistis jika kita katakan bahwa kenaikannya akan berkisar di angka 20 – 50% saja, alias belum cukup untuk membuat sahamnya menjadi tampak murah dari sisi PER. Disisi lain, kalau laba PPRO di tahun 2020 ini ternyata gagal untuk naik, maka ya sudah, sahamnya tidak punya alasan untuk naik, dan bisa saja dia akhirnya benar-benar mati di gocap.

Terakir keempat, untuk ukuran perusahaan properti, maka dengan total liabilitas Rp12.2 trilyun per Kuartal III 2019 (dibanding ekuitas Rp5.4 trilyun), maka utang PPRO termasuk besar (DER 2.3 kali), dan termasuk didalamnya utang-utang obligasi, medium term notes, hingga utang bank, dengan tingkat bunga antara 8.5 – 11.5% per tahun. Mengingat kinerja perusahaan masih sangat bergantung pada penjualan one time unit-unit apartemennya (PPRO ada recurring income dari hotel, sewa mall, tapi angkanya masih kecil), maka hal ini menjadi berisiko, yakni kalau sewaktu-waktu nanti penjualan apartemen tersebut turun. Dan sekali lagi jika dibandingkan emiten-emiten properti lain, maka ada banyak perusahaan properti lain yang DER-nya jauh lebih aman, jika dibanding PPRO ini.

Kesimpulan

Dengan mempertimbangkan seluruh faktor diatas, maka kesimpulannya adalah, PPRO ini termasuk masih high risk kalau anda mulai masuk dari sekarang, dan risiko tersebut juga tidak sebanding dengan potensi profitnya, dimana secara prospek kinerja maupun valuasi, sebenarnya agak berat bagi PPRO untuk balik lagi ke katakanlah 200-an, karena pada harga tersebut valuasinya akan sudah mahal lagi (PBV 2.2 kali. Sebagai perbandingan saham Pakuwon Jati (PWON), yang fundamentalnya jauh lebih bagus, sekarang PBV-nya cuma 1.7 kali). Jadi kalau mau amannya, maka sebaiknya kita tunggu sampai perusahaan merilis laporan keuangannya untuk Kuartal I 2020 mendatang, dimana jika labanya naik banyak, maka barulah ketika itu sahamnya punya alasan kuat untuk naik, albeit sekali lagi target konservatifnya juga tidak terlalu tinggi, yakni hanya 100 – 120 saja.

Dan sebenarnya untuk PPRO ini masih ada satu faktor risiko lagi, yakni terkait fluktuasi harga sahamnya yang tidak wajar di masa lalu, yang belakangan diketahui bahwa itu karena sahamnya termasuk salah satu yang digoreng oleh Jiwasraya, untuk tujuan mempercantik laporan keuangan perusahaan asuransi tersebut (baca lagi ceritanya disini). Nah, jika dibanding katakanlah seperti Bank BJB (BJBR), yang juga sahamnya sempat dikerek tinggi pada tahun 2016 – 2017 lalu, maka untuk PPRO ini ceritanya jauh lebih rumit sehingga memerlukan pembahasan tersendiri. Anyway, karena artikel ini sudah cukup panjang, maka soal ini akan kita bahas di lain waktu.

Untuk minggu depan, kita akan membahas saham-saham yang membayar dividen tinggi, yang bisa dijadikan pilihan investasi yang paling aman, terutama dalam kondisi pasar yang masih naik turun seperti sekarang.

***

Ebook Analisa IHSG & Rekomendasi Saham edisi Februari 2020 sudah terbit! Dan anda bisa memperolehnya disini. Gratis tanya jawab saham/konsultasi portofolio saham untuk subscriber.

Ebook Kumpulan Analisa 30 Saham Pilihan ('Ebook Investment Planning') edisi Kuartal IV 2020 akan terbit hari Senin, 24 Februari 2020, dan layanan preorder-nya sudah dibuka mulai hari ini. Info lengkap baca disini, tersedia harga diskon bagi yang memesan sebelum tanggal 24 Februari.

Lihat foto-foto kegiatan penulis plus info-info penting di Instagram, klik 'View on Instagram' berikut ini: Instagram

Komentar

Nova mengatakan…
Terimakasih ulasannya tentang PPRO & Sektor Properti, Pak Teguh...
Ijin bertanya : Mengingat PPRO adl. anak usaha PTPP, maka apakah mungkin jika PPRO menyentuh GoCap, lalu PTPP akan tinggal diam?

Hal tsb mengingat latar belakang pendirian PPRO yang salah satunya adl. untuk memastikan persediaan kontrak baru kepada PTPP..
Terimakasih sebelumnya.
La pulga mengatakan…
Pak Teguh mohon analisanya utk saham2 konstruksi seperti Adhi, Wskt dll yg sekarang pbv nya udah dibawah 1. Udah layak beli atau bagaimana?
sriyanto mengatakan…
bung teguh skrg menjadi trader?
Mrs. Koala mengatakan…
Ko bandingin ppro sama pwon. Penghasilan pwon diatas 1triliyun pertahun, jelas lebih menjanjikan. Bsd, pwon, punya kelas yang beda dari pp properti.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?